Pandangan hidup pasrah pada nasib merupakan karakteristik pada masyarakat

Etnis Jawa merupakan salah satu etnis terbesar yang berdiam di negara Indonesia. Sebagai buktinya, kemana pun bepergian ke bagian pelosok penjuru negeri ini, pasti akan menemukan etnis Jawa yang

mendiami kawasan tersebut meskipun terkadang jumlahnya minoritas, dengan kata lain di mana ada kehidupan di seluruh Indonesia etnis Jawa selalu ada.

Etnis Jawa Tengah merupakan etnis yang berasal dari suku jawa asli. Dari segi bahsanya maka orang Jawa memiliki bahasa daerahya sendiri. Bahasa Jawa dipakai sebagian besar penduduk asal Jawa, kecuali Jawa Barat, Tegal, Jawa Serang karena mungkin memiliki pelafalan yang cukup berbeda.

Dalam hal ini bahasa Jawa digunakan dalam bahasa pengantar sehari-hari. Melihat lebih jauh mengenai kebudayaan Jawa, orang Jawa memiliki karakteristik yang memiliki sifat terbuka dan mudah sekali menerima penngaruh dari luar, tetapi pengaruh dari luar tersebut mereka serap dengan sedemikian rupa sehingga menjadi miliknya sendiri (Ekadjati, 1980:133).

Orang Jawa memiliki sifat sensitif serta optimis, sifat ramah saling menghargai, menghormati dan suka mengalah, tidak jauh berbeda dengan etnis yang ada pada umumnya, orang Jawa mayoritas memeluk agama islam dan sangat menjunjung tinggi kaidah islam yang menjadi dasar pandangan hidup dan diterapkan melalui tingkah laku mereka sehari-hari.

Dalam melakukan kehidupan sosial, sifat-sifat orang jawa memiliki solidaritas serta cepat akrab dengan lingkungan mereka tinggal, kehidupan yang mereka jalani hampir tidak adaa persaingan. Dalam tingkah laku pada

saat menjalani aktivitas sehari-hari orang Jawa selalu menjalankan nilai-nilai moral yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Ciri khas Narimo ing pandum adalah salah satu konsep hidup yang dianut oleh orang Jawa. Pola ini menggambarkan sikap hidup yang serba pasrah dengan segala keputusan yang ditentukan oleh Tuhan. Orang Jawa memang menyakini bahwa kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang begitu saja. Setiap hal yang terjadi dalam kehidupan ini adalah sesuai dengan kehendak sang pengatur hidup. Semua hal yang terjadi tidak dapat terelakkan, apalagi melawan semua itu. Inilah yang dikatakan sebagai nasib kehidupan. Dan, nasib kehidupan adalah rahasia Tuhan, sebagai makhluk hidup tidak dapat mengelak. Orang Jawa memahami betul kondisi tersebut sehingga mereka yakin bahwa Tuhan telah mengatur segalanya. Pola kehidupan orang jawa memang unik banyak hal positif yang diambil atau dicontoh dari orang Jawa. Bagi orang jawa, Tuhan telah mengatur jatah penghidupan bagi semua makhluk hidupnya, termasuk manusia.

Konsep hidup nerimo ing pandum ( urip ora ngoyo ) selanjutnya mengisyaratkan bahwa orang Jawa hidup tidak terlalu berambisi. Jalani saja segala yang harus di jalani. Tidak perlu terlalu ambisi untuk melakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat di lakukan. Orang Jawa tidak menyarankan hal tersebut. Hidup sudah mengalir sesuai dengan koridornya. Boleh saja mempercepat laju aliran tersebut, tetapi laju tersebut jangan terlalu drastis. Perubahan tersebut hanya sebuah improvisasi atas kehidupan

yang lebih baik dari sebelumnya. Orang Jawa mengatakan dengan istilah jangan ngoyo. Biarkan hidup membawamu sesuai dengan alirannya. Bagi orang jawa hidup dan kehidupan itu sama dengan kendaraan. Dia akan membawa kita pada tujuan yang pasti. Seperti air di dalam saluran sungai, jika mereka mengalir biasa, maka kondisinya aman dan nyaman. Tetapi ketika alirannya dipaksa untuk besar, maka aliran sungai tersebut tidak aman lagi bagi kehidupan. Orang Jawa memahami hal tersebut sehingga menerapkan konsep hidup jangan ngoyo. Ngoyoartinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. Jika memaksakan diri untuk melakukan sesuatu, maka kemungkinan besarakan mengalami sesuatu yang kurang baik. Ciri khas lain yang tak bisa di tinggalkan adalah sifat gotong royongatau saling membantu sesama orang di lingkungan hidupnya apalagi lebih kentara sifat itu bila bertandang ke pelosok pelosok daerah suku Jawa di mana sikap gotong royong akan sering terlihat dalam suasana baik suka maupun duka.

Pola kehidupan orang jawa memang telah tertata sejak nenek moyang. Berbagai nilai luhur kehidupan adalah warisan nenek moyang yang adi luhung, dan semua itu dapat diketahui wujud nyatanya. Bagaimana eksistensi orang jawa terjaga begitu kuat sehingga sampai detik ini pola-pola tersebut tetap ada dalam kehidupan. Pola hidup kerjasama ini dapat kita ketemukan pada kerja gotongroyong yang banyak diterapkan dalam masyarakat Jawa. Orang Jawa sangat memegang teguh pepatah yang mengatakan: ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Ini merupakan

konsep dasar hidup bersama yang penuh kesadaran dan tanggungjawab. Maka perlu diketahui bahwa kehidupan orang jawa memang begitu spesifik, dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, bahkan yang ada di dunia, orang Jawa mempunyai pola hidup yang berbeda. Kebiasaan hidup secara berkelompok menyebabkan rasa diri mereka sedemikian dekat satu dengan lainnya, sehingga saling tolong menolong merupakan sebuah kebutuhan Mereka selalu memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Bahkan dengan segala cara mereka ikut membantu seseorang keluar dari permasalahan,

Ngajeni pada orang yang lebih tua hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah sikap hidup orang Jawa yang menejunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan. Dalam interaksi antar personal di masyarakat, mereka selalu saling menjaga segala kata dan perbuatan untuk tidak menyakiti hati orang lain. Mereka begitu menghargai persahabatan sehingga eksistensi orang lain sangat dijunjung sebagai sesuatu yang sangat penting. Mereka tidak ingin orang lain atau dirinya mengalami sakit hati atau terseinggung oleh perkataan dan perbuatan yang dilakukan sebab bagi orang Jawa, ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono artinya, harga diri seseorang dari lidahnya (omongannya), harga badan yang dinilai dari pakaian yang digunakan.

Masyarakat modern memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1. Terbuka terhadap hal-hal baru.

2. Menerima perubahan secara kritis.

3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di lingkungannya.

4. Berorientasi pada masa kini dan masa yang akan datang.

5. Menggunakan perencanaan dalam segala tindakan.

6. Yakin akan manfaat Iptek.

7. Menghormati hak dan kewajiban serta kehormatan pihak lain (HAM).

8. Tidak tergantung pada nasib (selalu mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi).

Berdasarkan penjelasan tersebut, pernyataan yang bukan termasuk dalam ciri-ciri masyarakat modern adalah jawaban B. bersifat tertutup terhadap hal-hal baru.

Di Indonesia sebagian besar masyarakat berada dan bertempat tinggal di pedesaan. Oleh karena itu sikap dan perilaku mereka berbeda dengan masyarakat perkotaan. Hal ini membawa dampak pula pada perilaku mereka dalam masalah pendidikan putra-putri mereka.

Mengingat pendidikan merupakan hal yang mutlak dan penting bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, lebih-lebih masyarakat pedesaan, maka pendidikan di pedesaan perlu dilakukan secara intensif dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka. Tetapi pada saat ini masih terkendala karena masih relatif rendahnya aspirasi masyarakat pedesaan terhadap pendidikan. Hal ini diakibatkan oleh kemiskinan dan ketidaktahuan mereka akan pendidikan serta masih kurangnya akses pelayanan pendidikan. Kurangnya akses pelayanan pendidikan sangat tampak terutama di daerah pedesaan yang terpencil dan terisolasi.

Pemasyarakatan pendidikan bagi warga masyarakat sangat diperlukan dengan mengenali karakter pedesaan. Dengan mengenali karakter pedesaan akan lebih mudah dalam memilih dan menentukan pendekatan yang paling cocok untuk masyarakat desa.

Secara umum, dalam kehidupan masyarakat di pedesaan dapat dilihat beberapa karakteristik, yaitu:

  • Mereka bersifat homogen dalam mata pencaharian, nilai-nilai dalam kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku.
  • Kehidupan masyarakat desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi, di mana semua anggota keluarga ikut mencari nafkah, bahkan terkadang anak berusia sekolahpun terlibat bekerja secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini pada kegiatan untuk menunjang kegiatan mencari nafkah seperti memelihara adik, menjaga rumah, dsb.
  • Faktor geografi sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada misalnya keterikatan dengan tanah atau desa kelahirannya.
  • Hubungan sesama anggota masyarakat lebih intim dan awet, yang biasanya juga terlihat dari jumlah keluarga inti yang lebih besar.

Pada desa tertentu terkadang ada beberapa ciri yang sudah mengalami perubahan atau sudah hilang dari karakter mereka sebagai masyarakat desa, tetapi pada desa lainnya masih tampak ciri-ciri tersebut dalam setiap aspek kehidupan mereka.Ahli lain, yaitu Roger mengemukakan ciri atau karakteristik masyarakat pedesaan sebagai berikut:

  • Distrust interpersonal relations. Yaitu adanya suatu rasa ketidakpercayaan timbal balik antara petani satu dengan yang lain,karena sesama anggota komunitas dalam memenuhi kebutuhannya harus memperebutkan sumber daya yang sama dan terbatas, sebagai akibat pertumbuhan penduduk masyarakat pedesaan yang tinggi. Kondisi ini  menyebabkan kecendrungan adanya persaingan. Apabila persaingan ini disertai sikap individualisme yang tinggi maka akan sangat mengganggu integritas sosial.Oleh sebab itu apabila persaingan terjadi antara satu kelompok dengan kelompok lain dan terjadi secara tidak sehat, maka akan mengakibatkan keresahan sosial antar kelompok.
  • Perceived limited good, yaitu suatu karakteristik di mana masyarakat desa memiliki pandangan yang sempit, sehingga hal-hal baik dan kesempatan untuk maju selalu terbatas. Hal ini tampak sebagaimana terlontar dari ungkapan”hidup tergantung nasib sendiri-sendiri”. Ungkapan ini menggambarkan seolah-olah mereka tidak bisa maju, kalau bukan karena nasib. Akibatnya timbul rasa pasrah pada nasib. Dalam pendidikan ada ungkapan seperti pada masyarakat di Pulau halmahera “hakola ma holomo,hakolauwa ma holomo” yang artinya sekolah ya makan, tidak sekolah ya makan. Ungkapan lain bagi wanita, “setinggi-tingginya sekolah, ya ke dapur juga.” Ungkapan-ungkapan tersebut menggambarkan sempitnya pandangan masyarakat pedesaan akan pentingnya pendidikan. Hal ini perlu diubah melalui penyuluhan dan pemberian pengetahuan.
  • Depence on hostility toward government Authority, yaitu ketergantungan dan sekaligus curiga terhadap pemerintah atau pada unsur-unsur pemerintah.
  • Familism, yaitu pola kehidupan yang bersifat kekeluargaan. Adanya keakraban di antara orang-orang yang memiliki pertalian kekerabatan merupakan karakteristik yang amat mudah dijumpai pada masyarakat pedesaan.
  • Lacks of innovativeness, yaitu suatu sikap adanya rasa enggan untuk menerima inovasi apalagi menciptakan inovasi dalam kehidupan mereka. Adanya karakteristik ini merupakan outsider baik pemerintah, tokoh masyarakat, LSM dan sebagainya untuk menggerakkan merekake arah kemajuan dan inovasi-inovasi sederhana.
  • Fatalism, yaitu karakteristik yang menggambarkan rendahnya wawasan untuk menanggapi atau merencanakan masa depan mereka serta masa depan keluarga secara keseluruhan. Hal ini dapat berdampak pada rasa pesimisme, sikap menerima, sikap penyabar serta sikap penurut. Sikap ini berakibat pada perilaku mereka yang hanya maubergerak apabila ada kekuatan dari luar yang memaksa mereka. Kekuatan dari luar ini tentunya ada pada mereka secara tradisional mereka akui memiliki pengaruh yang besar terhadap mereka.
  • Limited Aspiration, yaitu suatu sikap dengan aspirasi serta keinginan yang rendah atau terbatas untuk menggapai masa depan. Tinggi rendahnya aspirasi sosial, misalnya, dapat diketahui dengan menanyakan kepada mereka sampai sejauh mana keinginan mereka menyekolahkan anaknya. Apakah sama dengan mereka atau menginginkan anaknya menempuh pendidikan lebih tinggi lagi. Pada masyarakat yang rentan dengan kehidupan kemiskinan biasanya aspirasi ini sangat rendah, akibatnya peluang mereka untuk menggapai masa depan menjadi sulit.
  • Lack of gratification, yaitu kurangnya atau ketiadaan sifat untuk dapat mengekang diri, yakni mengorbankan kenikmatan sekarang, demi pencapaian keuntungan yang lebih besar di masa depan.
  • Limited view of this world, yaitu terbatasnya pandangan mereka akan masyarakat luar, meskipun hal ini nampaknya sekarang sudah mulai berkurang karena majunya informasi baik melalui radio, televisi maupun koran masuk desa.