Ruang lingkup regulasi undang-undang nomor 9 tahun 2010 tentang keprotokolan meliputi

Peraturan keprotokolan adalah semata-mata untuk menjaga wibawa pemimpin, organiasi dan negara. Dan baik atau buruknya penyelenggaraan keprotokolan akan berimplikasi terhadap citra seorang pemimpin, citra suatu institusi/organisasi dan citra suatu negara.

Mungkin kita sudah tidak asing dengan istilah Keprotokolan karena pada umumnya telah mempraktekkan dalam upacara, pelantikan, acara-acara atau kegiatan resmi maupun tidak resmi. Akan tetapi, secara pemahaman kita masih dinilai belum mengenal betul apa sebenarnya keprotokolan itu.

Untuk menjawab itu, penulis mencoba memahami dan mengkaji regulasi-regulasi yang mengatur tentang keperotokolan. Khususnya di negara kita telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang keprotokolan.

Dalam undang-undang tersebut menyebutkan keprotokolan itu merupakan serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi tata tempat, tata upacara dan tata penghormatan sebagai wujud penghormatan kepada seseorang sesuai jabatan atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan atau dalam masyarakat.

Artinya, ruang lingkup keprotokolan itu adalah pengaturan tata tempat, tata upacara dan tata penghormatan. Dan hanya diberlakukan untuk acara-acara kenegaraan dan resmi bagi pejabat negara, pejabat pemerintah, perwakilan negara asing atau organisasi internasional serta tokoh-tokoh masyarakat tertentu.

Kenapa Negara menerbitkan undang-undang dan mengatur betul tentang keprotokolan? jawabnya mengutip paparan Praktisi Keprotokolan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat M.Rifki, disebabkan negara  begitu menghormati  kedudukan  para  Pejabat Negara,  Pejabat  Pemerintahan, perwakilan negara  asing  atau  organisasi  internasional, serta  tokoh masyarakat  tertentu.

Juga, terbitnya Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 dalam upaya penyesuaian terhadap dinamika yang tumbuh dan berkembang dalam sistim kenegaraan, budaya dan tradisi bangsa.

Betapa pentingnya regulasi keprotokolan ini karena memiliki tujuan untuk memberikan  pedoman  penyelenggaraan  suatu acara agar berjalan tertib, rapi, lancar, dan teratur sesuai  dengan  ketentuan  dan  kebiasaan  yang berlaku,  baik  secara  nasional  maupun internasional.

Selain itu, kita bisa memahami apa sebenarnya keprotokolan itu dan isitilah-istilah yang ada dalam keprokolan. Ada beberapa isitilah yang kita ketahui dalam keprotokolan diantaranya adalah Protokol, Protokoler, Master of Ceremony atau disingkat MC, Pengarah Acara/Pemandu Acara, Pembawa acara, Announcer, Penyiar dan banyak lagi yang lainnya.

Ternyata, kalau kita telaah, ada perbedaan antara istilah-istilah tersebut. Contohnya, kita selama ini memahami isitilah protokol adalah pembawa acara suatu kegiatan, atau juga isitilah MC sebagai pembawa acara. Kalau kita merujuk kepada regulasi, ternyata pemahaman kita masih salah, karena MC atau Master of Ceremony dan Protokol itu bukan sebatas diartikan sebagai pembawa acara tetapi artinya lebih luas sebagai pengatur acara. Sedangkan pembawa acara itu ada dalam bagian keprotokolan.

Untuk di tubuh Kementerian Agama sendiri, selain Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010, juga dipakai sebagai petunjuk pelaksanaan keprotokolan adalah Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 428 Tahun 2015 menyempurnakan KMA Nomor 71 Tahun 1993. Dan disana juga disebutkan bahwa negara begitu menghormati kedudukan para pejabat negara, pejabat pemerintahan, perwakilan negara asing dan atau organisasi internasional serta masyarakat tertentu.

Di dalam KMA ini, sangat diatur secara jelas mengenai tata tempat, tata upacara dan tata penghormatan. Pada tata tempat dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama digunakan rumus yakni orang yang berhak mendapat tata urutan yang pertama/paling tinggi adalah mereka yang mempunyai urutan paling depan paling mendahului. Artinya pengaturan berdasarkan eselon pejabat itu sendiri.

