Kelembagaan Ekonomi Pedesaan dalam Konsep Desa Ekologis (seri WKR-3)
KELEMBAGAAN EKONOMI PEDESAAN DALAM KONSEP DESA EKOLOGIS Memahami konsep Ekonomi pedesaan Ekonomi pedesaan memiliki kemiripan prinsip dan nilai dengan ekonomi kerakyatan telah menjadi pembicaraan yang cukup lama, baik di kalangan organisasi masyarakat sipil, para ekonom progresif dan juga di sebagian internal pemerintahan sendiri. Banyaknya pembicaraan tentang ekonomi kerakyatan ini sebagian besar berhenti pada dokumen konsep yang belum pernah terealisasi dalam praktik secara konprehensif. Apalagi dalam sebuah gerakan yang massif. Jika kita cermati lebih jauh, sebenarnya ada 3 sistem yang sering menjadi pembicaraan dan memiliki relasi/keterhubungan yang sangat erat antara sistem ekonomi pedesaan – ekonomi kerakyatan dan – ekonomi pancasila. Dikatakan memiliki keterhubungan, karena ada beberapa kesamaan nilai dan prinsip yang menjadi dasarnya terkandung di ketiga sistem tersebut walaupun dalam penjabaran pelaksanaannya di lapangan akan ada perbedaan spesifik. Ekonomi Pancasila yang secara konstitusional merupakan konsep ekonomi Negara Indonesia mendasarkan nilainya pada 5 sila yang ada di pancasila, dimana didalamnya memiliki unsur: Teologi, humanity, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. dalam praktiknya, sistem ekonomi pancasila ini tidak dijalankan secara serius oleh para pemangku kebijakan, karenanya tidak mengherankan kemudian terjadi kontradiksi antara konsep dan praktek. Sebagai contoh, ketimpangan penguasaan lahan yang banyak terjadi saat ini, sangat kontradiksi dengan asas ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kejadian tindakan kekerasan fisik dan non fisik oleh Negara dalam praktek penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber ekonomi oleh masyarakat kontradiksi dengan nilai “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Pada Ekonomi Kerakyatan, kelima asas yang ada di ekonomi pancasila menjadi bagian yang terintegrasi dalam sistem ekonomi kerakyatan, dengan penekanan khusus pada unsure kerakyatan dari 5 unsur yang ada pada sistem ekonomi pancasila. Munculnya kembali perbincangan tentang ekonomi kerakyatan, mengingatkan kita pada peristiwa krisis moneter 1998 yang telah memporak porandakan ekonomi global termasuk Indonesia. Hantaman badai krisis tersebut menghentakkan banyak pihak akan rapuhnya fondasi ekonomi nasional yang ditopang oleh sistem ekonomi neoliberal. Disaat banyak korporasi besar tumbang oleh badai tersebut, eksistensi usaha kecil menengah yang banyak digawangi oleh masyarakat kecil (UMKM) tidak terlalu terpengaruh, hal ini ditengarai karena pengaruh dari sifat dan karakter ekonomi kerakyatan yang dalam prakteknya lebih moralistik, demokratik, dan mandiri. Secara definitif, ekonomi kerakyatan dapat dimaknai sebagai sistem ekonomi nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pengendalian anggota-anggota masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian (Baswir, 2008). Adapun Guru Besar, FE UGM (alm) Prof. Dr. Mubyarto, menjelaskan ekonomi kerakyatan itu sebagai sebuah sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring (network) yang menghubung-hubungkan sentra-sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik diantara sentra dan pelaku usaha masyarakat. Pilar Ekonomi Kerakyatan
Dan terakhir berkaitan dengan sistem Ekonomi Pedesaan, dimana unsure dasarnya sebagian besar mengacu pada sistem ekonomi kerakyatan dengan penekanan khusus pada lingkup masyarakat pedesaan yang masing-masingnya memiliki ciri khas spesifik. Dengan dasar pemahaman ekonomi pancasila dan ekonomi kerakyatan, maka ekonomi pedesaan dalam konsep desa ekologis dapat kita fahami sebagai sebuah gerakan ekonomi masyarakat pedesaan yang memiliki landasan umum etik, demokratik dan mandiri dalam pelaksanaannya. Yang dapat diterjemahkan sebagai berikut:
