Jelaskan peristiwa heroik di surabaya dan heroik di makassar

Surabaya, KompasOtomotif — Avanzanation Journey 2014 wilayah tengah masih mengeksplorasi budaya dan sejarah di Surabaya, Minggu (23/2/2014). Kali ini rombongan mengarah ke salah satu tempat paling bersejarah bagi Surabaya, dan lebih jauh bagi Indonesia, yakni Hotel Majapahit. Letaknya di jantung Kota Pahlawan tersebut, tepatnya di Jalan Tunjungan 65.

Tim Avanzanation Journey bertandang ke tempat yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Hotel tersebut didirikan kali pertama oleh Sarkies Bersaudara, kelompok konglomerat hotel asal Armenia, tahun 1910. Konon, pada masa kejayaannya, ini adalah tempat penginapan termewah di Surabaya, yang bahkan kala itu pernah diinapi oleh Charlie Chaplin dan Paulette Goddard. Nama Oranje merujuk pada keluarga bangsawan Belanda yang berkuasa di Surabaya kala itu. Nama ini kemudian diubah menjadi Hotel Yamato pada 1942, setelah Jepang mulai berkuasa di Indonesia.

Hotel Yamato
Di tempat ini terjadi peristiwa besar yang disebut dengan "Insiden Hotel Yamato" pada 19 September 1945. Saat itu, terjadi peristiwa perobekan bendera Belanda (merah-putih-biru) menjadi merah-putih (bendera Indonesia). Jadi, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan, ada maklumat dari Presiden Soekarno untuk mengibarkan bendera negara di semua wilayah Indonesia, 31 Agustus 1945.

Maklumat ini memicu kemarahan Belanda di bawah seseorang bernama Ploegman. Ia mau menegaskan bahwa Indonesia masih di bawah kendali mereka. Caranya dengan mengibarkan bendera Belanda di tiang utara, tingkat teratas Hotel Yamato.

Keesokannya, para pemuda Surabaya melihat dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia. Mereka menganggap Belanda mau berkuasa kembali di Indonesia. Mereka juga menganggap hal tersebut melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Kronologi
Akhirnya, Sudirman, pejuang dan diplomat yang merupakan wakil pemerintahan Indonesia, masuk ke hotel dengan dikawal Sidik dan Hariyono. Mereka mencoba berunding untuk meminta Ploegman menurunkan bendera Belanda. Namun, Ploegman menolak, dan tidak mengakui kedaulatan Indonesia.

Perundingan semakin memanas, sampai akhirnya Ploegman mengeluarkan pistol. Hal tersebut memicu perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik Sidik, yang kemudian juga terbunuh oleh tentara Belanda yang bersiaga. Sementara itu, Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato.

Di luar hotel, para pemuda, yang mengetahui bahwa perundingan tidak berjalan lancar, langsung mendobrak masuk, dan terjadilah perkelahian di lobi hotel. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda.

Hariyono, yang semula bersama Sudirman, kembali ke dalam hotel dan ikut memanjat tiang bendera bersama Kusno Wibowo. Mereka kemudian berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya kembali ke puncak tiang.

10 November
Tentara Inggris yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), atas keputusan Blok Sekutu, ditugaskan untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan tawanan perang yang ditahan, dan memulangkan mereka ke negaranya. Namun, AFNEI ternyata juga punya misi mengembalikan Indonesia ke tangan Belanda. Mereka akan membuat Indonesia kembali menjadi negeri jajahan Hindia Belanda, melalui organisasi Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Mengetahui rencana licik ini, gejolak rakyat Indonesia semakin terpicu. Hal tersebut memunculkan pergerakan di mana-mana untuk melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA. Insiden Hotel Yamato juga memicu terjadinya pertempuran pertama antara Indonesia dan tentara sekutu Inggris (ANFEI), 27 Oktober 1945.

