Penjelasan markus 6 30 44

Baca: Markus 6:30-44

Ketika mendarat, Yesus melihat orang banyak berkerumun, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka. (Markus 6:34)

Bacaan tahunan: 1 Samuel 8-11

Apa reaksi seseorang ketika melihat orang lain ditimpa masalah atau malapetaka? Ada orang yang tergerak oleh belas kasihan, turut merasakan penderitaan itu, dan melakukan sesuatu untuk meringankan beban orang yang ditimpa masalah. Tetapi, ada juga orang yang bersikap biasa-biasa saja, masa bodoh, tak mau tahu. Tidak semua orang berbelas kasih ketika menyaksikan orang lain tertimpa musibah. Belas kasihanlah yang menggerakkan seseorang untuk keluar dari dirinya, dari kepentingan pribadinya, lalu mengarahkan hati dan pikirannya kepada orang lain. Belas kasihan menggerakkannya untuk bermurah hati. Yesus, Sang Gembala Agung, tergerak hati-Nya oleh belas kasihan saat melihat orang banyak karena mereka seperti kawanan domba tanpa gembala. Orang-orang dari berbagai kalangan tampak memerlukan bimbingan dan perlindungan. Bertemu dengan orang yang memerlukan bantuan, Yesus tidak berdiam diri. Dan ini yang Dia lakukan: pertama, Dia mengajari mereka banyak hal, lalu memberikan peneguhan dan arahan. Tidak berhenti di situ, Yesus mengajak para murid-Nya untuk memberi mereka makan. Yesus, tidak membiarkan orang-orang menderita kelaparan dan hidup tanpa pengharapan.

Di sekitar kita ada banyak orang menderita. Orang yang sedang bergumul dengan penyakit, orang yang perlu dukungan, empati, dan kehadiran orang lain yang akan memberinya semangat hidup. Melihat kondisi ini, apakah kita tergerak belas kasihan dan melakukan sesuatu untuk memenuhi harapan mereka? --Samuel Yudi Susanto /Renungan Harian


Page 2

Baca: 2 Tesalonika 3:1-15

Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. (2 Tesalonika 3:10)

Bacaan tahunan: 1 Samuel 12-14:23

Pada musim dingin, si belalang melihat sederet semut membawa biji-bijian ke sarang mereka. Kata belalang, "Maukah kamu berbagi sedikit makanan? Saya belum makan apa pun sejak kemarin; saya hampir mati kelaparan." Seekor semut menjawab, "Apa yang kamu lakukan sepanjang musim panas sehingga tidak punya makanan pada musim dingin ini?" Kata belalang, "Saya menghabiskan waktu untuk bernyanyi dan beribadah kepada Tuhan; saya sibuk mempersembahkan berbagai kidung kepada-Nya sehingga saya tidak sempat mengumpulkan makanan untuk musim dingin." Jawab semut. "Kalau begitu, berdoalah terus dan mintalah musim dingin segera pergi." Rombongan semut itu berlalu meninggalkan si belalang. Fabel di atas mengingatkan saya pada ajaran Paulus. Ia menegaskan bahwa orang yang tidak mau bekerja tidak boleh makan. Ia tidak berbicara tentang orang yang tidak mampu bekerja, melainkan orang yang malas atau enggan bekerja. Orang semacam itu hanya akan menjadi benalu di tengah keluarga dan masyarakat. Sebaliknya, orang yang rajin bekerja bukan hanya akan dapat mencukupi kebutuhan pribadi, namun kiranya mendapatkan hasil berlebih untuk membantu orang lain yang kekurangan.

Bekerja tidak lain adalah perwujudan dari iman dan ibadah. Berdoa dan bekerja, dengan demikian, tidak sepatutnya dipertentangkan; keduanya perlu berjalan beriringan. Jika orang menghayati hal ini dengan baik, ia akan bekerja dengan penuh sukacita dan rasa syukur, dan hasilnya pun akan optimal. --Eddy Nugroho /Renungan Harian


Page 3

Baca: Nehemia 5:1-13

Itu akan kami kembalikan! Dan kami tidak akan menuntut apa-apa dari mereka. Kami akan lakukan tepat seperti yang engkau perintahkan! (Nehemia 5:12)

Bacaan tahunan: 1 Samuel 14:24-16

Direktur perusahaan menegur manager keuangan yang terbukti menyelewengkan dana perusahaan. Manager itu tidak mau mengakuinya dan terus mengelak dengan berbagai alasan. Bukannya meminta maaf dan memperbaiki kesalahannya, ia justru marah serta mengancam sang direktur, karena merasa telah dipermalukan dan sakit hati oleh teguran itu. Sikap yang berbeda justru ditunjukkan oleh para orang kaya yang ditegur oleh Nehemia. Mereka menyadari kesalahan dan memperbaiki sikap mereka. Pada masa pembangunan kembali tembok Yerusalem, banyak orang terpaksa menggadaikan tanah, bahkan menjadikan anak sebagai jaminan, untuk membeli gandum dan membayar pajak kepada raja. Namun, orang kaya tersebut justru memanfaatkan keadaan untuk mengambil keuntungan besar. Nehemia menegur mereka dengan tegas dan keras. Menerima teguran, mengakui kesalahan, dan memperbaiki diri bukanlah perkara mudah bagi mereka yang berstatus sosial tinggi dan terpandang. Namun, mereka dengan rendah hati menuruti perintah Nehemia.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita pun siap menerima teguran ketika bersalah, termasuk ketika firman Tuhan menyatakan pelanggaran kita? Atau, kita malah marah karena merasa dipermalukan? Apakah kita bersedia mengakui kesalahan dan memperbaiki diri? Kiranya Tuhan memampukan kita untuk rendah hati dan rela dievaluasi serta siap sedia memperbaiki diri. Dengan demikian, kehidupan kita semakin berkualitas dan tidak merugikan sesama. --Rellin Ayudya /Renungan Harian


Page 4

Baca: 2 Korintus 2:12-17

Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu memimpin kami di jalan kemenangan-Nya. Dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana. (2 Korintus 2:14)

Bacaan tahunan: 1 Samuel 17-18

Suatu hari, Matthew Henry, seorang pengajar Alkitab, dirampok. Perampok itu merampas semua isi dompetnya dan tidak meninggalkan apa pun. Saat tiba di rumah, ia membuka agendanya dan menulis, "Aku bersyukur kepada Tuhan. Pertama, sebelumnya aku tidak pernah dirampok. Kedua, walaupun ia mengambil dompetku, ia tidak mengambil nyawaku. Ketiga, jumlah uangku yang diambil tidak banyak. Dan keempat, akulah yang dirampok, bukan aku yang merampok." Sangat menyenangkan berada di antara orang-orang yang penuh rasa syukur.Mereka mengisi sebuah ruangan dengan sikap optimisme, rasa damai, dan pikiran yang positif. Dalam suratnya kepada orang percaya di Korintus, Paulus mengatakan bahwa orang yang demikian seperti wewangian harum yang membangkitkan kesenangan di setiap sudut ruangan. Sebaliknya, orang yang bersungut-sungut menebarkan bebauan juga, tetapi tidaklah harum. Mereka membuat orang sekitar menjadi muram, geram, kesal.

