Pertanyaan tentang kebijakan makroprudensial

This preview shows page 3 - 4 out of 4 pages.

Untuk kesembilan bulan berturut-turut, Bank Indonesia (BI) kembali menahan suku bunga acuan, alias BI 7-days Reverse Repo Rate, di level 3,50%. Posisi status quo suku bunga acuan tersebut menjadi terpanjang kedua dalam sejarah BI 7-days Reverse Repo Rate sejak diberlakukan pada Agustus 2016.

Seandainya BI kembali menahan BI 7-days Reverse Repo Rate pada periode November, lama waktu status quo suku bunga acuan akan menyamai rekor terlama. Rekor terpanjang suku bunga acuan yang tidak berubah masih dipegang selama 10 bulan sejak Oktober 2016 sampai Juli 2017 di level 4,75%.

Mengharap suku bunga acuan untuk turun –setidaknya untuk saat ini– memang bisa dibilang mustahil. Selain BI 7-days Reverse Repo Rate sudah sangat rendah, kondisi makro tidak memungkinkan. Keputusan memangkas suku bunga acuan bisa mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah dan sistem keuangan.

Sebaliknya, kecenderungan BI untuk menaikkan suku bunga acuan agaknya hanya masalah waktu. Indonesia sebagai Negara ber skala ekonomi kecil dan terbuka, keterkaitan de ngan dunia luar menjadi keniscayaan. Taper tantrum merupakan momen yang tepat agar dampak negatif bagi perekonomian nasional bisa diminimalkan.

Di satu sisi, potensi gejolak finansial yang ditimbulkan dari kebijakan tapering of f bank sentral Amerika Serikat pada akhir tahun menjadi agenda jangka pendek yang harus ditanggulangi. Risiko pelarian modal, pe nipisan cadangan devisa, dan depresiasi nilai tukar rupiah menjadi indikasi awal yang patut dicer mati.

Di sisi lain, tantangan atas dampak ekonomi dari pandemic Covid-19 di dalam negeri mewajibkan BI mengusung kebijakan yang akomodatif.

Pada saat yang bersamaan, ganjalan ketidakpastian pasar keuangan global yang belum reda juga mendorong BI harus meracik kebijakan yang antisipatif.

Pada titik ini, keterbatasan ruang gerak kebijakan moneter agaknya tidak menyurutkan hasrat besar BI untuk terus berkiprah. Meskipun misi pertumbuhan bukan ranah bidang tugas utama BI, otoritas moneter di Tanah Air itu tetap memainkan peran dalam program pemulihan ekonomi nasional.

Alhasil, siasat BI mengarah pada optimalisasi bauran kebijakan. Sinergi ditempuh dengan kebijakan makroprudensial guna menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung upaya perbaikan ekonomi. Tidak tanggung-tanggung, sehimpun strategi telah disiapkan.

Mengikuti hasil Rapat Dewan Gubernur BI periode Oktober 2021, rasio countercyclical capital buffer dipertahankan pada level 0% mengingat siklus ekonomi yang masih berada di bawah baseline. Parameter disinsentif batas bawah rasio intermediasi makroprudensial (RIM) diubah dari 80% menjadi 84%. Rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) juga dipertahankan 6% dengan fleksibilitas repo sebesar 6%. Rasio PLM bagi perbankan syariah juga tidak berubah 4,5% dengan fleksibilitas repo 4,5%. Artinya, perbankan umum dan syariah ma sih memiliki keleluasaan da lam mengelola likuiditasnya.

Dari ranah kredit, pelonggaran ketentuan uang muka (down payment) kredit/pembiayaan untuk semua jenis kendaraan bermotor baru mulai tahun depan ditetapkan paling sedikit 0%.

Langkah ini untuk mendukung pertumbuhan kredit sektor otomotif dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan ma najemen risiko.

Secara simetris, rasio loan to value/financing to value (LTV/ FTV) kredit/pembiayaan property juga dilonggarkan menjadi paling tinggi 100%. Ketentuan ini berlaku untuk semua jenis properti (rumah tapak, rumah su sun, rumah toko, serta rumah kantor) bagi bank yang memenuhi ambang batas kredit bermasalah.

