Contoh hadits yang menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam Al qur an

tirto.id - Hadis merupakan salah satu sumber primer hukum Islam. Kedudukannya berada di bawah Al-Quran. Sebagai sumber hukum, Al-Quran dan hadis saling melengkapi untuk menjelaskan perkara keagamaan. Lantas, apa fungsi hadis terhadap Al-Quran dan contoh penerapannya?

Urgensi Al-Quran dan hadis dalam Islam tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW:

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, [yaitu] Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya," (H.R. Malik, Hakim, & Baihaqi).

Secara definitif, hadis adalah semua informasi yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu tindakan, perkataan, hingga sifat beliau SAW.

Berkenaan dengan kedudukan hukumnya, hadis menempati peringkat kedua dalam sumber hukum Islam setelah Al Quran. Hal tersebut bermakna bahwa apabila suatu perkara tidak terdapat penjelasannya di dalam Al Quran, maka disandarkan kepada hadis.

Fungsi Hadis terhadap Al-Quran dan Contoh Penerapannya

Al-Quran dan hadis merupakan sumber hukum Islam yang saling melengkapi untuk menetapkan suatu perkara agama. Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen dalam Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (2017) menuliskan 4 fungsi hadis terhadap Al-Quran sebagai berikut.

1. Menjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat umum

Hadis menjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang bersifat umum dan menspesifikkannya. Sebagai misal, dalam Al-Quran, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk salat. Namun, belum dijelaskan salat apa dan bagaimana cara melakukan salat tersebut.

Kewajiban salat lima waktu dan tata cara salat itu dijelaskan dalam hadis-hadis Rasulullah SAW, salah satunya adalah sebagai berikut:

“Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku śalat," (H.R. Bukhari).

2. Memperkuat pernyataan yang ada dalam Al-Quran

Dalam surah Al-Baqarah ayat 185, Allah SWT berfirman: " ... Barangsiapa di antara kamu menyaksikan [di negeri tempat tinggalnya] di bulan [hilali] itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut."

Lantas, ayat tersebut diperkuat dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

"Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ... " (H.R. Bukhari dan Muslim).

3. Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam Al-Quran

Sebagian ayat Al-Quran harus dijelaskan lagi agar bisa dipahami dengan baik oleh umat Islam. Sebagai misal, Allah SWT berfirman dalam surah At-Taubah ayat 34 yang berbunyi:

“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah SWT, gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!"

Selanjutnya, ayat tersebut diterangkan maksudnya dengan salah satu hadis: "Allah SWT tidak mewajibkan zakat kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati," (H.R. Baihaqi).

4. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Quran

Tidak semua perkara agama dijelaskan dalam Al-Quran. Dengan demikian, ada kalanya suatu hadis menetapkan hukum baru dalam Islam.

Sebagai misal, Al-Quran tidak menjelaskan tentang hukum seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya. Perkara tersebut dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Dilarang seseorang mengumpulkan [mengawini secara bersama] seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari ibunya," (H.R. Bukhari).

Baca juga:

  • Apa itu Hadis atau Sunnah & Kedudukan Sebagai Sumber Hukum Islam
  • Bagaimana Cara Mengetahui Kesahihan Hadis?
  • Hadis dalam Islam & Perbedaannya: dari Sahih, Mutawatir hingga Daif

Baca juga artikel terkait ILMU HADIS atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/hdi)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Iswara N Raditya

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Oleh Nadirsyah Hosen

Tahun 1932 Pengadilan Inggris harus memutuskan kasus yang tergolong unik. Nyonya Donoghue meminum bir jahe (ginger beer) yang dibeli temannya. Ternyata di dalam botol dia menemukan Snail (Bekicot) dan dia mengklaim mengalami sakit setelah meminum botol berisi bekicot itu. Donoghue memutuskan menggugat Stevenson, perusahaan pembuat bir jahe. Saat itu tidak ada aturan hukum yang bisa menjerat Stevenson. Tidak ada kontrak atau perjanjian antara penjual dan pembeli. Apa dasar hukumnya menghukum Stevenson? Apakah gugatan Donoghue harus ditolak?

Dalam tradisi common law pada pengadilan Inggris, mereka melihat pada kasus-kasus sebelumnya untuk memutuskan hukum. Ini yang disebut dengan teori preseden. Memutuskan kasus baru dengan mencari cantolan pada keputusan sebelumnya. Preseden dalam tradisi common law ini mirip dengan analogi atau qiyas yang digunakan mayoritas ulama dalam tradisi hukum Islam. Ternyata sistem hukum Barat, khususnya common law, punya kemiripan dengan syariah. Kalau kita luaskan bacaan kita, kita akan melihat banyak persamaan di antara keduanya, ketimbang sibuk mencari perbedaan dan kemudian menistakan yang satu dengan lainnya.

