Hal-hal yang membolehkan untuk tidak salat jumat disebut

Setiap muslim pasti sudah tahu dengan sholat jumat. Sesuai dengan namanya, sholat ini dilaksanakan pada hari jumat siang. Pelaksanaan shalat jumat dilakukan secara berjamaah. Karena itu, seorang muslim harus melakukan shalat jumat sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Lalu bagaimana jika seorang muslim meninggalkan shalat jumat?

Hukum Melaksanakan Shalat Jumat

Sebelum mengetahui hukum meninggalkan shalat jumat, Anda harus tahu hukum shalat jumat terlebih dahulu. Shalat jumat merupakan shalat satu ibadah yang hukumnya wajib. Bahkan kewajiban shalat jumat sama dengan kewajiban shalat 5 waktu bagi laki – laki.

Dalil mengenai wajibnya shalat jumat ini dijelaskan pada QS Jumuah ayat 9 yang berbunyi :

Wahai orang – orang beriman, apabila diseur untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui

Akan tetapi, dalam HR Abu Daud juga dijelaskan bahwa kewajiban shalat jumat ini hanya berlaku kepada muslim laki – laki saja. Sedangkan budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit terlepas dari kewajiban shalat jumat tersebut.

Hukum Meninggalkan Shalat Jumat Bagi Laki – Laki

Jika kewajiban shalat jumat sama dengan shalat wajib 5 waktu, lalu bagaimana jika seseorang tidak melaksanakan atau bahkan meninggalkan sholat jumat?

1. Hatinya ditutup dari hidayah

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadits yang mereka lihat dan dengar dari Rasulullah SAW, ketika beliau bersabda,

Hendaklah orang – orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang – orang yang lalai.
(HR. Muslim)

Yang dimaksud ditutup hatinya dalam hadits ini adalah Allah akan menutup dan mencegah hati orang tersebut dari menerima kasih sayang Allah, lalu hati orang tersebut akan menjadi bodoh, kering, dan keras sebagaimana hati orang munafik.

2. Sama dengan mengabaikan hukum islam

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud juga disebutkan bahwa orang yang meninggalkan 3 kali sholat Jumat karena lalai, maka hatinya akan ditutup oleh Allah. Yang dimaksud 3 kali di sini bisa jadi 3 kali secara berurutan ataupun terpisah – pisah.

Saat seseorang meninggalkan shalat jumat lebih dari satu kali secara sengaja, maka sama halnya orang tersebut telah melempar Islam ke belakang punggungnya. Artinya, orang tersebut tidak menganggap bahwa hal tersebut adalah hal penting sehingga mereka bisa mengabaikannya dengan mudah.

3. Mengganti shalat Jumat dengan shalat Dzuhur

Akan tetapi, hukum meninggalkan shalat jumat tersebut berlaku bagi orang yang meninggalkan shalat jumat secara sengaja dan tanpa ada alasan yang kuat. Jika shalat jumat tidak dilakukan karena adanya udzur syar’i, misalnya karena sakit atau hal lainnya, maka kewajiban shalat Jumat tersebut bisa diganti dengan shalat Dzuhur.

Seseorang yang sedang menjadi musafir, tinggal di pegunungan atau di tempat yang tidak ada jamaah shalat jumat, atau hal – hal lain semisal itu yang membuat shalat Jumat sukar dilaksanakan, maka tidak apa mengganti shalat Jumat dengan shalat Dzuhur.

Akan tetapi, jika seseorang meninggalkan shalat Jumat secara sengaja dan dengan sadar, maka sudah seharusnya orang tersebut segera bertaubat dan melakukan shalat Dzuhur.

MADANINEWS.ID, JAKARTA – Hari Jumat disebut dengan sayyidul ayyam (tuannya hari-hari). Hari Jumat juga disebut dengan hari rayanya umat Muslim setiap minggunya dengan diselenggarakannya salat Jumat yang wajib dilakukan bagi laki-laki muslim. Rasul SAW bahkan memberikan peringatan bagi orang yang meninggalkan shalat Jumat, bahkan disebut sebagai kafir.

Lalu, adakah kekhususan bagi orang tertentu, sehingga diperbolehkan meninggalkan shalat Jumat? Jawabnya, ada.

“Jumat adalah kewajiban bagi setiap Muslim kecuali empat orang. Hamba sahaya yang dimiliki, perempuan, anak kecil, dan orang sakit,” (HR Abu Daud dengan sanad sesuai standar syarat Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis di atas, jelas disebutkan bahwa empat golongan ini diperbolehkan untuk tidak melakukan shalat Jumat, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang sakit.

