Karin selalu menghargai orang tuanya yang sedang berbicara ia adalah anak yang

Dengan maraknya kasus kekerasan dan pelecehan, orang tua perlu mengajari anak laki-laki untuk menghargai perempuan. Ini caranya.

Karin selalu menghargai orang tuanya yang sedang berbicara ia adalah anak yang

Klikdokter.com, Jakarta Dengan maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual, orang tua perlu tahu cara mengajari anak – baik laki-laki maupun perempuan – untuk menghargai sesamanya sedini mungkin.

Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019, pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2018 meningkat 14 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus kekerasan yang dimaksud antara lain kekerasan di ranah privat (keluarga, kerabat, relasi intim), pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape), inses (pada kasus ini pemerkosaan oleh seseorang yang punya hubungan darah), dan lain sebagainya.

Baca Juga

Peran orang tua begitu besar untuk membentuk karakter dan kepribadian anak, yang lantas akan membentuk jati dirinya ketika ia dewasa kelak. Merujuk pada data di atas, sudahkah Anda sebagai orang tua untuk mengajari anak laki-laki untuk menghargai perempuan?

Mengapa perlu diajarkan?

Mengajari anak laki-laki untuk menghormati perempuan sejak dini dapat mengurangi tindakan kekerasan dan pelecehan di kemudian hari. Kalau Anda sering membaca berita, kasus kejahatan dan pelecehan terhadap wanita seperti tak habis-habis. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman pelaku untuk menghargai kaum Hawa.

Salah satu kunci penting menumbuhkan pola pikir tersebut adalah membangun rasa empatinya. Menurut dr. Karin Wiradarma dari KlikDokter, seorang anak baru dapat memahami konsep menghormati dan berempati saat usianya 8-9 tahun.

“Tak perlu menunggu anak sebesar itu. Sebab, saat anak berusia 5 tahun, ia mulai bisa memahami konsep ‘kalau saya ingin diperlakukan dengan baik, maka saya juga harus memperlakukan orang dengan baik’,” jelas dr. Karin.

Masih bingung bagaimana cara mengajari anak laki-laki tentang konsep menghargai perempuan? Langkah-langkah di bawah ini bisa menjadi panduan.

Hingga saat ini, memang masih lebih banyak tokoh pahlawan, pemimpin negara, superhero berjenis kelamin laki-laki. Belum lagi urusan gaji. Kendati demikian, bukan berarti perempuan lebih lemah, kurang berprestasi, atau memiliki derajat atau nilai lebih rendah.

Sebagai permulaan, Anda bisa mengenalkan tokoh-tokoh wanita kepada si Kecil. Anda bisa membelikannya buku atau menyaksikan tayangan yang memperlihatkan prestasi wanita. Ini bisa menunjukkan bahwa dunia ini bukanlah hanya dominasi pria.

Biasanya, anak laki-laki yang sejak lama bersahabat dengan anak perempuan akan lebih mudah untuk menghargai, menghormati, dan berempati. Ini karena ia mengerti tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Ini adalah awal mula yang baik untuk menanamkan konsep kesetaraan gender. 

Keinginan untuk menyakiti perempuan, hewan, ataupun makhluk hidup lainnya niscaya akan lebih rendah ketimbang mereka yang hanya bermain dengan anak laki-laki saja. Sebab, komunitas “eksklusif” anak laki-laki biasanya lebih “berani” dan “penasaran”.

Ucapan yang diajarkan sejak dini akan lebih terpatri di pikiran si Kecil. Jadi, tak ada salahnya di momen-momen tertentu, Anda langsung mengatakan hal yang bisa dijadikan pelajaran.

Sebagai contoh, Anda bisa mengajak anak naik transportasi umum, misalnya kereta api. Apabila ada ibu hamil, lansia, ibu dengan anak-anak, atau penyandang disabilitas yang naik, Anda bisa memberikan tempat duduk anak sekaligus memberi pemahaman kepada anak tentang apa yang baru saja Anda lakukan.

Selain itu, seorang ayah juga perlu memberi contoh dalam hal menghargai perempuan. Misalnya menunjukkan rasa cinta kepada istri, bagaimana seharusnya memperlakukan ibu, nenek, atau saudara perempuannya, dan lain-lain. Bisa juga dengan mendengarkan apa yang dikatakan oleh wanita dan menghargai segala pendapatnya. Kemungkinan ia akan melakukan hal yang sama di kemudian hari.

