Berikut yang bukan merupakan bentuk-bentuk partisipasi politik konvensional adalah

Oleh : AJ SUHARDI

Dalam setiap pemilihan umum (Pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia masih selalu terdapat kelompok yang mengunakan haknya sebagai warga negara dengan cara tidak terlibat dalam aktivitas kegiatan politik, seperti; tidak ikut memilih dan tidak mau dipilih (Golput). Mereka cenderung tidak peduli terhadap hasil aktivitas politik bahkan tidak peduli terhadap hasil Pemilu atau Pilkada. Fenomena tersebut manandakan lemahnya patisipasi politik warga negara, yang diakibatkan karena terjadinya sikap sinisme dan apatisme di tengah-tengah masyarakat.

Sikap sinisme ditandai dengan adanya kecurigaan terhadap berbagai aktivitas politik. Biasanya sikap ini timbul karena akumulasi kekecewaan atau ketidak-percayaan masyarakat terhadap peran dan fungsi pelaku politik bahkan terhadap lembaga politik yang ada. Akibat adanya sinisme di tengah-tengah masyarakat, membuat mereka enggan bahkan sama sekali tidak mau terlibat dalam aktivitas kegiatan politik. Sikap politik seperti inilah yang disebut apatisme. Padalah partisipasi poliitik yang kuat merupakan kunci keberhasilan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Partisipasi politik merupakan keterlibatan masyarakat dalam aktivitas dan kegiatan politk. Idealnya tujuan partisipasi politik tersebut tidak lain adalah untuk mempengaruhi proses perumusan kebijakan. Formulasi kebijakan yang dirumuskan tersebut merupakan kunci dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya partisipasi politik di Indonesia cenderung dimonopoli oleh elite-elite politik, baik untuk mendapatkan dukungan massa maupun untuk meredam partisipasi politik itu sendiri.

Partisipasi politik oleh para pakar, dikelompokkan dalam bentuk partisipasi konvensional dan non konvensional. Partisipasi politik non konvensional biasanya dilakukan oleh kelompok penekan, yang diwujudkan dalam kegiatan pengajuan petisi, berbagai bentuk mogok, demonstarsi, tindakan kekerasan politik terhadap harta benda (seperti: perusakan, pemboman, pembakaran, penjarahan dll), kekerasan politik terhadap manusia (seperti: teror, pembunuhan, penculikan, perkosaan dll), perang gerilya, kudeta, revolisi dan sebagainya.
Sedangkan Partisipasi politik konvensional umumnya diwujudkan dalam proses pemberian suara (seperti: pemilihan umum, voting dan lain-lain), diskusi politik, kegiatan kampanye, membentukan partai politik atau kelompok kepentingan, bergabung dengan Parpol atau kelompok kepentingan serta diwujudkan dalam komunikasi dengan pejabat politik atau birokrasi. Basanya patisipasi politik konvensional ini dilakukan oleh kelompok kepentingan, partai politik, lembaga masyarakat dan lain-lain.

Partisipasi politik di Indonesia menurut Samuel P.Huntington dan Joan Nelson, (1983) dapat terjadi melalui dua cara. Pertama, Pertisipasi politik yang bersifat otonom yaitu partisipasi atas kesadaran sendiri. Kedua, Partisipasi politik yang dimobilisasi yaitu partisipasi akibat dorongan/pengaruh faktor luar. Biasanya partisipasi otonom timbul karena pemahaman yang utuh atas persepsi terhadap objek politik yang ada. Pemahaman tersebut membentuk konseptualisasi atau pengertian yang utuh terhadap fenomena pada objek politik, sehingga menimbulkan afeksi dalam bentuk keputusan untuk berpihak kepada objek politik tertentu secara sadar tanpa paksaan (otonom).

Sebaliknya partisipasi politik yang dimobilisasi timbul karena dorongan sejumlah faktor dari luar diri pelaku politik tersebut dan biasanya mengabaikan konseptualisasi atas persepsi terhadap fenomena objek politik. Sehingga partisipasi jenis ini biasanya bersifat sesaat dan tidak kekal, karena persaingan berbagai faktor dapat mempengaruhi afeksi atau keputusan keberpihakan seseorang terhadap objek politik tertentu. Dalam hal ini tidak jarang menimbulkan oportunisme seseorang dalam berpolitik.

Milbrath dalam Sistem Politik Indonesia (2012:3.6) menyebutkan empat faktor yang dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam politik:
Pertama, adanya perangsang. Banyak orang melakukan aktivitas politik karena tergiur atau terpesona menyaksikan peranan, kesejahteraan, kemewahan dan lain-lain dari para pelaku politik praktis. Ada juga yang terangsang untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu, baik dalam organisasi politik itu sendiri, birokrasi, eksekutif, legislatif, perusahaan negara dan sebagainya. Rangsangan-rangsangan tersebut membuat pelaku politik sering melakukan berbagai ‘rangsangan’ kepeda pihak lain untuk memuluskan tujuannya.

