Menyerahkan diri setelah berusaha maksimal dhohir bathin disebut

2.1.1. Pengertian Pengajian Simthu al-Durar

Pengajian berasal dari kata kaji: pelajaran, aji: penyelidikan. Adapun yang di maksud pengajian adalah memperdalam suatu ajaran agama dengan cara penyelidikan maupun mendengarkan agama tersebut, dengan cara ditimbang – timbang baik dan buruknya suatu ajaran ( Poerwadarminta, 1985:433)

Simthu al-Durar adalah kata yang berarti untaian mutiara yang

di dalamnya termuat sejarah biografi dan shalawat terhadap Nabi Muhamad SAW ( Budi Harjono: 2008).

Indikator yang ingin dicapai dalam pengajian Simthu al-Durar adalah :

a. Keaktifan jamaah pengajian

Jamaah pengajian sangat membutuhkan adanya motivasi untuk senantiasa semangat untuk mengikuti pengajian sehingga benar - benar bisa membawa kepada rasa cinta kepada Nabi Muhamad SAW.

Secara general sebagian besar dari jamaah memang belum atau tidak memahami isi dan substansi yang dibaca, serta ritualitas itu sendiri. Yang mereka tahu adalah bahwa yang melaksanakan, membaca, dan punya gawe adalah Kyai kharismatik yang dekat dengan Allah dan Nabi Muhamad SAW (Ahmad Anas 2003: 177) d. Melaksanakan Agama Islam

Jamaah Pengajian simthu al-Durar akan berlaku baik sesuai syariat yang dikehendaki Allah jika bisa memahami dan menelaah Kitab simthu al-Durar secara baik dan benar (Budi Harjono: 2009). d. Memahami Sejarah Keberadaan Kitab Simthu al-Durar

Dalam kitab yang berjudul Simthu al-Durar fii Akhbaar

Maulid Khairil Basyar wa maa lahu min Akhlaaq wa Aushaaf wasiyar Ali bin Muhamad (1404, H:5-8) menyatakan bahwa Kitab

Simthu al-Durar diambil dari karya Al-Habib Al-Imam Al-‘alamah Ali bin Muhamad bin Husain Al-Habsyi dilahirkan pada hari jum’at 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota di negeri Hadramaut. Di antara karangan beliau yang sangat terkenal dan dibaca dalam berbagai kesempatan di mana-mana, termasuk di kota-kota besar di Indonesia ialah risalah kecil ini, yang berisi kisah Maulid Nabi besar Muhamad SAW. Beliau dibesarkan oleh kedua orang tuanya ayah handanya al-Imam al-Arif-billah Muhamad bin Husain bin Abdullah al-Habsyi dan ibunya yaitu As-

Syarifah Alawiyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-jufri yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang salihah dan amat bijaksana. Pada usia yang sangat muda, Habib Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu dhohir dan bathin sebelum mencapai usia yang biasanya dibutuhkan untuk itu. Oleh karenanya sejak itu, beliau diizinkan oleh para guru, dan pendidiknya untuk memberikan ceramah - ceramah dan pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali ia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepemimpinan majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan- pertemuan besar yang diadakan pada masa itu. Selanjutnya beliau melaksanakan tugas suci yang dipercayakan padanya dengan sebaik-baiknya (Ali bin Muhamad, 1404 H: 6).

Menghidupkan ilmu pengetahuan Agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan muliya. Untuk menampung mereka, dibangunlah masjid “Riyadh” di kota seiwun (Hadramaut). Pondok-pondok dan asrama-asrama yang dilengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi

kebutuhan mereka, termasuk soal makan minum, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang dan tentram, bebas dari pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari. Bimbingan dan asuhan beliau telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicita-citakan, kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan saja di daerah Hadramaut, tapi tersebar luas di beberapa negeri lainya di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia. Di samping tempat-tempat itu mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan penyiaran Islam, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan-pertemuam keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang sangat luas.