Ketentuan pencairan bertahap properti inden juga dihapus guna mendorong pertumbuhan kredit sektor properti. Seiring dengan itu, kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) juga diperkuat dengan pendalaman asesmen transmisi SBDK dan suku bunga kredit baru pada tiap subsektor ekonomi.

Pelonggaran makroprudensial tidak berhenti sampai di sini. Segmen kartu kredit juga kecipratan relaksasi. Masa berlaku pembayaran minimum kar tu kredit 5% dari total tagihan dan nilai denda keterlambatan pembayaran kartu kredit 1% atau maksimal Rp 100.000 dari out standing diperpanjang sampai 30 Juni 2022.

Sejumlah langkah di atas sudah dengan sendirinya menun jukkan banyak rute yang hen dak ditempuh BI demi menstabilkan pasar kredit. Oleh karenanya, ma suk akal jika kemudian BI menyasar setiap sektor yang berpotensi mendorong ke arah perbaikan ekonomi sesuai koridor kewenangan yang dimilikinya. Namun demikian, banyaknya strategi yang diracik BI juga memberi kesan kebijakan makroprudensial BI tidak memiliki patron yang baku.

Masing-masing strategi dirancang mengikuti kekhasan permasalahan yang muncul di tiap sektor. Aki batnya, tiap strategi kemungkinan bergerak sendiri-sendiri tanpa kekuatan pengikat. Rumus matematika memang mensyaratkan jika ada sejumlah nilai yang hendak diketahui, diperlukan persamaan dalam jumlah yang sama.

Oleh karenanya, sehimpun strategi tersebut dalam tataran kuantitas men cukupi. Akan tetapi, jika di telaah lebih dalam dari sisi kualitas, efektivitasnya masih bisa diperdebatkan. Sebagai misal, suku bunga kartu kredit (yang memasang suku bunga lebih tinggi dari jenis kredit konsumsi lainnya) akan sulit turun jika denda keterlambatan pembayaran kartu kredit terus diperpanjang. Bagi penyedia layanan kartu kredit, denda menjadi kompensasi atas kesediaan menurunkan suku bunga.

Pertanyaan tentang kebijakan makroprudensial
Ilustrasi suku bunga

Demikian pula, transparansi SBDK akan alot jika uang muka kredit dipangkas menjadi 0%. Bagi perbankan, suku bunga kredit bisa dipangkas jika ada semacam jaminan, yakni uang muka. Artinya, ada korelasi berkebalikan antara besaran suku bunga kredit dan uang muka demi mengurangi risiko.

Dengan konfigurasi problematika di atas, BI tampaknya perlu melakukan reorientasi terhadap kebijakan makroprudensialnya. Kebijakan utama yang menjadi ‘maskot’ harus ditentukan secara definitif. Kebijakan pendukung lain harus terjangkar oleh kebijakan ‘maskot’ tadi. Artinya, ada skala prioritas kebijakan berdasarkan urgensi target yang dituju.

Alhasil, sikap (stance) kebijakan makroprudensial bisa klir teridentifikasi. Harus diakui, stance kebijakan makroprudensial sejauh ini belum terstruktur membentuk bangunan piramida kebijakan. Pertanyaan bagaimana posisi kebijakan makroprudensial masih saja meng hadirkan jawaban yang tidak tunggal. Jika kebijakan makroprudensial memiliki pucuk ‘komando’, kebijakan di bawahnya akan lebih mudah dikelola.

Lebih lanjut, mekanisme transmisi kebi jakan makroprudensial kianterbuka untuk ditelusur hingga pada stabilitas sistem keuangan. Konsekuensinya, keberhasilan kebijakan makroprudensial pun menjadi lebih terukur. Alur kebijakan yang sudah baku di area moneter patut menjadi rujukan. Kebijakan suku bunga acuan ‘mengalir’ langsung pada suku bunga deposit facility dan lending facility. Sebagai komparasi,

BI juga bisa memantau dari perubahan suku bunga di pasar uang antarbank. Alur mata rantai kebijakan suku bunga acuan pada suku bunga simpanan di perbankan dapat merujuk pada suku bunga penjaminan yang ditetapkan Lem baga Penjamin Simpanan (LPS). Dampak suku bunga acu an pada suku bunga perban kan bisa disisir pula dari transpa ransi SBDK. Dengan jalan pemikiran yang sama, kebijakan makroprudensial perlu didesain mengikuti aturan (rule-based policy).

