Banjir disebabkan oleh DAS yang tidak terkelola dengan baik penyebab permasalahan ini adalah

Hampir setiap minggu, berita mengenai bencana banjir di Indonesia selalu muncul di media cetak maupun elektronik. Di empat bulan pertama tahun 2019 saja sudah terdapat beberapa kejadian banjir bandang yang terjadi di seluruh Indonesia, termasuk banjir dan longsor di Provinsi Sulawesi Selatan, Papua, dan yang terbaru adalah banjir dan longsor di Bengkulu.

Menurut analisis Aqueduct Global Flood Analyzer, Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi terdampak bencana banjir terbesar ke-6 di dunia, yakni sekitar 640.000 orang setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi di Indonesia dengan 464 kejadian banjir setiap tahunnya. Banjir yang disertai longsor menjadi bencana ke-6 yang paling sering terjadi di Indonesia dengan 32 kejadian setiap tahunnya. Ada tiga faktor utama penyebab banjir dan longsor yang paling banyak disoroti, yaitu berkurangnya tutupan pohon, cuaca ekstrem, dan kondisi topografis Daerah Aliran Sungai (DAS).

Berkurangnya Tutupan Pohon

Tutupan pohon berperan sangat penting dalam menjaga keseimbangan hidrologis suatu DAS. Dengan terjaganya tutupan pohon, tanah mampu terus meresap air. Hal ini karena tingginya kandungan bahan organik yang membuat tanah menjadi gembur serta pengaruh akar yang membuat air lebih mudah diresap ke dalam tanah. Ketika tutupan pohon berkurang, keseimbangan hidrologis lingkungan sekitarnya juga akan mudah terganggu. Air hujan yang turun akan sulit diresap oleh tanah dan lebih banyak menjadi aliran air di permukaan. Sebagai contoh, hasil analisis dari Global Forest Watch (GFW) mengindikasikan kehilangan 887 ha tutupan pohon di pegunungan Cyclop, Papua, pada periode 2001-2018, yang berdampak pada banjir di Distrik Waibu, Sentani, dan Sentani Timur.

Hasil analisis GFW juga mengindikasikan berkurangnya tutupan pohon di DAS Jeneberang (Provinsi Sulawesi Selatan) dan DAS Bengkulu (Provinsi Bengkulu) masing-masing sebesar 1.990 dan 11.400 ha pada periode yang sama. Kegiatan perambahan hutan dan penambangan liar yang marak telah menyebabkan kerusakan DAS di hulu sungai, yang memperbesar risiko terjadinya banjir dan longsor. Satu hal yang harus digarisbawahi di sini adalah berkurangnya tutupan pohon merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir dan longsor, namun bukan merupakan faktor tunggal terjadinya bencana tersebut. Faktor lain juga berpengaruh terhadap terjadinya bencana ini seperti cuaca ekstrem dan kondisi topografis wilayah.

Cuaca Ekstrem

Curah hujan dengan intensitas yang tinggi (umumnya melebihi 100 mm per hari) dan dalam waktu yang cukup lama kerap kali berkontribusi terhadap terjadinya banjir di Indonesia. Curah hujan sebesar 248,5 mm, 110-197 mm, dan 182-289 mm tercatat per hari masing-masing di Kabupaten Jayapura Papua, Sulawesi Selatan, dan Bengkulu pada saat terjadinya banjir dan longsor di daerah tersebut.

Fenomena Osilasi Madden-Julian (OMJ), sebuah fenomena alam yang secara ilmiah mampu meningkatkan suplai massa udara basah yang mampu menyebabkan tingginya curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, menjadi penyebab terjadinya cuaca ekstrem di Sulawesi Selatan dan Bengkulu. Sementara itu, pertemuan aliran udara dan pertumbuhan awan akibat sistem pola tekanan rendah di utara Papua dinilai menjadi penyebab tingginya curah hujan di Papua.

Kondisi Topografis

Bencana banjir juga banyak dipengaruhi oleh kondisi topografis wilayah atau kemiringan lereng. Sebagai contoh, di Kabupaten Jayapura, curamnya lereng di pegunungan Cyclop yang didominasi oleh kemiringan lereng sangat curam (>40%) berkontribusi besar pada terjadinya banjir bandang di wilayah ini. Semakin curam suatu lereng, kecepatan aliran akan semakin cepat dan akan meningkatkan daya rusak saat terjadi banjir bandang.

Banjir disebabkan oleh DAS yang tidak terkelola dengan baik penyebab permasalahan ini adalah

Kondisi topografis yang didominasi oleh kelerengan sangat curam juga akan berpengaruh terhadap terbentuknya bendung alami. Bendung alami terjadi karena adanya longsoran pada celah sempit di antara dua bukit yang menghambat aliran air, sehingga air tertahan sampai pada batas volume tertentu. Ketika bendung alami tidak kuat lagi menahan volume air yang ada, maka air akan dilepaskan dengan membawa material yang dilewatinya seperti tanah, pepohonan, dan bebatuan.

Kondisi topografis wilayah juga tentunya berpengaruh terhadap terjadinya banjir di Sulawesi Selatan dan Bengkulu, akan tetapi karena kemiringan lereng kedua DAS tersebut didominasi oleh datar (0-8%) sampai curam (25-40%), pengaruhnya akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan kondisi topografis pegunungan Cyclop yang didominasi lereng sangat curam (>40%).

