Perbedaan bahasa nasional bahasa daerah dan bahasa asing

Oleh Yayah B. Mugnisjah Lumintaintang

I. a. Pendahuluan

Topik pembicaraan tertera di atas merupakan salah satu mata pembahasan pada
“Lokakarya Jurnalistik untuk Redaktur”; alhamdulillah, saya mendapat kehormatan dari Ketua Dewan Pers dan Ketua Lembaga Pers Dr. Soetomo untuk menjadi pembicaranya. Untuk itu, saya menyampaikan terima kasih yang tulus.

Permasalahan berbahasa bermakna �hal yang menjadikan masalah, hal yang dipermasalahkan, atau persoalan menggunakan bahasa� (KBBI, 2003:719; 90). Untuk memberikan gambaran tentang permasalahan berbahasa atau permasalahan memakai bahasa dalam kondisi masyarakat seperti negara kita ini, saya memanfaatkan pendekatan sosiolinguistik karena permasalahan penggunaan bahasa memang termasuk ke dalam wilayah kajian sosiolinguistik, terutama jika pembahasannya menurut konteks sosial penggunaannya. Sosiolinguistik adalah studi bahasa yang membahas permasalahan utama bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan. Studi dengan pendekatan ini menghubungkan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri, dan ragam bahasa dengan situasi serta faktor-faktor sosial dan budaya. Selain itu, sosiolinguistik merupakan studi tentang fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam masyarakat.

Untuk pembahasan, sekurang-kurangnya, saya menyampaikan hal-hal berikut: (1) kedaan kebahasaan di Indonesia yang bilingualisme dan diglosia, termasuk bilingual dan bilingualitasnya); (2) komponen sosiolinguistik (SPEAKING) sebagai faktor dominan dalam berbahasa yang baik dan benar, (3) pemakaian dan pemakai bahasa jurnalistik sebagai register (laras bahasa) berikut ciri-cirinya, (5) dampak globalisasi terhadap sikap bahasa, (6) kualitas BI laras bahasa jurnalistik serta contoh kasusnya.

b. Keadaan Kebahasaan di Indonesia yang Bilingualisme dan Diglosia Takstabil

Situasi kebahasaan di Indonesia amat kompleks karena terdapat sejumlah besar bahasa di Indonesia tercinta ini. Di dalam kehidupan sosial serta aktivitas sehari-hari anggota masyarakatnya, di samping BI, dipakai juga bahasa-bahasa daerah (BD) yang konon lebih dari 760-an jumlahnya, beserta variasi-variasinya, dan bahasa asing (BA) tertentu sesuai dengan fungsi, situasi, serta konteks berbahasa. BI berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara/bahasa resmi, bahasa-bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa komunikasi intraderah, dan bahasa asing berfungsi sebagai bahasa komunikasi internasional umum.

Situasi kebahasaan di Indonesia seperti digambarkan di atas, jika dipandang dari sudut masyarakat itu atau adanya lebih dari satu bahasa dalam masyarakat itu, dapat disebut bilingualisme secara kemasyarakatan/societal bilingualism. Sehubungan dengan kedudukan BI sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan, serta adanya kontak antarbahasa daerah di dalam daerah atau wilayah yang sama, banyak anggota masyarakat Indonesia merupakan bilingual secara perseorangan/individual bilingualism. Selain itu, jika dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat, masyarakat Indonesia dapat juga disebut masyarakat diglosik. dengan bahasa Indonesia sebagai “variasi tinggi” dan bahasa daerah sebagai “variasi rendah” karena secara resmi dan umum, BI seyogianya dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah, dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa daerah.

Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa atau lebih disebut bilingualitas. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme.

Alih kode adalah penggunaan dua bahasa atau variasi bahasa secara berganti-ganti di dalam wacana yang sama. Ini berarti bahwa si pembicara/bilingual itu beralih dari perangkat sistem bahasa yang satu ke perangkat sistem bahasa yang lain, seperti dari BI ke BD atau ke BA; dapat juga dari ragam formal ke ragam santai atau dari satu dialek ke dialek lainnya. Dengan kata lain, penutur yang menggunakan alih kode itu merupakan seorang bilingual tinggi (imbang). Alih kode terjadi karena dorongan psikologis serta faktor sosial dan situasional, seperti tuntutan suasana tutur, misalnya emosional, ingin berpamer/prestise, atau karena identitas dan hubungan interlokutor, misalnya sama etniknya, atau karena seting/domain peristiwa tutur dan topik pembicaraan dari yang resmi ke takresmi; misalnya dari dalam ke luar studio, seperti di lapangan TKP, dari topik kedinasan ke topik umum, atau sebaliknya. Bentuk linguistiknya bisa terjadi dalam tataran intra- dan antarkalimat; dalam intrakalimat alih kode itu berupa frasa atau klausa; dalam antarkalimat berupa kalimat. (Contoh dapat dilihat dalam Bagian II.)

