Beriman kepada yang gaib dijelaskan di dalam alquran surah

الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَ يُـقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَ مِمَّا رَزَقْنٰھُمْ يُنْفِقُوْنَ

Allaziina yu'minuuna bilghaibi wa yuqiimuunas salaata wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka,

Orang-orang yang bertakwa itu adalah mereka yang beriman kepada hal-hal yang gaib, yang tidak tampak dan tidak dapat dijangkau oleh akal dan indra mereka, seperti Allah, malaikat, surga, neraka, dan lainnya yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Pada saat yang sama, sebagai bukti keimanan itu, mereka beribadah kepada Allah dengan melaksanakan salat, secara sempurna berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, khusyuk serta memperhatikan waktu-waktunya, dan mereka juga menginfakkan di jalan kebaikan sebagian rezeki berupa harta, ilmu, kesehatan, kekuasaan, dan hal-hal lainnya yang bermanfaat yang Kami berikan kepada mereka, semata-mata sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan mencari keridaan-Nya.

Pertama: Beriman kepada yang gaib. Termasuk di dalamnya beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, menundukkan diri serta menyerahkannya sesuai dengan yang diharuskan oleh iman itu. Tanda keimanan seseorang ialah melaksanakan semua yang diperintahkan oleh imannya itu. Gaib ialah sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh pancaindra. Pengetahuan tentang yang gaib itu semata-mata berdasar kepada petunjuk-petunjuk Allah swt. Karena kita telah beriman kepada Allah, maka kita beriman pula kepada firman-firman dan petunjuk-petunjuk-Nya. Termasuk yang gaib ialah: Allah, para malaikat, hari kiamat, surga, neraka, mahsyar dan sebagainya. Pangkal iman kepada yang gaib ialah iman kepada Allah swt. Iman kepada Allah adalah dasar dari pembentukan watak dan sifat-sifat seseorang manusia agar dia menjadi manusia yang sebenarnya, sesuai dengan maksud Allah menciptakan manusia. "sibgah Allah." Siapa yang lebih baik sibgah-nya daripada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah. (al-Baqarah/2: 138) Iman membentuk manusia menjadi makhluk individu dan makhluk yang menjadi anggota masyarakatnya, suka memberi, menolong, berkorban, berjihad dan sebagainya: Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (al-hujurat/49: 15) Dalam mencari arti iman hendaklah kita mengikuti petunjuk Rasul. Untuk itu kita perlu mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad saw, merenungkan ciptaan Allah, menggunakan akal pikiran dan mempelajari ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Iman dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Iman akan rusak bila amal seseorang rusak dan akan bertambah bila nilai dan jumlah amal ditingkatkan pula. Kedua: Melaksanakan salat, yaitu mengerjakan dan menunaikan salat dengan menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya, terus-menerus mengerjakannya setiap hari sesuai dengan yang diperintahkan Allah, baik lahir maupun batin. Yang dimaksud dengan "lahir" ialah mengerjakan salat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan sunah Rasul, dan yang dimaksud dengan "batin" ialah mengerjakan salat dengan hati yang khusyuk, dengan segala ketundukan dan kepatuhan kepada Allah, dan merasakan keagungan dan kekuasaan Allah yang menguasai dan menciptakan seluruh alam ini sebagai yang dikehendaki oleh agama. Iqamah as-salah ialah mengerjakan salat dengan sempurna; sempurna segala rukun, syarat dan ketentuan yang lain yang ditentukan oleh agama. Arti asal dari perkataan salat ialah "doa", kemudian dipakai sebagai istilah ibadah yang dikenal di dalam agama Islam karena salat itu banyak mengandung doa. Ketiga: Menginfakkan sebagian rezeki yang telah dianugerahkan Allah. Rezeki ialah segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya. "Menginfakkan sebagian rezeki" ialah memberikan sebagian rezeki atau harta yang telah dianugerahkan Allah kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh agama. Pengertian menginfakkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penelitian ilmiah dan lain-lain. Juga berinfak untuk semua kepentingan umum dengan niat melaksanakan perintah Allah termasuk fi sabilillah. Harta yang akan diinfakkan itu ialah sebagiannya, tidak seluruh harta. Dalam ayat ini tidak dijelaskan berapa banyak yang dimaksud dengan sebagian itu, apakah seperdua, sepertiga, seperempat dan sebagainya. Dalam pada itu Allah melarang berlaku kikir dan melarang berlaku boros: Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah), nanti kamu menjadi tercela dan menyesal. (al-Isra'/17: 29) Allah melarang berlebih-lebihan atau kikir dalam membelanjakan harta: Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) mereka yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, tetapi berada di antara keduanya secara wajar (al-Furqan/25: 67) Pada firman Allah yang lain dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan sebagian harta itu ialah sebagaimana jawaban atas pertanyaan para sahabat: ".... mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, 'Kelebihan (dari apa yang diperlukan)." (al-Baqarah/2: 219) Yang dimaksud dengan "kelebihan" ialah setelah mereka cukup makan dan memiliki pakaian yang dipakai. Jadi tidak harus kaya, tetapi selain yang mereka makan dan pakai pada hari itu, adalah termasuk lebih. Allah telah menjelaskan cara-cara membelanjakan harta itu dan cara-cara menggunakannya. Dijelaskan lagi oleh hadis Rasulullah saw:

