Di daerah istimewa Yogyakarta terdapat perkembangan batik keraton Yogyakarta terutama di kabupaten

Asal usul batik terutama batik tulis Bantul konon bersamaan dengan berdirinya makam Raja-Raja Mataram di Imogiri pada abad ke-16. Seiring dengan berdirinya Makam Raja-Raja tersebut maka interaksi masyarakat dengan pihak kraton terjadi, pada awalnya kraton membutuhkan tenaga unutk memelihara dan menjaga makam, sehingga menugaskan abdi dalem dari penduduk setempat. Keterampilan dari putri dan abdi dalem dalam membatik kemudian ditiru oleh penduduk setempat yang pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan kreaton dan kemudian berkembang secara turun temurun sampai sekarang.

Bantul adalah kabupaten di Provinsi D.I Yogyakarta yang letaknya di sebelah selatan Yogyakarta. Semasa Kerajaan Mataram, Bantul atau yang dahulu disebut dengan “Lipuro” termasuk salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Letak sebagian Kerajaan Mataram Islam khususnya di Pleret dan Kotagede secara administrasi, sekarang masuk wilayah Kabupaten Bantul. Ketika Kerajaan Kasultanan Yogyakarta, sebagai salah satu pewaris Kerajaan Mataram Islam bertahta, Bantul juga masih menjadi wilayah kekuasaan kerajaan tersebut. Tidak ayal jika budaya di wilayah Bantul masih sama dengan budaya Kraton Kasultanan (Dinasti Mataram Islam) walaupun mengalami variasinya. Salah satu hasil budaya Bantul yang masih secorak dengan budaya wilayah kerajaan setempat adalah batik.

Batik yang berkembang di wilayah Bantul jelas tidak bisa dipungkiri merupakan perkembangan batik Kraton Yogyakarta. Sebab awal mulanya tradisi membatik berasal dari kraton yang berkembang ke wilayah sekitarnya. Beberapa wilayah di Bantul yang sampai saat ini menjadi sentra batik di antaranya adalah daerah Imogiri, Pandak, Jetis dan Pajangan.

Dalam perkembangan jenis batik di Pulau Jawa, batik Bantul merupakan salah satu jenis batik petani atau batik rakyat serta batik saudagaran yang muncul setelah batik kraton atau jenis-jenis batik yang terdahulu hadir. Seiring berjalannya waktu batik-batik kraton, atas permintaan pihak kraton mulai dibuat di luar tembok kraton, hal ini disebabkan karena tingginya permintaan batik oleh keluarga kraton yang tidak mungkin lagi dibuat sepenuhnya oleh lingkungan kraton karena keterbatasan tenaga kerja dalam kraton. Abdi dalem yang tinggal di luar kraton dan saudagar-saudagar pun membuat batik atas permintaan pihak kraton. Dan sebagai tenaga kerjanya mereka memperkerjakan petani-petani dari pedesaan yang tidak jauh dari tempat tinggal para saudagar tersebut. Karena para saudagar dan petani setiap hari bergulat dengan pola-pola batik kraton, pada akhirnya mereka berkeinginan menggunakan batik sebagai busana mereka, sebagai pengganti kain tenun yang mereka biasa pakai sebelumnya. Namun hal itu juga terbentur pada peraturan dari kraton yang melarang pola-pola tertentu oleh rakyat biasa. Karena ada beberapa pola yang hanya boleh dikenakan oleh para kerabat kraton, raja dan keluarganya, atau lebih dikenal dengan “pola larangan” seperti parang barong, parang rusak, parang pamor, udan liris, semen rante, semen cuwiri, kawung dan sebagainya. Oleh karena itu, para petani dan saudagar mencari jalan keluar dengan memodifikasi pola-pola larangan tersebut menjadi pola yang berbeda, bahkan membuat pola-pola sendiri sehingga muncullah jenis-jensi batik baru secara bersamaan yaitu batik saudagaran dan batik petani atau batik rakyat.

Daerah Bantul merupakan pusat batik petani/rakyat terbesar di Yogyakarta yang menurut polanya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok. Pertama, kelompok daerah dengan pola-pola batik asli batik kraton, karena pembatiknya meniru keterampilan putri dan abdi dalem penjaga dan pemelihara makam raja-raja Imogiri. Selain itu juga memodifikasi atau merubah pola sehingga tampil berbeda dengan pola aslinya bahkan dengan perkembagan komunikasi antar daerah melalui perdagangan oleh saudagar termasuk pengaruh pola dari daerah lain. Kelompok ini meliputi Desa Wukirsari, Desa Girirejo di Kecamatan Imogiri dan Desa Wijirejo di Kecamatan Pandak.

Kedua, batik kidulan gabungan dari batik rakyat/batik petani dengan batik saudagaran, kelompok daerah yang membuat batik-batik dengan pola utama sebagai latarpola, seperti parang atau lereng, atau isen latar seperti galaran, gringsing, sisik atau cecek kepyur yang dipadukan dengan ragam hias yang menggambarkan alam sekitar para petani dalam kesehariannya seperti tumbuhan, bunga-bunga, burung, kupu-kupu atau binatang lainnya. Batik ini sering disebut dengan “batik kidulan” atau “rinen”. Batik ini biasanya dihasilkan di daerah Sanden, Pandak dan sekitarnya.

Ketiga, kelompok daerah yang menggunakan pola Nitik sebagai pola produk batiknya, yang pada awalnya di daerah Pleret (Wonokromo). Pola nitik merupakan pola tiruan dari pola tenunan kain “Patola (Cinde)” yang berasal dari Gujarat India. Kain tenun pola ini dibawa masuk ke Indonesia oleh pedagang Gujarat. Sekitar abad ke-17 melalui pantai utara Jawa, pola batik ini menurut berbagai sumber diyakini dahulu merupakan motif batik yang dihasilkan oleh Desa Wonokromo Pleret, hingga kini pola batik nitik ini banyak dikembangkan di Bantul yaitu di daerah Kembangsongo. Hingga saat ini, lebih dari 70 (tujuh puluh) pola nitik sudah dikembangkan baik di wilayah Kabupaten Bantul maupun di luar Kabupaten Bantul. Pola batik nitik ini sebagian besar diberi nama bunga seperti kembang kentang, sekar kemuning, sekar randu, kembagn kantil, kembang kenanga, kembang pace, kembang waru, ceprek dan sebagainya, serta banyak dijumpai motif nitik yang dipadupadakan dengan pola lain seperti parang, kawung, garuda, keong atau ceplok yang lain sehingga muncul nama-nama nitik tambal, parang seling nitik, nitik kasatrian, nitik cakar ayam, tanjung gunung dan lain-lain.

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.

Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.

Jaman Majapahit


Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.

Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.

Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.

Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.

Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.

Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.

Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.

Jaman Penyebaran Islam


Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.

Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.

Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.

Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.