GURU ialah elemen penting dalam pendidikan. Saking pentingnya peran dan tanggung jawab guru, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) yang harus menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik. Guru bukan sosok yang ‘membagi berita’ tentang vonis akibat pelanggaran UU ITE karena dianggap menyebarkan rekaman telepon mesum kepala sekolah, atau video viral seorang guru yang di-bully siswanya di kelas. Sungguh, kualitas pendidikan sangat bergantung pada guru. Angka indeks pembangunan manusia (IPM) dari United Nations Development Programme (UNDP) 2016, Indonesia hanya meraih 0,689 dan berada di peringkat ke-113 dari 188 negara. Begitu pula UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, menempatkan pendidikan di Indonesia berada peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sementara itu, komponen guru menempati urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Hingga di sini, mungkin ada masalah dengan kompetensi guru. Sementara itu, anggaran pendidikan 2018 nilainya mencapai Rp444 triliun, atau 20% dari total APBN. Ironisnya, sebagian besar anggaran pendidikan tersebut digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan guru. Rata-rata tingkat penghasilan guru mengalami lonjakan tiga kali lipat. Sementara itu, alokasi untuk pembangunan maupun renovasi sekolah masih sangat kecil. Faktanya, kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari memadai. Besarnya anggaran pendidikan tidak serta-merta menjadikan kualitas pendidikan meningkat. Mengapa? Karena kualitas guru masih bermasalah. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015, rata-rata nasional hanya 44,5, berada jauh di bawah nilai standar 55. Bahkan, kompetensi pedagogik, yang menjadi kompetensi utama guru pun belum menggembirakan. Masih banyak guru yang cara mengajarnya masih text book, cara mengajar di kelas yang membosankan.
Tahun 2016, kualitas pendidikan di Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 69 negara. Hal ini menjadi cermin konkret akan kualitas dan kompetensi guru di Indonesia. Maka, harus ada langkah serius untuk membenahi kualitas guru. Ibaratnya, guru menjadi ‘teko’ dan siswa sebagai ‘gelas’ sehingga siswa hanya menerima apa pun yang dituangkan guru. Siswa tidak diajarkan untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya. Siswa hanya bisa disuruh tanpa diajarkan untuk mengenal diri dan potensi yang ada dalam dirinya. Belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai ‘ahli’ pada mata pelajaran tertentu. Siswa lebih membutuhkan ‘pengalaman’ dalam belajar, bukan ‘pengetahuan’. Karena itu, kompetensi guru menjadi syarat utama tercapainya kualitas belajar yang baik. Guru yang kompeten akan ‘meniadakan’ problematik belajar akibat kurikulum. Kompetensi guru harus berpijak pada kemampuan dalam mengajarkan materi pelajaran secara menarik, inovatif, dan kreatif yang mampu membangkitkan gairah siswa dalam belajar. Konsekuensinya, untuk meningkatkan kualitas pendidikan sangat dibutuhkan guru-guru yang mampu mengubah kurikulum menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas sebagai ruang sentral interaksi guru dan siswa harus menyenangkan. Guru tidak butuh kurikulum yang mematikan kreativitas siswa. Seharusnya, guru menjadi sosok yang tidak dominan di dalam kelas. Guru bukan orang yang tahu segalanya. Guru pun bukan pendidik yang berbasis kunci jawaban, melainkan guru penuntun siswa agar ‘menemukan’ bidang pelajaran yang paling disukainya. Tujuan besar perubahan kurikulum tentu akan sia-sia apabila mindset guru tidak berubah. Guru ialah kreator dan tidak perlu text book terhadap kurikulum. Guru tidak boleh nyaman dengan cara belajar yang satu arah. Sekali lagi, kualitas pendidikan hanya bisa terjadi bila guru mengajar dengan hati, bukan hanya logika.