Kalau direnungkan, apa sebenarnya yang membuat orang mampu bersyukur? Mereka dapat mengingat berkat Allah pada masa lalu dan menyadari bahwa Allah masih menyediakan hal yang luar biasa. Jangan beranggapan bahwa pribadi yang bersyukur itu buta terhadap kenyataan hidup yang sulit. Mereka pun tidak kebal terhadap persoalan. Tapi, pengharapan yang mereka miliki mengalihkan fokus dari kekecewaan dan sakit hati kepada karakter Allah. Orang itu yakin cepat atau lambat Dia akan memberikan pemahaman, kekuatan, bahkan berkat yang diperlukan. --Imelda Saputra /Renungan Harian


Page 5

Baca: Efesus 2:1-10

Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya. (Efesus 2:10)

Bacaan tahunan: 1 Samuel 19-21

Puisi yang baik termasuk karya seni bernilai tinggi, disajikan dengan pemilihan kata yang jitu dan bernas. Penyair yang terampil dapat menghasilkan puisi yang elok dan sarat makna, serta dapat dikenang sampai berabad-abad. Dan, setiap puisi yang baik memiliki keunikan dan keindahan tersendiri. Puisi berasal dari kata Yunani poieô, yang darinya kata poem (syair atau sajak) dan poetry (puisi) berasal. Kata ini juga dapat berarti "ciptaan" atau "buatan" seperti yang dipakai Paulus dalam ayat ini. Ia mengingatkan jemaat Efesus bahwa masing-masing orang percaya adalah hasil karya Allah yang unik di dalam Kristus. Masing-masing didesain Allah secara khusus dengan tujuan tertentu yang Dia siapkan. Manusia bukanlah produk massal buatan pabrik; masing-masing orang ibarat karya khusus yang dirancang seorang ahli. Itulah sebabnya tidak ada manusia yang persis sama dengan orang lain, baik secara fisik maupun kepribadiannya. Tiap-tiap orang adalah karya Allah yang istimewa.

Paulus mengingatkan orang percaya untuk menyadari identitas mereka: orang yang sudah diselamatkan karena anugerah, dengan tujuan agar nama Tuhan dimuliakan. Masing-masing kita dirancang untuk memuliakan Dia dengan beragam cara. Dia mau kita menjadi diri sendiri sesuai dengan rancangan-Nya. Artinya, kita menerima diri sendiri dan berkarya bagi Allah, tidak berusaha menjadi orang lain yang mungkin lebih hebat menurut kita. Dengan menyadari hal ini, kita akan semakin menghormati diri sendiri dan orang lain. Ingatlah, Anda adalah puisi Allah. --Hembang Tambun /Renungan Harian


Page 6

Baca: 1 Samuel 1:1-18

Demikianlah terjadi dari tahun ke tahun; setiap kali Hana pergi ke rumah TUHAN, Penina menyakiti hati Hana, sehingga ia menangis dan tidak mau makan. (1 Samuel 1:7)

Bacaan tahunan: 1 Samuel 22-24

Dalam hidup, terkadang kita dapat mengalami apa yang disebut sudah jatuh ditimpa tangga. Karena sebuah kesalahan sepele, kita kena damprat bos. Kita pun harus mengerjakan lagi pekerjaan itu dari awal dan harus lembur di kantor. Lalu, dengan tubuh penat kita pulang mengendarai motor tua. Baru separuh jalan, tiba-tiba motor macet, kehabisan bensin. Terpaksalah kita menuntunnya. Sesampai di rumah, istri sudah menunggu. Bukan dengan sapaan ramah, tapi omelan karena kita pulang larut malam. "Mengapa sepanjang hari ini aku mengalami situasi yang menyebalkan?" pikir kita. Hana pun mengalami berbagai kemalangan secara bertubi-tubi. Hati perempuan mana yang tidak pilu jika tidak mampu memberikan keturunan untuk sang suami? Saat itu, hal ini sebuah aib besar, dan Hana pun merasakan kepiluan ini. Tidak berhenti di situ, Penina, istri Elkana yang lain, setiap kali bertemu selalu menyakiti hati dan merendahkan Hana. "Mengapa semua penderitaan ini bertubi-tubi menimpaku?" demikianlah kiranya jeritan hati Hana. Hana sungguh mengalami apa yang disebut: sudah jatuh ditimpa tangga.

Memang tidak nyaman ketika kita harus menderita secara beruntun dan seolah-olah tidak terlihat ada jalan keluar. Namun, dalam situasi seperti itulah kita diminta untuk tetap tenang, sabar, dan banyak berdoa. Ya, Tuhan mendengar dengan jelas kepiluan hati kita. Dan nyatalah bahwa doa yang kita naikkan dengan hati yang hancur, tidak dipandang hina oleh Tuhan. Seperti terbukti dalam hidup Hana. --Samuel Yudi Susanto /Renungan Harian


Page 7

Baca: Kejadian 2:8-17

TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. (Kejadian 2:15)

Bacaan tahunan: 1 Samuel 25-27

Seperti apa masa depan dalam imajinasi kita? Di film Elysium, bumi digambarkan sudah begitu buruk dan tercemar hingga sejumlah kelompok elite yang berduit tinggal di stasiun luar angkasa bernama Elysium. Di sana tiap orang dimanjakan dengan fasilitas kesehatan nan canggih, sedangkan orang-orang miskin yang tertinggal di bumi hidup menderita. Konsep yang hampir mirip juga dipaparkan dalam film animasi Wall-E. Bayangan buruk tentang masa depan bumi seperti itu sangat berlawanan dengan indahnya Taman Eden yang kita baca hari ini. Alkitab mengenalkan kita pada rencana awal Tuhan untuk manusia: Dia menempatkan kita di lokasi yang sesuai untuk hidup kita, dan kita dipanggil untuk berkarya; tak hanya mengusahakan, tapi juga memelihara. Mengusahakan berarti melakukan tugas terbaik sesuai panggilan pribadi kita: kontraktor, guru, pebisnis, dll. Adapun memelihara berarti kita harus bertanggung jawab dalam berusaha, dengan mengingat bumi ini sesungguhnya milik Tuhan.

