Apa yang dimaksud dengan das sein dan das sollen?

Das sein dan das sollen menjadi salah satu studi penting untuk berbagai persefektif, khususnya penelitian sosial atau riset yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial di masyarakat.

Alasannya karena das sollen adalah segala keharusan yang masih berupa landasan teori-teori normatif, sekaligus berupa norma-norma teoritis yang belum menjelma atau dijelmakan dalam praktik atau pelaksanaan. Sedangkan untuk das sollen seringkali disebut dengan istilah dunia norma, atau dunia kaidah, atau kenormaan.

Das Sein dan Das Sollen

Sebelum memberikan uraikan lebih mendalam. Berikut ini definisi keduanya;

Das sollen adalah konsep nyata yang terjadi di masyarakat melalui sejumlah kebijakan yang artinya benar-benar terjadi, meskipun dalam persefektif keberanaran ini sendiri bisa dikatakan sebagai bagian yang menimbulkan polemik.

Das sein adalah istilah seharusnya yang terjadi dalam kenyataan, hal ini berarti bahwa ada norma-norma tertentu dan indera spesifik individu memerintahkan individu tersebut untuk berperilaku sesuai dengan realitas. Sehingga dapat digambarkan dengan mengatakan bahwa pengertian ini berbeda dengan pengertian bahwa seseorang sebenarnya [das sollen] untuk berperilaku dengan cara tertentu.

Oleh karena itulah pernyataan bahwa sesuatu yang “harus” terjadi atau ada adalah pernyataan tentang isi norma, bukan peristiwa aktual yang terjadi.

Das Sein dan Das Sollen dalam Penelitian

Sebagai pembahasan lebih mendalam. Untuk contoh penggunaan das sollen dan das sein, khususnya untuk arti penelitian.

Misalnya saja ingin menuliskan tentang topik penelitian terkait dengan Gejala Sosial Hoax di Masyarakat. Maka keterangannya sebagai berikut;

Gejala Sosial Hoax

Media sosial membuat kesetaraan dalam berbagai hal, semua orang akan bebas berkomentar atau menanggapai masalah apapun. Baik politik, agama, sosial, serta masalah keilmiahan. Hal ini menunjukan bahwa di era ini interkasi sosial menjadi tanpa batas [unlimited], karena kemudahan akan akses internet dan teknologi. Akan tetapi kamudahan yang ditawarkan tersebut menyimpan berbagai dampak negatif, salah satu diantaranya adala hoax.

Hoax diartikan sebagai berita palsu atau berita bohong dari yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya [KBBI, 2018]. Hoax tergolong dalam gejala sosial masyarakat yang terjadi secara masif di generasi milineal. Bahkan menurut  Masyarakat Anti Fitnah Indonesia [Mafindo] mencatat penyebaran hoax sekitar 230 dari bulan Juli sampai September 2018. Rinciannya, hoak pada Juli 2018 sebanyak 65 konten, Agustus 2018 sebanyak 79 konten, dan meningkat menjadi 107 konten pada September 2018. Adapun untuk sarana yang paling banyak digunakan untuk menyusun hoaks itu, yakni narasi dan foto [50,43%], narasi [26,96%], narasi dan video [14,78%], dan foto [4,35%]. Dari jumlah tersebut, hoaks paling banyak disebarkan di Facebook [47,83%], Twitter [12,17%], Whatsapp [11,74%], dan Youtube [7,83%].

Banyaknya hoax akibat mudahnya penyebaran informasi. Oleh karena itu bisa dikatakan pada saat ini selain menyiapkan kemajuan teknologi, di sisi lain perlu dilakukan pengembangan sumber daya manusia dari sisi humaniora agar dampak negatif dari perkembangan teknologi dapat ditekan seminimal mungkin. Maksud di sisi humaniora adalah memperkuat kembali tentang nilai dan norma dari kearifan lokal yang ada di masyarakat.

