Jelaskan cara meneladani sifat wajib rasul yang terkandung dalam surat an-nisa ayat 166

tirto.id - Salah satu sifat wajib dari seorang rasul adalah "siddiq" atau sidik. Siddiq artinya selalu berkata jujur dan benar, selain dari sifat terpuji lainnya, yaitu amanah, tablig, dan fatanah. Kebenaran yang dijunjung seorang rasul amat penting, sebab ia membawa wahyu dari Allah SWT. Perkataan orang yang sidik juga harus bisa dipercaya untuk menyampaikan kebenaran ilahiyah dari Allah SWT.

Sebagai umat Nabi Muhammad SAW, kita diwajibkan untuk meneladani sifat-sifat beliau SAW, termasuk karakter sidik-nya. Sebab, salah satu misi ajaran Islam yang universal di muka bumi ini adalah menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini disampaikan Rasulullah SAW: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia," (H.R. Baihaqi).

Dengan demikian, sifat siddiq atau kejujuran yang merupakan salah satu akhlak utama dari Rasulullah SAW, serta teladan yang harus diikuti umat Islam. Anjuran berlaku sidik ini tertera dalam banyak nas Al-Quran dan hadis, di antaranya:

“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan berucaplah dengan ucapan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal kalian, dan mengampuni dosa-dosa kalian, dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya maka ia telah memperoleh kemenangan yang besar" (QS. Al-Ahzaab : 70-71).

Bentuk-Bentuk Sifat Sidik (Siddiq) dalam Islam

Secara umum, sifat sidik terbagi menjadi lima bentuk, yaitu sidik dalam niat dan kemauan, sidik dalam perkataan, sidik dalam berjanji, sidik dalam bermuamalah, dan sidik dalam berpenampilan sesuai kenyataan. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

1. Sidik dalam Niat dan Kemauan

Ketika seorang muslim bertekad melakukan suatu hal, niatnya jujur mengharapkan rida Allah SWT, tidak mengharapkan hal buruk, atau berlandaskan pada dosa dan kejahatan.

Urgensi sidik dalam niat ini tertera dalam sabda Nabi Muhammad SAW: "Setiap amal perbuatan itu tergantung pada niatnya," (H.R. Bukhari dan Muslim). Bahkan, suatu perbuatan ibadah, jika diniatkan agar dipuji orang lain, bukannya memperoleh pahala, malahan berujung pada dosa.

Baca juga: Sejarah Singkat Al-Ghazali & Sifat-Sifat Utamanya untuk Diteladani

2. Sidik dalam Perkataan

Sifat sidik yang lazim dipahami adalah sidik dalam perkataan, menjauhi ucapan bohong, serta senantiasa berkata benar. Kewajiban berkata jujur ini tertera dalam sabda Rasulullah SAW:

"Jaminlah kepadaku enam perkara dari diri kalian, niscaya aku menjamin kepada kalian balasan surga: [1] jujurlah ketika berbicara, [2] penuhilan janji, [3] tunaikan jika dipercaya, [4] jagalah kemaluan kalian, [5] tundukkan pandangan kalian, dan [6] tahanlah tangan kalian," (H.R. Ahmad).

3. Sidik dalam Berjanji

Berdasarkan hadis di atas, bentuk sidik yang sangat penting adalah kejujuran dalam berjanji. Ketika ia mengucapkan janji, dalam hatinya ada tekad jujur untuk menunaikan janji tersebut, meskipun janji pada hal yang remeh-temeh, atau janji pada anak kecil sekalipun.

Sidik dalam berjanji ini adalah sifat seorang rasul yang dipuji-puji Allah SWT dalam Al-Quran sebagai berikut: "Dan ceritakanlah [Hai Muhammad] kisah Ismail [dalam Al-Quran]. Sesungguhnya ia adalah seorang yang jujur janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi," (QS. Maryam [19]: 54).

