Mengapa perempuan yang sedang haid tidak boleh melaksanakan salat dan puasa

Pertama, larangan wanita haid untuk shalat. Melaksanakan shalat dalam keadaan memiliki hadats besar sangatlah dilarang. Ketika dalam masa haid, berarti kita sedang dalam keadaan tidak suci atau kotor. Oleh karena itu, diperintahkan untuk tidak shalat fardhu maupun sunnah kepada muslimah yang sedang haid.

Rasulullah Saw. bersabda kepada istrinya Aisyah, “Apabila haid datang, tinggalkanlah shalat,”

(HR Bukhari dan Muslim).

Suatu hari, datanglah seorang wanita dan bertanya kepada Aisyah, “Apakah salah seorang dari kami harus mengqadha shalatnya bila telah suci dari haid?”

Kemudian istri Nabi pun bertanya, “Apakah engkau wanita Hururiyah? Kami dulunya haid di masa Nabi Saw. Beliau tidak memerintahkan kami mengganti shalat,” (HR. Bukhari).

Kedua, larangan puasa untuk muslimah yang sedang haid. Para ulama sepakat (ijma), muslimah yang sedang haid atau masa setelah melahirkan yang masih mengeluarkan darah nifas, maka tidak diperbolehkan berpuasa. Namun, setelah masa haidnya usai, mereka wajib mengganti (mengqadha) puasa Ramadhan.

Aisyah menjelaskan, “Kami mengalami hal itu (haid), maka kami diperintahkan mengqhada puasa tapi tidak diperintahkan mengqadha shalat,” (H.R Muslim dan Abu Daud).

Ketiga adalah thawaf. Thawaf adalah salah satu rukun haji. Dengan cara mengelilingi Kabah di Masjidil Haram sebanyak tujuh kali putaran.

Saat ini, tidak sedikit muslimah yang berkeinginan kuat “harus” melakukan thawaf sampai-sampai meminum obat penghalang haid. Mengkonsumsi obat seperti ini tidak dilarang selagi obat ini tidak membahayakan dirinya sendiri sendiri dan orang lain.

Rasulullah Saw. bersabda kepada Aisyah ketika sedang melaksanakan haji, tetapi pada saat itu pula haid datang. “Kerjakanlah segala yang dikerjakan oleh orang yang sedang berhaji, tetapi jangan melakukan thawaf,”

(HR. Bukhari dan Muslim).

Keempat adalah membaca Al-Quran. Rasulullah Saw. bersabda, “Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikit pun dari Al-Quran,” (HR. Tirmidzi).

Ada banyak pendapat para ulama tentang ini. Di antaranya ialah pendapat Syekh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Ia menjelaskan, seorang muslimah yang sedang haid tidak diperbolehkan membaca Al-Quran. Baik melalui mushaf atau dari hafalannya, karena dia memiliki hadats besar.

Hal itu karena Rasulullah pernah menolak membaca Al-Quran ketika beliau sedang junub. Namun beberapa pendapat ulama meringankan atau membolehkan dalam beberapa kondisi. Seperti mengulang hafalan atau dalam ujian membaca Al-Quran, jika memang nantinya dikhawatirkan tidak ada lagi kesempatan ujian.

Ulama lain juga menyebut, muslimah yang sedang haid harus memakai penghalang seperti kain, sarung tangan dan sebagainya jika hendak memegang Al-Quran. Dalam hal ini, muslimah tidak diperkenankan menyentuh Al-Quran secara langsung tanpa penghalang.

Lain halnya dengan pendapat Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad. Mereka menjelaskan, wanita yang sedang haid dan junub boleh berdzikir dan membaca Al-Quran.

Hal lain yang perlu diketahui, tidak ada larangan bagi muslimah yang sedang haid, ketika mendengar ayat sajadah untuk melakukan sujud tilawah. Dijelaskan, karena sujud bukan berarti shalat. Sehingga tidak diharuskan untuk bersuci ketika ingin melakukannya.

Kelima adalah berhubungan badan (jima). Allah Swt. berfirman, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” 

QS. Al-Baqarah [2]: (222).

Keenam adalah berdiam diri di masjid. Dalam Al-Majmu II/163, An-Nawawi mengutip ucapan Ahmad bin Hanbal, “Haram bagi seseorang junub duduk dan berdiam di masjid, tetapi dibolehkan baginya melewatinya karena suatu keperluan.” Dilanjutkan lagi, “Seseorang yang junub boleh berhenti dan duduk di masjid setelah dia berwudhu.”

Dalam hal ini, para ulama juga berbeda pendapat. Dikisahkan juga, seorang wanita yang tinggal di dalam masjid pada zaman Rasulullah Saw. tapi tidak ada dalil menyatakan Rasulullah Saw. memerintahkan wanita itu untuk meninggalkan masjid ketika haid.

Ketujuh adalah thalak (Ath-Thalaq). Menurut bahasa adalah melepas ikatan atau membiarkan. Sedangkan menurut istilah, melepas ikatan pernikahan.

Ketika seoarang suami melakukan thalak saat istrinya dalam keadaan haid, maka disebut thalak bid’i. Thalak jenis ini sangat dilarang. Seperti dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya dengan membawa ucapan Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Swt, “Fathalliquuhunna li ‘iddatihinna.”

Ibnu Abbas menafsirkan, “Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci, namun telah disetubuhi dalam masa suci itu. Akan tetapi, bila dia tetap ingin menceraikan istrinya, maka hendaklah membiarkannya sampai datang masa haid berikutnya, lalu disusul masa suci setelah itu ia bisa menceraikannya.”

Wallahu A’lam bis Shawab

...Berikutnya

Dalam Islam terdapat batasan-batasan ibadah untuk perempuan dewasa (baligh). Indikator baligh bagi perempuan adalah mengeluarkan darah menstruasi atau haid. Sejak haid pertama, perempuan dianggap mukalaf dan hukum Islam berlaku kepadanya. Salah satu ketentuan yang berlaku adalah periode haid dianggap dalam keadaan berhadas sehingga ia dilarang melakukan ibadah-ibadah tertentu seperti salat dan puasa.

Menurut Wahbah Zuhaili, bahasan soal ini telah menjadi konsensus ulama (ijma’), di mana wanita haid dan nifas tidak sah puasanya. Bukan saja tidak sah, tetapi juga haram dilaksanakan. Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan bahwa perempuan yang sedang haid maka wajib mengganti puasa di luar bulan Ramadan. Karenanya, pengecualian perempuan haid dari kewajiban puasa bukan opsional melainkan obligasional.

Namun beberapa waktu belakangan muncul wacana perempuan haid boleh menjalankan ibadah puasa. Alasannya tidak ada larangan syariat yang secara zahir melarang puasa bagi perempuan haid. Sependek pembacaan, pendapat ini bukan saja tidak masyhur, tapi memang tidak pernah ada yang berpendapat seperti ini sebelumnya. Sehingga kesan yang kita dapatkan bukan argumentasi syari, melainkan opini yang memaksa.

Perempuan Haid dalam Pandangan Islam

Dalam tradisi Yahudi, perempuan haid dianggap sebagai perempuan kotor yang bisa mendatangkan bencana. Sehingga mereka harus diangsing dari masyarakat, diisolasi ke tempat karantina, dan tidak diajak makan bersama. Bagi orang Yahudi, adanya bawaan biologis alamiah dalam diri perempuan seperti haid ini dianggap memiliki hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Padahal secara fisiologis, haid menandakan telah terbuangnya sel telur yang sudah matang. Tidak ada hubungannya dengan kesialan hidup seseorang.

Pandangan Yahudi di atas menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adhim menjadi sebab turunnya QS. Al Baqarah ayat 222 yang isinya agar menjauhi tempat keluarnya darah haid. Kemudian Nabi Saw menambahkan dengan bersabda, “berbuatlah apa saja kecuali berhubungan seks.” Perempuan haid tetap bisa berkumpul, makan bersama keluarga, tidur satu selimut bersama suaminya. Karenanya, dalam Islam yang dianggap kotor adalah darahnya, dan bukan si perempuan itu sendiri. Hal tersebut sejalan dengan kaedah umum kedokteran yang menempatkan darah haid sebagai zat kotor yang harus dibuang.

Ulama-ulama fikih juga memberikan perhatian luarbiasa tentang persoalan haid ini. Di antara kitab yang mampu menghasilkan satu jilid besar tentang masalah haid (bersama dengan nifas dan istihadhah) adalah Imam Haramain dan Abu al-Faraj ad-Darimi. Secara umum dapat dikatakan bahwa paradigma dasar fikih tentang perempuan haid tidak memposisikan mereka sebagai kelompok manusia yang perlu diisolasi dari masyarakat. Fikih memandang status mereka sama dengan orang yang sedang mengalami hadas.

Dalam fikih, haid dipandang sebagai hadas besar sehingga menuntut seseorang untuk mandi wajib sebelum melakukan ibadah tertentu. Sedangkan orang yang telah buang air kecil tergolong hadas kecil sehingga hanya dengan wudhu untuk membuatnya suci kembali. Apabila dalam kondisi darurat air maka diperbolehkan menggunakan debu untuk tayamum. Dalam Islam, hadas merupakan sesuatu kondisi alamiah, temporer, dan aksidental yang dialami oleh setiap manusia. Hadas sama sekali bukan hal yang dipandang negatif, termasuk dengan haid.

Larangan Puasa Bagi Perempuan Haid

Dalam QS. Al Baqarah ayat 184-185 disebutkan orang-orang diperkenankan tidak menjalani ibadah puasa yaitu orang sakit (marid) atau dalam perjalanan (musafir) dan wajib menggantinya di hari yang lain, sedangkan orang-orang yang wajib membayar fidyah (memberi makan fakir miskin) diperuntukkan bagi mereka yang dalam kondisi sangat berat (yutiqunahu), misalnya, lanjut usia, wanita hamil atau menyusui.

Dalam QS Al Baqarah 184-185 memang tidak disebutkan secara eksplisit larangan puasa bagi perempuan haid. Namun pembacaan terhadap suatu dalil harus dengan cara istiqra’ ma’nawi (integralistik). Dalam kitab Sahih Muslim dan Bukhari terdapat sebuah hadis yang isinya dialog antara Rasulullah Saw dengan seorang perempuan yang bertanya, “Ya Rasulullah, apa maksudnya wanita kurang agamanya?” Kemudian Rasul menjawab, “Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa?”

Respon Rasulullah kepada perempuan di atas merupakan kalimat tanya yang tidak membutuhkan jawaban. Jenis kalimat ini biasanya disebut dengan kalimat retoris, sehingga sekalipun bersifat tanya namun maksudnya pernyataan yang mengandung penegasan. Karenanya, sepenggal hadis tersebut sejatinya telah menunjukkan bahwa perempuan haid tidak diperkenankan puasa dan wajib qadha’ di luar bulan Ramadan.

Ada pun maksud perempuan kurang agamanya karena mereka diperbolehkan meninggalkan puasa dan salat saat sedang haid. Namun kekurangan ini tidak lantas membuat mereka berdosa dan tercela, karena memang aturan ini murni datang dari agama. Justru apabila memaksa melaksanakan salat dan menunaikan puasa padahal dalam keadaan haid, maka akan mendapat dosa lantaran tidak taat dengan aturan Allah Swt. Islam tidak mengajarkan ketaatan yang keras kepala dan berlebih-lebihan.

Selain hadis di atas, ada pula hadis maukuf yang datang dari Aisyah Ra menyatakan bahwa “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk qadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk qadha’ salat’.” Hadis maukuf ini dapat ditemui dalam Sahih Muslim dan Sunan Abu Dawud.

Pertanyaan yang mungkin bisa diajukan adalah apakah hadis maukuf dapat dijadikan hujjah? Dalam kaidah hadis disebutkan bahwa hadis maukuf murni (ucapan sahabat yang tidak memiliki hubungannya dengan ketetapan Rasulullah), maka tidak dapat dijadikan hujjah. Misalnya salat tarawih 23 rakaat yang dikerjakan Sahabat Nabi, maka tidak dapat dijadikan hujjah. Syarat hadis maukuf dapat dijadikan hujjah apabila termasuk ke dalam kategori marfu‘. Dengan kata lain, apabila hadis maukuf tersebut terdapat karinah-karinah yang dapat dipahami kemarfu‘annya kepada Rasulullah saw, maka boleh berhujjah dengan hadis tersebut.

Contohnya pernyataan Aisyah di atas merupakan hadis maukuf atau qaul sahabat, namun dapat dijadikan hujjah sebab terdapat karinah yang ditunjukkan dari kata pasif “diperintahkan”. Meskipun frasa ‘diperintahkan’ tidak langsung menyebut Rasulullah, namun kita semua paham bahwa maksud ‘Aisyah adalah perintah Rasulullah Saw. Karenanya, sejak zaman kenabian hingga sahabat, perempuan haid tidak diperkenankan puasa dan diwajibkan menggantinya di luar bulan Ramadan.

Dengan demikian, hukum dalam Islam ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi perempuan. Artinya, sejak kedatangan Nabi Saw, Islam telah melakukan koreksi besar-besaran terhadap situasi haid yang awalnya menghina perempuan menjadi memanusiakan perempuan. Diperbolehkannya tidak menjalankan puasa saat haid merupakan bentuk rahmat dari Allah kepada manusia (QS. Al Anbiya: 107) dan berusaha tidak mempersulit orang beriman (QS. Al Hajj: 78). (Ilham Ibrahim)

Editor: Fauzan AS