Beberapa serangan kecil di antara kedua belah pihak (Inggris dan pejuang Indonesia) kerap terjadi dan terus memburuk. Jumlah korban semakin banyak, baik dari pihak penjuang Indonesia maupun tentara sekutu Inggris. Melihat ini, pimpinan Inggris kala itu, Jenderal DC Hawthorn, meminta bantuan Soekarno untuk meredakan kondisi dengan gencatan senjata.

Jembatan Merah
Kesepakatan gencatan senjata ditandatangani kedua belah pihak, 29 Oktober 1945. Kondisi berangsur-angsur mereda. Namun, beberapa bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris masih terjadi di Surabaya.

Klimaks bagi Inggris terjadi ketika Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur, terbunuh pada 30 Oktober 1945. Saat itu, sekitar pukul 20.30, Mallaby yang tengah bekendara di jalan berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia. Salah paham kemudian memicu bentrok di antara kedua pihak. Baku tembak pun terjadi. Mallaby terbunuh oleh tembakan pistol salah seorang pemuda Indonesia. Mobil yang digunakkannya terbakar akibat ledakan granat, sampai jenazah Mallaby sulit dikenali.

Pihak Inggris geram. Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh (pengganti Mallaby) mengeluarkan ultimatum yang berisi tuntutan terhadap Indonesia untuk menyerahkan persenjataan, serta menghentikan perlawanan terhadap tentara AFNEI dan administrasi NICA. Batas ultimatum ditetapkan pada 10 November 1945, pukul 06.00. Jika dilanggar, maka Surabaya akan dibumi-hanguskan.

Keinginan Inggris dianggap sebagai penghinaan pada kedaulatan Indonesia, yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan. Melalui institusi resmi, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atau organisasi perjuangan bersenjata yang dibentuk masyarakat, termasuk santri dan para ulama ternama, bergabung bersama untuk ikut menentang ultimatum itu.

Serangan skala besar
10 November, tentara Inggris mulai melancarkan serangan skala besar, mulai dari pengeboman melalui udara ke gedung-gedung pemerintahan, hingga menggerakkan 30.000 anggota infranteri, pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Inggris terus membombardir Surabaya.

Perlawanan pejuang dan masyarakat Indonesia bukannya surut, melainkan justru semakin membara. Inggris, yang semula menargetkan bisa menaklukkan Surabaya dalam tiga hari, baru bisa mengakhiri serangan ini setelah berminggu-minggu.

Surabaya akhirnya jatuh ke tangan Inggris. Pertempuran itu kabarnya mengakibatkan belasan ribu pejuang Indonesia tewas, dan mendesak 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Ribuan pasukan Inggris juga mengalami hal yang sama.

Sejarah itu selalu dikenang Indonesia karena mencerminkan semangat pejuang dalam mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Tanggal 10 November, ketika pertempuran itu dimulai, kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan, dan sejarahnya melekat di Surabaya.

Banyak yang bisa dipelajari dari peristiwa ini, antara lain bagaimana para pahlawan menjaga kemerdekaan dengan mengorbankan segalanya, termasuk nyawa mereka. Sudah tugas kita sebagai penerus untuk menghargai dan menjaga apa yang telah mereka perjuangkan. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengharumkan nama bangsa, mulai dari segudang prestasi, hingga menggunakan produk-produk yang berasal dan dibuat oleh Anak Negeri.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca tentang

Jelaskan peristiwa heroik di surabaya dan heroik di makassar

Jelaskan peristiwa heroik di surabaya dan heroik di makassar
Lihat Foto

Dok. Kompas

Pemberontakan di surabaya sebagai reaksi ultimatum brigjen Malaby dari tentara Inggris pada tgl. 10 November 1945

KOMPAS.com - Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran pertama bangsa Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945.

Pertempuran Surabaya puncaknya terjadi pada 10 November 1945. Ini merupakan salah satu peristiwa heroik bagi bangsa Indonesia.