Untuk itu, RIM sangat potensial dijadikan ‘maskot’. Jika perbankan mengalami pengetatan likuiditas melebihi ambang batas tertentu, RIM diken dorkan. Demikian pula sebaliknya, RIM dinaikkan saat likuiditas perbankan berlebih. Ketentuan RIM –dengan formula tertentu pula– kemudian diterjemahkan ke dalam PLM. LTV/FTV dan in s trumen lain pun ikut menyesuaikan. Dengan cara ini, kebijakan makroprudensial akan menjalankan fungsi sebagai perangkat stabilisasi otomatis yang bekerja mandiri tanpa aturan ekstra.

Alhasil, BI akan mu dah menetapkan kebijakannya sehingga lebih akun tabel. Semua pemangku ke pen tingan pun juga akan lebih gam pang memprediksi sehingga terjamin kredibilitasnya. Kredibilitas toh menjadi prasyarat mu tlak bagi efektivitas sebuah kebijakan, apalagi dalam episode ketidakpastian.

Tanpa ada aturan yang standar, ongkos kebijakan yang ditanggung oleh BI akan sangat mahal. Hal yang sama juga ditemui pada agen kebijakan dan pihak yang terkena kebijakan.

Dalam cakupan yang lebih luas, biaya penyesuaian atas kebijakan tanpa pa kem bisa jadi lebih tinggi dari man faat yang didapat. Pada akhirnya, kebijakan makroprudensial tanpa rule yang kukuh akan bergeser ke arah kebijakan diskresi mengikuti si tuasi dan kondisi sesaat yang tengah terjadi. Akibatnya, kebijakan makroprudensial yang semula ditujukan untuk stabilitasi pasar finansial malah bisa berbalik memberikan efek destabilisasi. Kontradiktif, bukan?

*) Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara ISEI Pusat.

Editor : Gora Kunjana ()

Pertanyaan tentang kebijakan makroprudensial

Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan Bank Indonesia yang ditetapkan dan dilaksanakan untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), serta mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran.

Selain itu, green economy menjadi isu penting dalam masa kini yang dapat berhubungan dengan makroprudensial. Hal ini menjadi tanggung jawab kita untuk generasi selanjutnya sehingga dapat menjadi sustainable economy dalam isu climate change yang harus mengemuka kedepannya.

Hal tersebut mengemuka dalam acara Kuliah Umum yang diselenggarakan Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) bersama Bank Indonesia (BI) melalui Fakultas Ekonomi UNPAR (FE UNPAR) pada Selasa, (23/11/2021). Acara yang bertajuk “Kebijakan Makroprudensial di Indonesia: Dalam Mendukung Akselerasi Pemulihan Ekonomi Indonesia” tersebut mengundang Juda Agung, Ph.D., selaku Asisten Gubernur Bank Indonesia; dan dimoderatori oleh Dr. Miryam B. L. Wijaya selaku Ketua jurusan Ilmu Ekonomi UNPAR.

Juda berkata, krisis keuangan global memberikan pelajaran bahwa kebijakan moneter dan kebijakan mikroprudensial tidak cukup dalam menjaga stabilitas makroekonomi. Maka diperlukan kebijakan makroprudensial yang menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

“Jadi kebijakan makroprudensial itu tujuannya memang lebih kepada stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Sementara yang mikro itu per individu,” kata Juda.

Juda menganalogikan konsep makroprudensial sebagai sebuah pohon dan hutan. Dimana mikroprudensial fokus pada kesehatan individu lembaga keuangan, sedangkan makroprudensial lebih berfokus pada upaya menjaga sistem keuangan secara keseluruhan, bukan hanya individu lembaga keuangan.

Dia mengatakan, kebijakan makroprudensial merupakan pilar utama dari kebijakan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah selain kebijakan moneter, dan kebijakan sistem pembayaran.

Ada 3 pilar kebijakan makroprudensial, kata Juda, yaitu; intermediasi yang seimbang; ketahanan sistem keuangan; dan inklusi keuangan. Dimana dalam intermediasi bertujuan menjaga agar pertumbuhan kredit tidak eksesif dan memadai untuk pertumbuhan ekonomi.

