Jelaskan apa yang diperlukan dalam mencapai cita-cita bangsa

“Ketika para pendiri bangsa menemukan sebuah wadah dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka para pendiri bangsa itu tidak hanya tinggal diam,” kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo saat memberikan pengantar pimpinan kepada peserta Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan (Taplai) Secara Virtual Angkatan II, Senin, 26 Juli 2021.

Agus menyampaikan kepada para peserta jangan sampai wadah negara tersebut hanya dijadikan sebagai sebuah perahu saja dan mengalir sesuai arus. Namun, yang diinginkan adalah wadah negara diisi dengan cita-cita yang kemudian negara akan dijadikan sebagai sebuah kendaraan untuk mewujudkan cita-cita. Lebih lanjut Agus menyampaikan cita-cita NKRI yang tercakup dalam Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. “Kita bukan tanpa tujuan ikut arus, tetapi kita isi dengan tujuan tentang cita-cita bangsa,” ujar Agus.

Dalam melaksanakan cita-cita tersebut diperlukan dasar, tidak hanya sekedar menerima dan langsung menyusun pemerintahan. Pemimpin komponen bangsa pada waktu merintis kemerdekaan berdiskusi dan lahirlah dasar negara Pancasila. Satu hal yang juga menjadi elemen kunci adalah Indonesia yang bercirikan Kebhinekaan. “Satu hal lagi yang merupakan elemen kunci adalah bahwa kita tahu bangsa Indonesia bercirikan kebhinekaan, itu given oleh yang maha kuasa,” tutur Agus. Dengan Kebhinekaan tersebut, Indonesia mendasarkan pengambilan kesepakatan dengan musyawarah.

Satu contoh adalah peristiwa Sumpah Pemuda, disepakati bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia yang berasal dari rumpun bahasa melayu, bukan bahasa Jawa, karena suku Jawa merupakan jumlah terbesar dari suku etnis di Indonesia. Pada peristiwa tersebut disepakati bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. “Itu adalah kesepakatan. Tidak dilihat dari besar kecilnya. Tidak dilihat dari mayoritas minoritas, tapi kita ambil pelajarannya di situ. Bangsa Indonesia dibangun atas dasar kesepakatan, bukan hubungan mayoritas minoritas,” kata Agus.

Pada kesempatan tersebut, Agus juga menyampaikan bahwa yang diharapkan dari para alumni Lemhannas RI bukanlah kemampuan menghafal. Namun, yang diharapkan adalah sikap dan perilaku yang mencerminkan komitmen yang konsisten terhadap Konsensus Dasar Kebangsaan. Komitmen tersebut diawali dengan kompetensi memahami Konsensus Dasar Kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Setelah kompeten dan mengetahui seluk beluknya, kedalamannya, dan bagaimana untuk mewujudkannya, akan lahir tuntutan untuk membangun komitmen. “Kata kuncinya adalah kompetensi, setelah kompetensi diikuti oleh komitmen dalam bentuk perilaku,” ujar Agus.

Dalam Pancasila, para alumni Lemhannas RI diharapkan memiliki kompetensi andal dari komitmen untuk memegang teguh ideologi bangsa Pancasila dan berkomitmen mengimplementasikannya. Kemudian dalam UUD 1945, diharapkan para alumni memiliki komitmen untuk senantiasa berpegang teguh menerapkan pasal-pasal yang terkandung dalam konstitusi negara Republik Indonesia. Selanjutnya, dalam NKRI alumni diharapkan memiliki kompetensi dan komitmen mengutamakan kepentingan nasional, bangsa, dan negara dengan menjaga keutuhan dan kesatuan wilayah. Dalam Bhinneka Tunggal Ika diharapkan para alumni memiliki kompetensi dan komitmen untuk senantiasa menghargai dan menghormati perbedaan ragam budaya, agama, etnik, bahasa dan golongan.