Dari Nabi saw ia berkata, "Sebaik-baik sedekah adalah kelebihan dari kebutuhan pokok." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Beriman kepada yang gaib dijelaskan di dalam alquran surah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dalam potongan Ayat Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ

“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib”. (QS. Al-Baqarah: 3).

Diantara ciri dan sifat orang yang beriman adalah meyakini sesuatu yang ghaib dimana kita membenarkan apa yang disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur’an maupun yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya yang belum pernah nampak atau terlihat oleh mata, kemudian kita mengamalkan apa yang telah sampai kepada kita sebagai bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala yang mana Allah Subhanahu wata’ala yang menciptakan kita didunia ini kita tidak melihatnya akan tetapi kita mengimani akan keberadaannya dan hanya kepadanyalah kita beribadah dan menyembah. Di dunia ini kita tidak melihat Allah Subhanahu wata’ala akan tetapi kenikmatan yang paling besar yang Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada orang – orang yang beriman adalah ru’yatullah (Memandang wajah Allah Subhanahu wata’ala) tatkala kita berada disurga,  ini adalah salah satu aqidah ahlusunnah wal jama’ah, sebagaimana ayat dan hadist yang menunjukkan hal tersebut, Allah Subahanahu wata’ala berfirman:

{وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ. إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ}

“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat”. (QS. Al-Qiyaamah:22-23).

Dan juga disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

أَمَا إِنَّكُمْ سَتُعْرَضُوْنَ عَلَى رَبِّكُمْ فَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ

“Ketahuilah, sesungguhnya kalian akan di hadapkan kepada Rabb kalian, maka kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini”. (HR Muslim).

Beriman kepada yang gaib dijelaskan di dalam alquran surah

Kemudian didalam Ayat yang lain Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya“. (QS. Yunus :26).

Yang dimaksudkan tambahan sebagaimana yang ditafsirkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ru’yatullah (memandang wajah Allah Subhanahu wata’ala). Ini merupakan nikmat yang sangat besar yang Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada penghuni surga. Adapun orang – orang kafir yang dimasukkan kedalam neraka apakah mereka juga melihat waja Allah Subhanahu wata’ala.? Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

كَلآَّإِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka”. (QS. Al Muthaffifin:15).

walaupun sebagian ulama menyebutkan bahwasanya orang – orang kafir juga melihat Allah Subhanahu wata’ala tetapi pandangan mereka itu dibalas dengan kemurkahan dan kemarahan untuk menambahkan azab kepada mereka.

