Mengapa pertunjukan wayang kulit efektif dalam menarik simpati masyarakat terhadap ajaran Islam

Mengapa pertunjukan wayang kulit efektif dalam menarik simpati masyarakat terhadap ajaran Islam

Mengapa pertunjukan wayang kulit efektif dalam menarik simpati masyarakat terhadap ajaran Islam
Lihat Foto

Sunan Kalijaga

KOMPAS.com - Sunan Kalijaga adalah salah satu wali songo (sembilan wali) yang merupakan penyebar agama Islam di tanah Jawa. Tahukah kamu kisah mengenai Sunan Kalijaga? 

Raden Mas Syahid merupakan nama kecil Sunan Kalijaga yang lahir pada 1450 Masehi di Tuban, Jawa Timur. Ia merupakan putra seorang Bupati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta.

Sunan Kalijaga adalah murid dari Sunan Bonang. Dalam menyebarkan agama Islam, cara pendekatan yang dilakukan Sunan Kalijaga dengan memakai sarana kesenian dan kebudayaan.

Sebelum menjadi penyebar agama Islam, Raden Mas Syahid saat remaja sering melakukan tindakan kekerasan, berkelahi, hingga merampok.

Baca juga: Peran Walisongo dalam Penyebaran Islam di Tanah Jawa

Dalam buku Sunan Kalijaga, Mistik dan Makrifat (2013), karya Achmad Chodjim, Raden Mas Syahid membongkar gudang kadipaten dengan mengambil bahan makanan, dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang memerlukannya dengan cara diam-diam.

Saat diintai oleh penjaga keamanan kadipaten, Raden Mas Syahid tertangkap basah. Kemudian dibawa dan dihadapkan kepada ayahnya Adipati Tumenggung Wilatikta.

Tindakan yang dilakukan Raden Mas Syahid membuat ayahnya malu dan mengusirnya.

Namun, Sunan Kalijaga tetap melakukan tindakan tersebut. Hasil dibagi-bagikan ke masyarakat miskin.

Bertemu Sunan Bonang

Saat berada di hutan Jatiwangi, Raden Mas Syahid bertemu dengan Sunan Bonang dibegal dan merampas tongkatnya.

Saat menjalankan aksinya, Sunan Bonang menasehati dan membuat Raden Mas Syahid sadar. Akhirnya sadar dan belajar dari Sunan Bonang. Ia pun kemudian menjadi murid Sunan Bonang dan menjadi salah satu wali yang menyebarkan Islam di pulau Jawa. 

Baca juga: Sunan Gresik, Wali Pertama Penyebar Islam di Tanah Jawa

Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --

Islam datang ke Nusantara dengan damai. Ajaran Islam diterima masyarakat tanpa ada paksaan. Di Pulau Jawa, Islam disebarkan para ulama yang dikenal dengan julukan Walisongo: Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati, melalui dakwah kultural. Para wali berdakwah dengan bahasa lokal, memperhatikan kebudayaan dan adat, serta kesenangan dan kebutuhan masyarakat setempat. Ketika masyarakat Jawa amat senang dengan kesenian, para wali menggunakan berbagai kesenian itu sebagai media dakwah. Salah satu kesenian rakyat yang dijadikan media dakwah adalah wayang. Sunan Kalijaga, misalnya, mengembangkan wayang purwa, yakni wayang kulit bercorak Islam. Selain itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan corak batik bermotif burung (kukula) yang mengandung ajaran etik agar seseorang selalu menjaga ucapannya. Wayang secara harfiah berarti bayangan. Ia merupakan istilah untuk menunjukkan teater tradisional di Indonesia. Ada yang berpendapat, wayang berasal dari India dan rekaman pertama pertunjukan wayang telah ada sejak 930 M. Namun, ada pula yang meyakini wayang kulit sebagai salah satu dari berbagai akar budaya seni tradisional Indonesia. “Ada yang menginterpretasikan bahwa wayang berasal dari India, meskipun apabila kita menunjukkan wayang kepada orang-orang India, mereka tidak tahu apa-apa,” ujar Dr  Suyanto, pengajar ISI Surakarta dalam “Diskusi Wayang, Islam, dan Jawa” di Solo, akhir November lalu. R Gunawan Djajakusumah dalam bukunya, Pengenalan Wayang Golek Purwa di Jawa Barat, mengungkapkan bahwa wayang adalah kebudayaan asli Indonesia, khususnya  Pulau Jawa. Ada yang berpendapat, kata wayang berasal dari Wad an Hyang, artinya “leluhur”. Sejatinya, wayang merupakan media yang digunakan Wali Songo untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Cikal bakal wayang berasal dari wayang beber—yang gambarnya mirip manusia dan lakonnya bersumber dari sejarah sekitar zaman Majapahit. Wayang dinilai sebagai media dakwah Islam yang sukses di Indonesia. Wayang dianggap berhasil sebagai media dakwah dan syiar Islam karena menggunakan pendekatan  psikologi, sejarah, pedagogi, hingga politik. Dulu, wayang dipertunjukkan di masjid dan masyarakat bebas untuk menyaksikan. Namun, dengan syarat, mereka harus berwudhu dan mengucap syahadat dulu sebelum masuk masjid. Memang, wayang kulit merupakan produk budaya yang  telah ada sebelum Islam berkembang di Pulau Jawa. Namun, sejak Islam datang dan disebarkan, wayang telah mengalami perubahan. Budaya keislaman dalam wayang kulit purwa tak hanya dijumpai pada wujudnya, tetapi juga pada istilah-istilah dalam bahasa padhalangan, bahasa wayang, nama tokoh wayang, dan lakon (cerita) yang dipergelarkan.

Nama-nama tokoh pewayangan khas Jawa (Punakawan), seperti Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng pun berasal dari bahasa Arab. Setiap tokoh memiliki karakter tertentu, yang memiliki peran sebagai media penyampai syiar dan dakwah Islam pada zaman itu. Tema utama edisi ini secara khusus mengupas tentang peran wayang sebagai media dakwah Islam.

Malam itu di abad ke XIV di sebuah desa Cirebon, Jawa Barat, terlihat warga beduyun duyun mendatangi halaman pendopo desa. Seorang pria dengan berpakaian sorban dan diiringin sejumlah orang terlihat mulai menggerakkan sebuah benda yang berada di balik layar besar.

Iya sebuah pertujukan seni wayang ternyata sedang digelar di desa tersebut. Namun alur cerita Mahabarata yang biasa jadi bahan wayang tidak digunakan, sang dalang justeru menyisipkan ajaran-ajaran Islam.

Dia mengangkat kisah-kisah karangan dengan menyajikan kata-kata mutiara yang bukan saja untuk persembahyangan, meditasi, pendidikan, pengetahuan, hiburan, tetapi juga menyediakan fantasi untuk nyanyian, lukisan estetis dan menyajikan imajinasi puitis untuk petuah-petuah religius yang mampu mempesona, serta menggetarkan jiwa manusia yang mendengarkannya.

Wayang dibuat sebagai cermin bagi kehidupan manusia, perwatakan manusia yang berbeda-beda digambarkan oleh wayang baik yang sedang dijejer. Bahkan para penonton tidak dipungut bayaran untuk menonton atraksi tersebut.

Mereka cukup mengucapkan kalimat syahadat yakni mengucapkan sumpah pengakuaan “Bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan mengakui bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah.”

Dalang tersebut adalah Raden Said atau biasa dikenal dengan Sunan Kalijaga. Dalam setiap pementasannya, Sunan Kalijaga mengajak kepada seluruh masyarakat untuk mengurangi perbutan Syirik dan setia kepada ajaran Islam.

Lewat sarana itulah Sunan kalijaga berhasil menyebarkan agama Islam di seluruh bumi Jawa. Wayang dinilai sebagai media dakwah yang efektif dapat mendekatkan dan menarik simpati rakyat terhadap agama. Kemampuan Sunan Kalijaga dalam mendalang (memainkan wayang) begitu memikat, sehingga terkenal berbagai nama samaran baginya di berbagai daearah.

Ketika mendalang di daerah Padjajaran, Sunan dikenal dengan nama Ki Dalang Sidabrangti. Jika di Tegal dikenal menjadi Ki Dalang Bengkok, dan apabila mendalang di daerah Purbalingga terkenal dengan nama Ki Dalang Kumendung.

Di dunia kesenian wayang, Sunan Kalijaga dipandang sebagai tokoh yang telah menghasilkan kreasi baru, yaitu dengan adanya wayang kulit dengan segala perangkat gamelannya sejak zaman Raden Patah, yang bertahta di Demak.

Awal perkembangannya, lukisan wayang menyerupai bentuk manusia sebagaimana yang terdapat pada relief candi panataran di daerah Blitar. Lukisan yang mirip manusia oleh sebagian ulama dinilai bertentangan dengan Syariat.

Sunan kalijaga kemudian menyiasatinya dengan mengubah dari lukisan yang menghadap menjadi miring. Dengan mengubah bentuk dan lukisan wayang berbeda dengan bentuk manusia sesungguhnya, maka tidak ada alasan lagi untuk menuduh bahwa wujud wayang melanggar hukum fiqih Islam.

Selain itu atas saran para Wali Sunan Kalijaga juga membuat tokoh semar, petruk, gareng, dan bagong sebagai tokoh panakawan yang lucu. Kadangkala, dia menggunakan tokoh bancak dan doyok.