Jangan sekali-kali melarang anak lelaki untuk menangis, apalagi hanya karena anggapan tak pantas. Menangis adalah salah satu ungkapan kesedihannya.

Yang bisa orang tua lakukan adalah memberikan respons baik dan tidak meremehkan perasannya. Ini penting supaya anak tahu bahwa orang tuanya akan selalu ada untuk mengatasi perasaan negatif, frustrasi, dan kecemasan yang ia rasakan. Anak pun jadi sehat secara emosional untuk bicara tentang perasaan, serta membuatnya lebih menghargai wanita.

Konten yang menayangkan kekerasan banyak sekali. Beberapa studi menunjukkan bahwa anak-anak yang bermain gim dengan konten kekerasan atau menggambarkan kekerasan sebagai sebuah hiburan, ia akan kurang bisa menunjukkan empati atau kebaikan. Meminimalkan paparan terhadap gim, TV, video, ataupun media lainnya dengan konten sejenis bisa membantu.

Tunjukkan bahwa tugas-tugas rumah tangga seperti mencuci, menyetrika, bersih-bersih rumah dan pekerjaan lainnya bukan hanya tugas wanita. Keterampilan tersebut juga perlu dikuasai anak laki-laki dan ia pun harus berkontribusi. Ajari ia secara perlahan dan beri penjelasan bahwa hal itu merupakan tanggung jawab bersama, tak peduli apakah dia perempuan atau laki-laki.

Untuk anak yang lebih besar, ia perlu tahu batasan-batasan terhadap lawan jenis. Ia tak boleh atau harus berhenti menyentuh, dalam bentuk apa pun, jika tidak disetujui oleh pihak lain. Ajarkan anak bahwa “no means no—kalau tidak boleh, ya tidak boleh dilakukan”. Dan ini merupakan pelajaran yang tak hanya dilakukan sekali, tetapi harus berkali-kali dalam berbagai kesempatan.

Apa yang disebutkan di atas hanya sebagian kecil contoh tentang cara mengajari anak laki-laki untuk menghargai perempuan. Jangan hanya fokus mengajarinya, Anda sebagai orang juga perlu menunjukkan rasa hormat dan menghargai kepada anak. Ajari ia nilai-nilai baik dalam kehidupan, tunjukkan kasih sayang, dengarkan segala cerita dan keluh-kesahnya, serta hargai pendapatnya. 

(RN/ RVS)

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siang itu dalam sebuah meeting, saya sedang menjelaskan sesuatu. Saya tahu, topik yang sedang saya jelaskan itu memang tidak mudah untuk dimengerti oleh orang lain yang tidak memiliki latar pendidikan yang sama dengan saya. Oleh sebab itu, saya berusaha untuk menjelaskan dengan bahasa yang semudah mungkin untuk dimengerti dan sesingkat mungkin. Namun apa daya, orang yang menjadi sasaran penjelasan saya malah sibuk membuka gadget dan laptopnya (padahal sebelumnya dia sendiri yang minta dijelaskan). Dan begitu saya menyelesaikan penjelasan saya dan berganti topik, ia kembali bertanya dan meminta saya mengulang apa yang sudah saya bicarakan tadi. Seketika itu juga saya ingin sekali keluar dari ruangan meeting.

Dalam hal komunikasi dua arah, aktivitas dasar yang terjadi adalah berbicara dan mendengarkan. Dan tidak bisa dipungkiri, mendengarkan menjadi sesuatu yang lebih sulit untuk dilakukan dibandingkan berbicara. Dan yang saya maksud di sini adalah "mendengarkan", bukan "mendengar", karena jelas artinya berbeda. Saat berkomunikasi, semua orang bisa saja mendengar, tetapi belum tentu mendengarkan.

"Mendengarkan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki padanan kata dengan "menyimak" yang berarti memperhatikan / mempelajari dengan baik-baik / teliti apa yang dikatakan / dibaca oleh seseorang. Mendengarkan juga memiliki arti yang "lebih tinggi" dibandingkan mendengar. Mendengarkan berarti menghargai orang yang sedang berbicara dengan kita. Itulah mengapa terkadang, saat seseorang berbicara, ia akan tetap merasa dihargai meski si pendengar tidak membalas perkataannya.

Ketika Anda sedang berbicara atau menjelaskan sesuatu, terutama hal yang sangat penting, tentunya Anda akan merasa sangat kesal ketika lawan bicara Anda malah sibuk dengan gadget-nya sendiri atau tertidur atau yang lebih parah, malah sibuk berbicara dengan orang lain didekatnya. Dan tentunya akan menambah tingkat kekesalan Anda ketika tak lama kemudian, lawan bicara Anda meminta Anda mengulang apa yang Anda bicarakan.

Saya sangat menyadari kemampuan pemahaman setiap orang berbeda-beda. Ada yang mudah mendengarkan pembicaraan yang cepat, ada pula yang baru mengerti ketika mendengar orang yang berbicara lambat-lambat. Dan di luar pebedaan kemampuan pemahaman itu, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan seseorang susah menjadi pendengar yang baik. Misalnya:

1. Yang dia dengar bukanlah sesuatu yang mau dia dengar alias tidak mempunyai minat. Atau bahkan yang dia dengar, bukanlah dari orang yang ingin dia dengarkan (ini lebih parah lagi).

2. Tidak sabaran dan terlalu cepat menilai. Hal ini berakibat, si pendengar selalu memotong pembicaraan padahal ia belum mendengarkan penjelasan hingga selesai. Dan biasanya, orang-orang seperti ini sibuk dengan pemikirannya sendiri dan selalu memaksakan orang lain berpikir sama seperti dirinya.

3. Perhatiannya mudah terbagi / tidak fokus. Misalnya karena ada bunyi-bunyian lain di sekitarnya atau kejadian lain yang lebih menarik perhatian.

4. Berada di tempat, waktu dan situasi yang salah. Misalnya berada di tempat yang bising, sedang mengantuk atau letih, sedang sedih atau baru saja bertengkar.

Namun, meskipun kita mengalami atau bersifat seperti keempat hal di atas, penting sekali bagi kita untuk berusaha memberikan perhatian kepada lawan bicara. Paham atau tidaknya kita pada suatu topik yang dibicarakan, itu urusan belakangan. Kontak mata dalam berkomunikasi sangatlah penting. Dengan kontak mata, tandanya kita memberikan waktu dan perhatian kepada lawan bicara. Dan seperti yang sudah saya katakan di atas, hal itu sudah merupakan bentuk menghargai orang lain. Meskipun kita bisa menyimak dan memahami perkataan orang lain tanpa kontak mata, singkirkanlah sejenak kebiasaan itu. Karena belum tentu semua orang bisa menerima sikap kita.

Menjadi pendengar yang baik akan menciptakan suasana yang kondusif. Dengan mendengarkan, hal-hal seperti kericuhan dan kesalahpahaman akan mudah untuk dihindari. Berbeda dengan berbicara, ketika mendengarkan dibutuhkan sikap kerendahan hati. Dan sangat manusiawi ketika rendah hati itu sulit untuk diterapkan pada diri sendiri. Tapi jika kita mau berusaha, tentu tidak ada ruginya juga.


Page 2

Siang itu dalam sebuah meeting, saya sedang menjelaskan sesuatu. Saya tahu, topik yang sedang saya jelaskan itu memang tidak mudah untuk dimengerti oleh orang lain yang tidak memiliki latar pendidikan yang sama dengan saya. Oleh sebab itu, saya berusaha untuk menjelaskan dengan bahasa yang semudah mungkin untuk dimengerti dan sesingkat mungkin. Namun apa daya, orang yang menjadi sasaran penjelasan saya malah sibuk membuka gadget dan laptopnya (padahal sebelumnya dia sendiri yang minta dijelaskan). Dan begitu saya menyelesaikan penjelasan saya dan berganti topik, ia kembali bertanya dan meminta saya mengulang apa yang sudah saya bicarakan tadi. Seketika itu juga saya ingin sekali keluar dari ruangan meeting.

Dalam hal komunikasi dua arah, aktivitas dasar yang terjadi adalah berbicara dan mendengarkan. Dan tidak bisa dipungkiri, mendengarkan menjadi sesuatu yang lebih sulit untuk dilakukan dibandingkan berbicara. Dan yang saya maksud di sini adalah "mendengarkan", bukan "mendengar", karena jelas artinya berbeda. Saat berkomunikasi, semua orang bisa saja mendengar, tetapi belum tentu mendengarkan.

"Mendengarkan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki padanan kata dengan "menyimak" yang berarti memperhatikan / mempelajari dengan baik-baik / teliti apa yang dikatakan / dibaca oleh seseorang. Mendengarkan juga memiliki arti yang "lebih tinggi" dibandingkan mendengar. Mendengarkan berarti menghargai orang yang sedang berbicara dengan kita. Itulah mengapa terkadang, saat seseorang berbicara, ia akan tetap merasa dihargai meski si pendengar tidak membalas perkataannya.

Ketika Anda sedang berbicara atau menjelaskan sesuatu, terutama hal yang sangat penting, tentunya Anda akan merasa sangat kesal ketika lawan bicara Anda malah sibuk dengan gadget-nya sendiri atau tertidur atau yang lebih parah, malah sibuk berbicara dengan orang lain didekatnya. Dan tentunya akan menambah tingkat kekesalan Anda ketika tak lama kemudian, lawan bicara Anda meminta Anda mengulang apa yang Anda bicarakan.

Saya sangat menyadari kemampuan pemahaman setiap orang berbeda-beda. Ada yang mudah mendengarkan pembicaraan yang cepat, ada pula yang baru mengerti ketika mendengar orang yang berbicara lambat-lambat. Dan di luar pebedaan kemampuan pemahaman itu, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan seseorang susah menjadi pendengar yang baik. Misalnya:

1. Yang dia dengar bukanlah sesuatu yang mau dia dengar alias tidak mempunyai minat. Atau bahkan yang dia dengar, bukanlah dari orang yang ingin dia dengarkan (ini lebih parah lagi).

2. Tidak sabaran dan terlalu cepat menilai. Hal ini berakibat, si pendengar selalu memotong pembicaraan padahal ia belum mendengarkan penjelasan hingga selesai. Dan biasanya, orang-orang seperti ini sibuk dengan pemikirannya sendiri dan selalu memaksakan orang lain berpikir sama seperti dirinya.

3. Perhatiannya mudah terbagi / tidak fokus. Misalnya karena ada bunyi-bunyian lain di sekitarnya atau kejadian lain yang lebih menarik perhatian.

4. Berada di tempat, waktu dan situasi yang salah. Misalnya berada di tempat yang bising, sedang mengantuk atau letih, sedang sedih atau baru saja bertengkar.

Namun, meskipun kita mengalami atau bersifat seperti keempat hal di atas, penting sekali bagi kita untuk berusaha memberikan perhatian kepada lawan bicara. Paham atau tidaknya kita pada suatu topik yang dibicarakan, itu urusan belakangan. Kontak mata dalam berkomunikasi sangatlah penting. Dengan kontak mata, tandanya kita memberikan waktu dan perhatian kepada lawan bicara. Dan seperti yang sudah saya katakan di atas, hal itu sudah merupakan bentuk menghargai orang lain. Meskipun kita bisa menyimak dan memahami perkataan orang lain tanpa kontak mata, singkirkanlah sejenak kebiasaan itu. Karena belum tentu semua orang bisa menerima sikap kita.

Menjadi pendengar yang baik akan menciptakan suasana yang kondusif. Dengan mendengarkan, hal-hal seperti kericuhan dan kesalahpahaman akan mudah untuk dihindari. Berbeda dengan berbicara, ketika mendengarkan dibutuhkan sikap kerendahan hati. Dan sangat manusiawi ketika rendah hati itu sulit untuk diterapkan pada diri sendiri. Tapi jika kita mau berusaha, tentu tidak ada ruginya juga.


Karin selalu menghargai orang tuanya yang sedang berbicara ia adalah anak yang

Lihat Humaniora Selengkapnya


Page 3

Siang itu dalam sebuah meeting, saya sedang menjelaskan sesuatu. Saya tahu, topik yang sedang saya jelaskan itu memang tidak mudah untuk dimengerti oleh orang lain yang tidak memiliki latar pendidikan yang sama dengan saya. Oleh sebab itu, saya berusaha untuk menjelaskan dengan bahasa yang semudah mungkin untuk dimengerti dan sesingkat mungkin. Namun apa daya, orang yang menjadi sasaran penjelasan saya malah sibuk membuka gadget dan laptopnya (padahal sebelumnya dia sendiri yang minta dijelaskan). Dan begitu saya menyelesaikan penjelasan saya dan berganti topik, ia kembali bertanya dan meminta saya mengulang apa yang sudah saya bicarakan tadi. Seketika itu juga saya ingin sekali keluar dari ruangan meeting.

Dalam hal komunikasi dua arah, aktivitas dasar yang terjadi adalah berbicara dan mendengarkan. Dan tidak bisa dipungkiri, mendengarkan menjadi sesuatu yang lebih sulit untuk dilakukan dibandingkan berbicara. Dan yang saya maksud di sini adalah "mendengarkan", bukan "mendengar", karena jelas artinya berbeda. Saat berkomunikasi, semua orang bisa saja mendengar, tetapi belum tentu mendengarkan.

"Mendengarkan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki padanan kata dengan "menyimak" yang berarti memperhatikan / mempelajari dengan baik-baik / teliti apa yang dikatakan / dibaca oleh seseorang. Mendengarkan juga memiliki arti yang "lebih tinggi" dibandingkan mendengar. Mendengarkan berarti menghargai orang yang sedang berbicara dengan kita. Itulah mengapa terkadang, saat seseorang berbicara, ia akan tetap merasa dihargai meski si pendengar tidak membalas perkataannya.

Ketika Anda sedang berbicara atau menjelaskan sesuatu, terutama hal yang sangat penting, tentunya Anda akan merasa sangat kesal ketika lawan bicara Anda malah sibuk dengan gadget-nya sendiri atau tertidur atau yang lebih parah, malah sibuk berbicara dengan orang lain didekatnya. Dan tentunya akan menambah tingkat kekesalan Anda ketika tak lama kemudian, lawan bicara Anda meminta Anda mengulang apa yang Anda bicarakan.

Saya sangat menyadari kemampuan pemahaman setiap orang berbeda-beda. Ada yang mudah mendengarkan pembicaraan yang cepat, ada pula yang baru mengerti ketika mendengar orang yang berbicara lambat-lambat. Dan di luar pebedaan kemampuan pemahaman itu, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan seseorang susah menjadi pendengar yang baik. Misalnya:

1. Yang dia dengar bukanlah sesuatu yang mau dia dengar alias tidak mempunyai minat. Atau bahkan yang dia dengar, bukanlah dari orang yang ingin dia dengarkan (ini lebih parah lagi).

2. Tidak sabaran dan terlalu cepat menilai. Hal ini berakibat, si pendengar selalu memotong pembicaraan padahal ia belum mendengarkan penjelasan hingga selesai. Dan biasanya, orang-orang seperti ini sibuk dengan pemikirannya sendiri dan selalu memaksakan orang lain berpikir sama seperti dirinya.

3. Perhatiannya mudah terbagi / tidak fokus. Misalnya karena ada bunyi-bunyian lain di sekitarnya atau kejadian lain yang lebih menarik perhatian.

4. Berada di tempat, waktu dan situasi yang salah. Misalnya berada di tempat yang bising, sedang mengantuk atau letih, sedang sedih atau baru saja bertengkar.

Namun, meskipun kita mengalami atau bersifat seperti keempat hal di atas, penting sekali bagi kita untuk berusaha memberikan perhatian kepada lawan bicara. Paham atau tidaknya kita pada suatu topik yang dibicarakan, itu urusan belakangan. Kontak mata dalam berkomunikasi sangatlah penting. Dengan kontak mata, tandanya kita memberikan waktu dan perhatian kepada lawan bicara. Dan seperti yang sudah saya katakan di atas, hal itu sudah merupakan bentuk menghargai orang lain. Meskipun kita bisa menyimak dan memahami perkataan orang lain tanpa kontak mata, singkirkanlah sejenak kebiasaan itu. Karena belum tentu semua orang bisa menerima sikap kita.

Menjadi pendengar yang baik akan menciptakan suasana yang kondusif. Dengan mendengarkan, hal-hal seperti kericuhan dan kesalahpahaman akan mudah untuk dihindari. Berbeda dengan berbicara, ketika mendengarkan dibutuhkan sikap kerendahan hati. Dan sangat manusiawi ketika rendah hati itu sulit untuk diterapkan pada diri sendiri. Tapi jika kita mau berusaha, tentu tidak ada ruginya juga.


Karin selalu menghargai orang tuanya yang sedang berbicara ia adalah anak yang

Lihat Humaniora Selengkapnya


Page 4

Siang itu dalam sebuah meeting, saya sedang menjelaskan sesuatu. Saya tahu, topik yang sedang saya jelaskan itu memang tidak mudah untuk dimengerti oleh orang lain yang tidak memiliki latar pendidikan yang sama dengan saya. Oleh sebab itu, saya berusaha untuk menjelaskan dengan bahasa yang semudah mungkin untuk dimengerti dan sesingkat mungkin. Namun apa daya, orang yang menjadi sasaran penjelasan saya malah sibuk membuka gadget dan laptopnya (padahal sebelumnya dia sendiri yang minta dijelaskan). Dan begitu saya menyelesaikan penjelasan saya dan berganti topik, ia kembali bertanya dan meminta saya mengulang apa yang sudah saya bicarakan tadi. Seketika itu juga saya ingin sekali keluar dari ruangan meeting.