“Seimbang itu bukan artinya pertumbuhannya tinggi, tetapi  sesuai dengan kebutuhan,” tuturnya.

Pada pilar kedua, dia mengatakan, jika kebijakan makroprudensial ini bisa secara struktural menjaga agar sistem keuangan kuat menghadapi shock apabila terjadi goncangan pada bank yang runtuh.

“Atau bagaimana mencegah agar bank sistemik atau besar itu tidak collapse,” katanya.

Sedangkan pada pilar ketiga, kata Juda, dimana inklusi keuangan dapat mendorong sistem keuangan yang inklusif (semua mempunyai akses). Karena kalau tidak, akan mengakibatkan shadow banking.

Dia juga mengatakan, kapan penggunaan kebijakan makroprudensial diperketat dan diperlonggar tergantung dari grafik data kredit.

“Kalau sekarang dia masih dibawah nol, berarti kita longgar kebijakan makroprudensialnya. Artinya masih didorong,” tuturnya.

Kebijakan makroprudensial bersifat countercyclical untuk mengurangi over-optimisme dan over-pesimisme serta mengurangi materialisasi akibat contagion effect. Pada saat boom, bank diwajibkan memupuk buffer untuk mengerem ekspansi yang berlebihan. Sedangkan pada saat bust, bank dapat menggunakan buffer untuk mengurangi kontraksi kredit.

“Kalau ekonominya lagi bagus, jangan jor joran kasih kredit, direm dulu. Dengan modal dinaikkan, kredit diturunkan. Sebaliknya, pada saat ekonominya lemah, dia dorong jadi yang tadi (kredit,red) diketatkan, modal dilonggarkan,” tutur Juda.

Terdapat instrumen kebijakan makroprudensial bank indonesia kata Juda. yaitu:

  1. Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM)
  2. Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM)
  3. Loan to Value (LVT)/Financing to Value (FTV) Ratio
  4. Countercyclical Capital Buffer (CCyB)
  5. Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM)

Terdapat keterkaitan antara makroprudensial dengan isu kenaikan suhu bumi yang menyebabkan perubahan iklim, kata Juda. Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim dapat menimbulkan risiko fisik dan risiko transisi yang berimplikasi pada stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan.

“Kalau terjadi gangguan fisik, tentunya ada gangguan produksi. (Seperti) banjir, gelombang tinggi, badai, dan kekeringan ini tentu saja akan berdampak pada inflasi,” katanya.

Selain itu, dia juga mengatakan risiko transisi dari perubahan iklim memiliki biaya transisi yang cukup besar dalam bentuk hilangnya kesempatan investasi, hambatan ekspor, keharusan impor produk hijau, dan keterbatasan akses keuangan global, serta sudah mulai terjadi sekarang. Contohnya adalah investasi hijau beralih ke negara lain, akses keuangan global terbatas atau mahal, dan ekspor tidak kompetitif.

“Kalau kita tidak beralih pada green, maka ekspor kita dapat hambatan. Contohnya batu bara, sawit, dan sebagainya,” kata Juda.

Juda mengatakan, terdapat ratifikasi Paris Agreement dimana semua negara berkomitmen untuk menurunkan karbon. National Determined Contribution (NDC) Indonesia berkomitmen menurunkan karbon pada 2030 sebesar 41% dan pada 2060 mencapai carbon neutral.

Ada 3 pilar kerangka kebijakan makroprudensial hijau Bank Indonesia untuk menjadikan ekonomi berkelanjutan dengan sistem keuangan yang stabil, tumbuh, inklusif, dan hijau, yaitu; penguatan kebijakan makroprudensial hijau; pendalaman pasar keuangan hijau, dan pengembangan UMKM hijau.

“Kita harus punya komitmen bersama untuk semakin mendorong Indonesia menjadi lebih hijau,” tuturnya.

Selain itu, pada acara tersebut hadir pula Dr. Budiana Gomulia, Dra., M.Si selaku dekan Fakultas Ekonomi UNPAR, dan Herawanto selaku Kepala Perwakilan BI Jawa Barat. Selanjutnya, acara ditutup dengan pemberian bantuan kepada Yayasan Disabilitas Tanpa Batas. (Ira Veratika SN/RAM-Humkoler UNPAR)