24 April 2018 mario_christo_h13pr303
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara garis besar mengenal 3 (tiga) tahapan pemeriksaan perkara pidana yaitu Tahap Penyidikan, Tahap Penuntutan dan Pemeriksaan di Pengadilan yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System). Sistem terpadu maksudnya kewenangan penyidikan, penuntutan dan peradilan, walaupun dilakukan oleh masing masing penegak hukum sesuai dengan kewenangannya di setiap tahap, namun tetap merupakan satu kesatuan yang utuh atau saling keterkaitan satu dengan lainnya dalam suatu sistem peradilan pidana. Kegiatan Penyidikan mencakup kegiatan Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pada tahap ini penyidik mempunyai kewenangan melakukan upaya hukum untuk melakukan pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan barang bukti dan sebagainya, dimana dalam mengumpulkan barang bukti yang diperlukan, penyidik dapat meminta keterangan saksi, saksi ahli dan tersangka serta melakukan penyitaan bukti surat atau tulisan yang dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, wajib diberitahukan kepada Penuntut Umum dalam bentuk Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), dimana dengan SPDP, Penuntut Umum akan memantau perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik. Hasil penyidikan dalam bentuk berkas perkara, dikirimkan oleh penyidik kepada Penuntut Umum (Penyerahan Tahap I), dan oleh Penuntut Umum dilakukan penelitian terhadap kelengkapan berkas perkara baik dari segi formil maupun materil, yang dalam sistem peradilan pidana terpadu disebut Pra Penuntutan. Dalam rangka penelitian berkas perkara, maka ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan yaitu :
Setelah berkas perkara dinyatakan lengkap dan penyerahan tersangka dan barang bukti oleh penyidik kepada Penuntut Umum, maka Penuntut Umum akan menyusun surat dakwaaan (tahap Penuntutan), kemudian Penuntut Umum melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan untuk disidangkan dan diputus oleh Pengadilan (Tahap Pemeriksaan Persidangan). Tulisan singkat ini akan mengkaji hak dan kewajiban Notaris berkaitan dengan pelaksanaan jabatannya, dalam sistem peradilan pidana terpadu melalui tahap Penyidikan (sebelumnya tahap penyelidikan), tahap penuntutan (sebelumnya tahap pra penuntutan) dan tahap pemeriksaan dalam sidang pengadilan hingga memperoleh putusan pengadilan.
Sumpah Hippocrates “ “segala sesuatu yang ku lihat dan kudengar dalam melakukan praktekku, akan aku simpan sebagai rahasia.” Makna sumpah Hippocrates ini, menunjukkan kewajiban merahasiakan melekat pada profesi atau jabatan tertentu dan sifat sumpah merupakan self imposed regulation atau merupakan kewajiban moral untuk mentaatinya. Saat ini sumpah jabatan/profesi bukan saja merupakan norma moral tetapi sudah berkembang menjadi norma hukum yang dapat dipaksakan dan bersanksi. Notaris sebagai pejabat umum, sebelum menjalankan jabatanya, wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan pejabat yang berwenang, dan sumpah jabatan notaris ini, selain merupakan janji kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga janji yang mengikat berdasarkan norma hukum publik. Kewajiban menjaga rahasia jabatan notaris, dirumuskan dalam sumpah jabatannya dan ketentuan lain yang diatur secara hukum dalam UU Jabatan Notaris yaitu:[2] Pasal 4 ayat (1): Pasal 4 ayat (2) (kutipan sebagian): Pasal 16 ayat (1) huruf f: Pasal 54 ayat (1): Konsep rahasia jabatan notaris menganut teori rahasia relatif atau nisbi, dalam arti rahasia jabatan notaris dapat dibuka (bersifat terbuka), jika ada kepentingan umum yang harus didahulukan atau adanya UU atau Peraturan Perundang-Undangan yang memberikan pengecualian.[3] Ketentuan rahasia jabatan yang diatur dalam UU Jabatan Notaris, melahirkan Kewajiban Ingkar, yaitu kewajiban bagi notaris untuk tidak berbicara kepada siapapun mengenai isi akta dan segala keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya, baik yang dimuat dalam akta atau yang tidak dimuat dalam akta, kecuali UU menentukan lain.[4] Kewajiban ingkar ini mempunyai dasar yang bersifat hukum publik yang kuat, di mana terhadap pelanggarannya dapat dikenakan sanksi berdasarkan hukum publik, yaitu: Pasal 322 ayat (1) KUHPidana: Ketentuan Pasal 322 KUHPidana tidak memerinci hal hal yang wajib dirahasiakan oleh penyimpan rahasia jabatan, siapa yang wajib menyimpan rahasia jabatan, untuk siapa rahasia jabatan disimpan dan hanya memberikan pembatasan bahwa yang harus disimpan adalah rahasia karena jabatannya, yang sekarang maupun yang dahulu. Berdasarkan sumpah jabatan notaris yang diatur dalam UU Jabatan Notaris dan Pasal 322 KUHPidana, maka lingkup rahasia jabatan notaris, meliputi:
Kewajiban merahasiakan bagi Notaris, tidak bersifat tertutup, tetapi memberikan pengecualian untuk membuka rahasia jabatannya sepanjang ada alasan pembenaran untuk membuka rahasia jabatannya, yaitu:
Pembahasan Hak dan kewajiban Notaris dalam penegakan hukum pidana, tidak terlepas atau berkaitan langsung dengan ketentuan tentang kewajiban notaris untuk menyimpan rahasia jabatannya.