Campur kode berbeda dari alih kode; campur kode adalah pengambilan elemen secara tetap dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang dipakai karena tidak ada elemen yang tepat dalam bahasa yang dipakainya itu. Dengan kata lain, elemen yang diambil itu milik sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi linguistik dan hasrat untuk menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak dipengaruhi oleh faktor situasional . Bentuk linguistik campur kode yang paling tinggi, khususnya di Indonesia, berupa leksikalisasi. Di India terdapat campur/pembauran kode antara bilingual Hindu dan Inggris yang disebut Hinglish (Kachru, 1978:28); di Filipina pembauran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris yang disebut Taglish atau hula-hula atau mix-mix (Sibayan, 1977:17); di Hongkong pembauran antara bahasa Cina dan Inggris yang disebut Cinglish (Wong, 1979:1); di Malaysia pembauran kode antara bahasa Melayu dan Inggris yang disebut campur bahasa/language mixture (Abdullah, 1979:17). Di Indonesia campur kode antara BI, BD, atau BA disebut bahasa gado-gado (Nababan, 1977).

Di samping pembauran/campur kode, ada yang disebut peminjaman bahasa (borrowing). Terjadinya peminjaman dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain didasari oleh kemampuan minimum bilingual/dwibahasawan, baik bilingual secara perseorangan maupun bilingual secara kemasyarakatan, dalam kedua bahasa tersebut. Bentuk linguistik yang dipinjam cenderung pada tataran leksikal/terminologi.

Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual juga akan menimbulkan gejala interferensi (pengacauan); inteferensi adalah perubahan bentuk bahasa sebagai akibat dari penerapan dua buah sistem bahasa yang berbeda secara serempak pada diri seorang bilingual/multilingual. Inteferensi terjadi pada semua tingkat unsur kebahasaan: pada tata ucap, tata bentuk kata, tata kalimat, atau tata arti kata. Timbulnya ragam bahasa takresmi dapat dikatakan sebagai akibat interferensi ini. Gejala ini tidak menguntungkan bagi perkembangan BI karena mengacaukan norma BI.

Setakat ini amat terasa bahwa keadaan kebahasaan di negara kita yang bilingual/multilingual dan diglosik ini cenderung takstabil. Ini ditandai oleh kenyataan bahwa fungsi bahasa-bahasa yang ada di Indonesia ini sudah saling berebut ranah pemakaian. Keadaan ini disebut sebagai kebocoran atau ketirisan diglosia.

Sebenarnya, adanya dua bahasa atau lebih di dalam masyarakat tidak harus menimbulkan persaingan atau tidak perlu dipersaingkan oleh penutur, baik untuk dipakai maupun untuk dipelajari. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa bahasa Melayu, khususnya Melayu Betawi/dialek Jakarta dan BI takresmi/ragam bahasa gaul, yang tergolong ke dalam ragam rendah itu, kini cenderung mengambil alih ranah-ranah pemakaian bahasa Indonesia ragam T; misalnya, di ranah pekerjaan, di ranah sekolah/kampus, di radio, televisi, atau media yang lain.

Dengan gambaran situasi kebahasaan dikemukakan di atas, tampak bahwa bilingualisame/multilingualisme itu sendiri sudah menjadi permasalahan utama dalam berbahasa. Begitu juga domain/ranah pemakaian bahasa, yaitu tingkah laku kebahasaan dalam hubungannya dengan situasi atau tempat suatu ragam bahasa tertentu digunakan. Ranah pemakaian bahasa terdiri dari sembilan jenis: (1) keluarga/family, (2) tempat bermain/play group dan jalan, (3) sekolah/school, (4) gereja (church), (5)kesusatraan/literature, (6) media massa/the press, (7) pengadilan/court, (8) militer/military, dan (9) administrasi pemerintahan/office (Fishman, 1972).

Redaktur/jurnalis sebagai salah satu lapisan masyarakat Indonesia juga merupakan individu-individu yang bilingual/multilingual. Oleh karena itu, di dalam tugas pokok dan fungsinya (tupoksinya) sebagai redaktur, permasalahan berbahasa bukan saja menjadi bagian yang dihadapi melainkan juga menjadi tuntutan untuk mampu mengatasinya., khususnya di dalam pelaksanaan tugas penyuntingan sebagai salah satu kewajiban redaktur, terlebih lagi manakala mereka menjadi penyusun berita juga.

