Kewajiban ahli waris terhadap harta peninggalan yang harus diselesaikan adalah berikut ini kecuali

tirto.id - Hak ahli waris untuk mendapatkan harta waris dapat hilang jika syarat seorang muslim berhak mendapatkan warisan tidak terpenuhi.

Masalah harta orang yang meninggal seringkali menjadi sengketa bagi keluarga yang ditinggalkan. Untuk itu, para ahli waris mesti mengetahui ketentuan-ketentuan pembagian warisan sesuai aturan hukum syariah yang ditetapkan.

Dalam Islam, pembagian harta waris merupakan kewajiban yang dibebankan kepada ahli waris sesuai bagiannya masing-masing.

Syarat Seorang Muslim Berhak Mendapatkan Warisan

Sebagaimana dilansir dari laman NU Online, terdapat beberapa syarat dan rukun harus dipenuhi. Ketiadaan salah satu syarat dan rukun menjadikan harta warisan tidak boleh dibagikan kepada ahli waris. Empat syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:

1. Matinya Orang yang Mewariskan

Kematian orang yang mewariskan harus bisa dibuktikan, baik dengan pemeriksaan teliti, terdapat saksi, hingga diberitakan sudah meninggal dari pihak yang dapat dipercaya.

Bagi orang yang sedang sakit parah atau koma berkepanjangan, maka hartanya belum bisa diwariskan. Bagaimanapun juga harta warisan menjadi sah jika pewaris sudah benar-benar meninggal.

Untuk kasus orang hilang yang kabarnya tidak bisa diketahui, kematian dapat dinyatakan melalui putusan hakim sehingga harta warisan dapat dibagi kepada ahli warisnya.

2. Hidupnya Orang yang Mewarisi

Jika pewaris sudah dipastikan meninggal, maka ahli waris yang akan menerima hartanya harus dalam keadaan hidup, kendati dalam keadaan sekarat, meskipun tak lama kemudian menyusul meninggal.

3. Terdapat Hubungan Ahli Waris dengan Si Mayit

Syarat lain yang mesti dipenuhi adalah adanya hubungan antara ahli waris dengan pewaris, baik melalui kekerabatan nasab, hubungan pernikahan, atau pemerdekaan budak (wala').

Namun, kendati memiliki hubungan tertentu yang menjadikan ahli waris dapat menerima pusaka, terdapat penghalang yang membatalkan warisan.

Misalnya jika ahli waris membunuh pewarisnya maka ia diharamkan memperoleh warisan sebagaimana sabda Nabi Muhammad, "Pembunuh tidak berhak mendapat apa-apa. Jika tidak ada pewaris yang lain, maka pewarisnya orang terdekat darinya, dan pembunuh tidak dapat mewarisi apa pun." (HR. Abu Daud)

4. Satu Alasan yang Menetapkan Seseorang Bisa Mendapatkan Warisan Secara Rinci

Syarat terakhir ini ditetapkan oleh hakim untuk menunjukkan bahwa seseorang adalah ahli waris yang berhak menerima warisan dari pewaris atau tidak. Pernyataan saksi saja tidak cukup, kecuali terdapat alasan pewarisan yang masuk akal.

Sedangkan rukun waris terdapat tiga sebagaimana ditulis Muhammad Ajib dalam Fiqh Hibah dan Waris (2019: 44-45) sebagai berikut:

  • Orang yang mewariskan (al-muwarrist), yaitu orang yang meninggal dunia
  • Orang yang mewarisi (al-waarist), yaitu orang yang berhak memperoleh warisan dengan syarat-syarat yang sudah disebutkan di atas.
  • Pusaka yang diwarisi (al-maurust), yaitu harta peninggalan si mayit yang mungkin diwariskan.

Jika salah satu dari rukun atau syarat yang sudah dipaparkan di atas tidak terpenuhi maka pewarisan menjadi batal. Hal ini dikarenakan warisan adalah hak seseorang terhadap harta orang lain. Orang yang tidak memenuhi rukun dan syarat tidak berhak memperoleh kepemilikan pusaka mayit yang sudah meninggal.

Baca juga:

  • Sejarah Masuk dan Berkembangnya Kristen serta Islam di Minahasa
  • Tata Cara Mengkafani Jenazah Laki-Laki dan Perempuan dalam Islam

Baca juga artikel terkait WARISAN atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/ylk)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Yulaika Ramadhani
Kontributor: Abdul Hadi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Kewajiban ahli waris terhadap harta peninggalan yang harus diselesaikan adalah berikut ini kecuali

BincangSyariah.Com – Dalam islam, bila ada seorang muslim yang meninggal dunia dan memiliki harta yang ditinggalkan (tirkah), ada kewajiban sebelum melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli waris.