Al-Habib Ali sendiri telah menjadikan dirinya sebagai contoh teladan terbaik dalam menghiasi dirinya dengan akhlak yang muliya, di samping kedermawaanya yang terkenal di mana-mana serta kewibawaanya, baik di antara tokoh-tokoh terkemuka ataupun masyarakat awam, sehingga setiap kali timbul kesulitan atau permasalahan di antara mereka, niscaya beliau diminta tampil ke

depan untuk menyelesaikanya Beliau wafat di kota Saiwun, Hadramaut, pada hari Ahad 20 Rabiul Akhir 1333 H. dan meninggalka beberapa putra yang telah memperoleh pendidikan sebaik-baiknya dari beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau dalam berdakwah dan menyiarkan Agama Islam (Ali bin Muhamad, 1404 H: 7).

e. Isi Simthu al-Durar

Dalam bukunya, Ali bin Muhamad Simthu al-Durar fii Akhbaar

Maulid Khairil Basyar wa maa lahu min Akhlaaq wa Aushaaf wasiyar (1404 H:24 ) menyebutkan beberapa isi yang terkandung

di dalam Kitab Simthu al-Durar adalah:

a. Simthu al-Durar berisikan sejarah kelahiran Nabi Muhamad SAW.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Abduraman bin ‘Auf dari ibunya bernama Syafa’a dikatakan bahwa pada saat Rasulullah dilahirkan oleh Aminah Ia kusambut dengan telapak tanganku, dan terdengar tangis-Nya pertama kali; lalu aku mendengar suara berkata “Semoga rahmat Allah atas dirimu dan akupun menyaksikan cahaya bederang di hadapa-Nya menerangi timur dan barat hingga aku dapat melihat gedung-gedung orang rum, lalu kubalut ia dalam pakai-Nya dan kutidurkan. Namun tiba-tiba kegelapan dan ketakutan meliputi diriku dari kananku, sehingga aku menggigil karenanya, dan kudngar suara bertanya

kemana dia akan kau bawa pergi? Kebarat, jawab suara lainya, lalu perasaan itu menghilang dari diriku, datang dari sebelah kiriku hingga tubuhku menggigil karenanya, dan kudengar lagi suwara bertanya, kemana ia kau bawa pergi? Ketimur; jawab suwara lainya. Peristiwa itu melekat dalam hatiku sampai tiba saat beliau menjadi utusan Allah, maka aku pun termasuk di antara orang-orang pertama yang mengikuti-Nya dengan masuk Islam (Ali bin Muhamad, 1404 H: 19-20)

b. Simthu al-Durar berisikan pujian-pujian kepada Allah

Segala puji bagi Allah yang amat teguh kekuasaa-Nya, amat jelas bukti-bukti kebenaranya, terbentang luas kedermawaan dan kemuraha-Nya, Maha tinggi kemulyaa-Nya dan Maha agung kedudukanya. Iradah-Nya yang azali menghendaki dan mencipta hamba yang amat dikasihi. Maka tersebarlah pancaran-Nya di alam nyata maupun tersembunyi, aduhai betapa agung anugrah ini dilimpahkan oleh Dia yang Maha pemurah dan Maha pemberi, Betapa tinggi nilai keutamaan ini datang dari Allah sumber dari segala kebaikan karunia teramat sempurna dalam bentuk insan terpuji kehadiranya mengharumi segala penjuru menghiasi dengan sulaman indah penuh keagungan (Ali bin Muhamad, 1404 H: 1 )