Begitu banyak prediksi dan penelitian seputar isu lingkungan hidup dan masa depan bumi, yang mungkin hanya kita perhatikan sambil lalu. Hari ini kehancuran lingkungan hidup mungkin terasa hanya fiksi, namun bukan tidak mungkin menjadi nyata jika kita terus tidak peduli. Bagaimanapun, kita adalah bagian dari bumi ini. Nama "Adam" dalam bahasa Ibrani diambil dari kata adama, yang berarti tanah. Mari kita jaga bumi yang sudah Tuhan percayakan pada kita, melalui berbagai tindakan dalam keseharian kita. --Olivia Elena /Renungan Harian


Page 8

Baca: 1 Korintus 13:8-13

Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa lidah akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. (1 Korintus 13:8)

Bacaan tahunan: 1 Samuel 28-31

Pasangan senior ini istimewa bagi saya. Sebut saja namanya Bapak Thomas dan Ibu Amanda. Dalam usia 90-an, Pak Thomas telah sangat berkurang pendengarannya. Alat bantu dengar pun tak sepenuhnya menolong. Tak jarang reaksinya hanya tersenyum karena tak sepenuhnya paham akan perkataan orang. Atau, ia bereaksi menyimpang dari topik pembicaraan. Hanya ada satu orang yang dengannya ia masih dapat berkomunikasi dengan tepat, yaitu Bu Amanda, istrinya. Kasih dan kebersamaan yang berlangsung sekian lama membuat mereka sanggup saling mengerti melampaui keterbatasan indra fisik. Di antara mereka berdua terjalin bahasa hati. Waktu memang dapat mengikis habis segala kemampuan kita berkomunikasi. Ketika seseorang menjadi tua, bahkan uzur, segalanya menjadi berubah. Jari tak lagi lincah bermain di atas papan ketik. Tangan gemetar. Bibir enggan berucap. Telinga tak lagi tajam mendengar. Otak lamban menangkap informasi. Bahkan ada yang disergap penyakit pikun. Mungkin kita bertanya, bagaimana orang-orang seperti ini berkomunikasi dengan Tuhan?

Syukurlah, komunikasi kita dengan Tuhan tidak bergantung pada alat-alat, baik indra kita maupun perlengkapan elektronik, melainkan pada kasih. Kasih melampaui segala media. Kasih mengerti desah napas, gerak jari, getar bibir, dan titik air mata. Kasih itu menembus segala batas. Kasih itu kekal. Bahkan ketika semua media komunikasi rusak, kasih tetap tinggal di hati. Menjadi bahasa hati. Menjadi bahasa yang abadi. --Pipi A Dhali /Renungan Harian


Page 9

Baca: Mazmur 22:23-32

Mereka akan memberitakan keadilan-Nya kepada bangsa yang akan lahir nanti, sebab Ia telah melakukannya. (Mazmur 22:32)

Bacaan tahunan: 2 Samuel 1-2

Pernahkah hati kita galau seolah Tuhan meninggalkan kita? Memang berat beban yang harus kita tanggung kala persoalan demi persoalan menimpa, tetapi jalan keluar tak kunjung tiba. Saya pernah mengalaminya. Mazmur 22 ini memberi pelajaran berharga tentang iman. Setelah merenungkannya, saya merasakan beban yang menindih itu akhirnya terangkat. Bagian kedua Mazmur 22 adalah pernyataan iman si pemazmur bahwa Allah yang ia sembah adalah Allah yang peduli kepada orang yang tertindas. Pemazmur pun bangkit dari kegalauan perasaan diabaikan oleh Tuhan dan mulai mengajak umat untuk memuji Dia. Pemazmur tidak mau tunduk pada perasaan galaunya. Ia tidak mau menyerah dalam kondisi yang terasa berat. Sebaliknya, ia memercayakan diri pada keadilan dan kekuasaan Tuhan dan menganggap Tuhan sudah turun tangan untuk menolongnya. Bersyukur, memuji Tuhan, dan mengajak umat menyembah Tuhan adalah sebuah tindakan iman. Dengan beriman, pada saat penantian pun kita sudah memercayakan diri pada Tuhan dan sudah melihat dengan kaca mata iman penyelesaian yang Dia lakukan.

Pujian kepada Allah selalu mengangkat hati manusia ke tempat yang lebih tinggi. Pujian yang tulus memberikan ruang kepada si pemuji untuk melihat keperkasaan Allah di takhta-Nya yang mahatinggi. Pada saat yang sama, si pemuji pun akan melihat bahwa persoalan dirinya yang begitu membelenggu dan menghimpitnya ternyata jauh lebih kecil dari kebesaran dan kedahsyatan Allah. Oleh karena itu, mari kita memuji Tuhan senantiasa. --Eddy Nugroho /Renungan Harian


Page 10

Baca: Mazmur 26:1-12

TUHAN, aku cinta pada rumah kediaman-Mu dan pada tempat kemuliaan-Mu bersemayam. (Mazmur 26:8)

Bacaan tahunan: 2 Samuel 3-5

Apa gambaran Anda tentang rumah impian? Sebagian orang mungkin berpikir tentang sebuah bangunan yang cantik lengkap dengan tamannya. Sebagian lagi berpikir tentang ruang keluarga yang nyaman. Tetapi, bagaimana kalau kita harus tinggal seorang diri di rumah impian itu sampai tua dan akhirnya mati di sana. Ironis, bukan? Kita ingin tinggal di rumah bersama orang-orang yang kita kasihi. Kalau kita disuruh memilih antara tinggal di rumah impian seorang diri atau di rumah yang kurang bagus tapi bersama orang yang kita kasihi, pasti kita memilih yang kedua. Demikanlah, rumah ideal itu bukanlah soal gedungnya, melainkan kebersamaan yang kita nikmati dengan orang yang kita kasihi. Begitu pula rumah sejati kita, yang sering disebut dengan "hidup kekal" atau "surga", bukan terutama soal tempat, melainkan kedekatan dengan Tuhan dan pengenalan akan Dia (Yoh 17:3). Karena itu, saat ini, dalam hidup ini, kita sudah mulai tinggal di rumah sejati kita, meski tentunya belum sempurna. Nampaknya rumah seperti ini juga yang dimaksudkan Daud dalam mazmurnya. Rumah tempat Tuhan bersemayam, bersekutu akrab dengan umat-Nya, memberikan perlindungan dan kekuatan.