Konteks ini misalnya saja dengan menerapakannya dalam dunia pendidikan yang setidaknya bukan hanya diajarkan tentang kemajuan zaman [teknologi] akan tetapi diajarkan pula tentang prilaku kesopanan terutama terkait dengan menjaga ucapan [tulisan] di media sosial dengan selalu menerapkan mawas diri atas berbagai informasi yang diperoleh.

Sesi lainnya, pada era ini dapat mengubah tatanan dunia secara pesat. Perubahan itu tidak lagi memakan waktu ribuan tahun, seperti yang dijelaskan pada teori evolusi Charles Darwin  [Darwin, 2004] dalam On the Origin of Species. Perubahan itu hanya membutuhkan waktu yang sangat singkat. Dalam keadaan yang serba cepat itu, yang berubah tidak hanya fenomenanya saja, misalnya offline ke online, dunia nyata menjadi dunia maya, media cetak menjadi media sosial, dan lain sebagainya.

Namun demikian, nilai-nilai, tatanan sosial, dan budaya juga ikut mengalami perubahan oleh karena perlindungan aturan akan penyebaran informasi serta prilaku pengawasannya harus senantiasa dilakukan pembaharuan-pembaruan sesuai dengan perkembangan zaman.

Sebagaimana Rhenald Kasali [Khasali, 2018] menyebut milenial sebagai generasi strawberry, yang digambarkan sebagai generasi yang menarik, namun rapuh karena tidak memiliki mentalitas dan nilai-nilai yang kuat. Dengan adanya permasalahan yang muncul inilah setidaknya pembangunan pada saat ini bukan hanya pada segi teknologi akan tetapi dalam prilaku manusia. Lantaran banyaknya permasalahan yang timbul semuanya bisa berobjek pada tingkah laku manusia semata.

Hoax di Kalangan Masyarakat

Hoax di kalangan masyarakat semakin merambah diberbagai sektor, hal ini disebabkan karena adanya kemajuan teknologi di era globalisasi membuat informasi begitu cepat dan beredar sangat luas. Keberadaan internet yang banyak dimanfaatkan oleh media online membuat informasi belum tentusa terverifikasi akan benar dan salah. Akan tetapi yang menjadi kapastian bajwa hanya dalam hitungan detik, peristiwa-peristiwa yang diebarluaskan oleh beberapa orang dengan alur pemikirannya  bisa langsung tersebar dan diakses oleh pengguna internet melalui media sosial.

Melalui media sosial jika dianggap setuju dengan argumentasi serta mewakili apa yang diraskan seseorang maka ia akan ikut menyerbarluaskan yang kadang bagi seseorang belum sempat memahami materi informasi, reaksi atas informasi tersebut sudah lebih dulu terlihat.

Hoaks di kalangan masyarakat juga menjadi perhatian khusus bagi pemerintah untuk memberikan pengetasan akan berbagai permasalahan yang ada. Misalnya saja dengan kebijakan pemerintah pada saat ini membuat kolaborasi kepada media masa untuk memberikan beberapa lembel tentang “cek fakta”. Hal ini terlihat dberbagi media nasional, seperti tirto, line today, liputan6, dan lain sebaginya. Meskipun begitu antisipasi akan kondisi ini belum menuali hasil yang maksimal.

Oleh karenanya untuk pengambaran lebih detail dalam kajian tentang hoax di kalangan masyarakat berikut adalah table yang menggambarkan tentang das sein dan das sollen.