Patut disepakati, persoalan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa dijawab dengan cara mengubah kurikulum, atau bahkan mengganti menteri atau dirjen. Kualitas pendidikan hanya bisa dijawab oleh kualitas guru. Guru yang profesional, guru yang berkualitas ialah jaminannya. Tanpa perbaikan kualitas guru, kualitas pendidikan akan tetap jauh panggang dari api, akan tidak memadai. Bayangkan saja, dari 3,9 juta guru yang ada saat ini, masih terdapat 25% yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% belum memiliki sertifikat profesi. Di sisi lain, seorang guru dalam menjalankan tugasnya harus memiliki standar kompetensi yang mencakup: kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Kita masih ingat penerapan sekolah 5 hari yang menimbulkan polemik. Bahkan, penerapan Kurikulum 2013 yang ‘terpaksa’ dibatalkan akibat guru yang belum paham betul. Banyak guru yang bingung sehingga pembelajaran tidak berjalan optimal. Maka, upaya meningkatkan kualitas guru sebagai pelaksana kurikulum di kelas sangatlah penting karena sebaik apa pun kurikulum yang ada, tidak akan bisa berjalan dengan baik tanpa didukung guru yang berkualitas. Persoalan guru memang tidak sederhana. Jangan pula dinyatakan terlalu kompleks. Kualitas guru hanya akan dapat diraih bila kompetensi keguruan bisa dioptimalkan. Kompetensi guru, prinsip dasarnya adalah memetakan faktor-faktor yang menyebabkan tidak kompetennya guru dalam mendidik. Setidaknya dapat diduga ada empat penyebab rendahnya kompetensi guru, yakni pertama, ketidaksesuaian disiplin ilmu dengan bidang ajar (miss-match). Masih banyak guru di sekolah yang mengajar mata pelajaran yang bukan bidang studi yang dipelajarinya. Hal ini terjadi karena persoalan kurangnya guru pada bidang studi tertentu. Kedua, kualifikasi guru yang belum setara sarjana. Konsekuensinya, standar keilmuan yang dimiliki guru menjadi tidak memadai untuk mengajarkan bidang studi yang menjadi tugasnya. Bahkan, tidak sedikit guru yang sarjana, tetapi tidak berlatar belakang sarjana pendidikan sehingga ‘bermasalah’ dalam aspek pedagogik. Ketiga, rekrutmen guru yang tidak efektif karena masih banyak calon guru yang direkrut tidak melalui mekanisme yang profesional, tidak mengikuti sistem rekrutmen yang dipersyarakatkan. Kondisi ini makin menjadikan kompetensi guru semakin rendah. Keempat, program peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB) guru yang rendah. Masih banyak guru yang ‘tidak mau’ mengembangkkan diri untuk menambah pengetahuan dan kompetensinya dalam mengajar. Guru tidak mau menulis, tidak membuat publikasi ilmiah, atau tidak inovatif dalam kegiatan belajar. Guru merasa hanya cukup mengajar. Sangat jelas, kualitas pendidikan ada di tangan guru. Kurikulum memang penting tapi tidak urgen bagi kualitas pendidikan. Menteri sehebat apa pun tidak terlalu penting bagi mutu pendidikan. Upaya memajukan generasi bangsa melalui pendidikan, tidak lagi bisa dibangun oleh diskusi tentang teori-teori untuk memajukan pendidikan. Terlalu banyak perdebatan tentang kurikulum yang efektif. Ketahuilah, guru akan sulit menerima perubahan jika kompetensinya rendah. Pendidikan akan semakin rumit ke depan bila kualitas guru memang lemah. Maka, kompetensi harus segera ditingkatkan. Itulah titik penting kualitas pendidikan Indonesia saat ini dan ke depannya. Selamat Hari Guru.
Proses pembelajaran merupakan salah satu unsur yang penting dalam pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas mencakup 5 unsur ( UNICEP, 2000), yaitu:
Dengan kata lain, supervisi akademik menjadi suatu alat untuk mencapai pembelajaran yang berkualitas, yakni dengan cara mensupervisi guru melalui perangkat pembelajarannya, proses pembelajaran serta penilaian. Kepala Sekolah adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan supervisi akademik di sekolah. Namun dalam pelaksanaannya, untuk alasan tertentu, kepala sekolah dapat menugaskan guru senior untuk melaksanakan supervisi akademik si sekolah. Page 2 |