Mengapa Jepang menyembunyikan berita kekalahannya dari sekutu kepada bangsa Indonesia

Mengapa Jepang menyembunyikan berita kekalahannya dari sekutu kepada bangsa Indonesia

Mengapa Jepang menyembunyikan berita kekalahannya dari sekutu kepada bangsa Indonesia
Lihat Foto

Wikimedia Commons

Menteri Luar Negeri Jepang, Mamoru Shigemitsu, menandatangani dokumen penyerahan Jepang di atas USS Missouri di depan Jenderal Richard K. Sutherland pada 2 September 1945.

KOMPAS.com – Pada masa Perang Dunia II, tepatnya tanggal 14 Agustus 1945, terjadi sebuah peristiwa penting, yaitu Jepang menyerah kepada Sekutu.

Peristiwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu diawali dengan serangan dua bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945).

Kehancuran yang disebabkan oleh dua bom atom tersebut membuat pemerintahan Jepang melihat bahwa mereka tidak bisa lagi menghindari kekalahan dari Sekutu.

Menyerah tanpa syarat sendiri berarti penyerahan di mana tidak ada jaminan apapun yang diberikan kepada pihak yang menyerah. 

Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada Agustus 1945 menandai akhir Perang Dunia II.

Baca juga: Akhir Perang Dunia II

Pada 7 Desember 1941, Jepang melakukan serangan terhadap Amerika Serikat dengan mengebom Pangkalan Laut mereka di Pearl Harbour, Hawaii.

Tujuan Jepang menyerang Pearl Harbour sendiri adalah untuk melumpuhkan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pasifik.

Serangan ini mengakibatkan sebanyak 2.403 orang meninggal dan 1.178 orang terluka.

Sebagai bentuk respon atas pengeboman Pearl Harbour, pada tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang.

Peperangan antara Jepang dan Amerika Serikat terus berlanjut sampai akhir masa Perang Dunia II pada 1945.

Tentara Jepang di Perang Dunia II. FOTO/AP

Kemenangan dalam Perang Asia Timur Raya adalah harapan bala tentara fasis Kekaisaran Jepang. Dengan kemenangan, rakyat di Asia akan hormat dan tunduk pada militer Jepang. Namun kenyataan tak seperti harapan mereka. Berhubung kaum fasis pantang mengaku kalah, maka menutupi kekalahan adalah jurus penting.

Dunia pers terbilang lesu di Indonesia zaman pendudukan Jepang. Memang masih ada pers, tapi itu haruslah seperti apa yang diharapkanpenguasa Jepang. Nyaris takditemukan berita buruk soal pemerintah, karena berita soal pemerintah militer haruslah selalu baik. Kaum fasis di belahan dunia mana pun selalu ingin terlihat baik.

Militer Jepang memang mati-matian berjuang di Front Pasifik, tapi kemenangan tak selalu bersama mereka. Sudah pasti militer Jepang tahu cara mencitrakan diri sebagai pemenang perangdi mata rakyat Indonesia. Termasuk ketika di beberapa pertempuranFront Pasifik Jepang mulai kewalahan melawan Sekutu. Militer Jepang menyita banyak radio dari rakyat, agar kabar kekalahan yang diberitakan radio-radio Inggris atau Australia tidak tertangkap oleh kuping orang-orang Indonesia.

Meski menyita radio yang mampu menangkap siaran dari luar negeri, Jepang tetap berusaha agar orang Indonesia mendengar radio. “Jepang membuat jaringan radio yang tetap dengan menempatkan pengeras-suara di setiap desa,” aku Sukarnodalam autobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2011). Hanya berita bagus yang menenteramkan rakyat yang disiarkan di radio, termasuk suara Sukarno untuk mengayomi rakyat yang menderita itu.

Tidak semua orang Indonesia punya radio untuk menangkap siaran asing. Jika pun mereka punya radio dan mendengar radio asing, belum tentu isi beritanya bisa mereka cerna. Tak semua orang bisa berbahasa Inggris, kecuali mereka yang pernah bersekolah. Fasisme memang mudah tumbuh subur di masyarakat yang kurang terpelajar.

Tentu saja tak semua orang Indonesia rela menyerahkan radionya begitu saja. Ada sekelompok orang, seperti Sutan Sjahrir, berani ambil risiko dengan menyembunyikan radionya, dengan maksud menunggu berita kekalahan Jepang.