No Das Sollen Das Sein
1 Pemerintah melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang dianggap sebagai penyebar kebencian [hate speech] dan hoax di kalangan masyarakat Kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut tidak memberikan efek jera sekaligus memberikan kesadaran di kalangan masyarakat. Hal ini lantaran fokus pemerintah hanya pada persebaran informasi palsu bukan pada peningkatan literasi masyarakat sehingga akurasi konten yang akan dibagikan, dapat dklarifikasi kebenaran, memastikan manfaat, baru kemudian menyebarkan.
2 Kebijakan pemerintah memberikan perioritas utama kepada kemajukan teknologi dalam menyambut Revolusi Industri 4.0, misalnya salam hal ini seperti memberikan beasiswa kepada pendidikan teknologi lebih tinggi, memberikan dorongan permodalan untuk pengembangan start up, dan lain sebaginya Disini lain, penekanan akan kondisi ini haruslah diimbangi dengan kesadaran akan pentingnya pendidikan humaniroa, yang bisa memberikan kesan dan pesan moral kepada generasi muda.
3 Berbagai badan-badan yang dibentuk pemerintah tidak memberikan ratting pada media tertentu untuk mengecek kebenaran atas informasi. Hal inilah menjadi informasi bersifat sembrono yang berbedar di era kebebasan Pemberian ranting kepada media sosial tertentu dengan disesuaikan pada dewan di pemerintahan akan memunculkan penilaian publik

  • Khasali, R. [2018]. Strawberry Generation. Jakarta: Mizan
  • Jarot Bayu Dimas, katadata “Mafindo Catat Hoaks Politik Merajalela Jelang Pilpres 2019″, dikutib 20 Maret 2019

Itupah tadi artikel yang sudah kami bagikan pada semua pembaca berkenaan dengan pengertian das sein dan das sollen dalam penelitian beserta contoh kasusnya. Semoga saja bisa memberikan wawasan bagi semua kalangan yang sedang membutuhkannya.

Dalam ilmu hukum ada istilah das sollen dan das sein. Das sollen disebut kaidah hukum yang menerangkan kondisi yang diharapkan. Sedangkan das sein dianggap sebagai keadaan yang nyata. Das sein tidak selalu sejalan dengan das sollen. Salah satunya karena penafsiran yang berbeda terhadap kaidah hukum tersebut. Contohnya, fonemena yang terjadi di jalanan Jakarta. Bisa jadi terjadi di kota-kota lain.

Lampu kuning pada lampu lalu lintas dapat ditafsirkan dua hal. Pertama, sudah tidak hijau. Kedua, masih belum merah. Penafsiran keduanya menimbulkan tindakan yang berbeda. Orang yang menafsirkan lampu kuning sebagai sudah tidak hijau, otomatis akan mengurangi kecepatan. Sedangkan orang yang menafsirkan belum merah, akan menambah kecepatan kendaraannya. Potensi akibat yang muncul dari dua penafsiran itu jelas berbeda, pilihan menambah kecepatan dapat menyebabkan kecelakaan.

Sedangkan pilihan kedua dapat terhindar dari kecelakaan. Makna pokok lampu kuning adalah hati-hati dengan mengurangi kecepatan. Ini yang menjadi tujuan hukum yang disimbolkan dengan lampu kuning itu. Tetapi, yang terjadi di jalanan, simbol hukum itu diabaikan. Sebagian besar menafsirkan tidak sesuai dengan tujuan hukum itu. Namun, penafsirannya akan menjadi sama yaitu lampu kuning sebagai sudah tidak hijau ketika ada polisi di sekitar lampu lalu lintas itu. Hukum tidak bisa bekerja sendiri dan mensyaratkan adanya aktor penegak. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Membangun Kesadaran Kaidah Hukum dan Sosial