4. Sidik dalam Bermuamalah

Bentuk sifat sidik yang selanjutnya adalah sidik dalam bermuamalah. Artinya, ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, ia selantiasa bersikap jujur dan tidak berbohong.

Sebagai misal, dalam perkara niaga, ia tidak menipu, memalsu, atapun berkhianat. Ketika ia menjual barang dagangan, ia tidak mengurangi timbangan. Jikapun ia membeli, ia tidak memperberat takaran atau menambah timbangannya.

5. Sidik dalam Berpenampilan sesuai Kenyataan.

Seorang muslim juga dianjurkan untuk sidik dalam berpenampilan. Jika ia hidup bersahaja, ia tidak boros dan menampilkan diri seolah-olah orang kaya.

Sebagai misal, ketika seorang anak dari keluarga pra-sejahtera bergaul di sekolah, kemudian ia malu dengan penampilannya, ia memaksakan diri membeli busana mahal yang di luar kemampuan orang tuanya.

Orang yang demikian menipu dirinya sendiri dan orang lain. Jika tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan, orang yang berpenampilan tidak sesuai dengan kenyataan akan terbebani oleh selera fesyen dan cara berpakaiannya sendiri.

Baca juga: Kisah Abu Bakar As-Siddiq: Kekasih Rasulullah dan Khalifah Pertama

Baca juga artikel terkait SIFAT TERPUJI DALAM ISLAM atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/ylk)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Yulaika Ramadhani
Kontributor: Abdul Hadi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Muhammad SAW diutus hanyalah untuk menjadi rahmat

Meneladani Sifat Rahmah Rasulullah

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah) Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)

Oleh Siti Aisyah

Fakta kekerasan menggambarkan adanya problem mendasar dalam kehidupan manusia. Yaitu, manusia pelaku tindak kekerasan, yang melakukan tindakannya dengan cara mencari legitimasi dari ajaran agama, budaya, maupun tata nilai, norma, dan aturan yang cenderung merasionalisasi pembenaran tindakannya.

Tulisan ini berusaha mencari solusi untuk mengatasi tindak kekerasan dengan cara meneladani salah satu sifat dan kepribadian Rasulullah saw.

Sifat Rahmah Rasulullah

Dalam sebuah riwayat ditegaskan:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata, kepada Rasulullah dikatakan, ”Berdoalah untuk keburukan orang-orang musyrik!” Beliau menjawab, ”Saya diutus tidak untuk menjadi pelaknat. Saya diutus hanyalah untuk menjadi rahmat.” (HR. Muslim).

Dalam Hadits tersebut Rasulullah saw telah menegaskan bahwa kerasulannya sebagai rahmat, bukan sebagai laknat. Rasul diutus hanya untuk menebarkan rahmah yang akan mewujudkan kenikmatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kepribadian Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul Allah yang terakhir, baik itu ucapan, perbuatan, sikap, dan seluruh totalitas beliau adalah ”rahmat”.

Kepribadian ”rahmah” yang melekat dalam diri Nabi, tampak dalam kelembutan, bukan sifat kasar dan keras, yang merupakan salah satu faktor fundamental dari keberhasilan kepemimpinan Rasulullah yang diikuti umatnya.

Kepribadian rahmah dalam diri Nabi saw merupakan anugrah dari Allah SwT sebagai penopang misi kenabiannya. Hal ini diisyaratkan Allah dalam Qs. Ali Imran [3] ayat 159:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah de – ngan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(Q.s. Ali Imran [3]:159).

Ayat tersebut menuntunkan keagungan akhlak Nabi yang dihiasi dengan sikap lemah lembut, lapang dada, dengan kesiapan memberi maaf dan memintakan maaf, musyawarah, dan tawakkal yang semuanya bermuara dari rahmah Allah.