Di tengah hidup yang melelahkan di dunia ini, terkadang kita rindu untuk segera "pulang". Syukurlah, kita tidak harus menunggu kematian datang untuk berada di rumah sejati kita. Kita bisa mengalaminya saat ini juga dengan membuka hati dan pikiran kepada Allah, menikmati kehadiran-Nya, dan bersekutu dengan-Nya. --Alison Subiantoro /Renungan Harian


Page 11

Baca: Lukas 7:36-50

Karena itu, Aku berkata kepadamu: Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak mengasihi. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia mengasihi. (Lukas 7:47)

Bacaan tahunan: 2 Samuel 6-9

Ada orang yang tidak menyukai kata-kata dalam lagu Amazing Grace, yaitu pada bagian "that saved a wretch like me" (yang menyelamatkan orang sebrengsek saya). Kata-kata itu dianggap melemahkan semangat, memandang diri hina, dan tidak sesuai dengan ajaran Alkitab yang menghargai harkat manusia. Padahal, ketika menuliskan lagu tersebut, John Newton benar-benar menghayati betapa buruk dirinya. Ia pernah terlibat dalam perdagangan budak selama bertahun-tahun. Ketika berjumpa Kristus, penyesalan dan keharuan menyelimuti hatinya. Ia pun menuangkan perasaan hatinya melalui lagu yang termasyhur tersebut. Keharuan besar juga meliputi hati perempuan berdosa yang meminyaki kaki Yesus sambil menangis tiada henti. Ia bahkan menyeka kaki Yesus dengan rambutnya. Pada masa itu, tidaklah sopan seorang perempuan menggerai rambutnya di muka umum. Bukan itu saja, ia juga mencium kaki Yesus. Diam-diam orang Farisi yang mengundang makan Yesus merasa risih. Sebaliknya, Yesus justru melihat kasih di balik tindakan ekstrem perempuan ini, kasih karena bersyukur atas pengampunan Yesus terhadap dosanya yang besar (ay. 47).

Entah kita memiliki dosa besar atau kecil pada masa lalu, tiap-tiap kita berhutang amat besar kepada Yesus. Yesus membayar lunas hutang dosa kita dengan harga yang tak ternilai, dengan darah-Nya sendiri yang tak bernoda dan tak bercacat (1 Pet 1:18-19). Bila kita benar-benar menghayatinya, niscaya kita termotivasi untuk mengungkapkan kasih kepada-Nya. --Heman Elia /Renungan Harian


Page 12

Baca: Lukas 4:16-30

Mereka bangkit, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu. (Lukas 4:29)

Bacaan tahunan: 2 Samuel 10-12

Perintang jalan ada di depan. Seorang polisi perbatasan berdiri dengan tangan terentang saat sebuah mobil mendekat. Ia membungkukkan badan dan memberitahukan bahwa sebuah jembatan telah hancur tak jauh dari situ. Si pengemudi menjawab, "Saya tidak percaya pada Anda. Menurut saya, Anda bukan polisi asli. Silakan minggir, saya harus menghadiri pertemuan bisnis!" Si pengemudi tidak menghiraukan peringatan karena ia tidak percaya bahwa yang berdiri di hadapannya benar-benar seorang polisi. Ya, apa yang kita percayai tentang seseorang dapat memengaruhi keputusan kita. Suatu kali Yesus mengajar banyak orang di sebuah rumah ibadat di Nazareth tempat Dia dibesarkan. Orang-orang takjub dan heran mendengar pengajaran-Nya. Tetapi, mereka tidak percaya akan ketuhanan Yesus, dan berkata, "Kami tahu siapa Engkau sebenarnya. Engkau adalah anak Yusuf dan Maria orang Galilea. Kami kenal siapa saudara-saudara-Mu. Mungkin Engkau seorang nabi, tetapi Engkau bukan Anak Allah!" Akibatnya, mereka menolak Yesus sebagai Tuhan (ay. 29).

Apakah kita mengakui Yesus sebagai Tuhan atas hidup kita dan hidup dalam firman-Nya? Ketika kita memutuskan untuk percaya pada Yesus Kristus sebagai Tuhan, kita akan menjadi orang yang benar-benar mengasihi-Nya. Kita akan menunjukkan kepercayaan itu dengan menaati ucapan-Nya. Kehidupan-Nya akan memengaruhi kehidupan kita karena Dia ada dalam hati kita. Kehidupan-Nya akan terpancar di dalam dan melalui kehidupan kita dalam setiap segi. --Samuel Yudi Susanto /Renungan Harian


Page 13

Baca: Mazmur 86

Ya Tuhan, Engkau begitu baik dan murah hati, cepat mengampuni dan penuh kemurahan bagi semua orang yang meminta pertolongan-Mu. (Mazmur 86:5, FAYH)

Bacaan tahunan: 2 Samuel 13-14

Suatu ketika, keluarga kami hendak menambah daya listrik di rumah. Seorang saudara merekomendasikan temannya untuk mengurus keperluan tersebut. Setelah uang diberikan pada orang itu, nyatanya urusan tidak kunjung beres. Setelah diselidiki, ternyata orang tersebut bukan petugas resmi PLN. Ketika saya meminta pertanggungjawabannya, hanya janji palsu yang saya dapatkan. Sesaat, saya sempat sakit hati kepada saudara saya dan orang itu, tetapi akhirnya saya dimampukan untuk mengampuni sehingga hubungan kami kembali seperti semula. Allah kita dikenal suka mengampuni. Alkitab Firman Allah Yang Hidup menuliskan, selain baik dan murah hati, Allah kita cepat mengampuni. Cepat mengampuni artinya tidak membutuhkan waktu lama bagi Allah untuk mengampuni dosa atau kesalahan manusia. Hal ini bukan berarti manusia dapat berbuat dosa seenaknya. Konsekuensi perbuatan dosa tetap harus ditanggung, tetapi bagi mereka yang memerlukan pengampunan, Dia akan memberikan dengan sangat cepat. Bahkan sebelum perbuatan dosa dilakukan, keputusan Allah untuk mengampuni sudah bulat. Kuasa darah Yesus sudah tercurah bagi manusia yang masih berdosa (Rm 5:8).

