Bagaimana pendapatmu ketika kamu dipaksa masuk agama lain

I. PEMBUKA Setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan. Konsekwensinya tidak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/ kepercayaannya. Namun, negara (cq. Pemerintah) wajib mengatur kebebasan di dalam melaksanakan/ menjalankan agama atau kepercayaan agar pemerintah dapat menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM dan demi terpeliharanya keamanan, ketertiban, kesehatan atau kesusilaan umum. II. MAKNA KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEPERCAYAAN Secara normatif dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) hak kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat disarikan ke dalam 8 (delapan) komponen yaitu; 1. Kebebasan Internal Setiap orang mempunyai kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinannya. 2. Kebebasan Eksternal Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadahannya. 3. Tidak ada Paksaan Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya. 4. Tidak Diskriminatif Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: asli atau pendatang, serta asal usulnya. 5. Hak dari Orang Tua dan Wali Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri. 6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan adalah untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya. 7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain. 8. Non-Derogability Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun. III. JAMINAN KEMERDEKAAN BERAGAMA DALAM UUD & UU 1. UUD 1945 Pasal 28E, ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. 2. UUD pasal 29 ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.                                                      

HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN BERAGAMA Siti Musdah Mulia

Pendahuluan HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu konsep etika politik modem dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya manusia. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustad'afin) dari tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep hak asasi manusia adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun; serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi. Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development). Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya. Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama. Isu Kebebasan Beragama Dalam Dokumen HAM Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (disingkat DUHAM), ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM, seperti dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966). Pasal 2 DUHAM menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”

Keterangan gambar,

Di beberapa negara, seperti Inggris, ateis merupakan sebuah pilihan yang sah.

Kepolisian Indonesia mendakwa seorang pria dengan pelecehan agama karena menulis pesan di Facebook bahwa 'Tuhan tidak ada.'

Alexander, seorang pegawai negeri di Dharmasraya, Sumatera Barat, diamankan polisi setelah dia diserang oleh sekelompok orang karena pesan ateis tersebut.

Kini pria berusia 31 tahun tersebut didakwa secara resmi.

Berdasarkan KUHP, orang yang dengan sengaja mengeluarkan perasaan atau perbuatan dengan maksud agar orang lain tidak menganut agama apapun yang bersendikan Ketuhanan yang Maha Esa, terancam hukuman penjara maksimal lima tahun.

"Negara Indonesia bersendikan Pancasila. Kalau dia bilang tidak bertuhan, ini tentu bertentangan dengan dasar negara," kata Kepala Polisi Resor Kabupaten Dharmasraya, Chairul Aziz.

Walau masalah sudah diatur oleh undang-undang, bagaimana pendapat Anda sehubungan dengan dakwaan terhadap Alexander?

Apakah Anda termasuk yang setuju dengan penerapan Pasal 156 A KUHP tersebut atau Anda berpendapat peraturan tersebut perlu ditinjau?

Atau mungkin Anda melihat kasus itu sebagai konflik budaya antara kemajuan teknologi dengan budaya Barat -yang terwakili oleh Facebook- dengan nilai-nilai di kalangan masyarakat Indonesia?

Di beberapa negara, ateis memang merupakan pilihan yang sah dan dihargai masyarakat.

Dan mungkin Anda bisa menempatkan diri sebagai jaksa penuntut dalam memberikan pendapat atau justru sebagai penasehat hukum? Argumentasi apa yang akan Anda gunakan dalam kasus ini?

Komentar Anda juga akan kami siarkan di BBC Indonesia pada Kamis 26 Januari Pukul 18.00 WIB. Kami akan mengedit komentar yang masuk demi kepentingan editorial semata tanpa mengubah maknanya.

"Ateis tidak dapat diterima di indonesia dan ini bukan hanya tentang ateis tapi juga tentang menghina agama secara langsung maupun tidak langsung. Seandainya yang ateis diam saja, ya tidak masalah tapi kenyataannya mereka dengan sengaja ingin menunjukkan diri dengan menghina agama dengan membabi buta. Poinnya adalah ketika masyarakat merasa agamanya dihina maka tentu akan menjadi masalah bagi si ateis." Kalkausar, Aceh.

"Agama yang mana yang dinodai. Suka-suka dia mengaku Tuhan ada atau tidak." Taufieq Kidal, Komunitas BBC Indonesia di Facebook.

"Tidak perlu bangga jadi ateis. Kalau ternyata neraka itu benar ada, yang paling menyesal orang ateis. Tapi kalau neraka itu ternyata tidak ada, maka orang beragama nothing to loose." Didi Pratama, Jakarta.