c. Simthu al-Durar berisikan sifat-sifat Rosulullah SAW

RosulullahSAW tumbuh dengan sifat-sifat paling sempurna dikelilingi selalu pemeliharaan Allah Yang Maha Kuasa serta diliputi rahmat-Nya yang berlimpah-limpah. Beliau seorang yang berperawakan sedang, warna kulitnya putih kemerah-merahan, dahinya lebar dan serasi, Panjang rambutnya sampai batas telinga. Kedua lengan dan kaki serta persendian semua dalam bentuk dan ukuran yang sempurna, mantap dalam keseluruhan keindahan serta keserasian sifat-sifatnya. tiada seorangpun menyamainya dalam kesempurnaan penglihatan, pendengaran dan ucapanya. Sungguh Allah telah menciptakaNya dalam bentuk terbaik. Padanya segala keindahan terangkum dan terkhususkan. Bila ia berbicara, mutiara-mutiara ilmu dan hikmah dilimpahkanya, tiada seorang ahli pidato yang ulung yang mampu membawakan ucapan rapi padat berisi, seperti yang selalu diucapkanya. Bila mata bertamasya dalam taman keelokanya yang mempesona, tiada akan dijumpai di antara seluruh wujud, Mahkluk manapun tidak memiliki sifat yang setara denganya (Ali bin Muhamad, 1404 H: 34)

d. Berisi tentang kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad SAW “Alam bersinar-seminar bersukaria menyambut kelahiran al-Musthafa Ahmad riang gembira meliput penghuninya sambung menyambung tiada hentinya. Bergembiralah wahai pengikut al-Quran burung-burung kemujuran kini berkicauan bersuluhlah dengan sinar keindahan mengungguli semua yang indah tiada bandingan kini wajiblah bersukacita dengan keberuntungan terus menerus tiada habisnya manakala kita\ berolah anugerah padanya terpadu kebanggaan abadi. Bagi tuhanku segala puji tiada bilangan mampu mencakupnya atas penghormatan dilimpahknya bagi kita dengan lahirnya al-Mustafa al-Haadi Muhamad. Ya Rasulullah, selamat datang sungguh kami beruntung dengan kelahiranmu. Ya ilahi, ya tuhan kami, semoga engkau berkenan memberi nikmat karunia-Mu. Menyampaikan kami ketujuan idaman demi ketinggian derajat rasul di sisi-Mu. Tunjukanlah kami jalan yang beliau tempuh agar denganya kami bahagia beroleh kebaikan melimpah. Rabbi demi muliya kedudukanya di sisi-Mu tempatkanlah kami di sebaik tempat, di sisinya (Ali bin Muhamad, 1404 H:16).

Bacaan Shalawat yang mengukuhkan ikatan hati antara yang membaca dengan pribadi Rosulullah SAW. Dengan hal ini akan menjadikan terang benderang sehingga melahirkan unsur kecintaan dan kerinduan padanya; dan memasukkannya, dengan inayah Allah” (Ali bin Muhamad, 1404 H:6).

2.2. Tawakal

Tawakal secara etimologi berasal dari bahasa Arab (kata kerja) yang berarti menyerah, pasrah, mewakilkan kepada Allah SWT. Secara terminologi adalah: Bersandarnya hati terhadap sang wakil semata atau kalau diambil definisi yang lebih khusus lagi, tawakal adalah: bersandarnya hati dengan sebenar-benarnya terhadap Allah SWT, dalam upaya menjadikan seorang muslim yang meyakini bahwa tidak ada suatu kemaslahatan maupun dalam menolak kemadhorotan, baik di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya ada orang yang mengira bahwa pengertian tawakal itu ialah meninggalkan usaha dan meninggalkan perhatian dengan pikiran, jatuh ke tanah yakni menyerah begitu saja. Hal ini merupakan dugaan orang yang bodoh dan jahil, karena hal seperti itu terlarang menurut syara’ (Islam) di sebabkan agama mewajibkan orang yang bertwakal itu seberapa bisa mencapai suatu kedudukan yang wajar menurut agama, dengan

meninggalkan larangan dan menjalankan perintah agama (Fachrudin, 1992: 339).

Sesungguhnya pengaruh tawakal itu terbukti dalam gerak-gerik seseorang, berusaha keras dengan segala kemampuan dan pengetahuanya, supaya tujuanya tercapai. Usaha seseorang dengan ihktiar dan kemauanya, ada kalanya untuk mendapatkan manfaat yang tiada dipunyai, atau mempertahankan manfaat yang telah dimiliki, menolak bahaya yang mungkin datang menimpanya, menghilangkan bahaya yang dideritanya (Fachrudin, 1992:478).