Faktor ini selalu dimanfaatkan oleh para pelaku politik dalam berkompetisi meraih kemenangan dan mendapatkan dukungan. Bahkan tidak jarang rangsangan tersebut diberikan kepada para pendukung dengan cara-cara yang mengabaikan norma atau etika berpolitik, seperti: melakukan politik uang, menebar janji-janji, memberi bantuan dengan tujuan tertentu dan lain-lain. Kadang-kadang dengan ambisius tanpa mengukur intelektualitas, integritas, moralitas bahkan kualitas diri.

Kedua, faktor karakteristik pribadi seseorang. Menurut Milbrath, seseorang yang mempunyai watak sosial atau mempunyai kepedulian yang baik terhadap problem-problem yang dialami masyarakat, biasanya lebih mudah dan mau untuk terlibat dalam aktivitas politik. Orang yang berkarakter demikian cenderung ingin selalu meningkatkan kualitas maupun kuantitas pengabdiannya kepada masyarakat.

Ketiga, faktor karakter sosial yang menyangkut status sosial ekonomi seseorang. Faktor ini akan ikut mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku seseorang dalam berpolitik. Seseorang yang memiliki status sosial ekonomi tinggi biasanya melakukan aktivitas politik hanya untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan akan pengabdian dan sebagainya.

Sebaliknya orang yang berstatus sosial ekonomi rendah biasanya melakukan aktivitas politik dengan tujuan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan, mendapatkan pekerjaan layak dan lain-lain. Dengan demikian maka politik sebagai mediasi perjuangan untuk kepentingan masyarakat secara luas, berubah fungsi menjadi tempat mendapatkan penghasilan yang layak bagi individu tertentu. Akibatnya, masyarakat pun ikut merasakan kerugiannya karena ketidak-jelasan peran dan fungsi pelaku politik itu sendiri.

Keempat, faktor situasi dan lingkungan politik. Lingkungan politik yang kondisif biasanya membuat seseorang merasa senang dan nyaman berparitisipasi dalam aktivitas politik. Sebaliknya situasi yang carut marut atau tidak kondusif membuat seseorang ragu melakukan aktivitas politik. Namun dilain pihak tidak jarang seseorang justru memanfaatkan situasi yang tidak kondusif tersebut untuk melakukan aktivitas politiknya demi memuluskan tujuan dan cita-cita tertentu.

Sumber : https://radarkepri.com/cara-bijak-mewujudkan-partisipasi-politik/

Sumber Gambar : https://radarkepri.com/wp-content/uploads/2019/04/foto-354×396.jpg

Adakah diantara kalian yang sudah pernah ikut memberikan suara dalam pemilihan umum? Jika belum, pasti pernah melihat orang tua atau orang-orang di sekitar melakukan atau menjadi bagian dari hegemoni tersebut bukan? Pemilihan umum sendiri merupakan salah satu wujud dari partisipasi warga negara dalam pemerintahan. Meskipun masih usia sekolah, saat umur kita 17 tahun, maka kita akan memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi terhadap kehidupan politik negara. Atau secara singkatnya, ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik.

Partisipasi Politik bisa diartikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan tujuan memengaruhi pengambilan keputusan politik. Hal ini umumnya dilakukan seseorang dalam posisinya sebagai warga negara, bukannya politikus ataupun pegawai negeri. Dan sifatnya un sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.

Menurut Ramlan Surbakti, partisipasi politik dibagi menjadi dua, yani partisipasi aktif dan pastisipasi pasif. Patisipasi aktif adalah kegiatan warga negara dalam ikut serta menentukan kebijakan dan pemilihan pejabat pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi kepentingan bersama. Sedangkan partisipasi pasif adalah kegiatan warga negara yang mendukung jalannya pemerintahan negara dalam rangka menciptakan kehidupan negara yang sesuai tujuan.

Sementara itu, A. Almond membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi konvensional dan nonkonvensional dengan penjelasan sebagai berikut.

Partisipasi Secara Konvensional

1. Pemberian suara (voting)

Pemungutan suara adalah alat untuk mengekspresikan dan mengumpulkan pilihan partai atau calon dalam pemilihan. Bangsa Yunani kuno melakukan pemungutan suara dengan menempatkan baru kerikil di sebuah jambangan besar, yang kemudian memunculkan istilah psephology, atau kajian mengenai bermacam-maca pemilihan umum.

(Baca juga: Apa Saja Unsur Infrastruktur Politik?)