Pada akhir 1944 Jepangsudah tergerus di Indonesia timur. Sekitar Papua, dan pastinya Morotai, sudah berhasil didudukiSekutu yang makin menguat, baik di bidang peralatan, personel, dan logistik perangnya.

Sensor Radio dan Pers

Soal kekalahannya, Jepang tidak menyiarkan apapun kepada rakyat Indonesia. Ini tidak sulit, karena semua pers, entah cetak dan radionya, berada dalam kendali petinggi militer Jepang. Pantang bagi fasis untuk terlihat lemah. Apalagi lemah di mata rakyat Indonesia yang telah dirampas padinya, diperkosa perempuannya, dan dianiaya kiainya. Menipu sudah pasti jurus andalan militer fasis.

BukuSejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh(1977) menyebut sedari beberapa bulan sebelum penyerahan Jepang kepada Sekutu, tentara Jepang telah menyita radio-radio agar penduduk tidak dapat mengetahui tentang berita-berita kekalahan Jepang dan perkembangan kemajuan Sekutu di Front Pasifik(hlm. 176).

Di bulan Agustus, setelah banyak kota di luar Jawa diduduki Sekutu, orang-orang Jepang tentu jadi tidak nyaman di Indonesia. Mereka tidak mau bicara soal Perang Pasifik. “Berita tentang kekalahan Jepang hanya dapat diduga dari tindak tanduk dan gelagat orang-orang Jepang sendiri,” tulis Laurens Manus dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan, 1945-1949 daerah Sulawesi Utara(1995: 53).

Kegarangan orang Jepang kepada rakyat Indonesia agak menurun di tahun terakhir Perang Pasifik.

“Saya berpikir, kebiasaan ini mereka lakukan untuk menghilangkan ketegangan akibat berita-berita kekalahan Jepang yang mereka hadapi,” aku Komisaris Jenderal Polisi M.Jasindalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang (2013: 89).

Waktu itu,sepengakuan Jasin, orang-orang Jepang jadi mudah tersinggung.

Jepang mau tidak mau harus menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Setelah Nagasaki dan Hirosima dibom pada minggu-minggu sebelumnya. Berita ini tentu saja tak disiarkan kepada rakyat Indonesia.

Berita itu bukan hanya dapatmemperloyo moral serdadu Jepang yang garang dan doyan menggagahi saja, tapi bisa membuat rakyat sipil yang dendam kepada Jepang untuk bertindak melawan mereka. Masalah keselamatan dan harga diri kaum fasis kini tergantung dari bagaimana menyimpan berita buruk yang merugikan.

“Terlalu lama Jepang menyembunyikan kekalahannya itu, sedangkan penduduk telah membaca surat-surat selebaran yang dijatuhkan dari pesawat terbang Sekutu yang terbang rendah,” kata Ali Hasjmy dalam A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan(1994: 176).

Makin lama, rakyat Indonesia pun mengetahui soal loyonya Jepang itu.

Infografik Jepang Menutup berita kekalahan

Peran KelompokSjahrir

Radio yang dimiliki kelompok Sjahrir belakangan sangat penting perannya dalam Revolusi Indonesia. Sukarno,meski berlawanan dengan Sjahrir, dalam autobiografinyamengakui peran Sjahrir di zaman Jepang. Sjahrir mengadakan gerakan bawah tanah dan menyadap berita dari luar negeri.

Ketika mereka mendapatkan beritanya, mereka tak langsung koar-koar. Berita dari radio asing itu dikabarkan diam-diam dulu ke sesamaorang gerakan bawah tanah. Memberi berita ke Hatta pun Sjahrir punya cara yang lebih aman: para keponakannyadari Bandaneiradikerahkannya.

Dalam buku Mengenang Sjahrir (2010), salah seorang keponakan Sjahrir dari Bandaneira, Lily, mengaku, “bergiliran disuruh mengantarkan berita-berita radio itu ke Oom Hatta, antara lain berita tentang kekalahan dan penyerahan Jepang kepada Sekutu.”

Berkat siaran radio soal kekalahan Jepang itu pula pemuda-pemuda revolusioner di Jakarta mulai bangkit. Mereka segera mengadakan rapat dan berkumpul untuk merumuskan tindakan selanjutnya. Berita kekalahan Jepangitu pula yang kemudian membuat mereka berani bergerak. Itu tak lepas dari peranSjahrir.

Para pemuda tersebut lalu mendorong kaum tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secepatnya.