Ketika duduk berjajar, maka orang yang duduk sebelah kanan dari orang yang paling utama adalah yang tertinggi dari yang duduk disebelah kiri orang utama. Contohnya, apabila jumlah pejabat yang hadir pada acara resmi genap misalnya empat orang, maka rumus yang digunakan diambil patokan kursi dua paling tengah. Dengan hasilnya (3),(1),(2),(4).

Selanjutnya, jika jumlah ganjil misalkan lima orang pejabat yang hadir pada acara resmi, maka rumusnya adalah (4),(2),(1),(3).(5). Dan ini juga berlaku dalam pengaturan tata letak foto pejabat pada spanduk atau baliho.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Muhammad Yusuf Aunur Sabri,SH

Ruang lingkup regulasi undang-undang nomor 9 tahun 2010 tentang keprotokolan meliputi

Oleh: Kang Hermanto

Nah, lanjut lagi obrolan seputar keprotokolan ya. Kali ini saya sharing-kan soal ruang lingkupnya. Telah jelas dalam UU No. 9 Tahun 2010 disebutkan bahwa ruang lingkup keprotokolan meliputi tata tempat, tata upacara dan tata penghormatan.

Tata tempat yang dimaksud adalah tata urutan atau lebih banyak dikenal sebagai Order of Presedence atau Preseance dalam Bahasa Perancis. Pada hakekatnya mengandung unsur-unsur siapa yang lebih didahulukan atau siapa yang memperoleh hak prioritas dalam urutan. Orang dan instansi atau organisasi yang memperoleh urutan tempat untuk didahulukan adalah mereka yang mendapatkan prioritas dikarenakan jabatan, pangkat dan derajat serta kedudukannya di dalam negara atau masyarakat. Dalam aspek ini, kita harus cermat mempertimbangkan aturan yang layak, etika, kepantasan, keindahan dan humanis sebagai acuan.

Sedangkan tata upacara adalah aturan untuk melaksanakan upacara dalam acara kenegaraan atau acara resmi. Tata upacara itu sendiri terdiri dari kelengkapan dan perlengkapan upacara untuk mendukung terselenggaranya suatu upacara yang dihadiri oleh Pejabat Negara atau Pemerintahan. Dapat juga dihadiri oleh masyarakat yang perlu diatur juga perihal tata penempatannya.

Terakhir, tata penghormatan adalah aturan untuk melaksanakan pemberian hormat bagi Pejabat baik Negara atau Pemerintahan serta tokoh masyarakat tertentu dalam setiap kegiatan. Tata penghormatan sendiri meliputi tata cara pemberian hormat dan penyediaan kelengkapan sarana yang diperlukan untuk menunjang suksesnya suatu acara. Secara spesifik, tata penghormatan diberikan kepada seseorang atau kelompok dapat berupa pemberian tata tempat, pemberian penghormatan berupa bendera kebangsaan dan lagu kebangsaan, penghormatan jenazah bila meninggal dunia dan pemberian bantuan sarana yang diperlukan untuk melaksanakan acara.

Jadi itu tadi ya… Andaikata Anda ditugaskan sebagai protokol, maka akan melaksanakan pengaturan di 3 (tiga) hal di atas. [*]

(1)

Tamu Negara terdiri atas presiden, raja, kaisar, ratu, yang dipertuan. agung, paus, gubernur jenderal,  wakil presiden, perdana menteri, kanselir, dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Keprotokolan adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat. Keprotokolan diatur dengan UU 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan.

Acara Kenegaraan menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan adalah acara yang diatur dan dilaksanakan oleh panitia negara secara terpusat, dihadiri oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta Pejabat Negara dan undangan lain. Acara Resmi dalam Ketentuan Umum UU 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan adalah acara yang diatur dan dilaksanakan oleh pemerintah atau lembaga negara dalam melaksanakan tugas dan fungsi tertentu dan dihadiri oleh Pejabat Negara dan/atau Pejabat Pemerintahan serta undangan lain.

Pengaturan Keprotokolan dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan memiliki azas kebangsaan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, serta keselarasan dan timbal balik. UU 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan mengatur mengenai tata upacara bendera dalam penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi yang meliputi tata urutan upacara bendera, tata bendera negara dalam upacara bendera, tata lagu kebangsaan dalam upacara bendera, dan tata pakaian dalam upacara bendera.

