Di bawah ini yang tidak termasuk perilaku budaya muhammadiyah adalah

Oleh: Zuly Qodir"Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan capres dari partai politik mana pun menjelang Pemilu Presiden 9 Juli mendatang," demikian diungkapkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin (16/5/2014).Pernyataan Din harus dibaca dengan jernih dan cermat menjelang Pilpres 9 Juli 2014. Sekurang-kurangnya terdapat dua pandangan yang dapat saya sampaikan terkait dengan sikap politik Muhammadiyah.Pertama, Muhammadiyah me- nempatkan posisi semua parpol yang mengusung capres-cawapres sama saja. Mereka tak punya hubungan langsung dengan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia  setelah Nahdlatul Ulama tersebut. Dengan memosisikan diri netral, Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai king maker suara umat Islam Indonesia yang jumlahnya besar.Suara Muhammadiyah sendiri, menurut survei Saiful Mujani (2009), mencapai 25 juta penduduk Indonesia. Cukup signifikan menjadi idola kalangan parpol melirik organisasi modernis Islam ini. Dengan posisi seperti itu, Muhammadiyah tak mengeksklusifkan parpol mana pun yang mengusung capres/cawapres meski sebagian orang Muhammadiyah tentu kecewa (karena sebagian politisi dari warga Muhammadiyah berharap mendukung salah satu parpol pengusung pasangan capres-cawapres pada Pilpres 9 Juli).Rupanya terdapat parpol yang merasa "sangat dekat" bahkan jadi bagian integral Muhammadiyah sehingga selalu berusaha dengan banyak cara mengatakan bahwa inilah partai Muhammadiyah sehingga layak mendapat dukungan resmi Muhammadiyah dalam pileg dan pilpres. Parpol lain dianggap tak punya kede- katan istimewa dengan Muhammadiyah sehingga tak berhak mendapat dukungan dari Muhammadiyah.Sikap politik seperti itu (dengan membaca secara jernih dan cermat pernyataan Ketua Umum Muhammadiyah) merupakan perilaku politik berlebihan. Muhammadiyah bukanlah organisasi politik praktis yang bergerak dalam gerakan dukung mendukung capres-cawapres dalam pilpres yang diselenggarakan di Indonesia sejak era Reformasi. Benar bahwa warga Muhammadiyah, bahkan sebagian elite Muhammadiyah, menjadi pengurus partai tertentu. Itu tak serta- merta menjadikan Muhammadiyah bagian dari parpol yang mencalonkan pasangan capres- cawapresnya.

Hal yang dapat dibenarkan adalah bahwa pilihan politik warga Muhammadiyah diserahkan kepada pribadi-pribadi yang memiliki kedekatan emosional dengan pasangan capres-cawapres tanpa harus menyebutkan bahwa itulah pasangan capres-cawapres resmi dari Muhammadiyah. Kesalahpahaman semacam ini harus disampaikan kepada publik dan warga Muhammadiyah karena jika tidak dilakukan, akan membuat antarsesama warga Muhammadiyah saling menelikung, saling menuduh, memfitnah, dan mendeskreditkan jika tak memilih pasangan calon yang dikehendaki politisi Muhammadiyah yang aktif di parpol tertentu.

