Berikan 3 contoh sikap kita dalam menyikapi perubahan sosial yang terjadi dimasyarakat saat ini

SEMUA KARAKTER A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z

Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih tinggi dikenal dengan perbedaan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang perbedaan tersebut tidakmengakibatkan diskriminasi atau ketidak adilan. Patokan atau ukuran sederhana yang dapat digunakan untukmengukur apakah perbedaan gender itu menimbulkan ketidakadilan atau tidak.

Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan. Stereotype itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan. Contoh : 1. Perempuan dianggap cengeng, suka digoda. 2. Perempuan tidak rasional, emosional. 3. Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting. 4. Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan. 5. Laki-laki sebagai pencari nafkah utama.

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Contoh : 1. Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga. 2. Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan. 3. Pelecehan seksual. 4. Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.

Marjinalisasi artinya : suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender. Contoh : 1. Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima. 2. Masih banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. 3. Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan.

UNS‘Solidarity in Diversity’ was appointed as the theme of the Sebelas Maret Islamic Festival (SIFT) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta in 2020. The webinar entitled ‘Islam, Tasamuh, and Plurality’ was also held as one of the SIFT webinar series by Jamaah Nurul Huda Islamic Student Activity Unit (JN-UKMI) UNS, Saturday (26/9/2020).

Present as a speaker, Prof. Dr. H. Abdul Mu’ti, M.Ed. who is a lecturer at the Faculty of Tarbiyah and Teacher Training (FITK) of UIN Syarif Hidayatullah, discussing tolerance in addressing diversity. Prof. Mu’ti explained that in responding to diversity, ‘tasamuh’ or tolerance is needed. Namely attitudes and behaviors that recognize and respect differences in both religious aspects and various other aspects of life.

“The word tasamuh, he added, is not found in the Koran. However, the attitudes and behavior of tasamuh are Islamic teachings and values ​​which are affirmed in several suras. Among other things, QS. Al-Kafirun (109): 1-6 and QS. Al-An’am (6): 107-108, “explained Prof. Mu’ti who is also a member of the Indonesia United Council of Religion and Pluralism.

Furthermore, Prof. Mu’ti also described the five attitudes and behaviors of tasamuh. First, understand and realize the differences between humans with one another. This includes understanding the points of difference and similarities and their causes.

After understanding these differences, the next attitude is to respect differences as a belief and personal choice. To act not to criticize, blame, demean, disbelieve, or impose one’s will on other people or parties.

“If we see differences more often as a product, not a process, it will create fanaticism. We are different, yes, but don’t vilify or criticize other groups. It is also not allowed for those of different religions. It is better to race with good, not evil and sentiments that end up criticizing others,” he added.

The third attitude is to accept the existence of different friends, while maintaining and maintaining personal or group beliefs and identities. Accepting this existence, can also be shown by providing opportunities, accommodating, and facilitating others to be able to carry out their beliefs and maintain their identity.

Because being different does not mean disagreeing, a priori, and not caring about other people or parties. Being different does not mean independent ”. This Tasamuh also encourages to help and foster love between humans. During, said Prof. Mu’ti, the origin of which is creed is not mixed.

This is in line with what Prof. emphasized. Mu’ti then, namely the importance of the process of knowing and associating with friends from various backgrounds. Where in the association, still apply a tolerant attitude to create peace. However, of course by not loosening self-confidence and covering up our identity.

“Tell us who we are. There is no need to hide each other’s beliefs. It is precisely this plurality that encourages us to show our beliefs. There are limits where we can be together, there are limits where we are different,” explained Prof. Mu’ti.

In his material, Prof. Mu’ti also explained that plurality is characterized by physical, intellectual, and religious differences that occur due to natural, scientific, and amaliah causes. Natural factors, he added, are factors that follow God’s law in various processes and events in the universe.

For example, people with different ethnicities, languages, nations, and other natural differences are evidence of God’s power. These variations show the existence of humans from one another. 
Meanwhile, scientific factors are related to intellectual processes, including the ijtihad method. In this case, humans differ in terms of religion, madhzab, strategy, and religious manhaj.

“Then, the amaliah factor relates to the context, orientation, and strategy of the struggle as well as personal matters,” added Prof. Mu’ti.

On this occasion, Prof. Kuncoro Diharjo as Vice Chancellor for Student Affairs and Alumni UNS to open the webinar. In his speech, Prof. Kuncoro thanked all those who have been willing to help and join SIFT UNS this year and invited the audience to always instill a sense of togetherness in differences. UNS Public Relations

Reporter: Kaffa Hidayati
Editor: Dwi Hastuti