Pasal 3 UU 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan, berisi tentang apa itu Tujuan Pengaturan Keprotokolan. Pengaturan Keprotokolan memiliki tujuan untuk:

  1. memberikan penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu, dan/atau Tamu Negara sesuai dengan kedudukan dalam negara, pemerintahan, dan masyarakat;

  2. memberikan pedoman penyelenggaraan suatu acara agar berjalan tertib, rapi, lancar, dan teratur sesuai dengan ketentuan dan kebiasaan yang berlaku, baik secara nasional maupun internasional; dan

  3. menciptakan hubungan baik dalam tata pergaulan antarbangsa.

Keprotokolan bagi Tamu Negara, tamu pemerintah dan/atau tamu lembaga negara lain yang berkunjung ke negara Indonesia merupakan penghormatan kepada negaranya dan dilaksanakan sesuai dengan asas timbal balik, norma-norma, dan/atau kebiasaan dalam pergaulan internasional dengan tetap memperhatikan nilai sosial dan budaya bangsa Indonesia yang berkembang, tanpa mengabaikan kebiasaan yang berlaku dalam pergaulan internasional.

Ruang lingkup pengaturan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan yang diberlakukan dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi bagi Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat tertentu.

Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan disahkan Presiden Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pada tanggal 19 November 2010. Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan diundangkan Menkumham Patrialis Akbar pada tanggal 19 November 2010 di Jakarta.

Agar setiap orang mengetahuinya. Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 125. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5166.

Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan

Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan mencabut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3363).

Pertimbangan UU 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan, adalah:

  1. bahwa negara menghormati kedudukan para Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta tokoh masyarakat tertentu dengan suatu pengaturan keprotokolan;

  2. bahwa dalam upaya penyesuaian terhadap dinamika yang tumbuh dan berkembang dalam sistem ketatanegaraan, budaya, dan tradisi bangsa, dipandang perlu suatu pengaturan keprotokolan secara menyeluruh;

  3. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan sehingga perlu diganti;

  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Keprotokolan;

Dasar Hukum UU 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan adalah Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Negara menghormati kedudukan para Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dengan Tata Pengaturan mengenai Keprotokolan. Pengaturan Keprotokolan tersebut perlu disesuaikan dengan dinamika yang tumbuh dan berkembang dalam sistem ketatanegaraan, budaya, dan tradisi bangsa.

Perubahan ketatanegaraan di Indonesia setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berimplikasi pada perubahan pengaturan keprotokolan negara. Perubahan mendasar antara lain diwujudkan dengan ditiadakannya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara yang selanjutnya menjadi lembaga negara. Perubahan tersebut dan dengan telah disahkannya berbagai Undang-Undang baru menghasilkan lembaga baru yang belum diatur keprotokolannya dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi. Pengaturan Keprotokolan juga diperlukan terhadap lembaga negara yang secara tegas ditentukan dalam Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol pada saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sistem ketatanegaraan sehingga diperlukan Undang-Undang baru dalam rangka penyempurnaan pengaturan mengenai Keprotokolan khususnya mengenai Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, Tokoh Masyarakat Tertentu, dan/atau tamu negara sesuai dengan kedudukan dalam negara, pemerintahan, dan masyarakat.

Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan yang diberlakukan dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi bagi Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat tertentu.

Pengaturan Keprotokolan dalam Undang-Undang ini berasaskan kebangsaan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, serta keselarasan dan timbal balik yang bertujuan:

  1. memberikan penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, Tokoh Masyarakat Tertentu, dan/atau Tamu Negara sesuai dengan kedudukan dalam negara, pemerintahan, dan masyarakat;

  2. memberikan pedoman penyelenggaraan suatu acara agar berjalan tertib, rapi, lancar, dan teratur sesuai dengan ketentuan dan kebiasaan yang berlaku, baik secara nasional maupun internasional; dan

  3. menciptakan hubungan baik dalam tata pergaulan antarbangsa.

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi yang dilaksanakan sesuai dengan Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan baik dalam upacara bendera maupun bukan upacara bendara. Penyelenggara Acara Kenegaraan dilaksanakan oleh Panitia Negara yang diketuai oleh menteri yang membidangi urusan kesekretariatan negara, sedangkan penyelenggara Keprotokolan Acara Resmi dilakukan oleh:

  1. lembaga negara yang kewenangannya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. lembaga negara yang dibentuk dengan atau dalam Undang-Undang;

  3. kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian;

  4. instansi pemerintah pusat dan daerah; dan

  5. organisasi lain.