Politik tinggiKedua, politik tinggi Muhammadiyah, yakni politik kebangsa- an. Perilaku politik Muhammadiyah bukanlah perilaku politik dukung mendukung pasangan capres-cawapres pada Pilpres 9 Juli. Politik kebangsaan merupa- kan karakteristik politik Muhammadiyah yang telah dikembangkan sejak berdirinya Muhammadiyah dengan mendirikan amal usaha dalam bidang pendidikan, kesehatan, serta penyantunan anak yatim dan kaum duafa.Muhammadiyah memang pernah menjadi "bagian dari Masyumi", tetapi segera siuman dan bertobat sehingga tak pernah jadi bagian dari parpol mana pun. Banyaknya warga Muhammadiyah di berbagai parpol menunjukkan kedewasaan politisi warga Muhammadiyah. Politisi yang berlatar Muhammadiyah tak memiliki klaim tunggal sebagai ”putra mahkota” Muhammadiyah yang harus diusung dan didukung secara resmi oleh persyarikatan Muhammadiyah.Dengan demikian, kekecewaan sebagian politisi asal Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai sikap dan perilaku politik tidak dewasa. Bahkan, dapat dikatakan sebagai sikap dan perilaku politik sektarian dan eksklusif sehingga merasa harus mendapat dukungan resmi dari persyarikatan Muhammadiyah. Maka, dalam konteks politik tinggi yang beradab, santun, dan bervisi, warga Muhammadiyah tak dibenarkan melakukan kampanye hitam terhadap capres-cawapres yang diusung parpol mana pun, termasuk yang dianggap tidak menjadi bagian dari Muhammadiyah.Kita harus memosisikan Muhammadiyah benar-benar sebagai penyangga kekuatan civil Islam Indonesia yang harus didorong dan mendukung perkembangan masyarakat Islam yang toleran, humanis, dan inklusif, bukan karakteristik Islam Indonesia yang penuh kekerasan dan ancaman sehingga menakutkan sebagian umat Islam minoritas dan umat agama lain yang jumlahnya juga minoritas. Muhammadiyah harus terus didorong menciptakan dan mengampanyekan Islam moderat sebagai genre Islam Indonesia.Karena itu, sikap politik Muhammadiyah yang disampaikan Din harus dipahami sebagai bagian penting Muhammadiyah dalam menjaga khitah Muhammadiyah yang sejak awal tak diagen- dakan jadi "gerakan politik praktis" dan sebagai parpol. Namun, Muhammadiyah adalah persyarikatan Islam yang mengemban amanah Islam rahmatan lil alamin dan membangun komunitas masyarakat baldatun thayibatun warabun ghofur.Sikap netral yang disampaikan Din sekaligus sebagai ”sikap netral yang politis”. Hal ini karena Muhammadiyah memiliki posisi sangat penting sebagai bagian dari gerakan civil Islam Indonesia yang selalu berupaya mengampanyekan perilaku politik beradab. Perilaku politik beradab Muhammadiyah tak hanya mengejar keuntungan material dan kekuasaan, tetapi juga terjadinya perubahan pola pikir dan perilaku santun beretika dalam menjalankan tindakan politik praktis.Dengan memperhatikan sikap politik Muhammadiyah seperti disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, maka tidak bisa dibenarkan jika pada suatu saat nanti jajaran elite parpol dengan serta-merta ”memaksakan diri” agar para pengurus Muhammadiyah mulai dari tingkat ranting, cabang, daerah, wilayah, sampai pusat, mendukung salah satu pasangan capres-cawapres. Yang benar adalah jika ada warga Muhammadiyah mendukung salah satu pasangan capres-cawapres. Itu sikap pribadi, bukan sikap organisasi (persyarikatan).Kita harus menjaga perilaku politik Muhammadiyah yang sudah terang benderang sejak era Reformasi, yakni tidak mendukung secara resmi pasangan capres-cawapres sekalipun sebagian warga persyarikatan menjadi aktivis parpol, bahkan tim sukses salah satu pasangan capres-cawapres pada Pilpres 9 Juli.Kita harus bersikap bijaksana kepada persyarikatan Muhammadiyah yang ”netral” dalam pilpres mendatang karena sikap politik Muhammadiyah tersebut bukan berarti warga persyarikatan Muhammadiyah tidak boleh berpolitik praktis dan mendukung pasangan capres-cawapres yang dikehendaki.Pernyataan sikap politik Muhammadiyah yang disampaikan Ketua Umum Muhammadiyah juga dapat kita jadikan pembelajaran bagi warga persyarikatan Muhammadiyah agar berpolitik secara dewasa, tidak sektarian, tetapi inklusif dan beradab sehingga dalam 10-20 tahun mendatang warga Muhammadiyah tidak menjadi politisi rabun ayam dan berpikiran cetek.

Zuly Qodir


Sosiolog Fisipol UMY; Peneliti Senior Maarif Institute Jakarta

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Maksud gerakanya ialah Dakwah Islam dan Amar Ma’ruf nahi Munkar yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat . Dakwah dan Amar Ma’ruf nahi Munkar pada bidang pertama terbagi kepada dua golongan: Kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan murni; dan yang kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam.

Adapun da’wah Islam dan Amar Ma’ruf nahi Munkar bidang kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat kebaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah semata-mata.

Dengan melaksanakan dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah “Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.

DASAR DAN AMAL USAHA MUHAMMADIYAH

Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenarbenarnya, dimana kesejahteraan, kebaikan dan kebahagiaan luas-merata, Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu:

  1. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah.
  2. Hidup manusia bermasyarakat.
  3. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat.
  4. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada kemanusiaan.
  5. Ittiba’ kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
  6. Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban organisasi.

PEDOMAN AMAL USAHA DAN PERJUANGAN MUHAMMADIYAH

Menilik dasar prinsip tersebut di atas, maka apapun yang diusahakan dan bagaimanapun cara perjuangan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan tunggalnya, harus berpedoman: “Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasul-Nya, bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridlai Allah”.

SIFAT MUHAMMADIYAH

Menilik: (a) Apakah Muhammadiyah itu, (b) Dasar amal usaha Muhammadiyah dan (c) Pedoman amal usaha dan perjuangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah memiliki dan wajib memelihara sifat-sifatnya, terutama yang terjalin di bawah ini:

  1. Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan.
  2. Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.
  3. Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam.
  4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.
  5. Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah.
  6. Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik.
  7. Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan, sesuai dengan ajaran Islam.
  8. Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya.
  9. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.
  10. Bersifat adil serta kolektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.

(Keputusan Muktamar ke 35)