"Bila hal ini dianggap sebagai tindak pidana maka perlu ditinjau kembali karena hal yang terkait kepercayaan, keyakinan, iman tidak untuk diadili oleh sesama manusia. Keyakinan berhubungan dengan hati, rasa, dan jiwa. Terkait hal ini mungkin lebih tepat jika tidak diproses secara pidana tapi melalui pendekatan personal psikologis untuk didalami atau diluruskan karena memang tak terelakkan bahwa sesuai undang-undang negara Indonesia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa." Sukoco, Surakarta.

"Acara-acara agama, sinetron-sinetron, acara-acara musik, selalu disusupi dengan dakwah tapi tetap saja negeri ini tidak maju-maju." Happy Vahyu Suharyanto, Komunitas BBC Indonesia di Facebook.

"Sebagai orang awam, mungkin tidak kalau ini hanya salah satu orang dari sekian banyak masyarakat Indonesia yang berani jujur. Apapun, mudah-mudahan demokrasi di Indonesia lebih matang." Thamrin, Suwon - Korea Selatan.

"Jika tidak ada Tuhan mengapa saya meminta kepada Tuhan terus agar permohonan saya dikabulkan." Gregorius Aldi, Ngawi.

"Yang berkomentar tidak baca beritanya. Tinggal saja kalian di negara-negara Barat. Orang mau beragama/tidak silahkan, yang penting jangan melecehkan Tuhan orang beragama di publik. Itu inti masalahnya." Didit Santoso, Komunitas BBC Indonesia di Facebook.

"Terlepas dari Pasal 156 KUHP ataupun ideologi Pancasila, saya kira kebebasan beragama adalah hak asasi setiap manusia, entah dia mau beragama Islam, Katolik, maupun Budha atau bahkan tidak percaya adanya Tuhan. Itu adalah hak manusia yang paling dasar. Kita harus saling menghargai perbedaan keyakinan, entah mau beragama atau tidak. Dengan beragama tidak berarti kita bisa menjadi Tuhan dan menghakimi orang lain yang tidak percaya adanya Tuhan. Negara melalui KUHP sudah terlalu mencampuri dan bahkan mengusik kebebasan berkeyakinan warga negara Indonesia. Bukankah lebih baik negara berfokus pada pengentasan kemiskinan dan memberantas korupsi daripada sibuk mengusik warga negara dengan keyakinan mereka. Saya beragama Islam dan saya tidak pernah diajarkan oleh orang tua dan guru agama saya untuk menganggu orang lain yang tidak bertuhan atau bahkan melakukan tindakan kriminal kepada mereka. Saya yakin dengan dukungan negara terhadap para pelaku kriminal yang mengganggu orang yang tidak bertuhan, tentu pada lain kesempatan akan banyak terjadi lagi kasus-kasus yang sama di masa mendatang." Andika, Yogyakarta.

"Saya setuju untuk menghukum tesangka, kalau bisa harus lebih berat karena jika cepat bebas dan kembali lagi mengatakan pahamnya di depan orang banyak, maka saya takut banyak masyarakat yang mengikuti jejaknya. Beragamapun sudah kaya hukum rimba, apalagi kalau ateis. Mau kayak apa nantinya Indonesia?" Mail, Ciamis.

"Benar-benar tidak adil. Mau beragama atau tidak itu urusan pribadi. Lagi pula buat apa beragama kalau justru lebih jahat dari pada yang tidak beragama." Dinda Amanda, Komunitas BBC Indonesia di Facebook.

"Jika Anda ingin menghancurkan persepsi tentang manusia yang seutuhnya, jangan membuat opini yang membelokkan takdir manusia yang hidup karena adanya Tuhan. Dan jangan merusak Indonesia karena jika anda menjadi ateis." Gerald Loonay, Jakarta.

"Kemajuan teknologi memang berdampak pada perubahan cara pandang seseorang tentang ketuhanan, bisa jadi manusia mengalami transformasi dari irasionalitas ke rasionalitas, sehingga hal-hal yang berbau magis atau gaib tidak dapat diterima lagi. Menurut saya di sisi lain bisa dikatakan juga kata-kata "Tuhan Tidak Ada" jika dikonotasikan sebagai sebuah kiasan karena manusia sudah tidak lagi merasa takut akan hukum Tuhan. Manusia mulai bertuhan pada teknologi." Nur Alifah Septiani.