Undang-Undang ini mengatur pula mengenai tata upacara bendera dalam penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi yang meliputi tata urutan upacara bendera, tata bendera negara dalam upacara bendera, tata lagu kebangsaan dalam upacara bendera, dan tata pakaian dalam upacara bendera.

Ketentuan mengenai Keprotokolan bagi Tamu Negara, tamu pemerintah dan/atau tamu lembaga negara lain yang berkunjung ke negara Indonesia merupakan penghormatan kepada negaranya dan dilaksanakan sesuai dengan asas timbal balik, norma-norma, dan/atau kebiasaan dalam pergaulan internasional dengan tetap memperhatikan nilai sosial dan budaya bangsa Indonesia yang berkembang, tanpa mengabaikan kebiasaan yang berlaku dalam pergaulan internasional.

Berikut adalah isi Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan, bukan format asli:

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Keprotokolan adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat.

  2. Acara Kenegaraan adalah acara yang diatur dan dilaksanakan oleh panitia negara secara terpusat, dihadiri oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta Pejabat Negara dan undangan lain.

  3. Acara Resmi adalah acara yang diatur dan dilaksanakan oleh pemerintah atau lembaga negara dalam melaksanakan tugas dan fungsi tertentu dan dihadiri oleh Pejabat Negara dan/atau Pejabat Pemerintahan serta undangan lain.

  4. Tata Tempat adalah pengaturan tempat bagi Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi.

  5. Tata Upacara adalah aturan untuk melaksanakan upacara dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi.

  6. Tata Penghormatan adalah aturan untuk melaksanakan pemberian hormat bagi Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, dan Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi.

  7. Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pejabat Negara yang secara tegas ditentukan dalam Undang-Undang.

  8. Pejabat Pemerintahan adalah pejabat yang menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.

  9. Tamu Negara adalah pemimpin negara asing yang berkunjung secara kenegaraan, resmi, kerja, atau pribadi ke negara Indonesia.

  10. Tokoh Masyarakat Tertentu adalah tokoh masyarakat yang berdasarkan kedudukan sosialnya mendapat pengaturan Keprotokolan.

  11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

BAB II ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2

Keprotokolan diatur berdasarkan asas:

  1. kebangsaan;

  2. ketertiban dan kepastian hukum;

  3. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; dan

  4. timbal balik.

Pasal 3

Pengaturan Keprotokolan bertujuan untuk:

  1. memberikan penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu, dan/atau Tamu Negara sesuai dengan kedudukan dalam negara, pemerintahan, dan masyarakat;

  2. memberikan pedoman penyelenggaraan suatu acara agar berjalan tertib, rapi, lancar, dan teratur sesuai dengan ketentuan dan kebiasaan yang berlaku, baik secara nasional maupun internasional; dan

  3. menciptakan hubungan baik dalam tata pergaulan antarbangsa.

Pasal 4

  1. Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:

    1. Tata Tempat;

    2. Tata Upacara; dan

    3. Tata Penghormatan.

  2. Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan hanya dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi bagi;

    1. Pejabat Negara;

    2. Pejabat Pemerintahan;

    3. perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional; dan

    4. Tokoh Masyarakat Tertentu.

  1. Penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi dilaksanakan sesuai dengan aturan Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan.

  2. Acara Kenegaraan dan Acara Resmi dapat berupa upacara bendera atau bukan upacara bendera.

  3. Dalam hal terjadi situasi dan kondisi tertentu yang tidak memungkinkan terlaksananya atau berlangsungnya Acara Kenegaraan atau Acara Resmi, pelaksanaan acara dimaksud menyesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu tersebut.

  4. Penyesuaian pelaksanaan Acara Kenegaraan atau Acara Resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diputuskan oleh inspektur upacara.

  1. Acara Kenegaraan diselenggarakan oleh negara dan dilaksanakan oleh panitia negara yang diketuai oleh menteri yang membidangi urusan kesekretariatan negara.

  2. Dalam hal Acara Kenegaraan diselenggarakan di lingkungan lembaga negara lain, pelaksanaannya dilakukan oleh kesekretariatan lembaga negara dimaksud berkoordinasi dengan panitia negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

  3. Penyelenggaraan acara kenegaraan dapat dilaksanakan di Ibukota Negara Republik Indonesia atau di luar Ibukota Negara Republik Indonesia.