Namun, Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri dalam kitab karangannya yang berjudul Syarh al-Yaqut al-Nafis menyebutkan tujuh golongan orang yang tidak diwajibkan melakukan shalat Jumat, salah empatnya sudah dijelaskan dalam hadis di atas, yakni anak kecil, perempuan, hamba sahaya dan orang sakit.

Penulis Syarh al-Yaqut al-Nafis ini menambahkan tiga hal lagi:

Pertama, non-muslim. Jelas sekali, bahwa non-muslim tidak diwajibkan melaksanakan shalat Jumat.

Kedua, orang yang tidak berakal, seperti orang gila, mabuk dan orang yang tidak sadarkan diri. Sehingga ia tidak diwajibkan mengerjakan shalat Jumat.

Ketiga, musafir. Oleh karena itu, tidak diwajibkan bagi musafir untuk melakukan shalat Jumat, walaupun perjalanannya tidak melebihi jarak diperbolehkan mengqashar shalat.

Namun tidak semua musafir diperbolehkan meninggalkan shalat Jumat, hanya musafir tertentu saja yang diperbolehkan, yakni dengan syarat, perjalanannya dilakukan sebelum terbit fajar dan juga perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan yang mubah, bukan perjalanan untuk sesuatu yang dilarang, seperti merampok, berzina, dan lain sebagainya.

Meninggalkan shalat Jumat dalam hal ini adalah boleh meninggalkan shalat jumat dan menggantinya dengan shalat dhuhur.

Shalat Jumat merupakan ritual wajib bagi Muslim laki-laki di setiap minggunya. Salah satu hikmah disyariatkannya Jumat adalah menjaga kerukunan dan kekompakan di antara sesama Muslim. Minimal satu kali dalam seminggu mereka bisa bertemu dan bertatap muka setelah setiap harinya sibuk dengan profesi dan pekerjaan masing-masing.

Sebegitu pentingnya Jumatan, hingga Nabi menyabdakan bahwa orang yang meninggalkan Jumat tiga kali beturut-turut, Allah membekukan hatinya. Ketika hati sudah beku, pertanda susah menerima nasihat dan kebenaransemoga Allah melindungi kita darinya. Hanya saja, dalam kondisi tertentu, syariat membolehkan shalat Jumat di suatu daerah ditiadakan. Berikut ini penjelasannya.

Pertama, jumlah jamaah Jumat tidak memenuhi kuota. Minimal jumlah jamaah Jumat yang mengesahkan Jumatan menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i adalah 40 laki-laki Muslim (sudah termasuk imam) daerah setempat yang bertempat tinggal tetap. Jika kuota jamaah Jumat tidak mencapai jumlah tersebut, misalnya di daerah minoritas Muslim, maka Jumatan boleh ditiadakan. Warga Muslim setempat tidak berkewajiban Jumatan.

Guru besar ulama mazhab Syafi’i, Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari mengatakan:

فإن كانوا أقل من أربعين أو أهل خيام مثلا ونداء بلد الجمعة يبلغهم لزمتهم وإن لم يبلغهم فلا لخبر الجمعة على من سمع النداء رواه أبو داود بإسناد ضعيف لكن ذكر له البيهقي شاهدا بإسناد جيد

“Bila mereka kurang dari 40 orang atau statusnya penduduk perkemahan, sementara adzan tempat berlangsungnya Jumat sampai pada mereka, maka wajib bagi mereka untuk berjumatan (ke daerah tetangga tersebut), bila tidak terdengar adzan, maka tidak wajib Jumatan. Karena hadits Nabi, shalat Jumat wajib atas orang yang mendengar adzan. Hadits riwayat Abu Daud dengan sanad yang lemah, namun Imam al-Baihaqi menyebutkan dalil pendukung bagi hadits tersebut dengan sanad yang baik (hasan). (Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, halaman 263).