Bagi mereka yang telah diampuni, Dia hanya meminta agar pengampunan tersebut diteruskan kepada orang lain. Seberapa cepat? Secepat mungkin! Kecepatan mengampuni bisa jadi tidak sama untuk setiap orang, tetapi kita perlu target yang sama: semakin lama hidup di bumi, semakin cepat mengampuni. --Widodo Suryaputra /Renungan Harian


Page 14

Baca: Yohanes 6:1-14

Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apa artinya itu untuk orang sebanyak ini? (Yohanes 6:9)

Bacaan tahunan: 2 Samuel 15-16

Kisah Tasripin sungguh mengharukan dan menarik simpati banyak orang. Bocah dua belas tahun asal Banyumas ini rela meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja supaya bisa menghidupi tiga orang adiknya. Ia kehilangan kesempatan untuk belajar karena harus mengasuh mereka. Sungguh pengurbanan yang sangat besar bagi anak seusianya. Bacaan hari ini juga menunjukkan pengurbanan seorang anak kecil. Ia tidak menyangka bekalnya harus dibagi dengan orang banyak. Ia merelakan lima roti jelai dan dua ikan bawaannya diminta oleh para murid. Saya membayangkan anak itu tidak serta-merta menyerahkan bekalnya; para murid perlu memberinya pengertian dulu. Lima roti dan dua ikan sepertinya memang tidak ada artinya dibandingkan dengan 5.000 orang lebih yang perlu makan. Tetapi, melalui kerelaan sang anak, lima ribu orang yang mengikuti Yesus bisa makan. Meskipun Yesus bisa saja memberi mereka makan dengan cara lain, Dia memilih memakai anak kecil ini untuk memberikan pelajaran kepada para pengikutnya. Hal kecil yang kurang berarti bisa menjadi berkat bagi banyak orang ketika dengan rela diserahkan kepada Tuhan.

Kita dapat meneladani sikap anak kecil itu. Adakalanya kita merasa belum bisa memberikan sesuatu bagi Tuhan karena kita menganggap kepunyaan kita hanya sedikit. Kita lantas berpikir nanti saja, kalau sudah punya berlebih baru memberi. Tetapi, Tuhan lebih memedulikan kerelaan kita. Seberapa pun pemberian kita, Dia dapat memakainya untuk memberkati orang banyak. --Yakobus Budi P /Renungan Harian


Page 15

Baca: Matius 26:36-46

Lalu kata-Nya kepada mereka, "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku." (Matius 26:38)

Bacaan tahunan: 2 Samuel 17-18

Pada 11 September 2001, United Airline No. 93 (UA) dikuasai pembajak, hendak ditabrakkan ke gedung kembar World Trade Center, New York. Heather Penney, seorang pilot perempuan, ditugasi untuk menabrakkan pesawatnya ke pesawat UA tersebut. Bukan hanya menjalankan misi bunuh diri, bisa jadi ia juga akan menewaskan ayahnya, yang mungkin menjadi pilot pesawat yang dibajak itu. Ia siap untuk mengurbankan diri dan hubungan dengan ayah tercinta demi mengemban tugas negara dalam upaya menyelamatkan banyak nyawa. Namun, akhirnya ia tak jadi tewas. Para penumpang UA sendiri melawan para pembajak dan membelokkan pesawat sehingga jatuh di Pennsylvania. Yesus Kristus, Putra Allah, mengalami ketegangan yang lebih mencekam dan menggentarkan. Dia bergumul untuk mengurbankan diri-Nya dan melepaskan hubungan kasih dengan Bapa-Nya di surga untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran karena kutuk dosa. Dan, Dia menjalani misi ini sampai tuntas.

Nas hari ini mengungkapkan pergumulan Yesus di Getsemani dengan bahasa manusia, dengan ungkapan yang terbatas: "Hati-Ku sangat sedih seperti mau mati rasanya". Di bagian lain, "Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah" (Luk 22:44). Yesus rela berkurban demi ketaatan-Nya kepada Bapa surgawi, memanggul salib menuju Golgota, ditolak dan ditinggalkan Bapa-Nya, demi memikul kutuk dosa manusia. Kematian-Nya membayar lunas semua dosa saya dan dosa Anda. Apakah hidup kita melimpah dengan ucapan syukur atas penebusan-Nya ini? --Susanto /Renungan Harian


Page 16

Baca: Matius 27:45-50

Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya. (Matius 27:50)

Bacaan tahunan: 2 Samuel 19-20

Bagaimanakah perasaan Anda ketika Anda harus berkurban untuk orang lain? Bagaimana jika orang yang untuknya Anda berkurban itu ternyata tidak menghargai pengurbanan itu atau bahkan menolak pengurbanan itu? Kita dapat membayangkan sekilas perasaan Tuhan Yesus ketika Dia menjalani hukuman salib. Dia yang tiada berdosa, namun rela menderita bahkan sampai mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia. Kita dapat memahami jika Yesus merasa pedih ketika manusia justru menolak dan mencemooh diri-Nya, bahkan menyiksa-Nya dengan brutal. Sebagai seorang manusia, Yesus juga tercekam ketakutan yang mendalam karena Allah yang mengutus-Nya seakan-akan meninggalkan Dia. Dia berseru kepada Allah, "Eli, Eli lama sabakhtani --Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku" (ay. 46). Tuhan Yesus Mahakuasa dan mampu menghindari hukuman salib itu. Akan tetapi, karena kasih-Nya, Anak Allah memilih menyerahkan nyawa-Nya untuk menyelamatkan manusia (ay. 50).

Setiap Jumat Agung, kita memperingati pengurbanan dan kematian Tuhan Yesus. Apakah kita masih merasakan getaran kematian-Nya yang menghapus dosa kita? Ataukah, perayaan Jumat Agung hanya menjadi ritual tahunan? Jika Yesus yang tanpa dosa telah rela berkurban demi kita yang penuh dosa ini, maukah kita juga berkurban demi sesama kita untuk mewartakan kabar baik dan keselamatan yang Tuhan anugerahkan? Sekalipun kita mungkin ditolak atau tidak dihargai, biarlah hal itu tidak menyurutkan keikhlasan kita. --Eko Iswanto /Renungan Harian


Page 17

Baca: Yohanes 19:28-30

Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia, "Sudah selesai." Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya. (Yohanes 19:30)

Bacaan tahunan: 2 Samuel 21-22

Ketika melayat orang yang meninggal dunia, khususnya jika almarhum masih muda, saya sering mendengar ungkapan kesedihan anggota keluarga tentang harapan yang belum terkabul atau cita-cita yang belum teraih. Itu karena ketidaktahuan manusia akan kapan ajalnya, sekaligus menunjukkan ketidakberdayaan manusia. Berbeda dengan Yesus. Walaupun Dia meninggal pada usia muda, Dia telah menyelesaikan misi hidup-Nya dengan tuntas, yaitu menjadi kurban bagi keselamatan manusia. Semua dijalani-Nya dengan tekun sehingga di tiang salib Golgota, Dia dapat berkata tetelestai, yang artinya "Sudah selesai". Kata ini berasal dari kata kerja teleô, yang artinya "mengakhiri, mewujudkan, dan menyelesaikan dengan sempurna". Dalam penemuan arkeologis, kata ini tertulis dalam dokumen bisnis atau nota yang menunjukkan utang yang telah dibayar, sama seperti tukang kredit zaman sekarang menulis kata "lunas" pada surat utang. Kata ini juga diucapkan pelukis atau pemahat saat menyelesaikan karyanya dan menyimpulkan ia tidak perlu menambahkan apa pun lagi. Kata ini dalam bentuk past perfect tense, menunjukkan tindakan penebusan yang telah selesai pada masa lalu dengan hasil yang tetap berlanjut sampai sekarang.