  1. Penyelenggaraan Keprotokolan Acara Resmi dilaksanakan oleh petugas protokol yang merupakan bagian dari kesekretariatan lembaga negara dan/atau instansi pemerintahan.

  2. Penyelenggaraan Acara Resmi dilakukan oleh:

    1. lembaga negara yang kewenangannya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    2. lembaga negara yang dibentuk dengan atau dalam Undang-Undang;

    3. kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian;

    4. instansi pemerintah pusat dan daerah; dan

    5. organisasi lain.

  3. Penyelenggaraan Acara Resmi diselenggarakan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan/atau dapat di luar Ibukota Negara Republik Indonesia.

Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi mendapat tempat sesuai dengan pengaturan Tata Tempat.

Pasal 9

  1. Tata Tempat dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi di Ibukota Negara Republik Indonesia ditentukan dengan urutan:

    1. Presiden Republik Indonesia;

    2. Wakil Presiden Republik Indonesia;

    3. mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia;

    4. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

    5. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

    6. Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

    7. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia;

    8. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia;

    9. Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia;

    10. Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia;

    11. perintis pergerakan kebangsaan/kemerdekaan;

    12. duta besar/Kepala Perwakilan Negara Asing dan Organisasi Internasional;

    13. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia;

    14. menteri, pejabat setingkat menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, serta Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia;

    15. Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia;

    16. pemimpin partai politik yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

    17. anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ketua Muda dan Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan anggota Komisi Yudisial Republik Indonesia;

    18. pemimpin lembaga negara yang ditetapkan sebagai pejabat negara, pemimpin lembaga negara lainnya yang ditetapkan dengan undang-undang, Deputi Gubernur Senior dan Deputi Gubernur Bank Indonesia, serta Wakil Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum;

    19. gubernur kepala daerah;

    20. pemilik tanda jasa dan tanda kehormatan tertentu;

    21. pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, Wakil Menteri, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia, Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Wakil Jaksa Agung Republik Indonesia, Wakil Gubernur, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, pejabat eselon I atau yang disetarakan;

    22. bupati/walikota dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota; dan

    23. Pimpinan tertinggi representasi organisasi keagamaan tingkat nasional yang secara faktual diakui keberadaannya oleh Pemerintah dan masyarakat.

  2. Tata Tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diadakan di luar Ibukota Negara Republik Indonesia diatur dengan berpedoman pada urutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 10

  1. Tata Tempat dalam Acara Resmi di provinsi ditentukan dengan urutan:

    1. gubernur;

    2. wakil gubernur;

    3. mantan gubernur dan mantan wakil gubernur;

    4. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya;

    5. kepala perwakilan konsuler negara asing di daerah;

    6. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya;

    7. sekretaris daerah, panglima/komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan, kepala kepolisian, ketua pengadilan tinggi semua badan peradilan, dan kepala kejaksaan tinggi di provinsi;

    8. pemimpin partai politik di provinsi yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi;

    9. anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya, anggota Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dan anggota Majelis Rakyat Papua;

    10. bupati/walikota;

    11. Kepala Kantor Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan di daerah, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia di daerah, ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah;

    12. pemuka agama, pemuka adat, dan Tokoh Masyarakat Tertentu tingkat provinsi;

    13. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;

    14. wakil bupati/wakil walikota dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;

    15. anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;

    16. asisten sekretaris daerah provinsi, kepala dinas tingkat provinsi, kepala kantor instansi vertikal di provinsi, kepala badan provinsi, dan pejabat eselon II; dan

    17. kepala bagian pemerintah daerah provinsi dan pejabat eselon III.

  2. Penyelenggara negara, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) hadir dalam Acara Resmi di provinsi menempati urutan Tata Tempat terlebih dahulu.

Pasal 11

  1. Tata Tempat dalam Acara Resmi di kabupaten/kota ditentukan dengan urutan:

    1. bupati/walikota;

    2. wakil bupati/wakil walikota;

    3. mantan bupati/walikota dan mantan wakil bupati/wakil walikota;

    4. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;

    5. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;

    6. sekretaris daerah, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan, kepala kepolisian, ketua pengadilan semua badan peradilan, dan kepala kejaksaan negeri di kabupaten/kota;

    7. pemimpin partai politik di kabupaten/kota yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;

    8. anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;

    9. pemuka agama, pemuka adat, dan Tokoh Masyarakat Tertentu tingkat kabupaten/kota;

    10. asisten sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala badan tingkat kabupaten/kota, kepala dinas tingkat kabupaten/kota, dan pejabat eselon II, kepala kantor perwakilan Bank Indonesia di tingkat kabupaten, ketua komisi pemilihan umum kabupaten/kota;

    11. kepala instansi vertikal tingkat kabupaten/kota, kepala unit pelaksana teknis instansi vertikal, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan di kecamatan, dan kepala kepolisian di kecamatan;

    12. kepala bagian pemerintah daerah kabupaten/kota, camat, dan pejabat eselon III; dan

    13. lurah/kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dan pejabat eselon IV.