“Kita harapkan itu semua akan tercermin di dalam perilaku, bukan untuk dihafal dan dituliskan di kertas untuk nanti mendapatkan nilai, bukan. Tetapi bagaimana perilaku sehari-hari mereka yang telah melalui pendidikan di Lemhannas RI,” kata Agus.

Pelaksanaan Taplai Secara Virtual Angkatan II ini merupakan rangkaian Taplai Virtual yang telah dibuka pada 8 Juni 2021 lalu. Diikuti sebanyak 100 peserta, pelaksanaan Taplai tersebut akan dilaksanakan mulai 26 Juli 2021 sampai 3 Agustus 2021.

Diunggah pada : 4 September 2012 14:12:35 915

Pada 17 Agustus 2012 bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang ke-67. Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 juga bertepatan dengan Ramadhan, tepatnya hari ke sembilan. Tahun ini untuk kesekian kalinya peringatan kemerdekaan bertepatan dengan puasa. Alangkah baiknya jika moment ini bisa memacu semangat kebangsaan masyarakat, sehingga bisa ikut bersama membangun Indonesia menjadi lebih baik.Berbicara tentang kemerdekaan tentu mengarah pada suatu tatanan kehidupan yang bebas dan merdeka. Merdeka dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertindasan. Mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, melindungi segenap bangsa dan tanah air Indonesia, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia, menjadi tujuan kemerdekaan itu.Alam kemerdekaan yang telah 67 tahun ternyata masih menyisakan duri, korupsi. Penghancur upaya menyejahterakan rakyat ini tetap tumbuh subur. Penyakit parah ini membuat upaya pengentasan kemiskinan terhambat. Arti kemerdekaan pun tercederai karena kesejahteraan rakyat jadi barang langka. Suburnya korupsi bukanlah omong kosong. Ini bisa dilihat pada jumlah pengaduan masyarakat pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Sepanjang 2011 pengaduan masyarakat 5.742 kasus, Setelah ditelaah 1.026 mengandung indikasi tindak pidana korupsi. Besarnya jumlah kasus juga ditangani Kejaksaan. Negeri ini subur bagi petualang korupsi.Korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan di atas penderitaan orang lain. Jatah anggaran yang seharusnya digunakan untuk rakyat, digunakan segelintir orang untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Di usianya yang sudah 67 tahun, negara ini mestinya  mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan bagi seluruh rakyatnya, sebagaimana diamanatkan para founding fathers (pahlawan pendiri bangsa ini dan Soekarno-Hatta).Menurut Komandan Resimen Mahasiswa (Menwa) Mahasurya Provinsi Jatim, Dr Budi Rianto Msi, secara fisik, negara Indonesia memang sudah berdaulat. “Tidak ada lagi penjajahan fisik seperti saat Belanda dan Jepang menjajah kita. Tetapi secara ideologi, teknologi dan ekonomi, kita justru lebih menderita ketimbang penjajahan sebelumnya,” katanya.    