Banjir disebabkan oleh DAS yang tidak terkelola dengan baik penyebab permasalahan ini adalah

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Menghadapi Banjir

Beberapa upaya dapat dilakukan untuk mengurangi risiko banjir dan longsor, salah satunya dengan mempertahankan dan menambah tutupan pohon di wilayah DAS agar fungsi hutan kembali menjadi penyimpan air yang efektif. Kita juga perlu memantau ancaman kegiatan penebangan pohon dari perambahan dan pertambangan di wilayah DAS. Platform seperti Global Forest Watch dapat memantau kehilangan tutupan pohon mingguan sehingga dapat mengidentifikasi indikasi deforestasi secara cepat dan upaya mitigasi dapat dilakukan oleh pihak terkait. Rehabilitasi hutan dan lahan kritis dalam penanganan banjir juga telah menjadi prioritas untuk pemerintah.

Kita juga perlu mengelola risiko banjir dan longsor yang diakibatkan kondisi alam yang sulit kita ubah. Salah satu upaya adapatasi adalah pengembangan sistem peringatan dini banjir, dan saat ini prototipenya telah dikembangkan oleh pemerintah, akademisi, dan swasta, seperti Jakarta Flood Early Warning System dan PetaBencana.id.

Badan Informasi Geospasial (BIG), BMKG, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga telah menyusun peta rawan banjir, tapi terbatas untuk beberapa kabupaten/kota di Pulau Jawa di tahun 2017. BNPB, BIG, BMKG, PUPR, dan Pemerintah Daerah perlu menyusun peta rawan banjir dan longsor secara reguler dan menyiapkan strategi adaptasi komprehensif yang sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing.

Sebagai contoh, BNPB dan BIG dapat menyusun peta risiko bencana banjir di tingkat DAS yang dapat diperbaharui setiap kali data curah hujan BMKG diterima. Dengan demikian, jika tingkat curah hujan melewati batas risiko banjir, BNPB dan Pemerintah Daerah dapat memberikan peringatan dini kepada penduduk sekitar lebih cepat dari sebelumnya untuk mencegah banyaknya korban jiwa.

tirto.id - Banjir bandang yang terjadi di Garut, Jawa Barat beberapa hari lalu salah satu penyebabnya adalah karena buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini diungkapkan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho.

“Upaya pengelolaan DAS terus dilakukan, namun ternyata hasilnya belum signifikan. Buktinya degradasi DAS juga terus menigkat. Dampak yang ditimbulkan pun terus meningkat," ujarnya seperti dilansir Antara, Jumat (23/9/2016).

Sutopo yang juga menjadi Peneliti Utama Hidrologi dan Pengelolaan DAS di BPPT menjelaskan bahwa respons dari kerusakan DAS tersebut adalah semakin sensitifnya lingkungan terhadap komponen yang ada dalam sistem lingkungan.

"Ketika hujan mudah banjir dan longsor, namun sebaliknya ketika kemarau demikian mudahnya terjadi kekeringan," katanya.

Menurut data, saat ini kerusakan DAS di Indonesia sangat luar biasa. Dari 450 DAS di Indonesia, 118 DAS dalam kondisi kritis. Jika pada tahun 1984 hanya terdapat 22 DAS kategori kritis dan super kritis, maka tahun 1992 meningkat menjadi 29 DAS, 1994 menjadi 39 DAS, 1998 menjadi 42 DAS, 2000 menjadi 58 DAS, tahun 2002 menjadi 60 DAS, dan tahun 2007 sekitar 80 DAS yang rusak super kritis dan kritis.

DAS Cimanuk sudah tergolong kritis sejak 1984. Kondisinya makin rusak akibat intervensi manusia yang makin masif merusak DAS.

Bencana banjir bandang yang terjadi di Garut sesungguhnya merupakan salah satu potret buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk. Dampak banjir bandang hingga Jumat (23/9) siang terdapat 27 jiwa tewas, 22 hilang, luka 32, dan mengungsi 433 jiwa, sedangkan kerusakan rumah adalah rumah rusak berat 154 unit, rusak sedang 19, rusak ringan 33, terendam 398, dan hanyut 347.

Menurutnya, penataan ruang harus diimplementasikan secara ketat dan bersama. Pemanfaatan ruang berbasis peta rawan bencana menjadi panglima yang mengatur semua sektor kegiatan manusia, baik oleh pemerintah, pemda, dunia usaha dan masyarakat.

Seringkali tata ruang sudah bagus dan mempertimbangkan aspek bencana, tetapi semua dilanggar sehingga menimbulkan banyak masalah. Kawasan resapan air berkurang, hulu DAS berubah menjadi kawasan budidaya dan permukiman, bantaran sungai penuh permukiman, erosi, sedimentasi, polusi dan lainnya.

"Memang pengelolaan DAS sifatnya over all, multidisiplin dan lintas sektor. Memang harus diakui bahwa pengelolaan DAS bukan sesuatu yang mudah mengingat variabilitas ruang dan waktu yang besar. Namun juga bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan jika ada komitmen pemerintah, pemda, dunia usaha dan masyarakat yang kuat dan konsisten untuk melakukannya," tambahnya.

Baca juga artikel terkait BANJIR atau tulisan menarik lainnya Abdul Aziz
(tirto.id - abd/abd)

Sumber: Antara
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz

Subscribe for updates Unsubscribe from updates