  2. Dalam hal penyelenggara negara, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) hadir dalam Acara Resmi di kabupaten/kota, para pejabat tersebut menempati urutan Tata Tempat terlebih dahulu.

Pasal 12

Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 13

Tata Tempat bagi penyelenggara dan/atau pejabat tuan rumah dalam pelaksanaan Acara Resmi sebagai berikut:

  1. dalamhalAcaraResmidihadiriPresidendan/atau Wakil Presiden, penyelenggara dan/atau pejabat tuan rumah mendampingi Presiden dan/atau Wakil Presiden.

  2. dalam hal Acara Resmi tidak dihadiri Presiden dan/atau Wakil Presiden, penyelenggara dan/atau pejabat tuan rumah mendampingi Pejabat Negara dan/atau Pejabat Pemerintah yang tertinggi kedudukannya.

Pasal 14

  1. Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan dan/atau Acara Resmi dapat didampingi istri atau suami.

  2. Istri atau suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menempati urutan sesuai Tata Tempat suami atau istri.

Pasal 15

  1. Dalam hal Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, kepala perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu berhalangan hadir pada Acara Kenegaraan atau Acara Resmi, tempatnya tidak diisi oleh yang mewakilinya.

  2. Seorang yang mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapat tempat sesuai dengan kedudukan sosial dan kehormatan yang diterimanya atau jabatannya.

Upacara bendera hanya dapat dilaksanakan untuk Acara Kenegaraan atau Acara Resmi:

  1. Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia;

  2. hari besar nasional;

  3. hari ulang tahun lahirnya lembaga negara;

  4. hari ulang tahun lahirnya instansi pemerintah; dan

  5. hari ulang tahun lahirnya provinsi dan kabupaten/kota.

Pasal 17

Tata upacara bendera dalam penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi meliputi:

  1. tata urutan dalam upacara bendera;

  2. tata bendera negara dalam upacara bendera;

  3. tata lagu kebangsaan dalam upacara bendera; dan

  4. tata pakaian dalam upacara bendera.

Pasal 18

Tata urutan upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a meliputi tata urutan upacara bendera dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan tata urutan upacara bendera dalam upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b sampai dengan huruf e.

Pasal 19

Tata urutan upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a sekurang-kurangnya meliputi:

  1. pengibaran bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya;

  2. mengheningkan cipta;

  3. pembacaan naskah Pancasila;

  4. pembacaan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan

  5. pembacaan doa.

Pasal 20

Tata urutan upacara bendera dalam rangka peringatan hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sekurang-kurangnya meliputi:

  1. pengibaran bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya;

  2. mengheningkan cipta;

  3. mengenang detik-detik Proklamasi diiringi dengan tembakan meriam, sirine, bedug, lonceng gereja dan lain-lain selama satu menit;

  4. pembacaan Teks Proklamasi; dan

  5. pembacaan doa.

Pasal 21

Tata bendera negara dalam upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b meliputi:

  1. bendera dikibarkan sampai dengan saat matahari terbenam;

  2. tiang bendera didirikan di tempat upacara; dan

  3. penghormatan pada saat pengibaran atau penurunan bendera.

Pasal 22

  1. Tata lagu kebangsaan dalam upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c meliputi:

    1. pengibaran atau penurunan bendera negara dengan diiringi lagu kebangsaan;

    2. iringan lagu kebangsaan dalam pengibaran atau penurunan bendera negara dilakukan oleh korps musik atau genderang dan/atau sangkakala, sedangkan seluruh peserta upacara mengambil sikap sempurna dan memberikan penghormatan menurut keadaan setempat.

  2. Dalam hal tidak ada korps musik atau genderang dan/atau sangkakala pengibaran atau penurunan bendera negara diringi dengan lagu kebangsaan oleh seluruh peserta upacara.