Dalam perkembangannya wayang terbagi menjadi dua yakni wayang kulit dan wayang golek. Namun seiring zaman, kisah wayang dimainkan oleh orang dan biasa dikenal dengan wayang wong (dalam bahasa Indonesia yakni artinya orang).

Dalam aplikasi di zaman modern kisah wayang terus mendapat modifikasi. Unsur cerita juga tidak melulu membahas soal kisah para raja dan kekuasaan, namun bertutur mengenai kehidupan sehari-hari.

Salah satunya yakni pertunjukan “Opera Van Java” yang ditayangan salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Pertunjukan tersebut merupakan modifikasi dari wayang orang.

Tidak hanya unsur cerita, namun pakaian yang dikenakannya pun tidak memakai pakaian khas wayang. Wajar saja wayang yang kini melekat di masyarakat tak pernah lekang oleh zaman.

Para seniman-seniman baru berdatangan dan mencoba menciptakan karya-karya yang unik. Ini menjadi suatu tantangan bagi pemerintah untuk melestarikan wayang.

Seperti yang dilakukan Ray Sahetapy. Meki putra kelahiran Minahasa mengaku sangat bersemangat mempelajari wayang yang dipelajari dari istrinya, Sri Respatini.

“Istri saya kan Jawa. Saya belajar dari dia dan saya selama tiga bulan ini mengadakan perjalanan ke raja-raja Mataram. Saya ikuti itu hingga ketika saya pentas,” papar Ray ditemui okezone.

Ketertarikan ikut bemain wayang berawal dari niat Ray untuk mengangkat budaya yang sangat dekat dengan masyarakat Pulau Jawa. “Ini kesempatan buat aktor seperti saya yang budayanya dari Saparua, Minahasa,” urainya.

Sebagai seniman, Ray ingin kebudayaan bisa diikat dengan kehausan, kelembutan, dan kebebasan untuk mengembangkan budaya yang sudah ada. Saat memainkan wayang pun, menurut Ray, seorang aktor harus memerankan karakter secara kuat.

Meski demikian, tantangan wayang tak luput dari munculnya budaya barat yang masuk ke Indonesia. Sebagian anak muda justru lebih senang menontot film di bioskop ketimbang menontot wayang.

Padahal jika mereka mengetahui, cerita wayang lebih memiliki makna yang religius dan mengandung moral. Ini juga menjadi tantangan kita semua untuk semakin memperkenalkan wayang ke anak dan cucu kita.

Peninggalan sejarah ini memang harus mendapat perhatian luas dari segala lapisan. Pasalnya sejumlah wayang yang ditaksir peninggalan sejumlah kerajaan juga terancam punah dan tangan-tangan jahil.

Kepada okezone beberapa waktu lalu, Museum Ronggowarsito Semarang, Jawa Tengah, mengaku mengalami kesulitan dana untuk merawat koleksi langka mereka.

Ir YM Kussunartini, staff Pengkajian dan Pelestarian yang bertugas di Museum Ronggowarsito, mengatakan untuk merawat koleksi wayang tersebut harus dilakukan fumigasi, yaitu satu proses kimiawi yang akan menghambat terjadinya jamur pada wayang

Idealnya proses fumigasi ini dilakukan pada satu benda koleksi bahan organik 6 bulan sekali. Lantaran minimnya dana yang tersedia, maka di Museum Ronggowarsito Semarang ini hanya dilakukan satu tahun sekali.

Bahan Thymol yang digunakan untuk pengawetan wayang harganya sangat fantastis meskipun barang tersebut mudah dicari.

Kesulitan yang dihadapi oleh Museum Ronggowarsito memang bisa dipahami karena koleksi yang dimiliki memang sangat banyak. Termasuk satu set wayang kulit cerita Kidang Kencana yang berasal dari zaman Mangkunegara IV.

Selama ini, menurut Kussunartini, banyak kolektor wayang kuno dan dalang-dalang yang tidak memperlakukan fumigasi pada wayangnya. Untuk mengawetkan mereka biasanya hanya menjemur di bawah terik matahari serta memberi akar wangi.

"Tapi kalau ada dalang atau kolektor yang meminta agar koleksi wayang kunonya dilakukan fumigasi, kami dengan senang hati akan melakukannya secara gratis," jelas Kussunartini.

Meski demikian mendapat berbagai tantangan, eksistensi wayang di kancah internasional telah mendapat pengakuan. Salah satunya pengakuan UNESCO pada 7 November 2003 lalu, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Sumber:

1. Wikipedia

2. Sejarah Sunan Kalijaga

3. khukus.multiply.com

4. Okezone

(kem)