Karya penebusan Kristus telah lengkap dan paripurna. Usaha kita untuk memperoleh keselamatan tidak diperlukan sama sekali. Menerima dan mensyukuri anugerah-Nya adalah respons terbaik kita. Dia juga mengajarkan kita untuk setia mewartakan kabar baik Allah hingga hembusan napas penghabisan. --Hembang Tambun /Renungan Harian


Page 18

Baca: 1 Korintus 15:35-58

Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati. (1 Korintus 15:53)

Bacaan tahunan: 2 Samuel 23-24

Uang logam Spanyol sebelum 1492 menunjukkan Selat Gibraltar dengan tulisan berbahasa Latin Ne plus ultra --tidak ada apa-apa lagi di luar sana. Namun, sesudah Columbus kembali dari perjalanannya menemukan Benua Amerika, mereka menerbitkan uang logam baru, dan tulisannya berbunyi Plus ultra --masih ada banyak hal lain di luar sana. Ketika Yesus Kristus mati di kayu salib dan dikuburkan, boleh jadi para murid berpikir, selesailah sudah perjuangan mereka. Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan setelah Guru mereka meninggal. Namun, saat Dia bangkit kembali dari antara orang mati dan berulang-ulang menampakkan diri pada mereka, tak ayal cara pandang dan pengharapan mereka berubah. Kebangkitan-Nya menunjukkan bahwa kematian bukanlah titik akhir. Paulus menggambarkan kematian sebagai saat ketika "yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati" (ay. 53). Melampaui kematian, ada kehidupan yang lebih mulia dan lebih berlimpah. Maut tidak lagi berkuasa (ay. 54-55), sedangkan kehidupan kekal berlangsung selamanya. Oleh kemenangan-Nya atas maut, perjuangan mereka dalam kehidupan saat ini tidak sia-sia (ay. 58).

Hari ini kita merayakan Minggu Kebangkitan. Kita dapat memandang Juru Selamat yang telah bangkit. Hati kita dapat berpaut pada pengharapan akan kehidupan kekal itu. Hidup kita saat ini bukan perjalanan yang sia-sia dan, sesudah kematian pun, masih ada kehidupan yang lebih mulia! --Arie Saptaji /Renungan Harian


Page 19

Baca: Hakim-hakim 5

... Debora, bangkit sebagai ibu di Israel ... Diberkatilah Yael, isteri Heber, orang Keni itu, melebihi perempuan-perempuan lain ... (Hakim-hakim 5:7, 24)

Bacaan tahunan: 1 Raja-Raja 1-2:25

Tiga pria berjalan sampai di tepi sungai deras. Bagaimana mereka menyeberang? Pria pertama berdoa, "Tuhan, beri aku kekuatan untuk menyeberang." Maka, Tuhan memberinya tangan dan kaki yang kuat; ia bisa menyeberang dalam waktu dua jam. Pria kedua berdoa, "Tuhan, beri aku kekuatan dan kemampuan untuk menyeberang." Maka, Tuhan memberinya perahu; ia bisa menyeberang dalam waktu satu jam. Pria ketiga pun berdoa, "Tuhan, beri aku kekuatan, kemampuan, dan kecerdasan untuk menyeberangi sungai ini." Sungguh mengejutkan, Tuhan mengubahnya menjadi perempuan! Dengan tenang si perempuan mengambil peta, lalu menyeberang lewat jembatan! Humor di atas bukan untuk merendahkan kaum pria, tetapi untuk meneguhkan perempuan bahwa Tuhan juga memberi hikmat bagi mereka. Bahwa perempuan bukan golongan nomor dua, melainkan kaum yang dicipta Allah secara istimewa. Tuhan memberi perempuan kekuatan unik, lewat kepekaan dan kerajinannya. Tuhan memberi perempuan kelebihan spesial, lewat sikap keibuan dan keteguhannya. Semuanya Tuhan karuniakan, agar perempuan siap menjalani peran yang Tuhan sediakan baginya.

Debora dan Yael adalah para perempuan yang menjalankan peran dengan baik saat Tuhan melibatkan mereka dalam rencana-Nya. Debora dengan sikap keibuannya, menjadi pengayom bagi Israel. Yael, dengan kesempatan yang datang padanya, menggunakan hikmat Tuhan untuk menaklukkan Sisera. Keduanya perempuan, keduanya menggunakan hikmat, keduanya menjadi pelaku rencana Allah. --Agustina Wijayani /Renungan Harian


Page 20

Baca: Lukas 22:39-46

Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau berkenan, ambillah cawan ini dari hadapan-Ku; tetapi jangan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi. (Lukas 22:42)

Bacaan tahunan: 1 Raja-Raja 2:26-4

Apa yang dilakukan remaja untuk mendapatkan gadget canggih yang diincarnya? Seorang pelajar 17 tahun di Batam nekat merampok temannya sendiri bermodalkan pistol korek api untuk memuaskan keinginannya itu. Kita mungkin mengelus dada membaca berita itu. Namun, bukankah kita kerap bersikap seperti itu kepada Allah? Kita berdoa supaya Allah mengabulkan permohonan kita, melepaskan beban yang berat, dengan cara kita. Kita mengancam akan meninggalkan pelayanan atau tidak lagi ke gereja jika Tuhan tidak mau mengabulkan permohonan tersebut. Doa menjadi "todongan pistol" kepada Allah agar mengikuti kemauan kita. Di Taman Getsemani, di tengah pergulatan berat menjelang sengsara di kayu salib (ay. 44), Yesus meneladankan hakikat doa yang sesungguhnya. Jika kita mencermatinya, di dalam doa-Nya terasa adanya ketegangan antara kehendak-Nya dan kehendak Bapa. Ada saat ketika Yesus ingin sekali melepaskan cawan yang pahit itu (ay. 42a). Namun, kalimat yang mengiringinya, "tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi" (ay. 42b) mengajarkan bahwa kita perlu bersikap penuh kerelaan untuk tetap taat kepada kehendak Bapa.