Dalam berinteraksi, manusia dikendalikan oleh nilai pribadi, ajaran agama, dan nilai komunitas. Adanya hukum bersifat menyempurnakan tiga aturan itu bagi manusia untuk berinteraksi di masyarakat. Keempatnya disebut sebagai kaidah sosial [Prof Sudikno Mertokusumo:1996]. Masing-masing kaidah mempunyai sasaran dan ruang lingkup yang berbeda. Nilai pribadi yang disebut sebagai kaidah susila dan nilai agama merupakan kaidah yang bersifat subyektif. Sumber ketaatannya bergantung pada diri sendiri. Manusia bisa mengelak atau membantah untuk tunduk pada kaidah tersebut berdasarkan pertimbangan pribadi. Sasarannya adalah nilai bathin manusia. Sedangkan, nilai komunitas yang disebut juga kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat obyektif. Ketaatannya dipengaruhi oleh faktor dari luar diri, misal adanya ancaman sanksi dan aparat penegak hukum yang mengawasi. Di sini manusia tidak bisa lagi mengelak untuk tunduk pada kaidah itu karena adanya sanksi yang langsung. Dua kaidah terakhir ini mempunyai sasaran pada sikap lahir manusia.

Selama ini pemahaman kaidah hukum dipisahkan dari kaidah lain. Mentaati lampu lalu lintas sebatas karena adanya peraturan dan pengawas. Tetapi, akan berbeda apabila ketaatan ini juga dimotivasi karena ingin berbuat baik, memperoleh nilai positif dari sisi keyakinannya dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain. Tidak mau korupsi bukan semata agar tidak ditangkap KPK, tetapi karena ingin menghindari rasa menyesal, berdosa dan menghargai hak rakyat. Pempimpin Indonesia yang memimpin sebuah negara hukum ini perlu memahami bahwa membangun kesadaran hukum harus diimbangi dengan membangun kesadaran terhadap kaidah lainnya terutama dalam hubungan antar manusia. Sehingga ketika hukum dan penegaknya bermasalah dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum melemah, masih ada kaidah lain yang mengendalikan perilaku manusia untuk membangun bangsa dan memperbaiki hukum itu sendiri. Perilaku main hakim sendiri pun atas dasar ketidak percayaan penegakan hukum mustahil bisa terjadi.

Tanggungjawab Penegakan Hukum

Hukum memiliki karakter mengatur kepentingan yang bersifat relasional antar manusia. Tujuannya untuk mencapai dan melindungi kepentingan bersama. Kepentingan yang sifatnya relasional antara manusia ini akan menimbulkan permasalahan dan konflik apabila diserahkan kepada kaidah yang sifatnya subyektif. Keinginan individu dan kelompok yang akan menonjol. Mengabaikan kepentingan dan tujuan bersama. Oleh karena itu, kaidah hukum harus dijaga agar mendapatkan kepercayaan sebagai pengatur kepentingan bersama. Permasalahannya, di Indonesia antara hukum dan penegaknya saat ini mengalami kebangkrutan. Penguasa negara yang memiliki otoritas membentuk hukum juga tidak menunjukkan perilaku baik di depan hukum. Sebaliknya, banyak kejadian yang menggambarkan pembentuk hukum sedang bermasalah di hadapan hukum. Kondisi kebangkrutan hukum ini harus menjadi tanggungjawab penguasa sebagai pembentuk dan penegak hukum. Tugas penguasa adalah memperbaiki hukum, penegakan hukum dan menjaga kaidah hukum di masyarakat.

Penerapan kaidah yang bersifat subyektif dalam diri manusia akan mempengaruhi putusan tindakan untuk tidak melakukan perbuatan jahat. Kaidah ini yang menimbulkan niat seseorang untuk berperilaku tertentu. Pelanggararannya akan menimbulkan sanksi menyesal atau merasa berdosa. Sedangkan, nilai komunitas dan kaidah hukum yang tingkat ketaatannya tergantung pada faktor luar dapat menutup peluang atau kesempatan terjadinya tindakan kejahatan. Masalahnya ketika faktor luar itu tidak ada, peluang pelanggaran dan perilaku kejahatan terbuka. Di sinilah pentingnya kaidah subyektif dan obyektif untuk menutup terjadinya kejahatan atau pelanggaran dari niat dan kesempatan. Masih ingat, kejahatan atau pelanggaran terjadinya tidak hanya karena niat tapi juga karena kesempatan.

Video yang berhubungan