Pemanggilan saksi atau tersangka untuk kepentingan penyidikan diatur dalam Pasal 112 KUHAP, tanpa adanya prosedur khusus sedangkan penyitaan surat atau bukti tulisan dari mereka yang wajib menurut Undang-Undang merahasiakannya diatur dalam Pasal 43 KUHAP,[5] dan hanya dapat dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Ketentuan dan tata cara penegakan hukum pidana terhadap notaris telah diatur secara khusus dalam UU Jabatan Notaris, dan hubungan KUHAP dengan Undang-Undang Jabatan Notaris dalam penegakan hukum pidana terhadap notaris, haruslah dipahami dengan mempergunakan 2 (dua) asas hukum sebagai parameter yaitu:
Prosedur khusus penegakan hukum pidana terhadap notaris diatur dalam UU Jabatan Notaris yaitu: Pasal 66 ayat (1):
Pasal 66A ayat (3): Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris, mengatur tata cara atau prosedur penegakan hukum pidana terhadap notaris, yaitu:
(a) Pemeriksaan terhadap notaris (termasuk Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris) untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan dan proses peradilan yang berkaitan dengan akta atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris; (b) Pengambilan fotokopi minuta akta dan/atau surat surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; (c) Pengambilan minuta akta dan atau surat surat yang dilekatkan pada minuta akta notaris atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris.
Persetujuan Ketua Majelis Kehormatan Notaris wilayah, memiliki 3 (fungsi) fungsi, yaitu:
Rumusan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris jo Peraturan Menteri, masih menimbulkan kekosongan hukum dan memerlukan penafsiran dalam penerapannya, mengenai beberapa masalah hukum yang dihadapi dalam praktek, yaitu: a. Apakah Persetujuan Ketua MKN Wilayah dapat berlaku surut? Kewajiban untuk membuka rahasia jabatan notaris di tingkat penyidikan, baru dapat dilakukan setelah adanya Persetujuan Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah kepada Penyidik, dalam arti persetujuan Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah tidak dapat berlaku surut. Secara a contrario disimpulkan dari ketentuan yang mengatur bahwa jika dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya permohonan yang diajukan penyidik, dan Ketua MKN Wilayah belum memberikan jawaban, maka permohonan yang diajukan penyidik dianggap disetujui oleh Ketua MKN Wilayah; b. Apakah MKN Pusat berwenang memberikan persetujuan atau penolakan, dalam hal MKN Wilayah belum terbentuk atau sudah berakhir masa jabatannya? UU Jabatan Notaris memberikan kewenangan kepada Majelis Kehormatan Notaris untuk memberikan persetujuan atau penolakan sebagai alasan pembenaran bagi notaris untuk membuka atau tidak membuka rahasia jabatannya. Peraturan Menteri membedakan Majelis Kehormatan Notaris, menjadi 2 (dua) sesuai dengan fungsi dan kewenangannya yaitu Majelis Kehormatan Notaris Pusat dan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah. Dalam hal Majelis Kehormatan Wilayah telah berakhir masa jabatannya atau belum terbentuk, dan Majelis Kehormatan Notaris Pusat telah terbentuk dan masa jabatannya masih berlangsung, maka kewenangan untuk memberikan persetujuan atau penolakan diajukan kepada Majelis Kehormatan Notaris Pusat. Norma persetujuan Majelis Kehormatan Notaris sebagai alasan pembenaran notaris membuka rahasia jabatannya guna kepentingan peradilan, sudah berlaku effektif, berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris jo Peraturan Menteri, dan sepanjang telah terbentuknya MKN Pusat dengan masa jabatan yang masih berlangsung. Prosedur permohonan untuk mendapatkan persetujuan atau penolakan Ketua MKN Wilayah yang diatur dalam Peraturan Menteri, secara mutatis mutandis dapat diberlakukan bagi Majelis Kehormatan Notaris Pusat, dan kewenangan MKN Pusat dalam memberikan persetujuan atau penolakan bersumber langsung dari UU Jabatan Notaris, karena UU Jabatan Notaris tidak membedakan antara MKN Wilayah dan MKN Pusat, tapi hanya mengenal MKN. c. Bagaimana prosedur pengambilan (penyitaan) minuta akta dan atau surat surat yang dilekatkan pada minuta akta, yang tidak diatur dalam UU Jabatan Notaris jo Peraturan Menteri?[7] UU Jabatan Notaris dan Peraturan Menteri, mengatur kewenangan Ketua MKN wilayah untuk memberikan persetujuan atau penolakan bagi notaris untuk menyimpan atau membuka rahasia jabatannya, dengan parameter, yaitu:
Prosedur atau tata cara penyitaan (pengambilan) minuta akta atau surat surat yang dilekatkan pada minuta akta, untuk kepentingan pemeriksaan keabsahan tanda tangan dan atau kepalsuan aktanya di laboratorium kriminalistik, tidak diatur dalam UU Jabatan Notaris dan Peraturan Menteri. Sebelum berlakunya UU Nomor 2 Tahun 2014, berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2004, yang berwenang memberikan persetujuan atau penolakan adalah Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota/Kabupaten. Pada waktu itu diterbitkannya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.03.HT.03.10 tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 telah dilakukan uji materil, dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 10P/HUM/2008 tanggal 17 September 2008, Peraturan Menteri tersebut dinyatakan tidak bertentangan dengan UU Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 7 tahun 2016, tidak menyatakan peraturan pelaksanaan yang ada sebelumnya tidak berlaku, sehingga Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.03.HT.0310 Tahun 2007 tetap berlaku khusus untuk tata cara pengambilan minuta akta dan atau surat surat yang dilekatkan pada minuta akta. Persetujuan MKN Wilayah untuk pengambilan minuta akta atau surat surat yang dilekatkan pada minuta akta, memiliki dasar pembenaran bagi notaris untuk membuka rahasia jabatannya. Parameter Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah dalam memberikan persetujuan atau penolakan kepada penyidik, penuntut umum atau hakim, dalam penegakan hukum pidana terhadap notaris telah diatur dalam Peraturan Menteri, yang mencakup: 1. Pemanggilan notaris oleh penyidik, penuntut umum atau hakim guna kepentingan pemeriksaan untuk proses peradilan. Pemberian persetujuan oleh Majelis Kehormatan Notaris Wilayah kepada penyidik, penuntut umum atau hakim untuk memanggil notaris untuk pemeriksaan guna kepentingan proses peradilan dilakukan dalam hal:
Pemanggilan notaris guna kepentingan pemeriksaan oleh penyidik dapat dilakukan dalam kedudukan sebagai saksi dan tersangka. yaitu: a. Pemanggilan Notaris sebagai saksi:
b. Pemanggilan Notaris Sebagai Tersangka Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP).
2. Pengambilan fotocopy minuta akta dan/atau surat-surat dalam penyimpanan notaris: Pemberian persetujuan oleh Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah kepada penyidik, penuntut umum atau hakim untuk mengambil fotocopy minuta akta dan atau surat surat dalam penyimpanan notaris, dilakukan dalam hal:
Dalam hal Ketua MKN Wilayah memberikan persetujuan kepada penyidik, penuntut umum atau hakim dalam melakukan pengambilan foto copy minuta akta dan atau surat surat dalam penyimpanan notaris, maka notaris wajib memenuhinya dalam bentuk:
3. Pengambilan minuta akta atau surat surat yang dilekatkan pada minuta akta Pemberian persetujuan oleh Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah kepada penyidik, penuntut umum atau hakim untuk mengambil minuta akta dan atau surat surat dalam penyimpanan notaris untuk keperluan foto forensik, dilakukan dalam hal:
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 7 tahun 2016 tidak mengatur secara jelas mengenai pengambilan minuta Minuta akta atau surat-surat asli yang dilekatkan pada minuta akta, untuk kepentingan pemeriksaan keabsahan tanda tangan dan kepalsuan terhadap isi akta. Dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.03.HT.03.10. Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, diatur pengambilan minuta akta dan surat surat asli untuk kepentingan foto forensik dengan cara:
Undang-Undang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa Menteri Hukum dan HAM RI melakukan pembinaan terhadap notaris dan kewenangan Menteri untuk melakukan pembinaan oleh UU Jabatan Notaris diberikan dalam bentuk pendelegasian Legislatif (Undang-Undang) kepada Menteri untuk membentuk Majelis Kehormatan Notaris bukan untuk menjalankan fungsi fungsi Majelis Kehormatan Notaris, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 66A ayat (1), berbunyi: “Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk Majelis Kehormatan Notaris.”. Menteri Hukum dan HAM RI mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan Pemerintahan dibidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, dengan demikian kewenangan Pengawasan terhadap notaris berada dalam urusan Pemerintah. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[11] Berdasarkan Rumusan UU Peradilan Tata Usaha Negara, yang dapat dikategorikan sebagai Pejabat TUN adalah siapa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan. Dengan demikian yang menjadi patokan bukanlah kedudukan struktural pejabat atau organ yang bersangkutan dalam jajaran Pemerintahan dan bukan pula nama resminya melainkan yang terpenting menjalankan fungsi urusan pemerintahan. Majelis Kehormatan Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan HAM RI yang menjalankan tugas atau fungsi pemerintahan dibidang Hukum (kenotariatan) dan Majelis Kehormatan Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat atau mengeluarkan Surat Keputusan atau Penetapan persetujuan atau penolakan kepada Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, guna melakukan tindakan pro justisia terhadap notaris berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau pelaksanaan jabatannya, dan karena itu surat keputusan atau penetapan Majelis Kehormatan Notaris dapat dijadikan objek gugatan oleh notaris ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai Sengketa Tata Usaha Negara.[12] Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 156/B/2017/PT.TUN.SBY, dalam amarnya membatalkan Keputusan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah Jawa Timur tentang Permintaan Ijin Pemeriksaan Notaris, merupakan bukti bahwa Keputusan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah merupakan Objek Sengketa Tata Usaha Negara. Pertimbangan Putusan PT Tata Usaha Negara Surbaya, didasarkan pada adanya pelanggaran aspek formal (prosedural) pra putusan Majelis Kehormatan Wilayah Notaris Jawa Timur, yaitu:
Notaris mempunyai hak untuk mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah kepada Penyidik untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap notaris, dan selama proses gugatan berjalan dan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, maka entitas peradilan (penyidik) belum memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap notaris, sampai adanya Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Objek Pra Peradilan, diatur dalam Pasal 77 KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana), yang diperluas dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan kembali Putusan Pra Peradilan, di mana Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang:
Pra Peradilan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, hanya menilai aspek formilnya yaitu apakah sudah ada paling sedikit 2 alat bukti yang sah, dan tidak memasuki materi atau pokok perkara. Putusan Pra Peradilan yang menyatakan penetapan tersangka tidak sah, tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi, setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.[13] KUHAP (Pasal 17 jo Pasal 21) secara tersirat mengatur bahwa untuk menentukan seseorang sebagai tersangka harus ada Bukti Permulaan yang cukup, dan KUHAP tidak memberikan penjelasan tentang bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan Pasal 183 jo Pasal 184 KUHAP jo pendapat ahli, menafsirkan bukti permulaan yang cukup, harus memenuhi minimal 2 alat bukti yang sah. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 memuat beberapa kaidah hukum baru, yaitu: (a) Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 RI Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. Berdasarkan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, maka keputusan penyidik melakukan penetapan tersangka menjadi linear dengan pengambilan keputusan oleh hakim, melalui putusannya, yang menyatakan suatu tindak pidana telah terbukti dan terdakwa bersalah, harus didasarkan sekurang kurangnya pada:
Bukti petunjuk dan keterangan terdakwa hanya menjadi domain hakim atau baru ada dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, sehingga tertutup kemungkinannya untuk digunakan di tingkat penyidikan. Keterangan saksi saksi yang dihimpun penyidik, dipersyaratkan harus memiliki kesesuaian satu sama lain untuk dapat dipandang sebagai satu alat bukti. Agar dapat memiliki nilai pembuktian, keterangan saksi-saksi itu harus berkesesuaian dengan alat bukti lain. Keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri sendiri tidak mempunyai nilai pembuktian jika bertolak belakang dengan keterangan keterangan tersangka atau keterangan saksi a de charge atau ahli yang diajukan tersangka. Notaris mempunyai hak untuk mengajukan gugatan pra peradilan, jika penetapan tersangka tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti yang sah. Pra Peradilan di pimpin oleh Hakim Tunggal, pemeriksaannya hanya menyangkut aspek formil, Pra Peradilan menjadi gugur, dalam hal pokok perkara sudah mulai diperiksa atau disidangkan di Pengadilan Negeri, Putusan Pra Peradilan, tidak dapat diajukan upaya hukum banding atau kasasi atau peninjauan kembali dan Pra Peradilan dilakukan secara cepat yaitu selambat lambatnya 7 hari, Hakim sudah harus menjatuhkan putusan. Lembaga Pra Peradilan merupakan sarana untuk menguji tindakan tindakan di tingkat penyidikan dan penuntutan jika tidak memenuhi syarat formil dan materil.