Dan Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan dirinya didalam Al-Qur’an lewat lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga malaikat-malaikatnya, kitab-kitabnya, rasul-rasulnya, hari akhirat kemudian takdir dan keputusannya, surga dan nerakanya, kesemuanya ini adalah perkara – perkara yang ghaib, namun keimanan kita kepada yang ghaib harus sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kenapa ada pengikat seprti ini karena semua agama yang lain juga beriman kepada perkara yang ghaib tetapi tidak sesuai dengan yang disebutkan didalam A-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Beriman kepada yang ghaib membutuhkan keimanan karena segala sesuatu yang kita lihat disebut dengan As Syahadah (bisa dilihat langsung oleh kedua mata kita dan rasakan), namun beriman kepada yang ghaib hal ini membutuhkan kekuatan iman, oleh karenanya Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wasallam memuji kaum yang datang belakangan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أبو جمعة قال تغدينا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ومعنا أبو عبيدة بن الجراح قال فقال يا رسول الله هل أحد خير منا اسلمنا معك وجاهدنا معك قال نعم قوم يكونون من بعدكم يؤمنون بي ولم يروني

Diriwayatkan dari Abu Jum’ah Radhiyallahu ‘anhu yang berkata “Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah Radhiyallahu ‘anhu yang berkata “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab “Ya, ada yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaKu padahal mereka tidak melihat Aku”. (HR. Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth dimana beliau berkata حديث صحيح hadis ini shahih).

Ketika salah seorang salaf ditanya:”Yang manakah yang lebih mulia Muawiyah atau Umar bin Abdul Azis beliau kemudian menjawab:”Debu yang menempel dihidungnya Muawiyah itu lebih mulia dari Umar bin Abdul Azis“, (maksudnya adalah dengan kebersamaan beliau kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keutamaan yang sangat besar.

Akan tetapi yang datang belakangan juga memiliki keutamaan khusus yaitu kaum yang datang setelah kalian mereka beriman kepadaku tetapi mereka tidak pernah melihatku (Kita tidak pernah berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam akan tetapi kita beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mempersaksikan kecintaannya kepada ummat yang datang belakangan dihadapan para sahabat, Pada saat tanda-tanda sakit mulai terlihat pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Aku ingin mengunjungi syuhada perang Uhud.” Beliau berangkat dan berdiri di atas kubur mereka dan berkata, “Assalamu’alaikum wahai syuhada Uhud, kalian adalah orang-orang yang mendahului, kami, insya Allah, akan menyusul kalian dan aku pun insya Allah akan menyusul kalian.” Pulang dari sana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menangis, mereka bertanya, “Apa yang membuatmu menangis ya Rasulullah?”, Beliau menjawab: “Aku rindu kepada saudara-saudaraku.” Mereka berkata, “Bukankah kami adalah saudara-saudaramu ya Rasulullah?” Beliau menjawab:”Bukan, kalian adalah sahabat-sahabatku. Adapun saudara-saudaraku, maka mereka adalah kaum yang datang sesudahku, mereka beriman kepadaku dan tidak melihatku”. Beliau mempersaksikan kecintaannya kepada kita karena kita beriman kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang kita tidak melihat dan berjumpa dengannya.

Oleh karenanya didalam Al-Qur’an Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan ketika seseorang berpindah dari alam  Ghaib menuju alam Syahadah disinilah taubat tidak bermanfaat lagi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.

“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan”.(HR. At Tirmidzi (no. 3537), Al Hakim (IV/257), Ibnu Majah (no. 4253)).