Kedua, hujan lebat. Disebutkan dalam Shahih Muslim:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: " إِذَا قُلْتَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَلَا تَقُلْ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قُلْ: صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ "، قَالَ: فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ، فَقَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا، قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ»

“Dari Abdillah bin Abbas, beliau berkata kepada juru adzannya di hari-hari penuh hujan, ‘Jika engkau sudah mengumandangkan asyhadu an lâ ilâha illallâh, asyhadu anna muhammadan rasûlullâh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah), maka jangan ucapkan hayya ‘alash shalâh (kemarilah untuk shalat), namun ucapkan shallû fî buyûtikum (shalatlah di rumah-rumah kalian).’ Juru adzan berkata, ‘Sepertinya orang-orang mengingkari pandangan tersebut. Ibnu Abbas menjawab, Apakah engkau merasa aneh dengan ini? Sungguh telah melakukan hal tersebut orang yang lebih baik dariku. Sesungguhnya Jumatan adalah hal yang wajib, namun aku benci memberatkan kepada kalian sehingga kalian berjalan di lelumpuran dan jalan yang rawan terpeleset.” (HR Muslim).

Hadits tersebut menunjukan bahwa hujan menjadi sebab diringankannya urusan jamaah dan Jumatan. Al-Imam al-Nawawi mengatakan dalam penjelasan hadits di atas:

هذا الحديث دليل على تخفيف أمر الجماعة في المطر ونحوه من الأعذار

“Hadits ini menunjukan diringankannya urusan jamaah disebabkan hujan dan sejenisnya dari beberapa uzur” (Syekh al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz 5, hal. 207).

Hujan bisa menjadi uzur atau alasan untuk tidak digelarnya shalat Jumat bila memberatkan seseorang keluar rumah. Sehingga, tidak termasuk uzur bila hanya gerimis-gerimis kecil, atau hujan lebat tapi ada kemudahan akses untuk sampai ke masjid.

Syekh Khathib al-Syarbini menjelaskan:

ويشترط حصول مشقة بالخروج مع المطر كما صرح به الرافعي في الكلام على المرض فلا يعذر بالخفيف ولا بالشديد إذا كان يمشي في كن

“Dan disyaratkan ada masyaqqah (hal yang memberatkan) dengan keluar saat hujan seperti yang ditegaskan Imam al-Rafi’i dalam pembahasan sakit, maka tidak dimaafkan hujan yang ringan dan lebat bila ia dapat berjalan di bawah atap” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz 1, hal. 473).

Ketiga, becek yang parah. Menurut pendapat shahih dalam mazhab Syafi’i, becek yang parah termasuk uzur, karena haditsnya Ibnu Abbas dalam riwayatnya Imam Muslim di atas. Alasan lainnya, becek yang parah lebih besar taraf masyaqqah-nya dari hujan. Yang dimaksud becek parah adalah kondisi becek yang rawan mengakibatkan kotornya pakaian dan kaki.

Syekh al-Damiri mengatakan:

(وكذا وحل شديد على الصحيح) فهو عذر وحده ليلا ونهارا، لحديث ابن عباس المتقدم، ولأنه أشق من المطر. والثاني: لا؛ لإمكان الاحتراز عنه بالنعال ونحوها. والمراد بـ (الوحل الشديد): الذي لا يؤمن معه التلويث وإن لم يكن متفاحشا.

“Demikian pula becek yang parah menurut pendapat yang shahih, maka termasuk uzur di malam dan siang hari, karena hadit riwayat Ibnu Abbas yang terdahulu, dan karena becek lebih berat dari hujan. Menurut pendapat kedua, bukan uzur, karena bisa dihindari dengan memakai sandal dan semisalnya. Maksud dari becek parah adalah becek yang tidak aman besertaan dengannya mengotori meski tidak sampai pada taraf yang sangat parah” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, al-Najm al-Wahhaj, juz 2, hal. 339).

Keempat, angin kencang. Para ahli fiqih sebenarnya membatasi keringanan shalat jamaah pada alasan angin yang terjadi di malam hari, sedangkan angin kencang di siang hari tidak termasuk uzur karena taraf masyaqqah-nya masih di bawah angin kencang di malam hari. Sehingga, hal ini tidak bisa diterapkan dalam bab Jumat yang notabenenya dilaksanakan di siang hari (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Hamisy Hasyiyah al-Syarwani, juz 3, hal. 46, cetakan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut Lebanon).

Bila mencermati alasan tersebut, tidak menutup kemungkinan bila terjadi angin sangat kencang yang taraf masyaqqah-nya sebanding atau bahkan melebihi angin kencang di malam hari, juga bisa menjadi uzur meninggalkan Jumat.