  3. Waktu pengiring lagu untuk pengibaran atau penurunan bendera tidak dibenarkan menggunakan musik dari alat rekam.

Pasal 23

  1. Tata pakaian upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi disesuaikan menurut jenis acara.

  2. Dalam Acara Kenegaraan digunakan pakaian sipil lengkap, pakaian dinas, pakaian kebesaran, atau pakaian nasional yang berlaku sesuai dengan jabatannya atau kedudukannya dalam masyarakat.

  3. Dalam Acara Resmi dapat digunakan pakaian sipil harian atau seragam resmi lain yang telah ditentukan.

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pakaian sipil lengkap, pakaian dinas, pakaian kebesaran, pakaian nasional, pakaian sipil harian, atau seragam resmi diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 24

  1. Untuk melaksanakan upacara bendera dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi, diperlukan kelengkapan dan perlengkapan.

  2. Kelengkapan upacara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, meliputi:

    1. inspektur upacara;

    2. komandan upacara;

    3. perwira upacara;

    4. peserta upacara;

    5. pembawa naskah;

    6. pembaca naskah; dan

    7. pembawa acara.

  3. Perlengkapan upacara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, meliputi:

    1. bendera;

    2. tiang bendera dengan tali;

    3. mimbar upacara;

    4. naskah Proklamasi;

    5. naskah Pancasila;

    6. naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan

    7. teks doa.

Pasal 25

Dalam hal terjadi situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan terlaksananya tata upacara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, tata upacara dilaksanakan dengan menyesuaikan situasi dan kondisi tersebut.

Upacara bukan upacara bendera dapat dilaksanakan untuk Acara Kenegaraan atau Acara Resmi.

Pasal 27

Tata Upacara bukan upacara bendera dalam penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi meliputi tata urutan upacara dan tata pakaian upacara.

Pasal 28

Tata urutan acara bukan upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi, antara lain, meliputi:

  1. menyanyikan dan/atau mendengarkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya;

  2. pembukaan;

  3. acara pokok; dan

  4. penutup.

Pasal 29

  1. Tata pakaian upacara bukan upacara bendera dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi disesuaikan menurut jenis acara.

  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 30

Bendera negara dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi upacara bukan upacara bendera dipasang pada sebuah tiang bendera dan diletakkan di sebelah kanan mimbar.

  1. Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi mendapat penghormatan.

  2. Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. penghormatan dengan bendera negara;

    2. penghormatan dengan lagu kebangsaan; dan/atau

    3. bentuk penghormatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Tata penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tamu Negara, tamu pemerintah, dan/atau tamu lembaga negara lain yang berkunjung ke Negara Indonesia mendapat pengaturan keprotokolan sebagai penghormatan kepada negaranya sesuai dengan asas timbal balik, norma-norma, dan/atau kebiasaan dalam tata pergaulan internasional.

Pasal 33

  1. Tamu Negara terdiri atas presiden, raja, kaisar, ratu, yang dipertuan agung, paus, gubernur jenderal, wakil presiden, perdana menteri, kanselir, dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

  2. Tamu pemerintah dan/atau tamu lembaga negara lainnya dapat terdiri atas pejabat tinggi lembaga negara asing lain, mantan kepala negara/pemerintahan atau wakilnya, wakil perdana menteri, menteri atau setingkat menteri, kepala perwakilan negara asing, utusan khusus dan tokoh masyarakat asing/internasional tertentu lain yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  3. Kunjungan Tamu Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

    1. kunjungan kenegaraan;

    2. kunjungan resmi;

    3. kunjungan kerja; atau

    4. kunjungan pribadi.

Pasal 34

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan keprotokolan terhadap Tamu Negara, tamu pemerintah, dan/atau tamu lembaga negara lain diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 35

Penyelenggaraan keprotokolan di daerah khusus atau daerah istimewa dilaksanakan dengan menghormati kekhususan atau keistimewaan daerah tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- Undang ini.

Pasal 36

Pendanaan keprotokolan dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

BAB IX KETENTUAN PENUTUP

Pasal 37

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3363) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 38

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3363) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 39

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Demikianlah isi Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan yang disahkan Presiden Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pada tanggal 19 November 2010. Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan telah diundangkan Menkumham Patrialis Akbar pada tanggal 19 November 2010 di Jakarta.

Agar setiap orang mengetahuinya. Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 125. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5166.