Dari jenis angklung ini, yang berasal dari masyarakat banten selatan adalah

Bandung -

Salah satu alat musik tertua khas Jawa Barat ini memiliki kisah panjang dibalik kesuksesannya sebagai salah satu warisan budaya dunia milik Indonesia. Angklung terdaftar di UNESCO sebagai The Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity sejak 16 Januari 2011.

Dalam sejarahnya, jenis-jenis angklung dibagi menjadi dua, yaitu angklung tradisional dan angklung modern. Biasanya, angklung tradisional masih berkaitan erat dengan upacara adat. Sedangkan, angklung modern baru lahir di abad ke-20 sebagai upaya pelestarian angklung.

Cara memainkan angklung bisa dibilang mudah dan sederhana. Terdapat tiga teknik dasar dalam membunyikan angklung.


Dilansir dari Jurnal Elektronik Patanjala Kemdikbud, berikut jenis-jenis angklung tradisional dan modern dan cara memainkannya.

Angklung Tradisional

1. Angklung Kanekes

Berasal dari Desa Kanekes, Kecamatan Ciboleger, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, angklung Kanekes hingga kini masih erat digunakan di kampung adat yang masih melaksanakan tradisi yang diwarisi dari para leluhur mereka. Tradisi dan upacara tersebut rutin dilakukan, terutama yang berkaitan dengan aktivitas pertanian.

Bahkan, angklung ini dimainkan dengan cara yang berbeda di masyarakat Baduy yang berbeda. Masyarakat Baduy Panamping membunyikan angklung ini sesuai ritmis dan irama tertentu, sedangkan Masyarakat Baduy Tangtu membunyikan angklung Kanekes dengan cara di kurulungkeun (dibunyikan tanpa irama dan nada).

Di luar perannya sebagai alat musik dalam upacara adat, angklung Kanekes dapat dimainkan sebagai sajian hiburan selama masih mengikuti aturan adat, seperti saat masa ngubaran pare dan saat terang bulan. Angklung Kanekes juga tidak dapat dibuat oleh sembarang orang. Hanya orang dari keturunan tertentu dan yang berhak saja yang bisa membuatnya.

2. Angklung Dogdog Lojor

Serupa dengan angklung Kanekes, penggunaan alat musik yang satu ini juga berkaitan dengan acara ritual padi. Angklung Dogdog Lojor yang terdapat di lingkungan masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan ini biasa digunakan saat upacara Seren Taun yang berpusat di Kampung Gede.

Dalam kesenian Angklung Dogdog Lojor, dibutuhkan enam instrumen yaitu 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat angklung tersebut terdiri dari angklung gonggong, panembal, kingking, dan inclok.

3. Angklung Gubrag

Angklung yang berasal dari Kampung Cipining, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor ini juga biasa digunakan dalam upacara penghormatan terhadap dewi padi. Berdasarkan informasi dari beberapa tokoh adat setempat, angklung ini sudah berusia sangat tua.

Angklung Gubrag biasanya digunakan dalam rentetan ritual penghormatan terhadap dewi padi, yaitu kegiatan 'melak pare' (menanam padi), 'ngunjal pare' (mengangkut padi), dan 'ngadiukeun ka leuit' (menempatkan ke lumbung).

4. Angklung Badeng

Tidak seperti angklung-angklung lainnya, kesenian Angklung Badeng yang terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut ini lebih menekankan pada segi musikalnya. Angklung ini disebut berfungsi sebagai kepentingan dakwah Islam. Namun, terdapat dugaan bahwa Angklung Badeng juga sempat digunakan dalam acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi.

Dalam kesenian Angklung Badeng, teks yang digunakan mengandung bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Isi teks itu memuat nilai-nilai dan nasihat Islami. Selain menyajikan berbagai lagu, pertunjukkan Angklung Badeng juga biasa menyajikan atraksi kekebalan, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.

5. Angklung Buncis

Meski juga sempat digunakan sebagai kelengkapan penyelenggaraan upacara pertanian, Angklung Buncis lebih identik dengan seni pertunjukkan hiburan. Angklung Buncis terdapat di Desa Baros, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung.

Nama Angklung Buncis sendiri diambil dari teks lagu yang terkenal di masyarakat Sunda, yaitu 'cis kacang buncis nyengcle...', dan seterusnya. Pasalnya, lagu tersebut kerap diiringi oleh kesenian Angklung Buncis.