Apakah Anda tengah bergulat antara mengikuti keinginan diri sendiri dan patuh pada kehendak Tuhan? Doa Yesus di Taman Getsemani memberikan teladan yang sempurna bagi kita. Dia ingin kita belajar berserah pada kehendak Bapa. Percayalah, menyerahkan diri secara total kepada Tuhan akan memberi kekuatan dan kesiapan dalam menghadapi semua tantangan. --Dewi Kurnianingsih /Renungan Harian


Page 21

Baca: Yohanes 20:19-23

Sesudah berkata demikian, Ia menunjukkan tangan-Nya dan lambung-Nya kepada mereka. Murid-murid itu bersukacita ketika mereka melihat Tuhan. (Yohanes 20:20)

Bacaan tahunan: 1 Raja-Raja 5-7

Kulit kita tidak mulus. Entah kecil entah besar, setiap orang punya bekas luka di tubuhnya. Ada yang terlihat jelas, ada yang tidak kentara. Sekadar goresan kecil atau bekas jahitan operasi. Ada yang tersembunyi di balik busana, ada yang terlihat oleh siapa saja. Begitulah kehidupan nyata ini, selalu menghadirkan risiko terluka. Ketika Tuhan kita bangkit, Dia memilih menjumpai para murid dengan bekas luka pada tubuh-Nya. Bukankah hal itu hanya mengingatkan mereka akan kekejian penyaliban sekaligus menguak luka mereka sendiri? Kala itu mereka takut, sedih, marah, kecewa, malu, merasa bersalah, putus asa-semuanya itu menorehkan luka dalam di hati masing-masing. Yang ditutupi rapat-rapat. Namun, Tuhan yang bangkit malah menunjukkan luka-Nya. Luka di Jumat Agung menampakkan bekasnya di fajar Paskah. Kenapa? Dia ingin para murid tahu, kasih-Nya tetap kendati mereka terluka. Tak perlu menyembunyikan luka, sebab Tuhan tidak berubah karena mereka terluka. Dia Tuhan yang terluka dan tahu persis bagaimana menyapa orang yang terluka. Tak heran para murid bersukacita melihat Tuhan dengan bekas luka-Nya.

Terlalu sering kita menelan saja pengertian: orang kristiani harus "sehat", "tegar", "suci"-tak punya luka. Akibatnya, tak sedikit orang kristiani yang menekan perasaan atau berpura-pura. Padahal, terluka adalah bagian dari kehidupan. Tak perlu ditutupi. Ungkapkan dan perlihatkan pada Yesus. Dia tahu bagaimana menangani luka-luka kita. --Pipi A Dhali /Renungan Harian


Page 22

Baca: Kolose 1:1-14

Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang terkasih. (Kolose 1:13)

Bacaan tahunan: 1 Raja-Raja 8

Bayangkanlah diri Anda perempuan pelacur di negeri yang menganggap pelacuran sebagai kejahatan yang layak diganjar dengan hukuman mati. Suatu hari Raja menyatakan pengampunan penuh pada semua pelacur. Anda tentu menyambutnya sebagai kabar baik, bukan? Anda tidak perlu lagi bersembunyi ketakutan dari kejaran polisi kerajaan. Anda tidak lagi dianggap sebagai penjahat. Namun, apakah pengampunan itu memotivasi Anda untuk berubah? Bisa jadi tidak. Tekanan hidup mungkin memaksa Anda tetap melacur. Sekarang, bayangkanlah Raja tidak berhenti di situ. Selain mengampuni, ia secara khusus juga meminang Anda menjadi permaisurinya. Anda diangkat menjadi ratu! Hidup Anda sontak berubah! Nah, apakah Anda akan terus melacur? Paulus mengucap syukur atas perubahan hidup yang dialami jemaat Kolose setelah mereka percaya pada berita Injil. Perubahan hidup itu terjadi oleh berkat ganda penebusan. Pertama, mereka dimerdekakan dari kuasa kegelapan. Oleh pencurahan darah Kristus, dosa mereka --yang membelenggu mereka dalam kegelapan-diampuni. Tidak berhenti di situ, Allah juga memindahkan mereka ke dalam Kerajaan Anak-Nya, menjadikan mereka anak-anak Kerajaan. Mereka mendapatkan kehidupan yang baru sepenuhnya.

Jika Anda belum percaya pada berita Injil, sambutlah berkat ganda itu sekarang juga. Jika Anda sudah percaya, teruslah hidup dalam berkat penebusan ini: bahwa dosa Anda sudah diampuni dan bahwa Anda sekarang adalah anak Allah. --Arie Saptaji /Renungan Harian


Page 23

Baca: 2 Raja-Raja 2:19-22

Kemudian pergilah ia ke mata air mereka dan melemparkan garam itu ke dalamnya serta berkata: "Beginilah firman Tuhan: Telah Kusehatkan air ini..." (2 Raja-Raja 2:21)

Bacaan tahunan: 1 Raja-Raja 9-11

Seorang ibu paruh baya di gereja kami, Bu Tami, dikenal sebagai seorang yang murah hati. Kepeduliannya kepada sesama begitu besar sampai-sampai ia rela menanggung seluruh biaya perawatan seorang ibu lanjut usia, tetangganya, dengan uang hasil kerjanya sebagai tukang cuci pakaian. "Pak, saya menitipkan ibu ini ke panti Bapak. Keluarganya sudah tidak ada yang merawat, jadi tolong dirawat, saya akan membayar biayanya setiap bulan, " kata Bu Tami kepada salah seorang pengurus Panti Jompo di kampungnya. Kehadiran dan kepedulian Bu Tami kepada sesama ibarat garam yang "menyehatkan" lingkungannya. Apakah yang terjadi seandainya tidak ada garam? Kita menyantap masakan yang hambar, bahan-bahan makanan cepat membusuk, kita kehilangan bahan obat yang mujarab, dan sebagainya. Suatu kejadian di kota Yerikho menunjukkan manfaat garam. Meski letaknya strategis, tapi kota itu kondisinya tidak baik. Airnya buruk dan banyak perempuan mengalami keguguran. Untuk memperbaiki kondisi itu, Tuhan memerintahkan kepada Nabi Elisa untuk melemparkan garam ke mata air kota tersebut. Melalui garam tersebut, Tuhan menyehatkan air di kota Yerikho.