Gambaran kecenderungan terdapatnya ketirisan diglosia di atas juga perlu disadari oleh para redaktur media massa. Tuntutan terhadap sikap bahasa yang positif terhadap pemakaian BI yang baik dan benar (sesuai dengan konteks dan situasi) amatlah diharapkan. Sudah barang tentu hal ini di luar pemilihan gaya bahasa para jurnalis yang produknya disunting. Mereka yang notabene berlatar belakang multilingual/ multikultur itu dapat mempertahankan gaya bahasanya (sebagai hak asasi perseorangan) sehingga para pembaca/pendengarnya bukan saja karib karena tampang dan suara melainkan juga karena pilihan variasi dan gaya bahasa yang melekat pada tulisannya atau tuturannya. Di samping itu, produk redaktur tersebut juga harus telah memenuhi pertimbangan dari aneka segi, terutama dari segi latar belakang pembaca atau pendengarnya/pemirsanya yang sangat heterogen, baik dari sisi etnik/bahasa ibunya, pendidikan, kelas sosial, kelompok usia, domisili (desa-kota) maupun gendernya.

c. Komponen Sosiolinguistik (SPEAKING) sebagai Faktor Dominan dalam Berbahasa yang Baik dan Benar

Untuk memberikan gambaran yang akurat tentang pemakaian bahasa dalam masyarakat yang bilingual/multilingual, Hymes (1962) merekomendasikan pendekatan sosiolinguistik karena dia memandang bahwa bahasa bukanlah sistem yang homogendan tertutup melainkan sistemyang terbuka dan heterogen, yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor luar bahasa (ekstralinguistik). Bahasa bukanlah sistem yang monolitik melainkan sistem yang terdiri dari banyak ragam yang berbeda-beda, dan setiap ragam atau perubahan bahasa itu di dalam kenyataannya tidaklah bebas tetapi berhubungan dengan sistematik perbedaan sosial.

Hymes berpandangan bahwa faktor sosial yang mempengaruhi perbedaan-perbedaan kebahasaan itu adalah apa yang disebut komponen SPEAKING, yaitu:
Setting: tempat (di warteg, kantin, kafe, restoran; tempat ibadat; tempat rekreasi; di rumah, pasar, sekolah, kantor, studio penyiaran, pengadilan, tempat olahraga); waktu (waktu senggang/waktu kerja); situasi (resmi/takresmi)

Participants: orang yang terlibat dalam tidakkomunikasi (khususnya lawan bicara) dengan variabel umur (kanak-kanak,remaja, dewasa, orang tua); jenis kelamin/gender: lelaki dan perempuan; lokasi (sekolah/liuar sekolah); keadaan sosial ekonomi (kaya, menegah, miskin); pendidikan (TK/SD/SLTP/SLTA/PT/Universitas); pekerjaan (pegawai/karyawan, buruh, PNS/Swasta/ABRI); organisasi, suku, agama, dan keturunan; jarak sosial (atasan/bawahan), buta huruf, terdidik; etnik/bahasa ibu:Jawa, Sunda, Bali, Makassar, dan Bugis; bangsa:Arab, Cina, dst.

Ends: tujuan yang hendak dicapai, harapan terhadap tujuan yang dikomunikasikan; sekadar menyampaikan informasi/untuk mempengaruhi

Act sequence: yang hendak dikomunikasikan (pikiran, perasaan, keinginan, keluhan, makian; medium komunikasi (lisan/tulis)

Key: bagaimana komunikasi itu berlangsung: santai, akrab, resmi, berjarak, lama tidak berjumpa, jujur, ada yang harus disembunyikan

Instruments: saluran yang dipilih: verbal, nonverbal (dengan dialek, idiolek, sosiolek, fungsiolek)

Norms: membuka suatu komunikasi; bagaimana menjaga agar komunikasi tetap berlangsung; bagaimana menyelesaikan sebuah komunikasi

Genres: bentuk yang harus dipilih: puisi, doa, surat resmi, surat pribadi, cerita, peribahasa, pidato, laporan, tanya-jawab, diskusi, ceramah

Konsep berbahasa Indonesia dengan baik dan benar amat berkaitan dengan komponen komunikasi dikemukakan di atas karena interpretasi berbahasa yang baik adalah pemilihan ragam bahasa yang sesuai dengan tuntutan situasi komunikasi; berbahasa yang benar adalah yang sesuai dengan sistem/kaidah bahasa yang baku. Selain itu, prinsip kerja ini dapat dikatakan sejiwa dengan konsep kerja jurnalistik, 5W 1H. Dalam perwujudannya, pemakaian bahasa baku itu tampak pada aspek berikut:

(1) ketepatan gramatika (ketatabahasaan): (a) ketepatan struktur kalimat; (b)ketepatan pembentukan kata; (2) kecermatan pilihan kata: (a) penggunaan kata yang tepat; (b) menghindarkan unsur yang mubazir; (3) ketepatan makna;

(4) ketepatan pemakaian/penerapan kaidah EYD.