Para ulama juga harus mencari cantolan hukum ke belakang, yaitu Al-Qur'an dan Hadits, untuk memecahkan kasus baru. Di sinilah para ulama secara brilian mengenalkan konsep qiyas sehingga hukum Islam selalu bisa menjawab perkembangan zaman. Apa yang dibahas dalam Al-Qur'an dan Hadits itu terbatas. Wahyu sudah terhenti. Nabi Muhammad sudah wafat. Tapi kasus-kasus baru terus bermunculan. Maka Qiyas menjadi jawabannya.

Qiyas ini sebenarnya menggunakan logika. Ini analogi berdasarkan prinsip logika deduktif. Semua minuman yang memabukkan itu haram, whiskey itu memabukkan, maka whiskey hukumnya haram (meski sampai gondrongpun anda mencari dalam Al-Qur'an dan Hadits tidak akan ditemukan kata whiskey). Tentu saja para ulama menjustifikasi penggunaan Qiyas ini dengan sejumlah ayat dan hadits. Tapi susah menolak fakta bahwa bangunan qiyas ini dipengaruhi logika artistoteles. Artinya, mereka yang teriak-teriak tidak boleh pakai akal atau logika dalam memahami kitab suci dapat dipastikan mereka tidak sadar bahwa qiyas itu jelas berdasarkan logika deduktif. Dan ternyata, metode ini diterima juga oleh empat Imam Mazhab terkemuka (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali), meski mereka berbeda-beda dalam intensitas melakukan qiyas ini.

Namun bagaimana caranya memutus perkara kalau cantolannya tidak ada? Qiyas mengasumsikan bahwa ada hukum asal sebagai pijakan analogi. Tapi kalau hukum asalnya tidak ada, bagaimana? Para ulama kemudian menggunakan istidlal (mencari dalil) melalui kaidah kebahasaan: ibaratun nash, isyaratun nash, dan dilalatun nash. Para ulama menganalisa sejumlah indikasi (wajah istidlal) dalam nash untuk mengeluarkan berbagai kaidah ushuliyah dan fiqhiyah guna menjawab kasus-kasus baru yang tidak ada hukum asalnya. Inilah proses pengambilan hukum berdasarkan prinsip induktif. Misalnya dalam kasus asuransi, para ulama menjawabnya dengan menganalisa kata maysir, riba, gharar yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadits untuk kemudian mengeluarkan prinsip hukum: tidak boleh ada spekulasi atau ketidakpastian, bunga ataupun penipuan.

Bagaimana bila aspek kebahasaan dan analogi tidak juga meng-cover kasus baru yang ditanyakan? Contohnya penggunaan facebook. Tidak bisa dilakukan qiyas dan juga al-istidlal bil qawa'id al-lughawiyah. Lalu apa yang harus dilakukan para ulama? Tidak bisa mengatakan cukup dengan Al-Qur'an dan Hadits karena dicari sampai botak pun gak ada kata 'facebook' الفيسبوك dalam Al-Qur'an dan Hadits, dan belum ada kasus yang mirip di jaman dahulu untuk dilakukan qiyas.

Di sinilah para ulama menjawab dengan melakukan ijtihad istislahi, yang berdasarkan konsep kemaslahatan. Ditimbang-timbang mana yang lebih besar maslahat atau mudaratnya. Prinsip kemaslahatan ini bertumpu pada maqasid al-syari'ah dengan memperhatikan aspek dharuriyat, hajjiyat dan tahsiniyat. Dalam titik ini, para ulama tetap berusaha merujuk ke nash Al-Qur'an dan Hadits, bukan dari aspek kebahasaan atau hukum asal, tapi tujuan hukum Islam itu sendiri.

Ini juga yang dialami oleh Pengadilan Inggris dalam kasus Donoghue di atas. Para hakim Inggris melakukan ijtihad melihat kemaslahatan kasus ini. Kalau tidak dihukum, maka Stevenson dan perusahaan lainnya tidak akan menunjukkan kepedulian (duty care) terhadap produk mereka. Hak-hak konsumen terabaikan hanya karena tidak ada kontrak atau perjanjian jual-beli. Lord Atkin, hakim Inggris dalam pengadilan tersebut, memutuskan Stevenson bersalah dengan mengajukan argumen "neighbour principle". Gemparlah dunia hukum saat itu menyimak terobosan hukum (ijtihad) yang dilakukan Lord Atkin. Sejak itu berkembanglah kajian Negligence dalam hukum Inggris, dan kasus-kasus berikutnya mengikuti argumen (illat hukum) apa yang diputuskan Lord Atkin.

Nadirsyah Hosen

Ra'is Syuriah Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School