"Percuma juga beragama bila tidak beradab." Fah Rudin, Komunitas BBC Indonesia di Facebook.

"Kita hidup di Indonesia yang mempunyai rule of life yang jelas yaitu Pancasila yang di dalamnya menyatakan kita adalah masyarakat yang berketuhanan. Untuk itu apabila ada seseorang yang tidak berketuhanan lebih baik jangan tinggal di Indonesia. Soal bahwa saat ini banyak yang berperilaku sebagai orang yg tidak bertuhan maka perilaku orang/masyarakat tersebut yang perlu kita bantu agar mereka kembali bertuhan. Semoga masyarakat kita kembali ke fitrahnya sebagai masyarakat yang berjalan sesuai tuntunan Gusti Allah." Sandy, Bekasi.

"Masih belum yakin adanya Tuhan? Alam yang tertata dengan rapi berpasang-pasangan terjadi dengan sendirinya? Masih mengandalkan rasio? Jangan-jangan bayi terlahir tanpa ayah dirasionalkan, laut terbelah dengan tongkat dirasionalkan, perjalanan Isro' Mi'roj juga dirasionalkan. Semoga dia segera mendapat petunjuk ampunan." M. Mathori Munawar, Pekalongan.

"Menurut saya, orang ateis itu pembohong besar. Mereka tidak mau mengakui bahwa Tuhan itu ada tapi apa mereka tidak pernah berpikir bagaimana alam semesta ini ada? Bagaimana mungkin alam dapat berjalan tanpa ada yang mengatur? Jangan sampai masyarakat indonesia teracuni pemikiran sampah seperti ateis." Eyyas, Solo.

"Hukum tidak dapat memasuki ruang hati seseorang. Indonesia negara hukum yang berdasarkan Pancasila yang mengandung arti negara berdasarkan Ketuhanan karena Pancasila merupakan dasar negara. Bukan dasar bagi pribadi atau individu yang tidak berkenaan dengan individu lain, namun ketika menjadi konsumsi umum kemudian timbul tafsir yang berbeda. Padahal hukum berlaku bagi perbuatan yang tampak bukan menghukumi isi hati manusia yang bersifat sangat subyektif dan sulit untuk dibahasakan lewat kata." Asep, Jakarta.

"Agar bisa teratur dan aman, semua hal harus diatur. Orang beragama terikat aturan agamanya. Warga negara terikat aturan negaranya. Bila kita masih jadi warga negara, ya ikuti saja aturannya. Kalau aturan dianggap tak sesuai, misal melanggar HAM, ubah dulu aturan itu. Baru boleh kita 'tidak' melaksanakannya." Mujiantoro, Temanggung.

"Menurut saya, pasal itu sudah benar. Indonesia sejak dulu menganut Pancasila. Dalam pelajaran kewarganegaraan di SMA dan SMP juga sudah berkali-kali ditulis bahwa undang-undang harus sesuai dengan dasar negara sebagai identitas bangsa. Kalau ada orang Indonesia menjadi ateis, dia memang sudah seharusnya terjerat dengan pasal tersebut. Jangan samakan budaya Timur Indonesia dengan budaya Barat yang berkembang di Eropa. Kita tidak sama, dan lebih 'beradab." Fatimah, Depok.

"Kepercayaan individu kok diadili? Apa itu bisa mengubah individunya untuk percaya agama? Terkadang kita membuat diri kita sendiri menjadi kerdil. Entah apa yang terjadi nanti kepada anak dan cucu kita. Lihat tetangga berbeda kepercayaan bisa main tikam. Amerika walau tidak mengenal Pancasila namun bisa menghargai dan melindungi warganya dari intimidasi kaum mayoritas. Negara kita justru kebalikannya." FioZilla Tampz, Komunitas BBC Indonesia di Facebook.

"Menulis di Facebook hanya ungkapan perasaan saja. Saat orang sedang frustasi kadang timbul ekspresi seperti itu, dan saya yakin itu bukan suatu anjuran." Wiratno, Surabaya.

"Apa salahnya bila seseorang menjadi ateis? Bilamana agama-agama yang ada sekarang ini menjadi tidak masuk akal dengan segala tindakan dan ajarannya, ya mana mungkin kehidupan menjadi damai sejahtera? Agama kok hanya menimbulkan kerusuhan?" Kleinson Teddy, Jakarta.

"Biarin saja orang mau ateis, beragama kok pakai dipaksa-paksa." Barra Adhitya Pasuhuk, Bandung.