Angklung Modern

1. Angklung Pak Daeng

Meski sudah tersohor sebagai alat musik tradisional yang memiliki fungsi penting, keberadaan angklung perlahan terkikis dimakan waktu. Bahkan, angklung sempat hanya digunakan untuk para pengemis ngamen dari rumah ke rumah saja.

Daeng Soetigna, seorang maestro dan seniman dalam bidang musik, merasa prihatin melihat anak didiknya tidak berminat memelajari seni musik. Kejenuhan tersebut tercipta dari model pengajaran yang monoton dan absennya penggunaan alat musik. Pasalnya, alat musik yang ditekuninya saat itu seperti gitar, piano, mandolin, dan biola tergolong langka, mewah, dan mahal karena harus diimpor dari Eropa.

Suatu waktu, seorang pengamen memainkan alat musik angklung di depan rumahnya. Saat itu, seluruh angklung masih menggunakan tangga nada pentatonis. Dirinya yang kemudian ingin mengubah tangga nada angklung menjadi diatonis kromatis itu membeli angklung milik pengamen tersebut untuk mempelajarinya.

Dirinya sangat tertarik dengan angklung karena ia merasa angklung dapat menjadi sarana belajar seni musik yang murah, mudah dimainkan, dan dapat dimainkan secara massal. Dirinya kemudian berguru pada Pak Djaja, seorang yang ahli membuat angklung.

Setelah banyak menyerap ilmu dari sang guru, Daeng kemudian berupaya menyusun nada diatonis angklung. Pada 1938, Daeng Soetigna akhirnya berhasil menciptakan dan mempopulerkan angklung modern ini. Angklung tersebut kemudian dikenal sebagai Angklung Pak Daeng.

Cara Memainkan Angklung

Angklung merupakan instrumen yang cukup mudah untuk dimainkan. Alhasil, tidak butuh waktu yang lama untuk bisa memainkannya. Cara memainkannya adalah satu tangan memegang rangka angklung dan tangan yang lain menggoyangkan angklung tersebut hingga menghasilkan suara. Terdapat tiga teknik dasar dalam membunyikan angklung:

1. Kurulung (getar): Kurulung merupakan teknik yang paling umum digunakan. Caranya, satu tangan memegang rangka angklung dan tangan lainnya menggoyangkan angklung.

2. Cetok (sentak): Dalam teknik ini, tabung dasar angklung ditarik cepat oleh jari ke telapak tangan kanan. Teknik ini menyebabkan angklung akan berbunyi sekali saja.

3. Tengkep: Teknik ini serupa dengan kurulung. Namun, salah satu tabung ditahan agar tidak ikut bergetar.

(iqk/iqk)

Koropak.co.id, 15 November 2022 07:13:18

Eris Kuswara

Koropak.co.id, DIY - Nglabrak atau dikenal juga dengan sebutan Nglarak blarak, merupakan permainan tradisional sejenis pacuan kereta berbahan dasar pelepah kelapa asli dari Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). 

Diketahui, awalnya permainan tradisional ini bersifat tradisi dan hanya ada di wilayah Kulon Progo saja. Nglabrak biasanya dimainkan oleh anak-anak desa di Area Perbukitan Menoreh.

Kata nglabrak berasal dari serapan bahasa yang berarti menabrak atau melawan. Artinya, permainan tradisional ini bisa dilakukan sebagai langkah pembawa semangat dalam melawan segala hal negatif, baik itu berupa kebodohan maupun ketertinggalan.

Permainan ini juga turut menyiratkan semangat juang para pemuda dalam melawan kemiskinan yang kian lama melanda daerah Kulon Progo, ketika Gunung Kidul mampu bangkit. Dalam permainannya, menggunakan bahan dasar blarak atau pelepah daun kelapa yang memang masih alami. 

Biasanya pada blarak sendiri masih terdapat lidi, janur, dan pelepah kelapa. Berdasarkan sejarahnya, konon permainan nglabrak ini berasal dari area Perbukitan Menoreh yang awalnya dimainkan oleh para penderes nira kelapa yang tinggal di kampung di sekitar perbukitan.