Dapatlah diambil pengertian, bahwa tawakal itu bukan berarti tinggal diam tanpa kerja dan usaha, bukan menyerah semata-mata kepada keadaan dan nasib, dengan berpangku tangan, duduk memeluk lutut menanti apa yang akan terjadi pada diri seseorang. Namun tawakal adalah sikap percaya atau menggantungkan nasib kepada Allah, tawakal mestilah dikaitkan dengan tindakan manusia yang sepadan, dan sebisa mungkin melakukan upaya kewaspadaan (Ghufron, 1999: 409).

Menurut ajaran Islam tawakal itu adalah tumpuan terakhir dalam suatu usaha atau perjuangan. Jadi arti tawakalyang sebenarnya Menurut Islam ialah menyerahkan diri kepada Allah SWT setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan bekerja sesuai dengan kemampuan dalam mengikuti sunah Allah yang Dia tetapkan. Misalnya seseorang yang meletakan sepeda di depan rumah, setelah dikunci rapat, barulah ia bertawakal. Pada zaman Rasulullah SAW ada seorang sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat terlebih dahulu. Ketika ditanya kenapa tidak diikat, ia menjawab: Saya telah benar-benar bertawakal kepada Allah. Nabi Muhamad tidak membenarkan jawaban tersebut berkata: Ikatlah dan setelah itu bolehlah engkau bertawakal.

Nabi Muhammad bersabda yang artinya adalah:

“Umar r.a. berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW.

Bersaba: Andaikan kamu bertawakal kepada Allah dengan sungguh-sungguh niscaya Allah akan memberi rizqi kepadamu sebagaiman burung yang keluar pagi dengan perut kosong dan kembali pada senja hari dalamkeadaan sudah kenyang”. (HR.Turmudzi).

Islam mengajarkan agar setiap orang yang beriman menyerahkan segala urusanya kepada Allah, karena Allah sajalah yang Maha Mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan apa yang menjadi keputusa-Nya itulah yang paling baik bagi manusia(Asmaran 1994:129).

Allah berfirman:

“ Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluanya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya) Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS Al-Thalaq

(65): 3).

Dalam bukunya Asmaran yang berjudul pengantar stadi tasawuf (1994:122) menyatakan bahwa sikap tawakal mempunyai indikator yaitu:

a. Berhati Lapang

Tawakal, yaitu hati merasa tentram dengan apa yang

dijanjikan Allah. Tawakal yang seperti ini merupakan maqom

bidayah, yakni sifat orang mukmin yang awam. Imam

Al-Ghozali memberikan contoh tawakal ini sebagai tawakalnya seseorang kepada wakil, karena ia telah meyakini bahwa

wakilnya mempunyai sifat pengasih dan wakilnya memang dapat membimbing dan mengurus urusanya. Karena keyakinan inilah yang menyebabkan ia menyerhkan urusanya kepada wakil tadi. Sahl al-Tustari mengatakan “Tawakal kepada Allah dapat memberikan ketenangan batin kepada seorang mukmin. Namun ketenangan ini hanya dirasakan oleh orang-orang yang benar dalam sikap tawakalnya. Sikap tawakal yang benar mengharuskan seseorang berupaya secara maksimal (Abd Al-wahhab al-sya’rani 2004: 49).