"Beragama atau tidak, bukan masalah. Yang penting perbuatannya. Sekarang banyak orang beragama tapi berkelakukan seperti orang tidak beragama. Justru kalau mengaku ngaku beragama harus biasa menunjukkan sifat keagamaannya." Agung, Ketapang.

"Lagi kena sial saja. Sudah diserang orang-orang, bukan dapat perlindungan malah sekarang jadi terdakwa. Alangkah santun jika dia bilang 'skeptis' bukan 'tidak ada.' Banyak juga masyarakat Indonesia yang berperilaku layaknya orang skeptis. Hanya saja ungkapan sebagai orang yang skeptis tidak pernah dimunculkan secara jelas melalui pernyataan." Budi S.S Sutrisno, Jakarta.

"Kepercayaan pada agama atau tidak mempunyai agama adalah urusan masing-masing individual dan sangatlah disayangkan jika negara memaksakan seseorang harus mempercayai suatu agama tertentu." Ferry, London.

"Memang Indonesia adalah negara yang berketuhanan. Namun menanggapi kasus itu sebaiknya tidak usah dibawa ke meja hijau, lebih baik dibina secara pribadi. Aturan memang ada, namun jangan terlalu kaku, harus dilihat bahwa tidak setiap yang melanggar aturan harus diperkarakan di pengadilan. Seperti tatib di sekolah, ada standar poin dengan jumlah tertentu yang menjadi dasar dan setiap jenis pelanggaran diberi poin. Jika akumulasi poin pelanggaran sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan maka siswa bisa diproses untuk diperkarakan. Itu juga baik untuk diterapkan dalam hukum." B Sunarto, Tangerang Selatan.

"Di negara lain silahkan ateis dilegalkan tapi tidak di Indonesia karena negara Indonesia berazas Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa indonesia sepakat Pancasila sudah final sebagai azas dan sangat setuju undang-undang itu diberlakukan." Ichwan Rosidi, Jakarta.

"Beragama dan tidak beragama bukan jaminan untuk berkelakuan baik. Buktinya korupsi di Indonesia makin subur walaupun para koruptor memeluk sebuah agama." Herman, Bandung.

"Bertuhan atau tidak, beragama atau tidak adalah hak asasi manusia. Mengapa sebuah negara harus ikut-ikutan mengatur keyakinan warga negaranya? Yang penting kan tidak merugikan orang lain." Ingrid Widjaya, Jakarta.

"Ketuhanan yang Maha Esa itu konsekuensinya ya harus menerima adanya eksistensi Tuhan. Bahkan pasal di UUD 45 Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalau ada yang menyatakan tidak bertuhan berarti menolak Republik. Dalam pembukaan dituliskan : Atas berkat rahmat Allah. Jadi patut dipertanyakan pernyataannya terlepas dari apa yang terjadi dalam kenyataan bahwa para penguasa seperti tidak mengenal Tuhan." Mawan, Depok

"Orang hidup tidak kenal penciptanya, suruh buat dunia sendiri. Orang itu sudah makar, suruh keluar dari Indonesia. Hukum seberat-beratnya." Mujiono Santiago, Tangerang.

"Orang yang tak percaya Tuhan adalah bentuk kefrustasian hidup karena agama adalah sebuah hasil dari kebudayaan yang selalu mengajarkan tentang nilai nilai dan filosofi kebaikan terhadap alam, sesama, dan penciptanya." Bambang S, Sidoarjo.

"Seseorang bisa mempunyai hak kepribadian untuk berpandangan tersendiri, benar entah tidak? Apabilah kita sudah menganut sebuah kepercayaan yang sakral dan abadi, maka pandangan dia samasekali tak akan merugikan kita dan juga orang lain." Ato Santos, Timor-Leste.

"Memang Indonesia adalah negara Pancasila yang berasaskan Ketuhanan. Namun saya rasa mustahil jika semua rakyat dalam negara ini harus memiliki satu pilihan tertentu dari agama-agama yang ada. Mengimani adanya Tuhan kan tidak bisa dipaksakan, apalagi dengan menghukum mereka yang terang-terangan tidak percaya. Oke secara hukum Indonesia, dia salah namun jika berkaitan dengan hati seseorang, tak ada yang bisa memaksakan, juga tidak hukum. Beragama tak menjamin seseorang lebih baik, karena saat ini makin banyak orang yang beragama hanya karena 'status' dan 'KTP' saja'. Dalamnya laut dapat diukur, hati manusia siapa yang tahu?" Andreia Eirene, Palembang.