Ada beberapa ancaman bangsa ini yang mesti dipecahkan. Kebijakan ekonomi liberal dan perdagangan pasar bebas, apalagi sistem monopoli, hanya menguntungkan investor plus technician yang didatangkan dari Amerika. Kasus Freeport, Exon Mobil adalah contohnya. “Tanpa kita sadari, konsep globalisasi yang dicetuskan Amerika, lambat-laun akan mencabik-cabik keutuhan kebhinekaan kita,” katanya.Simak konflik antaretnis, antarsuku, antaragama. Juga munculnya benih-benih disintegrasi, kasus GAM (Gerakan Aceh Merdeka), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Gerakan Papua Merdeka (GPM). Yang sangat ideologis dan ‘meresahkan’ adalah apa yang sering disebut sebagai gerakan ‘terorisme’.    Fenomena konflik dan disintegrasi ini menyiratkan betapa lebih mengerikannya penjajahan konsep globalisasi. Jika nation-state tidak berbenah dengan menyegarkan semangat nasionalismenya, negara ini bakal mengalami keruntuhan. Menurutnya, seperti yang dikatakan Alvin Toffler dalam bukunya ''The Third Wave'' (1980), bahwa problem peradaban yang disebabkan konsep globalisasi bakal mendera negara-negara bangsa (nation states) termasuk Indonesia. Lantaran canggihnya teknologi informasi dan komunikasi, kata Toffler, lahirlah apa yang disebut the global village, yakni sebuah kawasan dunia ''menggelobal'' yang tidak bisa dilihat sekat-sekat teritorialnya. Keadaan ini sangat menguntungkan monopoli Amerika atas negara berkembang, dan menempatkannya pada posisi raja-diraja.Perlu Karakter Kuat    Yang dibutuhkan saat ini, kata Dr Budi, adalah karakter yang kuat. Secara sederhana, karakter dapat diartikan sebagai tabiat, perangai, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Maka, membangun karakter sebenarnya adalah proses mengukir atau menempa jiwa sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain.     Proses pembentukan karakter bermula dari pengenalan nilai-nilai secara kognitif, yang berlanjut dengan penghayatan nilai-nilai secara afektif, berujung pada penerapan dan pengamalan secara nyata dalam kehidupan (praksis). Sebelum terwujud, dalam diri manusia bersangkutan harus bangkit keinginan atau dorongan alamiah yang sangat kuat (tekad), untuk mengamalkan nilai-nilai.    Persoalannya, ada ”ketidaktuntasan” dalam sistem pendidikan menyangkut pembentukan karakter ini. Memang di sekolah-sekolah sudah diajarkan pelajaran agama, kewarnegaraan, kewiraan, dan sebagainya, yang dianggap sebagai bagian dari pendidikan karakter. Namun pendidikan karakter macam ini tampaknya lebih banyak pada aspek kognitif, pengetahuan di permukaan, kurang masuk lebih dalam ke tahap penghayatan, apalagi ke tahap pengamalan.    Mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter tidak termasuk yang diujikan di Ujian Nasional atau seleksi masuk perguruan tinggi. Karena itu dipandang sebagai pelengkap semata, bukan betul-betul penting dan perlu.    Di sisi lain, benar juga bahwa pembentukan karakter bukan cuma terjadi di lembaga sekolah, melalui interaksi antara murid dan guru. Pembentukan karakter juga terjadi di rumah (lewat interaksi dengan orangtua, saudara, kerabat), lingkungan sekitar (interaksi dengan pemuka masyarakat, ustadz, rohaniwan, jamaah masjid, teman, dan sebagainya), dan media massa.-------------------------