Kita adalah garam dunia! Demikianlah Yesus memanggil kita, para pengikut-Nya (Mat 5:13). Sudahkah kita memenuhi harapan Tuhan agar kita menjadi garam yang "menyehatkan" di mana pun kita berada? Kasih, kepedulian, dan perbuatan baik kita kepada sesama adalah kesaksian yang dapat membawa setiap orang memuliakan Bapa di surga. --Samuel Yudi Susanto /Renungan Harian


Page 24

Baca: Lukas 13:10-17

Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat. (Lukas 13:14)

Bacaan tahunan: 1 Raja-Raja 12-13

Hari Sabat adalah hari yang sakral bagi orang Yahudi. Namun, mereka mengartikan kesakralan Sabat itu secara berlebihan sehingga tidak seorang pun diperbolehkan melakukan suatu kegiatan pada hari itu sekalipun untuk menyembuhkan orang sakit. Bisa dibayangkan kalau hal ini dianut oleh dokter atau perawat sehingga mereka tidak mau menolong pasien yang sakit parah karena saat itu hari Sabat. Yesus memberikan wawasan berbeda tentang hari Sabat. Pada hari itu, Dia menyembuhkan perempuan yang bungkuk punggungnya karena dirasuki roh jahat selama delapan belas tahun. Kepala rumah ibadat kemudian melontarkan protes. Yesus menjawab kepala rumah ibadat itu dengan menekankan masalah "melepaskan" dan "dilepaskan". Artinya, hari Sabat ada untuk melepaskan dan memerdekakan, bukan untuk mengikat dan membelenggu. Ya, Sabat justru hari yang tepat untuk melepaskan perempuan itu dari ikatan Iblis dan, dengan demikian, menyatakan kehadiran Kerajaan Allah yang penuh kuasa. Jika ternak saja bisa tetap diperhatikan pada hari Sabat, apalagi sesama manusia, bukan?

Perbuatan baik tidak mengenal libur. Peraturan semestinya dibuat untuk mempermudah pelayanan, bukan untuk menghambat atau membatasinya. Mari kita mengikuti jejak keteladanan Tuhan Yesus. Dia mementingkan menolong orang lain daripada mematuhi peraturan yang membelenggu. Tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menghentikan karya Kerajaan Allah. Biarlah melalui perbuatan baik kita Tuhan dipermuliakan dan Kerajaan-Nya dinyatakan. --Eddy Nugroho /Renungan Harian


Page 25

Baca: Roma 1:1-7

... menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati bahwa Dialah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita. (Roma 1:4)

Bacaan tahunan: 1 Raja-Raja 14-15

Ketuhanan Yesus Kristus masih digugat dari abad pertama sampai sekarang. Kedudukannya sebagai Kristus atau Mesias terus diperkarakan. Begitu juga, kebangkitan-Nya dipergunjingkan sebagai perkara yang tidak masuk akal. Paulus menanggapi isu ini secara jitu. Kebangkitan Yesus penting karena menyatakan pembelaan Allah, menegaskan bahwa Yesus adalah Anak-Nya, Yesus adalah Kristus (Mesias) dan Tuhan (Kurios). Kebangkitan memang tidak masuk akal, namun bukan bertentangan dengan akal sehat, melainkan melampaui akal--akal kita tidak cukup untuk memahaminya. Kebangkitan adalah peristiwa yang melampaui daya tampung pikiran kita. Akal tidak mampu mencernanya karena akal itu sendiri penuh keterbatasan. Lawatan Allah pada manusia melalui kebangkitan Yesus hanya dapat diterima jika kita bersedia mengakui keterbatasan akal tersebut dan menyambut Misteri Iman.

Sikap paling tepat terhadap kasih karunia, dengan demikian, bukanlah mengerahkan daya rasio untuk memahaminya. Sebaliknya, dengan rendah hati kita membuka hati untuk menerima, menjaga, dan mempersilakan kasih karunia itu mengubah cara pandang. Perubahan perspektif ini nantinya memotivasi kita untuk bergerak dalam hidup yang baru. Itulah makna kebangkitan Yesus. Manusia yang menerima Misteri Iman dalam kebangkitan Yesus hidupnya menjadi berarti, utuh, penuh oleh sukacita tiada terkira serta cinta pada Allah dan sesama. Sudahkah kita menyambut kasih karunia-Nya ini? --Daniel K Listijabudi /Renungan Harian


Page 26

Baca: Kejadian 14:1-16

Ketika Abram mendengar, bahwa anak saudaranya tertawan, maka dikerahkannyalah orang-orangnya yang terlatih, yakni mereka yang lahir di rumahnya, tiga ratus delapan belas orang banyaknya, lalu mengejar musuh sampai ke Dan. (Kejadian 14:14)

Bacaan tahunan: 1 Raja-Raja 16-18

Salah satu perkara yang saya kagumi dalam keluarga besar mertua saya adalah kerukunan yang nyata di antara mereka. Jika ada satu orang atau keluarga mengalami kesulitan atau masalah, bantuan dan dukungan segera datang dari saudara-saudara yang lain. Tidaklah mengherankan jika mereka tampak dekat dan akrab satu sama lain saat semua berkumpul dalam pertemuan tahunan. Kondisi ini mengingatkan saya akan sikap Abraham terhadap nasib sanak saudaranya yang sedang mengalami masalah. Selama ini, Abraham dikenal sebagai bapa orang beriman. Sebutan yang tidak keliru karena iman Abraham memang layak untuk diteladani. Bacaan hari ini menunjukkan "sisi lain" kehidupan paman Lot ini. Ketika mendengar bahwa keponakannya-Lot beserta orang-orangnya-tertawan musuh, tanpa berpikir panjang Abraham segera bertindak. Ia mengerahkan orang-orangnya yang terlatih untuk mengejar musuh demi membebaskan saudaranya itu. Usahanya berhasil ketika musuh berhasil dikalahkan, harta benda direbut kembali, dan Lot beserta orang-orangnya diselamatkan dari tangan musuh.

Setidaknya ada dua pilihan ketika kita melihat saudara mengalami kesusahan: berdiam diri atau melakukan sesuatu untuk menolong. Belajar dari teladan Abraham, kiranya kita juga dikenal sebagai orang yang segera menolong dengan mengerahkan segala daya upaya. Lihatlah ke sekeliling kita, perhatikan jika ada saudara yang tengah dirundung masalah. Tunjukkan kepedulian dengan melakukan sesuatu, jangan hanya berdiam diri. --Widodo Suryaputra /Renungan Harian