Beriman kepada yang gaib dijelaskan di dalam alquran surah

Karena pada saat itu ruhnya telah berpindah dari alam Ghaib ke alam Syahadah yang sebahagian beriman dengannya dan sebahagian kufur dengannya, adapun yang beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dari perkara yang Ghaib maka dialah yang akan mendapatkan keberuntungan, adapun orang – orang kafir yang mengingkarinya dan kufur dengannya, dengan perkara – perkara yang Ghaib setelah mereka berpidah ke alam yang Ghaib yang ia melihat secara langsung dengan kedua matanya maka pada saat itulah taubat tidak bermanfaat baginya. Disinilah mengapa Allah Subhanahu wata’ala tidak menerima keimanan fir’aun karena ketika ia dalam keadaan sekarat pada saat itu nyawa telah sampai pada kerongkongannya yang awalnya ia menyombongkan diri dan mengklaim dirinya sebagai tuhan. Ketika ia ditenggelamkan oleh Allah di dalam lautan bersama dengan pasukannya ia kemudian baru beriman dengan mengatakan:”Saya beriman bahwasanya tidak ada ilah selain disembah yang merupakan tuhannya bani israil”, dia baru beriman kepada tuhannya Musa dan Harun akan tetapi Allah Subhanahu wata’ala menjawab:”Baru sekarang wahai fir’aun dan sebelumnya engkau banyak bermaksiat dan banyak melakukan kerusakan”, karena pada waktu alam berpindah dari alam Ghaib ke alam Syahadah dimana dia telah melihat malaikat maut dan malaikat azab, dan pada saat peristiwa itulah orang yang beriman dihibur oleh malaikat, Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)

Dalam hadist Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الله عز وجل يبسط يده بالليل ليتوب مسيء النهار، ويبسط يده بالنهار ليتوب مسيء الليل، حتى تطلع الشمس من مغربها

“Sesungguhnya Allah Ta’ala membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima taubat hamba yang berdosa di siag hari. Dan Allah Ta’ala membentangkan tagan-Nya di siang hari untuk menerima taubat hamba yang berdosa di malam hari, sampai matahari terbit dari barat”. (HR. Muslim). Karena beriman kepada hari kiamat dan tanda – tandanya seperti matahari terbit dari sebelah barat adalah perkara yang belum kita lihat sekarang tetapi kita wajib mengimaninya. Namun ketika nanti diakhir zaman Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan kepada matahari untuk terbit dari arah barat dimana tempat terbenamnya, maka inilah tanda hari kiamat dan semua orang melihatnya, baru mereka berkata kami beriman kepada Allah, mereka baru bertaubat maka tidak bermanfaat lagi tobatnya tersebut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.” (QS.Adz-Dzaariyat : 20). Yang dimaksud adalah tanda – tanda hari kiamat pada saat itu keimanan seseorang tidak bermanfaat lagi diantara mereka yang baru beriman, semua yang dikerjakan oleh orang – orang pada saat itu yang tidak sempat beriman kepada Allah semuanya tertolak kebaikan yang ia kerjakan karena mereka tidak beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Beriman kepada alam Ghaib menjadikan kita semakin takut kepada Allah. Rasululluah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :

قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim 102).

Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar“. (QS. Al Mulk: 12).

Muraqabatullah merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wata’ala ini merupakan tingkatan yang paling tinggi ketika seseorang takut kepada Allah Subhanahu wata’ala dan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah terutama ketika tidak ada mahluk yang melihatnya. Mereka akan mendapatkan ampunan dan pahala yang sangat besar disisi Allah Subhanahu wata’ala didekatkan kepadanya surga sehingga ia sangat dekat dengan orang – orang yang bertakwa, inilah yang dijanjikan untuk kalian, yang senangtiasa kembali kepada Allah, yang senangtiasa menjaga batasan-batasan Allah Subhanahu wata’ala yang takut kepada Allah yang maha melihat.

Setiap orang akan diiringi oleh dua malaikat. Sebelah kanan bertugas mencatat amal baik. Sementara sebelah kiri bertugas mencatat amal buruk. Allah ta’ala berfirman:

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. Al-Infithor: 10-12).