Dalam hal komunikasi dua arah, aktivitas dasar yang terjadi adalah berbicara dan mendengarkan. Dan tidak bisa dipungkiri, mendengarkan menjadi sesuatu yang lebih sulit untuk dilakukan dibandingkan berbicara. Dan yang saya maksud di sini adalah "mendengarkan", bukan "mendengar", karena jelas artinya berbeda. Saat berkomunikasi, semua orang bisa saja mendengar, tetapi belum tentu mendengarkan.

"Mendengarkan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki padanan kata dengan "menyimak" yang berarti memperhatikan / mempelajari dengan baik-baik / teliti apa yang dikatakan / dibaca oleh seseorang. Mendengarkan juga memiliki arti yang "lebih tinggi" dibandingkan mendengar. Mendengarkan berarti menghargai orang yang sedang berbicara dengan kita. Itulah mengapa terkadang, saat seseorang berbicara, ia akan tetap merasa dihargai meski si pendengar tidak membalas perkataannya.

Ketika Anda sedang berbicara atau menjelaskan sesuatu, terutama hal yang sangat penting, tentunya Anda akan merasa sangat kesal ketika lawan bicara Anda malah sibuk dengan gadget-nya sendiri atau tertidur atau yang lebih parah, malah sibuk berbicara dengan orang lain didekatnya. Dan tentunya akan menambah tingkat kekesalan Anda ketika tak lama kemudian, lawan bicara Anda meminta Anda mengulang apa yang Anda bicarakan.

Saya sangat menyadari kemampuan pemahaman setiap orang berbeda-beda. Ada yang mudah mendengarkan pembicaraan yang cepat, ada pula yang baru mengerti ketika mendengar orang yang berbicara lambat-lambat. Dan di luar pebedaan kemampuan pemahaman itu, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan seseorang susah menjadi pendengar yang baik. Misalnya:

1. Yang dia dengar bukanlah sesuatu yang mau dia dengar alias tidak mempunyai minat. Atau bahkan yang dia dengar, bukanlah dari orang yang ingin dia dengarkan (ini lebih parah lagi).

2. Tidak sabaran dan terlalu cepat menilai. Hal ini berakibat, si pendengar selalu memotong pembicaraan padahal ia belum mendengarkan penjelasan hingga selesai. Dan biasanya, orang-orang seperti ini sibuk dengan pemikirannya sendiri dan selalu memaksakan orang lain berpikir sama seperti dirinya.

3. Perhatiannya mudah terbagi / tidak fokus. Misalnya karena ada bunyi-bunyian lain di sekitarnya atau kejadian lain yang lebih menarik perhatian.

4. Berada di tempat, waktu dan situasi yang salah. Misalnya berada di tempat yang bising, sedang mengantuk atau letih, sedang sedih atau baru saja bertengkar.

Namun, meskipun kita mengalami atau bersifat seperti keempat hal di atas, penting sekali bagi kita untuk berusaha memberikan perhatian kepada lawan bicara. Paham atau tidaknya kita pada suatu topik yang dibicarakan, itu urusan belakangan. Kontak mata dalam berkomunikasi sangatlah penting. Dengan kontak mata, tandanya kita memberikan waktu dan perhatian kepada lawan bicara. Dan seperti yang sudah saya katakan di atas, hal itu sudah merupakan bentuk menghargai orang lain. Meskipun kita bisa menyimak dan memahami perkataan orang lain tanpa kontak mata, singkirkanlah sejenak kebiasaan itu. Karena belum tentu semua orang bisa menerima sikap kita.

Menjadi pendengar yang baik akan menciptakan suasana yang kondusif. Dengan mendengarkan, hal-hal seperti kericuhan dan kesalahpahaman akan mudah untuk dihindari. Berbeda dengan berbicara, ketika mendengarkan dibutuhkan sikap kerendahan hati. Dan sangat manusiawi ketika rendah hati itu sulit untuk diterapkan pada diri sendiri. Tapi jika kita mau berusaha, tentu tidak ada ruginya juga.


Karin selalu menghargai orang tuanya yang sedang berbicara ia adalah anak yang

Lihat Humaniora Selengkapnya