Sejarah Sebuah Bangsa Penting

 Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai sejarah serta mampu menerapkan landasan dasar negara yakni Pancasila dan UUD 1945 menjadi modal pembangunan yang  terarah. Namun untuk menjalankan konsep berbangsa dan bernegara yang dicetuskan Bung Karno ini, dibutuhkan bukan sekadar seminar dan diskusi, tetapi yang lebih penting memahami dan menerapkannya dalam pembangunan.Ini disampaikan Gubernur Jawa Timur Dr H Soekarwo pada Seminar Nasional Kebangsaan dan Kepahlawanan ‘Kepahlawanan dan Konsistensi Perjuangan Mewujudkan Indonesia Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945’ di hotel Meritus Surabaya, (16/7).“Karena itu seminar nasional ini sangat tepat digelar untuk mengingat kembali nilai-nilai perjuangan, salah satunya Bung Karno sebagai tokoh nasional penggagas proklamasi kemerdekaan, Pancasila, dan UUD 1945, “ ujarnya. "Bung Karno menerapkan pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara. Sebagai generasi penerus kita wajib malanjutkannya.” Karena itu, kata Soekarwo, keinginan para akademisi dan masyarakat untuk mengusulkan Bung Karno menjadi pahlawan nasional sangat tepat, dan Pemprov Jatim sangat mendukung. “Kami berterimakasih Surabaya dipilih sebagai tempat pertemuan, kami harap hasil pertemuan ini dapat dibawa ke pusat,” katanya.Soekarwo menjelaskan, sebagai bangsa yang menghargai sejarah, persaingan abad modern tidak akan dimenangkan jika tidak memiliki nasionalisme yang kuat. Sejarah mencatat bangsa Indonesia tidak akan mencapai kemerdekaannya tanpa spirit patriotisme dan nasionalisme.Spirit kembangsaan yang kuat itulah menjadi fondasi bangunan spiritual bangsa Indonesia membangun kejayaan dirinya dan peradabannya. Patriotisme dan nasionalisme itu sejak diproklamirkan kemerdekaan Indonesia telah menjelma menjadi konsensus nasional yang harus terus diperjuangkan. Nasionalisme bukan hanya sebuah kesadaran, akan tetapi lebih berupa sebuah panggilan, perasaan cinta terhadap tanah air, bangsa dan negaranya. Konsekuensi logis nasionalisme adalah kesediaan untuk secara sukarela berbakti, mengabdi dan berkorban untuk bangsa dan negara Indonesia. Fakta kebangsaan adalah cikal bakal nasionalisme bangsa saat ini. Pondasi nasionalisme dan patrionalisme itu bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Tetapi datang sebagai kristalisasi jerih payah perjuangan dan pengorbanan bangsa Indonesia jauh di masa yang lampau.Pakde Karwo menekankan pentingnya jiwa nasionalisme Pancasila dalam menyikapi perkembangan arus deras globalisasi di Indonesia yang ditandai dengan iklim liberalisme, akses informasi yang sangat luas, standarisasi selera konsumen, mode, gaya hidup dan nilai-nilai pragmatisme yang luar biasa kuatnya.

Belajarlah

Pengamat sejarah, JJ Rizal mengungkapkan, Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sekali sejarah, dari zaman pra-sejarah hingga zaman reformasi sekarang. Sejarah memiliki nilai berharga di kehidupan masa depan, karena generasi penerus bangsa ini nanti akan mengetahui bagaimana Indonesia berdiri, bagaimana perjuangan mempertahankannya, dan bagaimana kehidupan masyarakatnya.“Apabila sejarah itu dimusnahkan atau dihilngkan maka generasi masa depan tidak akan merasa bangsa ini miliknya. Mereka tidak akan merasakan bagaimana perjuangan pahlawan-pahlawan kita, dan yang lebih parah tidak akan menghargai bangsanya sehingga tidak menutup kemungkinan generasi masa depan tidak memiliki nasionalisme lagi,” tuturnya.Masih kata Rizal, Indonesia seharunya belajar dari negara-negara yang memiliki luas geografis lebih kecil tetapi bisa lebih maju. Misalnya Singapura yang bisa menjadi negara maju dan besar. Salah satu faktornya karena mereka tetap melestarikan peninggalan kebudayaan dan sejarah mereka. Gedung-gedung bekas peninggalan Inggris tetap mereka jaga meskipun fungsinya berubah. Singapura juga terus melakukan pembangunan, tapi tetap melestarikan budayanya. Hal yang sama dilakukan Korea Selatan. Mereka tetap mempertahankan sejarahnya, walaupun sudah banyak yang lapuk tetapi terus merenovasi dengan mempertahankan keasliannya. Ia berharap anak cucu di masa mendatang tetap menghargai bangsa ini dan mengetahui bagaimana sejarah bangsa Indonesia dulunya sehingga mereka sadar betapa hebatnya negara ini. Dan mereka akan tetap menjaga peninggalan negara ini seperti yang dilakukan para pahlawan.Sungguh sangat disayangkan melihat pemerintah menyingkirkan peninggalan sejarah hanya untuk melakukan pembangunan yang modern dan keserakahan para pengusaha. Apakah pemerintah malu kalau ada bangunan tua di tengah kota? Apakah bangunan bersejarah membuat kota menjadi kumuh?  “Saya sangat bangga menjadi warga negara Indonesia, karena negara ini memiliki sejarah yang sangat berlimpah tetapi saya akan lebih bangga lagi apabila peninggalan-peninggalan sejarah dilestarikan,” terangnya.(tim)