Menjelang akhir abad ke-19, kebanyakan negara Barat memberikan hak suara kepada sebagian besar pria dewasa dan selama dasawarsa awal abad ke-20, hak itu diperluas kepada sebagian besar wanita dewasa. Pemilihan-pemilihan kompetsi yang bebas dianggap sebagai kunci bagi demokrasi perwakilan.

2. Diskusi Politik

Hal ini merupakan ajang tukar pikiran tentang masalah-masalah publik untuk kemudian dicarikan pemecahannya yang secara langsung berpengaruh terhadap kebijakan publik.

3. Kegiatan Kampanye

Dalam masa pemilihan umum, baik pemilihan kepala daerah dan presiden, bentuk kegiatan ini sangat marak dipilih sebagai sarana efektif dalam menyampaikan aspirasi dari sebuah partai kepada masyarakat pemilihnya. Media kampanye pun beragam, antara lain poster, kaos, bendera, yang semua diberikan kepada masyarakat umum atau dengan melakukan pemasangan alat peraga yang tentunya tidak diperkenankan melanggar peraturan perundang-undangan.

4. Membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan

Hal ini biasanya dilakukan dengan ikut membentuk organisasi sosial keagamaan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan sebagai upaya memperjuangkan kepentingannya kepada pemerintah atau menjadi anggota dari salah satu organisasi sosial keagamaan.

5. Komunikasi individual dengan pejabat dan administrasi

Kegiatan ini dilakukan dengan mendatangi anggota parlemen untuk menyalurkan aspirasi, mendatangi Walikota/Bupati/Camat, kepala dinas untuk menanyakan sesuatu yang menyangkut masalah publik.

Partisipasi secara Nonkonvensional

1. Pengajuan petisi

Petisi adalah pernyataan yang disampaikan kepada pemerintah untuk meminta agar pemerintah mengambil tidakan terhadap suatu hal. Hak petisi ada pada warga negara dan juga badan-badan pemerintahan, seperti kabupaten dan provinsi agar pemerintah pusat membela atau memperjuangkan kepentingan daerahnya.

Petisi juga berarti sebuah dokumen tertulis resmi yang disampaikan kepada pihak berwenang untuk mendapatkan persetujuan dari pihak tersebut. Umumnya petisi ditandatangani oleh beberapa orang atau sekelompok besar orang yang mendukung permintaan yang terdapat dalam dokumen.

2. Demostrasi (Unjuk rasa)

Demonstrasi adalah hak demokrasi yang dapat dilaksanakan dengan tertib, damai dan intelek. Demonstrasi merupakan sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mempublikasikannya dalam bentuk pengerahan massa. Demonstrasi merupakan sebuah sarana atau alat yang sangat terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya.

3. Konfrontasi

Konfrontasi digolongkan sebagai bentuk partisipasi politik nonkonvensional karena aspirasi diperjuangkan dengan cara-cara yang tidak mengindahkan pandangan dan hak pihak lain. Dengan kata lain, pihak lain diposisikan sebagai lawan yang harus tunduk untuk mengabulkan aspirasinya. Jadi, dalam konfrontasi tidak dikenal kompromi tetapi merupakan penaklukan. Konfrontasi sendiri dianggap sesuatu yang tidak lazim dalam negara demokrasi.

4. Mogok

Mogok adalah penghentian proses produksi demi suatu tuntutan tertentu. Dalam realitas, ada dua kemungkinan yang menyebabkan proses produksi berhenti, yaitu buruh secara sadar berhenti bekerja dan keluar pabrik serta pemblokiran kawasan dan jalanannya sehingga sebagian besar buruh tidak bisa masuk ke pabrik untuk bekerja.

Pemogokan bisa terjadi di tingkat pabrik, kawasan sampai tingkat nasional yang melibatkan buruh di berbagai kota dalam satu negeri. Pemogokan yang lebih luas dilakukan bukan saja karena tuntutan yang sama, tetapi karena hubungan produksi itu bersifat luas, tidak hanya melibatkan satu atau dua pabrik. Pemogokan kadang digunakan pula untuk menekan pemerintah untuk mengganti suatu kebijakan.

5. Tindakan kekerasan politik

Kekerasan politik merupakan reaksi beberapa kelompok masyarakat yang menilai para pemegang kekuasaan kurang adil dalam mengelola berbagai konflik dan sumber kekuasaan yang ada. Bahkan, pemegang kekuasaan dinilai dengan wewenang strukturalnya memakai cara-cara nondialogis atau nonmusyawarah untuk menyelesaikan konflik.

6. Perang gerlya

Cara ini digunakan pada masa perang kemerdekaan dengan tujuan melemahkan atau menghancurkan kekuasaan kelompok lain dengan jalan perumpahan darah. Meski begitu. pada masa sekarang sistem perang gerilya juga bukannya tidak pernah dilakukan. Terlebih oleh kelompok gerakan-gerakan sporadis.