Sebagai bentuk penghargaan atas pengorbanan para pahlawan dan pejuang dalam merebut kemerdekaan. Setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Baca juga: Jadi Pemicu Perang Surabaya, Siapa yang Tewaskan Jenderal Mallaby?

Sejarah

Pertempuran di Surabaya dilatarbelakangi oleh kedatangan pasukan sekutu yang tergabung dalam Allied Forces Netherland East Indies (NICA) pada 25 Oktober 1945 atau dua bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan.

Pasukan sekutu yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sother Mallaby langsung masuk ke Kota Surabaya dan mendirikan pos-pos pertahanan.

Dilansir situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kedatangan pasukan sekutu awalnya untuk mengamankan tawanan perang, melucuti senjata Jepang, atau menjaga ketertiban di berbagai daerah di Indonesia salah satunya Surabaya.

Namun, kenyataannya pasukan sekutu yang kebanyakan pasukan Inggris menyimpang. Pada 27 Oktober 1945, pasukan sekutu menyerbu penjara membebaskan tawanan perwira sekutu yang ditahan Indonesia.

Pasukan sekutu juga menduduki tempat-tempat vital. Seperti lapangan terbang, kantor radio, radio Surabaya, gedung internatio, dan pusat kereta api.

Pasukan sekutu menyebarkan famplet yang isinya agar masyarakat menyerahkan senjata yang dimilikinya. Namun masyarakat Surabaya menolak, apalagi harus mengangkat tangan.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pertempuran 10 November dan Berbagai Pemicunya

Menyerang sekutu

Kondisi itu membuat masyarakat Surabaya marah dan semakin anti sekutu. Pada 28 Oktober 1945, pejuang Indonesia menyerang pos pertahanan.

Aspirasi perlawanan terhadap sekutu dikumandangkan oleh Bung Tomo menggunakan radio. Dia, dengan berapi-api memberikan semangat kepada masyarakat untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pada 28 Oktober 1945, para pemuda Surabaya bersemangat untuk mengusir sekutu dan mempertahankan kedaulatan. Dengan penuh semangat, akhirnya masyarakat Surabaya mampu merebut tempat-tempat vital.

Sempat ada perundingan antara Pemerintah Indonesia yang diwakili Preside Soekarno, Moh Hatta dan Amir Syarifuddin dan sekutu, tapi pertempuran tetap terjadi.

Pada 31 Oktober 1945, Brigader Mallaby tewas dan menyulut kemarahan pihak sekutu. Pihak sekutu memperingatkan masyarakat Surabaya untuk menyerah, jika tidak akan dihancurkan.

Namun masyarakat Surabaya tidak mau memenuhi tuntutan pihak sekutu.

Baca juga: Tentara Tionghoa Indonesia Saat Agresi Surabaya 10 November 1945

Puncak perang Surabaya

Puncak pertempuran Surabaya terjadi pada 10 November 1945. Pasukan sekutu melakukan penyerangan di Kota Surabaya dan pejuang Indonesia tidak gentar malah bersemangat berjuang.

Dalam menghadapi sekutu, senjatan yang dipakai pejuang tidak hanya senjata tapi juga bambu runcing. Tak sedikit pejuang Indonesia gugur dalam pertempuran tersebut mencapai 20.000 orang, sementara dari pihak sekutu mencapai 1.500 orang.

Pertempuran terakhir terjadi pada 28 November 1945. Semangat para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan membuat Presiden Soekarno menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Ini ditetapkan melalui Keppres Nomor 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. 

Diberitakan Kompas.com (9/11/2018), pertempuran di Surabaya tersebut berlangsung selama tiga minggu. Kerugian jiwa di pihak Indonesia cukup banyak dan mencapai ribuan.

Penduduk banyak mengungsi meninggalkan Kota Surabaya. Selain itu banyak bangunan-bangunan rusak dan hancur.

(Sumber: Kompas.com/Aswab Nanda Pratama | Editor: Bayu Galih)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.