Mengapa pasal 28i ayat 2 disebut

Daftar Judicial Review

Perkara Tingkat Penanganan Keterangan

Perkara Nomor: 104/PUU-XVII/2020

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 104/PUU-XVII/2020 pengujian formil dan materiil Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers)

Termohon:

DPR dan Pemerintah

Obyek Permohonan:

Pasal 18 UU Pers

Pokok Permohonan:

  1. Pemohon meminta agar mengabulkan permohonan untuk mendapatkan ganti rugi dari kesalahan pemberitaan oleh pihak media/wartawan tersebut;
  2. Pasal 18 UU Pers proses pembentukannya yang dinilai ada dugaan yang dikesampingkan, oleh sebab itu Pemohon menduga lagi tidak berdasar pada UUD NRI 1945 di BAB X HAK ASASI MANUSIA (HAM) pada Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945 sepanjang misal dimaknai HAM masih dikesampingkan dan dihilangkan;
  3. Pemohon menduga ada materi yang dituangkan dalam ayat/pasal dari Pasal 18 UU Pers itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai misal media melakukan kesalahan hanya melakukan hak jawab dan hak koreksi tidak ada ganti rugi dan atau melakukan proses hukum kepada pihak media, karena ada pasal pencemaran nama baik didalam KUHP pada Pasal 310 dan Pasal 315 berarti wartawan diistimewakan. Kalau hanya sebatas meminta maaf akan diulang lagi dikemudian hari. Karena nama baik seseorang tidak boleh dipermainkan secara sembarangan.

Menang Inkracht

Sistematika permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang

Perkara Nomor: No. 64/PUU-XVI/2018

Permohonan Uji Formil UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Pemohon:

  1. Muhammad Rahmani
  2. Marganti Kuasa Pemohon

Termohon:

DPR RI dan Pemerintah cq Menteri Hukum dan HAM

Obyek Permohonan:

Permohonan Uji Formil atas Pasal 1 angka 6a UU ITE dan Uji Materiil atas Pasal 157 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang dalam hal ini khusus berkenaan dengan uji formil Pasal 1 angka 6a UU ITE dianggap tidak sesuai dengan norma pasal 43 UU No. 12 Tahun 2001, pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta pasal 21 Undang-Undang Dasar 1945

Pokok Permohonan:

Putusan telah berkekuatan hukum tetap.

Pasal a quo yang dimohonkan pengujian tetap berlaku, DPR dan Pemerintah (termasuk Kemenkominfo) menang

Permohonan uji formil dan materiil dimaksud telah diputus dengan amar “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima”; yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal 25 Oktober 2018, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Answar Usman (Ketua merangkap anggota), Aswanto, Manahan M.P. Sitompul, Arief Hidayat, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams (Anggota).

Perkara Nomor: 9/PUU-XIX/2021

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XIX/2021 pengujian materiil Pasal 33 (dalam hal ini perizinan berusaha) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja)

Termohon:

DPR dan Pemerintah

Obyek Permohonan:

Pengujian materiil Pasal 33 (dalam hal ini perizinan berusaha) UU Cipta Kerja

Pokok Permohonan:

  1. Menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam hal ini perizinan berusaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Bahwa Perizinan Berusaha yang dimaksud adalah dari Pemerintah Pusat bersama-sama dengan KPI; dan bahwa Perizinan Berusaha yang dimaksud dilakukan untuk Pembatasan kepemilikan dan penguasaan LPS, Pembatasan cakupan wilayah siaran, dan Pembatasan kepemilikan silang demi tercapainya diversity of content dan diversity of ownership.

Dicabut

Bahwa berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU MK, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 9 Juni 2021 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan beralasan menurut hukum dan permohonan Pemohon tidak dapat diajukan kembali

Perkara Nomor: 81/PUU-XVIII/2020

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-XVIII/2020 permohonan pengujian materiil Pasal 40 ayat (2b) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE Perubahan)

Pemohon:

  1. Arnoldus Belau (Pemred suarapapua.com)
  2. Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Termohon:

DPR dan Pemerintah

Obyek Permohonan:

Pengujian Pasal 40 ayat (2b) UU ITE Perubahan

Pokok Permohonan:

  1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian materiil para Pemohon
  2. Menyatakan Pasal 40 ayat (2b) UU ITE tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan bertetangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F UUD1945 sepanjang tidak dimaknai “Dalam melakukan pencegahan seabgaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik setelah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum”
  3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Menang Inkracht

  1. Bahwa para pemohon dalam mendalilkan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena menurut para Pemohon tindakan pemerintah tidak sah atau sewenang-wenang sebab tidak didasari oleh aturan yang jelas serta didahului dengan penerbitan KTUN yang tertulis, termasuk di dalamnya tidak terdapat ruang pengaduan untuk pengujian, serta pemulihan bagi pihak-pihak yang dirugikan secara langsung atas pemutusan/pemblokiran atau penapisan konten.
  2. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah untuk memahami secara komprehensif ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 40 ayat (6) UU a quo, sebab ihwal teknis mengenai pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang muatannya melanggar hukum tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana UU a quo yaitu PP 71/2019, tanpa Mahkamah bermaksud menilai PP a quo, dalam substansi PP dan PM Kominfo telah diatur lebih lanjut mekanisme pemutusan akses sehingga telah mencerminkan due process of law.

Dengan demikian ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Perkara Nomor: 39/PUU-XVIII/2020

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XVIII/2020 pengujian materiil Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran)

Pemohon:

  1. PT Visi Citra Mitra Mulia (INEWS TV)
  2. PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI)

Termohon:

DPR dan Pemerintah

Obyek Permohonan:

Pengujian materiil Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran)

Pokok Permohonan:

  1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran, bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “…dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran”, sehingga Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran selengkapnya berbunyi: “Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran”.

Menang Inkracht

  1. Bahwa apabila penambahan rumusan pengertian atau definisi Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 tidak dikabulkan sebagaimana yang diminta para Pemohon akan menyebabkan terjadinya ketidakadilan karena penyiaran berbasis internet tidak ada pengaturan pengawasannya sebagaimana halnya penyiaran yang diawasi oleh KPI secara ketat. Ihwal demikian ini juga menimbulkan perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antara penyiaran dan layanan OTT.
  2. Terhadap dalil para Pemohon tersebut di atas telah ternyata terdapat adanya perbedaan karakter antara penyiaran konvensional dengan layanan OTT. Dengan adanya perbedaan tersebut bukan berarti terjadi kekosongan hukum pengawasan untuk layanan OTT sebagaimana didalilkan para Pemohon karena pengawasan atau pengendalian terhadap konten layanan OTT yang ditransmisikan melalui sistem elektronik sejatinya tunduk pada ketentuan UU ITE. Dalam UU ITE telah ditentukan mekanisme pengawasan terhadap konten layanan OTT agar tetap sejalan dengan falsafah dan dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945, Pemerintah, in casu Menteri Kominfo, memiliki kewenangan untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik (konten internet) yang muatannya melanggar hukum.

Dengan demikian ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.