Hujan lebat, becek parah, dan angin kencang menjadi uzur sekiranya mengakibatkan masyaqqah (kondisi memberatkan) yang menghilangkan kekhusyukan atau kesempurnan khusyuk di dalam shalat. Syekh al-Qalyubi mengatakan:

قوله: (ولا رخصة في تركها إلا بعذر) وهو ما يذهب الخشوع أو كماله، والتعليل بغيره للزومه له.

“Tidak ada keringanan dalam meninggalkan jamaah (dan Jumat) kecuali karena uzur, yaitu perkara yang menghilangkan khusyuk atau kesempurnaannya. Membuat alasan dengan selain pengertian ini, karena keduanya saling terkait” (Syekh al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala Kanz al-Raghibin, juz 1, hal. 260).

Peniadaan Jumatan karena Virus/Penyakit

Selain faktor yang telah disebutkan di atas, sebetulnya masih ada beberapa penyebab diperbolehkan meninggalkan Jumatan, namun tidak berlaku umum untuk seluruh warga Muslim setempat, melainkan dikembalikan kepada individu setiap orang, tidak bisa digeneralisasikan. Para pakar fiqih mengategorikannya dalam uzur yang khusus, yaitu uzur yang hanya berlaku untuk personal, bukan jamaah.

Seperti sakit atau khawatir tertular penyakit bagi diri sendiri, hal ini dapat menjadi uzur yang memperbolehkan meninggalkan Jumat dan jamaah, sebagaimana penjelasan yang dipaparkan dalam referensi berikut ini:

ويعذر في ترك الجمعة والجماعة، المريض. بلا نزاع، ويعذر أيضا في تركهما لخوف حدوث المرض.

“Orang sakit dimaafkan (boleh) meninggalkan shalat Jumat dan jamaah—tak ada perbedaan pendapat ulama tentang hal ini. Dan dimaafkan pula dalam meninggalkan Jumat dan jamaah karena khawatir terkena sakit” (Syekh al-Mardawi, al-Inshaf, juz 4, hal. 464).

Referensi dari mazhab Hanbali tersebut secara tegas menstatuskan kekhawatiran tertimpa penyakit sebagai uzur Jumat dan jamaah. Hanya saja, referensi tersebut hanya berlaku dalam konteks individu. Artinya, tidak berlaku umum untuk setiap orang, harus melihat kondisi imunitas masing-masing dan seberapa kuat potensi bahaya menularnya sebuah penyakit agar bisa sampai pada taraf “khauf/ kekhawatiran”.

Yang dimaksud “khauf” dalam umumnya redaksi fiqih, tidak sebatas kekhawatiran tanpa dasar, namun disertai indikasi yang mengantarkan kepada zhan (dugaan) atau yakin dapat mengganggu kesehatan sesuai petunjuk medis.

Hal lain yang menjadi penyebab bolehnya meninggalkan Jumat bagi individu adalah risiko menularnya sebuah penyakit ke jamaah lain. Misalnya penderita lepra atau kusta, ia tidak terkena kewajiban Jumat, bahkan wajib dikarantina, diberi tempat khusus agar penyakitnya tidak menular ke orang sehat dan pemerintah atau orang Muslim yang kaya memiliki tanggung jawab memenuhi kebutuhan hidupnya. Tema terakhir ini sudah pernah kami singgung dalam artikel berjudul “Pengidap Penyakit Menular Dilarang Shalat Jumat?”.

Namun sekali lagi, kasus tersebut kembalinya kepada individu, yaitu uzur meninggalkan Jumatan hanya berlaku untuk warga yang positif mengidap penyakit menular, tidak berlaku untuk semua warga (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Hamisy Hasyiyah al-Syarwani [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], juz 3, hal. 54).

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pendapat yang memperkenankan peniadaan Jumatan secara massal saat wabah virus menjangkit, langkah yang ditempuh seharusnya mengidentifikasi setiap warga apakah positif terkena virus atau aman darinya, bukan menggeneralisasi libur Jumatan secara massal tanpa memilah dan memilih. Muslim yang positif terkena virus (yang bisa menular lewat kedekatan fisik), wajib diisolasi dan dilarang Jumatan, sementara warga Muslim yang sehat tetap berkewajiban Jumatan selama tak khawatir terdampak virus berdasarkan informasi medis.

Merujuk kepada kaidah fiqih bahwa:

اليقين لا يزال بالشك

“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”

Dalam konteks peliburan Jumatan secara massal, kewajiban Jumatan sudah jelas dan tidak bisa ditunda-tunda, sementara uzur yang membolehkan untuk meninggalkannya masih diragukan.

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat.

Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.