Di sela-sela kesibukannya, para penderes nira itu akan mengisi waktu luangnya dengan memainkan permainan tradisional itu. Selain itu, dalam permainan nglarak blarak juga turut menggunakan bumbung nira, yang nantinya akan dijadikan sebagai target permainan untuk diperebutkan oleh para pemain.

Berangkat dari keseruan dan kolaborasi permainan tradisional yang menggabungkan rekreasi, olahraga, budaya dan nilai seni itulah, Bupati Kulon Progo pun gencar mempromosikan permainan tradisional nglabrak sebagai permainan asli dari Kulon Progo.

Bahkan naiknya permainan tradisional ini, membuat pemerintah pada akhirnya secara rutin menggelar sebuah perhelatan pertandingan nglarak blarak setiap tahunnya bertajuk Menoreh Art Festival (MAF). Tak hanya itu saja, dalam helatan ajang ini juga, permainan nglabrak menjadi salah satu cabang lomba yang diikuti setiap kecamatan se-Kulon Progo.

Dalam permainannya, para pemain bisa memanfaatkan blarak atau pelepah kelapa sebagai tunggangannya layaknya kereta. Nantinya, pelepah itu kemudian diseret hingga menghasilkan suara berdercit di tanah lapang. 


Baca: Sluku-sluku Bathok dan Tembang Sunan Kalijaga

Permainan nglabrak ini juga menuntut setiap pemainnya untuk adu cepat dan tangkas dalam memperebutkan bumbung atau wadah nira, hasil penyadap sebagai target para pemain nglabrak. Untuk memainkan permainan tradisional ini, akan dibagi menjadi dua tim yang saling berhadapan.

Setiap tim masing-masing, memiliki 3 anggota laki-laki dan 3 anggota perempuan. Kemudian setiap tim pun dituntut untuk saling adu kecepatan dan ketangkasan dengan mengelilingi sebuah arena tanah lapang berbentuk segi empat. Nantinya, mereka juga akan saling beradu satu sama lain demi memperebutkan sebuah bumbung. 

Permainan Nglabrak ini berlangsung tiga babak dengan dipimpin seorang wasit dan juri. Permainan ini juga akan terasa meriah dikarenakan kehadiran tabuhan gamelan yang ditabuh setiap tim, hingga menjadikan suasana arena semakin bergelora dan ramai riuh rentahnya.

Di sisi lain, permainan ini juga menjadi sebuah kolaborasi yang memadukan antara olahraga, kesenian, dan budaya sekaligus sarana hiburan untuk melepas penat dan mencari suasana keceriaan. Di satu sisi, permainan ini juga membutuhkan teknik, ketepatan, ketangkasan, dan strategi jitu untuk bisa menumpas lawan-lawan dihadapannya. 

Tiga pemain sebagai penarik pelepah kelapa harus bisa menarik sekuat tenaga dengan mengelilingi arena pertandingan berbentuk segi empat. Selain iti, posisi joki yang sedang berada diatas pelepah kelapa juga harus bisa memegang kendali yang kokoh. 

Tak hanya itu saja, dia juga harus bisa menjaga keseimbangan tubuh sehingga tidak terjadi insiden yang menyebabkan sang joki jatuh akibat kencangnya tarikan kereta blarak yang dipacu. Selanjutnya mereka juga harus bisa menyusun strategi agar bisa mengalahkan lawan-lawannya. 

Contohnya seperti jalinan daun kelapa dari blarak demi menguatkan struktur kereta, memilih pelepah yang dianggap ringan namun kuat, hingga bagaimana cara mengikat blarak agar kuat ketika ditarik pemacunya, namun tidak meninggalkan keindahan blarak.

Permainan nglarak blarak juga menyelipkan nilai edukasi yang sarat makna, diantaranya melakukan persiapan yang matang, frekuensi latihan yang sesering mungkin, menyusun dan mengatur strategi, membangun kekompakan, hingga kebersamaan di antara pemain.

Menariknya lagi, saat turun ke arena pertandingan nglarak blarak, mereka juga bukan semata-mata untuk bertanding dan menang saja. Akan tetapi mereka juga memiliki andil dan rasa kebanggaan tersendiri dikarenakan nglarak blarak ini sarat akan kearifan lokal, serta jalinan kerukunan warga demi nguri-uri kabudayan atau melestarikan kebudayaan lokal.

Silakan tonton berbagai video menarik di sini: