HUKUMAN PENCELA YANG SUKA MENGUMPULKAN HARTA Oleh وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ﴿١﴾الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ﴿٢﴾يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ﴿٣﴾كَلَّا ۖ لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ﴿٤﴾وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ﴿٥﴾نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ﴿٦﴾الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ﴿٧﴾إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ﴿٨﴾فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ (1) Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, (2) yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. (3) Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya. (4) Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. (5) Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (6) (yaitu) api (yang disediakan) Allâh yang dinyalakan, (7) yang (membakar) sampai ke hati. (8) Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (9) (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. [Al-Humazah/104:1-9] TAFSIR RINGKAS Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengancam dengan sebuah lembah di Jahannam yang mengalir di dalamnya nanah dan kotoran ahli neraka. Siksa itu diperuntukkan bagi humazah dan lumazah yaitu setiap orang yang suka ber-ghibah dan mencela, yaitu mereka yang suka mengadu domba. 2. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Ini adalah sifat lain dari humazah dan lumazah. Mereka suka mengumpulkan harta yang banyak, tanpa perduli halal maupun haram. 3. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya, Maksudnya dia mengira bahwa dengan banyak harta dia tidak akan mati. Padahal, sejak kapankah harta bisa menyelamatkan seseorang dari kematian?! Sesungguhnya ini adalah tipuan kehidupan. Seandainya harta bisa mengekalkan manusia, maka tentu harta telah mengekalkan kehidupan Qârûn. 4. Sekali-kali tidak! Hartanya tidak akan bisa mengekalkannya. Akan tetapi, demi keperkasaan dan keagungan Kami, “Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam huthamah,” yaitu api yang dipanaskan yang bisa menghancurkan semua yang dilemparkan ke dalamnya. Dan tahukah kamu apa huthamah itu? Ini adalah pertanyaan untuk menggambar betapa besarnya dan ngerinya hal tersebut. 6. (Yaitu) api (yang disediakan) Allâh yang dinyalakan, Maksudnya adalah api yang dinyalakan dan sangat panas, “yang (membakar) sampai ke hati.” 7. Sesungguhnya api itu mu’shadah atas mereka, Artinya api tersebut ditutup rapat pintu-pintunya untuk mereka yang suka mengumpat lagi mencela. 8. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. Allâh-lah yang lebih mengetahui bagaimana cara penyiksaan terhadap mereka, karena Allâh belum memperlihatkan kepada kita cara pengadzabannya.[1] PENJABARAN AYAT Firman Allâh Azza wa Jalla : وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (Wail) Celakalah bagi setiap humazah lumazah Arti wail (Celakalah). Arti dari wail adalah kerugian (al-khizyu), adzab dan kebinasaan. Disebutkan juga pendapat lain, yaitu wail merupakan sebuah lembah di neraka Jahannam.[3] UNTUK SIAPAKAH DITURUNKAN AYAT INI?
Allâhu a’lam, meskipun disebutkan nama tertentu oleh para ahli tafsir, maka bukan berarti orang yang selain yang disebutkan tidak termasuk di dalam ayat ini. Orang yang memiliki sifat humazah dan lumazah sangat banyak. ARTI HUMAZAH DAN LUMAZAH
Allâhu a’lam bish-shawab, ada baiknya kita melihat ayat lain yang berhubungan dengan ayat ini. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ Yang hammâz (banyak mencela), yang kian ke mari mengadu domba. [Al-Qalam/68:11] Dengan melihat sifat dari hammâz pada ayat ini maka kita mengetahui bahwa hammâz atau humazah adalah orang yang suka mencela dan salah satu sifatnya adalah suka mengadu domba. Dan tidak menutup kemungkinan si hammâz ini suka mencela dalam keadaan apapun dan menggunakan cara apapun dan si hammâz ini juga menginginkan keburukan kepada orang lain sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Baca Juga Jin Mukmin Juga Masuk Surga خِيَارُ عِبَادِ اللهِ الَّذِينَ إِذَا رُؤُوا ، ذُكِرَ اللَّهُ ، وَشِرَارُ عِبَادِ اللهِ الْمَشَّاؤُونَ بِالنَّمِيمَةِ ، الْمُفَرِّقُونَ بَيْنَ الأَحِبَّةِ ، الْبَاغُونَ الْبُرَآءَ الْعَنَتَ. Sebaik-baik hamba Allâh adalah yang apabila mereka dilihat maka Allâh diingat[5] dan seburuk-buruk hamba Allâh adalah orang-orang yang suka mengadu domba, memecah belah hubungan antara orang-orang yang saling menyayangi dan orang-orang yang menginginkan keburukan/kesusahan untuk orang-orang yang berlepas diri darinya.”[6] Dengan demikian arti Humazah yang disebutkan oleh ahli tafsir di atas, tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lain, yaitu orang yang suka mencela, meng-ghiibah, mengadu domba dan menginginkan keburukan untuk orang lain. Adapun arti lumazah, maka dia berkaitan dengan firman Allâh di dalam ayat lain. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَأَوْلَادُهُمْ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) sedekah; jika mereka diberi sebagian darinya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, dengan serta merta mereka menjadi marah. [At-Taubah/9:58] Pada ayat ini Allâh Azza wa Jalla menerangkan tentang buruknya orang yang mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak adil. Dengan demikian, arti lumazah cenderung kepada orang yang suka mencela langsung di hadapan orang yang dicela, dan bisa saja dilakukan dengan gerak-gerik anggota tubuhnya. Allâhu a’lam. Firman Allâh Azza wa Jalla : الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Kemudian Allâh Azza wa Jalla mensifatkan mereka dengan sifat mereka yang suka mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. As-Suddi dan Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, “Maksudnya adalah mengumpulkan sebagian hartanya ke sebagian yang lain, serta menghitung-hitung jumlahnya, seperti perkataan Allâh: وَجَمَعَ فَأَوْعَىٰ Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya [Al-Ma’ârij/70:18] Muhammad bin Ka’ab rahimahullah mengatakan, “Hartanya melalaikannya di siang hari, (dengan selalu berkata), ‘(Harta) ini digabung dengan yang ini’, apabila di waktu malam dia tidur seolah-olah dia adalah bangkai.”[7] Adh-Dhahhâk rahimahullah mengatakan, “Dia menyiapkan hartanya untuk diwariskan ke anak-anaknya.” Di dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan perkataan lain[8] yaitu maksudnya adalah dia membangga-banggakan jumlah dan banyaknya hartanya. Dan yang dimaksud di sini adalah celaan karena dia menahan hartanya dan tidak mempergunakannya untuk jalan-jalan ketaatan. Setelah Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat al-Qalam/68 ayat ke-11, yaitu ayat: هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ Yang hammâz (banyak mencela), yang kian ke mari mengadu domba. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.” [Al-Qalam/68:12] Ini menunjukkan orang yang suka mencela, memiliki sifat suka mengadu domba dan menghalangi perbuatan baik. Begitu pula jika kita perhatikan firman Allâh Azza wa Jalla : وَجَمَعَ فَأَوْعَىٰ Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya [Al-Ma’ârij/70:18] Ini menunjukkan bahwa orang tersebut disibukkan dengan hartanya dan dia senantiasa menghitung-hitungnya. Hartanya hanya disimpan dan tidaklah digunakan untuk kebaikan atau ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena itu, ini merupakan peringatan kepada kita agar kita bisa menggunakan harta dengan baik. Jika kita menyimpan harta, maka sudah seharusnya kita mengetahui tujuan penyimpanan harta tersebut, apakah untuk kebaikan dan ketaatan, ataukah hanya “mengendap” di tabungan tanpa ada kegunaan apapun. Firman Allâh Azza wa Jalla : يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya. Maksudnya adalah dia menyangka bahwa dia tidak akan mati dengan dia memiliki harta yang banyak di dunia ini atau dia menyangka bahwa hartanya akan bisa memanjangkan umurnya.[9] Inilah tipuan harta dan dunia. Dia bisa membuat orang lupa bahwa dia akan mati dan dia lupa bahwa hartanya pun tidak akan bisa dibawa mati. Firman Allâh Azza wa Jalla : كَلَّا ۖ لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ ﴿٤﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? “Sekali-kali tidak!” Ini adalah bantahan untuk orang tersebut, hartanya tidak akan dapat mengkekalkannya. “Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah.” Huthamah adalah salah satu nama neraka, semisal Saqar dan Ladzhaa. Dinamakan Huthamah karena dia meremuk-remuk dan mematah-matahkan tulang-tulang.