Tirkah sendiri secara bahasa berarti meninggalkan atau peninggalan, diambil dari kata taraka. Sedang dalam pembahasan ilmu al-faroidh, tirkah sendiri mempunyai makna sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit baik berupa harta atau hak.

Kewajiban ahli waris terhadap harta peninggalan yang harus diselesaikan adalah berikut ini kecuali

Syekh Abdul Fattah bin Husain dalam kitabnya yang berjudul al-Majmu’atu ar-Riwayah menjelaskan ada lima kewajiban sebelu hak yang berkaitan dengan tirkah.

Pertama, kewajiban pemilik harta (al-haqq bi ‘ayn at-tirkah).

Contoh kewajiban ini adalah zakat, kafarat dan gadai. Jadi, apabila terdapat mayit meninggal dunia dan ternyata ia memiliki tanggungan zakat, kafarat dan gadai misalnya, maka tirkah atau harta peninggalannya harus digunakan untuk kepentingan yang pertama ini.

Kedua, biaya perawatan mayit seperlunya (mu’anu at-tajhiz min ghoyri israafin wa laa taqtiir)

Sebelum mewariskan harta si mayit, harta miliki si mayit harus digunakan untuk biaya perawatan mayit seperti biaya untuk memandikannya, mengkafani hingga menguburkannya. Seperlunya. Tidak terlalu boros dan pelit. Akan tetapi, menurut mazhab Imam Ahmad bin Hanbal hak nomer dua ini lebih utama daripada nomer satu.

Ketiga, hutang-hutang milik mayit (ad-duyun al-muthlaqah ‘an ta’allaquhihaa bi ‘ayn at-tirkah)

Setelah kedua hal diatas, bila yang wafat masih memiliki hutang, maka harta peninggalannya (tirkah) harus digunakan untuk membayar hutang-hutang si mayit. Hal ini berdasarkan hadis nabi Muhammad SAW.:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَى يٌقْضَى عَنْهُ

Diri seorang mukmin tergantung pada hutangnya hingga hutang tersebut dilunasi. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah diriwayatk dari Abu Hurairah)

Keempat, melaksanakan wasiat (al-washiyyah)

Apabila mayit sebelum meninggal dunia telah mewasiatkan sesuatu yang berkaitan dengan hartanya (tirkah), maka wasiatnya harus didahulukan terlebih dahulu sebelum membagi warisan. Untuk pembahasan wasiat sendiri ada pembahasan lebih spesifik dalam tulisan lain, yang jelas maksimal harta yang boleh diwasiatkan hanya sepertiga bagian dari hartanya.

Terakhir, warisan itu sendiri.

Setelah empat hak tersebut dipenuhi, maka kemudian harta si mayit dibagi kepada ahli waris sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu faroidh yang telah dijelaskan oleh para ulama. Untuk pembahasan lebih jelasnya terkait ilmu faoridh akan dijelaskan pada artikel mendatangnya

Oleh karena itu, dalam pembagian warisan ini tidak bisa langsung membagi harta waris (tirkah), tapi ada kewajiban yang harus dilaksanakan terlebih dahulu. Sekian, terima kasih.

Wallahu A’lam.

Kewajiban ahli waris terhadap harta peninggalan yang harus diselesaikan adalah berikut ini kecuali

I. Kewarisan Menurut Hukum Islam

Pembagian Harta Waris – Hukum Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih jauh ditegaskan oleh rasulullah Saw. Yang artinya:

“Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”.

Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan menururt Islam adalah sangat penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam adalah mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam hadits rasulullah di atas.

Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu:

  1. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
  2. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
  3. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
  4. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
  5. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
  6. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
  7. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
  8. Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.

Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal 175 KHI adalah:

  1. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
  2. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
  3. Menyelesaiakan wasiat pewaris.
  4. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI).

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).

Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).

Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI).

Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI).

Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:

  1. Perkawinan.
  2. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
  3. Wakaf dan sedekah.

Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.

Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:

  1. Anak laki-laki (al ibn).
  2. Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .
  3. Bapak (al ab).
  4. Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).
  5. Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).
  6. Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).
  7. Saudara laki-laki seibu (al akh lium).
  8. Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).
  9. Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).
  10. Paman seibu sebapak.
  11. Paman sebapak (al ammu liab).
  12. Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).
  13. Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).
  14. Suami (az zauj).
  15. Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan seorang hamba apabila sihamba tidak mempunyai ahli waris.

Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:

  1. Anak perempuan (al bint).
  2. Cucu perempuan (bintul ibn).
  3. Ibu (al um).
  4. Nenek, yaitu ibunya ibu ( al jaddatun).
  5. Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).
  6. Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).
  7. Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).
  8. Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).
  9. Isteri (az zaujah).
  10. Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah).

Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri tidak pernah terhijab dari ahli waris. Adapun yang menjadi dasar hukum bagian isteri adalah firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 12, yang artinya:

“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”.

Suami mendapat ½ bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat ¼ bagian apabila pewaris mempunyai anak, berdasarkan firman Allah surat an Nisa’ ayat 12, yang artinya:

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”.

Sedangkan bagian anak perempuan adalah:

  1. Seorang anak perempauan mendapat ½ bagian, apabila pewaris mempunyai anak laki – laki.
  2. Dua anak perempauan atau lebih, mendapat 2/3 bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.
  3. Seorang anak perempuan atau lebih, apabila bersama dengan anak laki-laki, maka pembagiannya dua berbanding satu (anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian), hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa’ Ayat 11 yang artinya:

“Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.

Bagian anak laki-laki adalah:

  1. Apabila hanya seorang anak laki-laki saja, maka dia mengambil semua warisan sebagai ashabah, jika tidak ada ahli waris dzawil furudz, namun jika ada ahli waris dzawil furudz maka ia hanya memperoleh ashabah (sisa) setelah dibagikan kepada ahli waris dzwil furudz tersebut (ashabah bin nafsih).
  2. Apabila anak laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak perempauan, serta ahli waris dzwil furudz yang lain, maka ia membagi rata harta warisan itu, namun jika ada anak perempuan, maka dibagi dua banding satu (ashabah bil ghair), berdasarkan surat Anisa’ ayat 11 dan 12 tersebut.

Ibu dalam menerima pusaka/bagian harta waris adalah sebagai berikut:

  1. Ibu mendapat seperenam, apabila pewaris meninggalkan anak.
  2. Ibu mendapat sepertiga bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak.

Dan diantara ahli waris yang ada, apabila ada ibu maka yang dihijab ibu adalah nenek dari pihak ibu, yaitu ibu dari ibu dan seterusnya keatas. Nenek dari pihak bapak yaitu ibu dari bapak dan seterusnya keatas. Hal ini berdasarkan surat An Nisa’ ayat 11 yang artinya:”Dan untuk dua orang ibu bapak, baginya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris itu mempunyai anak”.

Bagian Bapak adalah:

  1. Apabila sipewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki, maka bapak mendapat 1/6 dari harta peninggalan dan sisanya jatuh kepada anak laki-laki.
  2. Apabila pewaris hanya meninggalkan bapak saja, maka bapak mengambil semua harta peninggalan dengan jalan ashabah.
  3. Apabila pewaris meninggalkan ibu dan bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan bapak mengambil 2/3 bagian.

Sedangkan bagian nenek adalah:

  1. Apabila seorang pewaris meninggalkan seorang nenek saja, dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat bagian 1/6.
  2. Apabila seorang pewaris meninggalkan nenek lebih dari seorang dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat 1/6 dibagi rata diantara nenek tersebut.

Menurut hukum waris Islam, oarng yang tidak berhak mewaris adalah:

  1. Pembunuh pewaris, berdasrkan hadtis yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan An Nasa’i.
  2. Orang murtad, yaitu keluar dari agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bardah.
  3. Orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang yang tidak menganut agama Islam atau kafir.
  4. Anak zina, yaitu anak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi (Hazairin, 1964: 57).

Perlu diketahui bahwa jika pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek terhalang, baik nenek dari pihak ibu sendiri maupun nenek dari pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan adalah hanya anak (baik laki-laki maupun perempuan), ayah, ibu, dan janda atau duda sedangkan ahli waris yang lain terhalang (mahjub) (Pasal 174 Ayat (2) KHI).

Untuk memudahkan mengetahui siapa ahli waris yang berhak dan berapa bagiannya masing masing bisa KLIK : Kalkulator Waris Islam

II. Sistem Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW).

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:

  1. Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
  2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).

Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.

Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).

Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:

  1. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing – masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
  2. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
  3. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).

Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan berdasarkan KUHPerdata ;

A. GOLONGAN I.

Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Ayah Ibu Pewaris Saudara Saudara

B. GOLONGAN II

Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris. Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian

C. GOLONGAN III

kakek nenek kakek nenek Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah. Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.

D. GOLONGAN IV

Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.

Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan lain-lain cara yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.

Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:

  1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
  2. Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
  3. Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya.
  4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.

III. Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH Perdata (BW).

Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak.

Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.

Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.

Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).

Catatan Penting : Bahwa pembagian harta waris bagi mereka yang beragama islam (muslim) maka menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam/Kewarisan menurut hukum islam dan jika terjadi sengketa maka penyelesaiannya bisa melalui Pengadilan Agama, sedangkan bagi mereka yang non-muslim ketentuan kewarisan berdasarkan KUHPerdata (BW) kemudian jika terjadi sengketa upaya hukumnya harus ke Pengadilan Negeri.

Dengan demikian sangat keliru jika kita beragama muslim tapi pembagian harta warisnya ingin menggunakan ketentuan yang ada dalam KUH Perdata, karena pembagian harta waris menurut KUH Perdata (BW) berlaku bagi mereka yang beragama non-muslim di Indonesia.