Pilihan strategis kelembagaan ekonomi masyarakat desa Pelembagaan ini juga menjadi kebutuhan riil di lapangan, ditengah penguasaan sumber-sumber ekonomi masyarakat oleh korporasi hingga ke wilayah pedesaan. Tingkat ketergantungan yang besar ini, tentu akan menggerus aspek kedaulatan rakyat yang menjadi tujuan utamanya. Jika mengacu pada prinsip, nilai dan peluang untuk pengembangan ekonomi di pedesaan secara terlembaga, maka ada 2 (dua) pilihan bentuk strategis yang dapat dikembangkan oleh masyarakat pedesaan, yakni:
Kedua bentuk kelembagaan usaha ini memiliki kecocokan untuk diterapkan di wilayah pedesaan dengan alasan: a). Memiliki landasan konstitusional dan hukum yang jelas dan tegas; b). Termaktub dengan jelas dalam kebijakan pemerintah baik di tingkat nasional, daerah hingga ke pemerinatahan desa. Posisi ini memungkinkan pemerintah dapat memperkuat posisi kedua bentuk lembaga usaha tersebut melalui program-programnya baik jangka pendek-menengah serta jangka panjang, dan c). Kedua bentuk kelembagaan tersebut mensyaratkan dengan tegas keterlibatan warga sebagai pelaku aktif di dalamnya. Dalam pelaksanaannya di lapangan, terkadang kita jumpai perbedaan pandangan dalam melihat posisi BUMDES dan Koperasi serta strategi implementasinya. Perbedaan tersebut bisa jadi karena dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya: 1). Pemahaman atas kedua bentuk kelembagaan oleh masing-masing orang dan komunitas yang juga tidak seragam; 2). Adanya kelebihan dan kekurang dari kedua bentuk kelembagaan tersebut yang mempengaruhi kecenderungan orang dan/atau komunitas dalam menentukan pilihan; 3). Situasi kontekstual di wilayah masing-masing yang disebabkan oleh adanya dinamika politik di desa, adanya pengalaman penyimpangan praktik serta kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Untuk meminimalkan mispersepsi atas dua bentuk kelembagaan tersebut, maka berikut dapat diuraikan perbedaan diantara keduanya, sebagaimana diurai oleh www.bedesa.com
Jika sudah memahami kelebihan dan kekurangan dari masing-masing bentuk kelembagaan usaha tersebut, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah masyarakat harus memilih salah satu diantara keduanya ataukan bisa kedua-duanya dijalankan? Untuk aspek yang sangat dipengaruhi oleh situasi kontekstual (sosial, politik, ekonomi dan geografis) di masing-masing wilayah, maka pilihan atas bentuk kelembagan usaha masyarakat tersebut tentunya (juga) sangat kontekstual. Sehingga pilihan BUMDES atau KOPERASI atau BUMDES dan KOPERASI menjadi opsi yang dapat dipilih secara merdeka oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan situasi setempat, sepanjang pilihan tersebut didasarkan atas kesadaran dan pemahaman yang utuh. Namun demikian, berdasarkan karakteristik dari kedua lembaga ekonomi tersebut dimana masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka jika dapat disinergikan dengan menjalankan keduanya, akan memiliki daya gedor yang cukup kuat untuk mempercepat pencapaian tujuan, dan hal ini sangat memungkinkan jika melihat kembali aspek keselarasan tujuan utama dari keduanya. Untuk menghindari overlap peran dan fungsi yang bisa berdampak buruk, maka pada tahap perencanaan operasional, kedua bentuk lembaga ekonomi masyarakat ini harus melakukan pembagian peran yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, jika BUMDES bergerak di penguatan produksi komoditi (hulu), maka koperasi bisa memperkuat sektor hilirnya, dengan melakukan diversifikasi atau hilirisasi produk. Pun halnya jika koperasi memainkan perannya di hulu, maka BUMDES akan berperan di hilir. Dengan pola seperti ini, maka diharapkan pondasi ekonomi masyarakat desa akan lebih kokoh. |