[10] Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Dia (al-Huthamah) adalah tingkatan keenam dari tingkatan-tingkatan neraka Jahannam. Ini diceritakan oleh al-Mawardi dari al-Kalbi. Dan diceritakan oleh al-Qusyairi darinya bahwa al-Huthamah adalah tingkatan kedua dari tingkatan neraka. Adh-Dhahhaak mengatakan, ‘Dia adalah tingkatan keempat.’ Ibnu Zaid mengatakan, ‘Dia adalah satu nama dari nama-nama neraka Jahannam.’.”[11] Allâhu a’lam, berkaitan dengan perkataan Imam al-Qurthubi di atas, sebatas pengetahuan penulis, tidak ada dalil yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan tentang tingkatan-tingkatan neraka tersebut. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berdiam diri terhadap hal-hal yang sifatnya gaib, karena untuk berbicara tentang hal-hal yang gaib, dibutuhkan dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. “Dan tahukah kamu apa Huthamah itu?” Pertanyaan ini untuk membesarkan dan mengagungkan halnya.[12] Firman Allâh Azza wa Jalla : نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ ﴿٦﴾ الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ (Yaitu) api (yang disediakan) Allâh yang dinyalakan yang (membakar) sampai ke hati. Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan, “Tsabit al-Bunani mengatakan, ‘Api itu membakar mereka sampai ke hati-hati, dan mereka masih hidup,’ kemudian dia berkata, ‘Azab telah memuncak untuknya kemudian dia menangis.’.”[13] Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Yang sakit dan rasanya sampai ke dalam hati … Dan artinya adalah api tersebut memakan segala sesuatu sampai berujung pada hatinya. Inilah yang dikatakan oleh al-Quradzhi dan al-Kalbi.”[14] Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Muhammad bin Ka’b mengatakan, “Api membakar seluruh jasad-jasad mereka. Jika sampai ke hati-hati mereka, mereka diciptakan kembali menjadi tubuh yang baru. Kemudian api kembali memakannya.’ …Allâh mengkhususkan penyebutan al-af’idah (hati) karena rasa sakit jika sudah sampai ke hati maka yang merasakan kesakitan akan mati. Orang-orang ini berada dalam keadaan orang yang seharusnya mati, tetapi mereka tidak mati. Sebagaimana yang Allâh firmankan: ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ Kemudian mereka tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup.’[15].”[16] Dari apa yang diterangkan di atas kita bisa membayangkan bahwa api yang dinyalakan oleh Allâh di neraka nanti adalah api yang sangat panas, yang akan dengan mudah membakar seluruh tubuhnya. Dan apabila sakit dari lahapan api tersebut sudah terasa sampai ke hati, maka dia telah merasakan puncak dari rasa sakit yang dirasakan oleh manusia, yang seharusnya mereka mengalami kematian, tetapi mereka ternyata tidak mati, karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala terus menjadikan mereka hidup agar mereka terus-menerus merasakan pedihnya azab Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Baca Juga Bukti Kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Firman Allâh Azza wa Jalla : إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka “Sesungguhnya api itu atas mereka mu’shadah” arti mu’shadah dalam ayat ini adalah mughlaqah dan muthbaqah yaitu tertutup rapat atas mereka. Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat terakhir surat al-Balad (عَلَيْهِمْ نَارٌ مُؤْصَدَةٌ) mengatakan, “Yaitu ditutup rapat di atas mereka, sehingga tidak ada tempat berlari untuk mereka dan mereka tidak bisa keluar darinya… Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu mengatakan, ‘Pintu-pintu tertutup.’ … Adh-Dhahhak mengatakan, ‘Tertutup dinding yang tidak ada pintunya.’ Dan Qatadah mengatakan, ‘Tertutup rapat, sehingga tidak ada cahaya di dalamnya dan tidak ada celah, serta tidak ada yang keluar darinya selama-lamanya.’.”[17] Dengan demikian kita bisa memahami bahwa orang-orang tersebut yang diazab oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala , tidak akan bisa keluar darinya karena mereka telah dikelilingi dan ditutupi oleh api yang telah ditutup rapat di atas mereka. Firman Allâh Azza wa Jalla : فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ (Sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. Ini merupakan azab yang diberikan kepada orang-orang yang memiliki sifat yang disebutkan di dalam ayat ini. Para Ulama berselisih pendapat dalam mengartikan (فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ) “diikat pada tiang-tiang yang panjang atau dipanjangkan”. Di antara pendapat-pendapat yang disebutkan oleh para ulama adalah sebagai berikut: 1. Tiang-tiang panjang tersebut ditutup rapat di atas mereka. Ini adalah pendapat Muqatil rahimahullah dan salah satu riwayat dari Qatadah rahimahullah. Muqatil rahimahullah mengatakan, “Pintu-pintu di tutup di atas mereka kemudian ditarik dengan patok-patok dari besi sehingga tidak dibukakan untuk mereka pintu dan tidak ada ruh yang masuk ke mereka.”[18] Menurut pendapat ini, tiang-tiang inilah yang digunakan untuk menutup pintu-pintu neraka. 2. Allâh memasukkan mereka ke dalam tiang-tiang, kemudian dipanjangkanlah tiang-tiang tersebut dengan satu tiang dan di leher-leher mereka terdapat rantai, kemudian ditutuplah pintu-pintu. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma . Menurut pendapat ini, tiang-tiang tersebut dipanjangkan kemudian menjadi tempat bergantung orang-orang tersebut. 3. Yang dimaksud dengan tiang-tiang adalah tiang-tiang yang digunakan untuk mengazab mereka. Ini adalah pendapat Qatadah rahimahullah dalam riwayat lain. Imam at-Thabari rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang lebih utama adalah pendapat yang mengatakan bahwa maknanya adalah mereka diazab dengan tiang-tiang di dalam neraka. Allâh-lah yang lebih mengetahui bagaimana cara Allâh mengazab mereka dengan tiang-tiang tersebut. Belum datang kepada kita kabar yang bisa dijadikan hujjah yang menyebutkan sifat penyiksaan mereka dengan tiang-tiang tersebut dan tidak juga terdapat dalil yang menyebutkan hal tersebut sehingga kita bisa mengetahui sifatnya. Dengan demikian, tidak ada perkataan tentang ini kecuali dalil yang telah kami sebutkan yang menurut kami shahih. Wallâhu a’lam.”[19] Kesimpulan
Demikian tulisan ini. Mudah-mudahan Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjaga lisan dan tubuh kita dari mencela orang-orang yang tidak berhak untuk dicela. Amin. DAFTAR PUSTAKA
* Pengajar di Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur, Sumatera Selatan (kuncikebaikan.com). [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XX/1437H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Lihat Aisar At-Tafâsîr hal. 1785-1786. [2] Yaitu surat yang diturunkan sebelum Nabi n berhijrah dari Mekkah ke Madinah. [3] Lihat Tafsîr Al-Qurthubi XX/183. [4] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VIII/526, Tafsîr Al-Qurthubi XX/183 dan Tafsîr Ibni Katsîr VIII/481. [5] Maksud dari “apabila mereka dilihat maka Allah diingat” adalah dengan melihat mereka, maka akan bisa mengingatkan kita kepada Allah dan mengingatkan untuk berzikir kepada-Nya karena keelokannya, aura indah tubuhnya, kewibawaannya dan bagusnya gerak-gerik dan diamnya. (Lihat An-Nihayah Fî Gharîb Al-Hadîts Wa Al-Atsar hal. 644 dan Faidhul-Qadîr III/616) [6] HR Ahmad dalam al-Musnad no. 17998 dan al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 323. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahîhah no. 2849, dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dkk. dalam catatan kaki terhadap Al-Musnad. [7] Lihat dua perkataan ini di Tafsîr Ibni Katsîr VIII/481. [8] Lihat di Tafsîr Al-Qurthubi XX/183. [9] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VIII/526, Tafsîr Al-Qurthubi XX/183 dan Tafsîr Ibni Katsîr VIII/481. [10] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VIII/530. [11] Tafsîr Al-Qurthubi XX/184. [12] S.d.a. [13] Tafsîr Ibni Katsîr VIII/481. [14] Tafsîr Al-Baghawi VIII/530. [15] QS. Al-A’lâ/87:13. [16] Tafsîr Al-Qurthubi XX/185. [17] Tafsîr Ibni Katsîr VIII/409. [18] Fathul-Qadîr VIII/60 [19] Tafsiir At-Thabari XXIV/600-601. |