b. Taslim

Yaitu merasa cukup menyerahkan urusan kepada Allah, karena Allah yang mengetahui tentang keadaan dirinya. Sikap seperti ini merupakan maqam mutawasit, yang menjadi sifat orang khawas. Mereka ini adalah para wali Allah, Abu ya’qub Nahjuri berkata: Tawakal yang seperti ini menunjukan kesempurnaan mental seseorang, seperti yang terjadi pada diri Nabi Ibrahim ketika beliau diikat dan siap dilemparkan kedalam api yang sudah dinyalakan di hadapanya. pada saat itu datanglah Jibril dan berkata kepadanya: Wahai Ibrahim, apa yang bisa kulakukan untukmu? Ibrahim menjawab: “Kepadamu aku tidak mengharap apa-apa, namun aku hanya menyerahkan urusanku kepada Allah (Asmaran, 1994:123)

c. Tafwidh

Yaitu orang yang telah ridho menerima ketentuan/ taqdir Allah. Sikap yang seperti ini adalah sikap orang yang sudah mencapai maqom nihayah orang-orang muwahidin dan khowas dan khowas al-khowas, seperti Nabi Muhamad SAW. Tawakal yang seperti ini laksana mayat yang berada di hadapan orang yang memandikanya, ia menyerah bulat tanpa daya dan upaya serta tidak memiliki keinginan apa-apa. Orang pernah bertanya kepada Abu Yazid apa yang dimaksud dengan tawakal? Orang itu menjawab: ‘Menurut kawan-kawan kami, kalau seandainya ada binatang buas dan ular berbisa di kanan kirinya, maka hal itu tidak akan menggoyahkan hatinya.”Kemudian Abu Yazid berkata:” Ya, itu sudah mendekati pada pengertian tawakal. (Asmaran,1994: 123).

Para sufi dikenal sebagai orang-orang yang bertawakal kepada Allah dalam segala hal. Mereka selalu menyerahkan segala upaya mereka kepada Allah dengan hati yang lapang, bagi mereka tawakal adalah salah satu upaya untuk memperoleh rahmat dan ridho Allah. Syaikh Abd al-Wahhab Al-Sya’rani, menuturkan. ” Putraku yang bernama Abdurrohman tidak termasuk anak rajin dalam belajar, padahal aku sangat berharap dia menjadi ulama’ besar. Karena itu, aku memintanya untuk giat belajar. Kemudian Allah memberikan ilham kepadaku agar

menyerahkan permasalahan tersebut kepadaNya. Maka aku pun melakukan hal tesebut. Ternyata sejak malam itu ia sangat rajin belajar meskipun aku tidak menyuruhnya. Sejak itu pula ia merasakan manisnya pengetahuan. dan yang menggembirakan, ia sangat cepat dalam memahami pelajaran hingga lebih unggul dibandingkan teman-temanya yang telah belajar terlebih dahulu. Aku pun kemudian semakin bersemangat untuk menyerahkan segala urusanku kepada Allah SWT. Syaikh Abd Al-Salam menjelaskan. ” Rezeki tidak akan berkurang karena keluargamu bertambah. Janganlaah engkau risau dengan perkara yang telah mendapat jaminan Allah. Tetapi risaulah engkau dengan sesuatu yang tidak dijamin olehNya yaitu keselamtan di akhirat (Abd Al-wahhab al-sya’rani 2004: 49).

2.2. Hipotesis

Hipotesis adalah suatu pernyataan yang ada pada waktu diungkapkan belum diketahui kebenaranya tetapi memungkinkan untuk diuji dalam kenyataan empiris (Susanto, 2006: 73).

Sedangkan menurut Hasan, dalam Iqbal (2002: 50) menyatakan bahwa hipotesis merupakan proposisi yang bersifat sementara dan masih harus diuji kebenaranya. Proposisi merupakan pernyataan tentang suatu konsep.

Berdasarkan kerangka teori di atas, maka yang menjadi hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat pengaruh positif mengikuti pengajian Simthu al-Durar terhadap sikap tawakal jamaah di pondok pesantren Al-Ishlah. Hal ini berarti semakin tinggi intensitas mengikuti pengajian Simthu al-Durar maka semakin tinggi rasa tawakal kepada Allah dan berakhlak yang baik kepada sesama.

Mengingat hipotesis adalah dugaan sementara yang mungkin benar atau salah. Maka akan dilakukan pengkajian ulang pada analisis data untuk dapat membuktikan apakah hipotesis yang diajukan dapat diterima atau ditolak.

BAB III