Sifat rahmah Nabi saw termasuk di antara misi risalah Islam yang utama, yaitu sebagai menjadi rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil-’alamin) agar manusia bisa hidup antara sesama dengan penuh kecintaan, kedamaian serta kesejahteraan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’ [21] ayat 107:

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.s. Al-Anbiya’ [21]: 107).

Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa Islam agama rahmah. Apa hakekat ”rahmah”? Menurut Al-Isfahani dalam Mu’jam Mufahrasy al-Alfazul Qur’an, rahmah adalah riqqah taqtadli al-ihsan ila al-marhum, yaitu perasaan halus (kasih) yang mendorong memberikan kebaikan kepada yang dikasihi. Rahmah memuat dua makna yang mendasar, yaitu kehalusan, kelembutan, kasih sayang dan memberikan kebaikan secara nyata.

Implementasi

Membudayakan sifat rahmah, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan bernegara, menjadi salah satu bentuk solusi antisipatif ketika tradisi kekerasan di negeri telah menjadi fenomena yang sering terjadi. Allah telah menuntunkan bahasa rahmah dalam Al-Qur’an dalam berbagai keadaan dan kepentingan.

Ada lima bahasa rahmah, yaitu ”qaulan layyinan” – Perkataan yang lemah lembut -(Thaha [20]: 4), ”qaulan baliighan” – perkataan yang membekas dalam jiwa- (Qs. An-Nisa’ [4]: 63), ”qaulan maisuran” – perkataan yang pantas- (Qs. Al-Isra’ [17]: 28), ”qaulan kariiman” – perkataan yang mulia- (Qs. Al-Isra’ [17]: 23), dan ”qaulan sadiidan” – perkataan yang benar- (Qs. Al-Ahzab [33]: 70-71).

Implementasi ayat-ayat tersebut mengisyaratkan budaya pola komunikasi rahmah dalam berbagai situasi dan keadaan. Ketika menghadapi anggota keluarga, masyarakat atau kelompok lain yang memiliki sifat keras, kasar, bahkan menentang, maka perlu disikapi dengan ”qaulan-layyinan”, seperti ketika Nabi Musa menghadapi Fir’aun. Dalam menghadapi anggota keluarga, masyarakat atau kelompok lain yang masih ragu terhadap kebijakan kita, maka ”qaulan baliighan” – perkataan yang membekas dalam jiwa- tepat untuk diterapkan.

Kepada mereka yang memerlukan perhatian, memiliki kelemahan, kekurangan, maka kita perlu menerapkan ”qaulan maisuran” – perkataan yang pantas. Kepada orangtua dan anak-anak kita perlu menggunakan bahasa ”qaulan kariiman” – perkataan yang mulia- . Adapun untuk memberitahukan halhal yang penting digunakan ”qaulan sadiidan” – perkataan yang benar- yaitu perkataan yang lurus atau benar, logis, memenuhi sasaran, dilandasi takwa dan ketaatan pada Allah dan Rasul, sehingga akan membuahkan amalan salihah, dan mendapatkan keberuntungan serta kesuksesan.

Harus kita sadari bahwa fenomena kekerasan, seperti kekerasan dalam kehidupan keluarga (KDRT), kekerasan terhadap perempuan (KTP), kekerasan dalam masyarakat, maupun kekerasan struktural, yang terjadi karena kebijakan pemerintah dalam melayani masyarakat. Sederet peristiwa kekerasan terjadi setiap hari, menghiasi berita media cetak maupun elektronik, serta yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Rangkaian peristiwa kekerasan tersebut tentu akan dapat diantisipasi manakala kita bisa meneladani sifat rahmah Nabi saw yang telah terbukti sukses dalam menjalankan kepemimpinannya.

Dra Siti Aisyah, MAg, Ketua PPA dan Dosen Fak Agama Islam Universitas Cokroaminoto Yogyakarta

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 7 Tahun 2015

  • muhammadiyah
  • Sifat Rahmah Rasul
  • suaramuhammadiyah.id

Lihat Artikel Asli

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.