F. PENUTUP Prosedur atau tata cara penegakan hukum pidana terhadap notaris, penting diketahui oleh setiap notaris, agar hak dan kewajibannya dapat dilaksanakan. Persetujuan MKN Wilayah merupakan dasar pembenaran bagi Notaris untuk membuka rahasia jabatan dan sebagai dasar kewenangan entitas peradilan untuk melakukan rangkaian tindakan pro justisia terhadap notaris. Putusan MKN Wilayah merupakan Objek Tata Usaha Negara, sehingga Notaris memiliki hak untuk mengajukan gugatan pembatalan Persetujuan MKN Wilayah yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Notaris dapat mengajukan gugatan Pra Peradilan mengenai penetapan tersangka yang tidak memenuhi minimal 2 alat bukti yang sah. Solo, 25 Januari 2018 Dr. PIETER LATUMETEN, SH.MH
[1] Dosen MKN UI/Notaris-PPAT Kota Depok/Wakil Ketua Dewan Kehormatan Pusat INI [2] UU Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang telah drubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (dalam makalah ini disebut UU Jabatan Notaris). [3] Ko Tjay Sing, Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), hlm. 43-48, mengatakan bahwa ada 3 (teori) mengenai rahasia pekerjaan (jabatan), yaitu: (1) Teori Rahasia Mutlak, yaitu rahasia jabatan yang tidak dapat dibuka dalam keadaan dan alasan apapun, tanpa kecuali. Menurut teori ini rahasia jabatan bersifat mutlak, untuk melindungi kepentingan pihak yang harus dilindungi oleh rahasia jabatan, walaupun dengan mengorbankan kepentingan yang lebih besar; (2) Teori Rahasia Relatif, yaitu rahasia jabatan yang bersifat relatif (nisbi), dalam arti rahasia jabatan dapat dibuka jika ada kepentingan-kepentingan yang lebih besar, yang harus dilindungi atau jika ada dua kepenitngan yang saling bertentangan, maka kepentingan yang lebih besar yang harus dilindungi sedangkan kepentingan lain harus dikorbankan; dan (3) Teori penghapusan rahasia pekerjaan (jabatan), yaitu teori yang menolak adanya rahasia jabatan dan menurut teori ini hak ingkar atau kewajiban ingkar harus dicabut atau tidak dikenal dalam teori ini. [4] Indonesia, UU Jabatan Notaris jo UU Perubahan Jabatan Notaris, Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 54 [5] Pasal 112 KUHAP, yang mewajibkan seseorang yang dipanggil oleh penyidik guna kepentingan pemeriksaan wajib datang kepada penyidik. Bagi saksi yang tidak datang kepada penyidik tanpa alasan dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 224 KUHPidana, sedangkan Pasal 43 KUHAP menyatakan bahwa penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut UU untuk merahasikan, sepanjang tidak menyangkut rahasia Negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali UU menentukan lain. [6] Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 7 tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris (selanjutnya disebut Peraturan Menteri) [7] Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan (Pra Peradilan) Nomor 19/PID.PRA/ 2016/PN.JKT.PST [8] Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010: [9] Penolakan panggilan sebagai saksi dapat dikenakan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 ayat (1) KUHPidana yaitu: “barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhi diancam dalam perkara pidana dengan pidana penjara paling lama 9 bulan. [10] KUH.Pidana, pasal 78 menegaskan bahwa Hak Menuntut Daluwarsa dalam hal-hal dan jangka waktu sebagai berikut: (a) Pelanggaran dan Kejahatan yang dilakukan dengan Percetakan, sesudah 1 tahun; (b) Kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana penjara paling lama 3 tahun, sesudah 6 tahun; (3) Kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah 12 tahun dan (4) Kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah 18 tahun. [11] Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009, Pasal 1 ayat (2) [12] Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dirubah dengan UU Nomor 51 Tahun 2009, telah memberikan dasar hukum kedudukan Keputusan Majelis kehormatan Notaris sebagai objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu: Pasal 1 angka (2), berbunyi: Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Pasal 1 angka (3), berbunyi: Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, [13] KUHAP, Pasal 184, mengatur tentang alat bukti yang sah, terdiri dari: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; dan (e) keterangan terdakwa. |