Bagaimana pandangan anda terhadap 3 macam pembagian tasawuf tersebut

Bagaimana pandangan anda terhadap 3 macam pembagian tasawuf tersebut

Perbesar

Ilustrasi berdoa (sumber: iStock)

Tasawuf atau yang juga dikenal dengan sufisme adalah ajaran bagaimana menyucikan jiwa, menjernihan akhlak, membangun dhahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian abadi. Tasawuf berasal dari kata sufi.

Menurut Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat dari Jurusan Tafsi Hadis dan Akidah Filsafat IAIN Surakarta, dalam TASAWUF: Sejarah, Madzhab, dan Inti Ajarannya, ada sejumlah versi berbeda dalam mengartikan apa itu sufi atau tasawuf. Setidaknya ada ada enam pendapat dalam hal itu, yakni:

1. kata suffah yang berarti emperan masjid Nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Hal ini karena amaliah ahli tasawuf hampir sama dengan apa yang diamalkan oleh para sahabat tersebut, yakni mendekatkan diri kepada Allah Swt., dan hidup dalam kesederhanaan.

2. kata Shaf yang berarti barisan. Istilah ini dianggap oleh sebagian ahli sebagai akar kata tasawuf karena ahli tasawuf adalah seorang atau sekelompok orang yang membersihkan hati, sehingga mereka diharapkan berada pada barisan (shaf) pertama di sisi Allah Swt.

3. kata shafa yang berarti bersih, karena ahli tasawuf berusaha untuk membersihkan jiwa mereka guna mendekatkan diri kepada Allah Swt.

4. kata shufanah, nama sebuah kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir. Hal ini karena ajaran tasawuf mampu bertahan dalam situasi yang penuh pergolakan ketika itu, ketika umat muslim terbuai oleh materialisme dan kekuasaan, sebagaimana kayu shufanah yang tahan hidup ditengah-tengah padang pasir yang tandus.

5. Kata Teoshofi, bahasa Yunani yang berarti ilmu ketuhanan, karena tasawuf banyak membahas tentang ketuhanan.

6. Kata shuf yang berarti bulu domba, karena para ahli tasawuf pada masa awal memakai pakaian sederhana yang terbuat dari kulit atau bulu domba (wol).

Meski punya definisi beragam, tasawuf punya arti yang satu yaitu upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi.

Masih dalam sumber yang sama, tasawuf dapat diartikan sebagai metode untuk mencapai kedekatan atau penyatuan antara hamba dan Tuhan dan juga untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan hakiki (mak‟rifat) dan atau inti rasa agama.

Red:

Syariat merupakan peraturan, tarekat adalah pelaksanaannya, hakikat merupakan keadaan, dan makrifat adalah tujuan akhir.

Di dalam ajaran Islam, istilah tasawuf dimaknai sebagai salah satu jalan untuk mengenal dan menghayati ajaran Tuhan serta 'bercengkerama' dengan Tuhan. Dan, hanya orang-orang yang bersih, suci, dan dikehendaki Allah yang bisa merasakan cinta sejatinya. Umumnya, banyak generasi muda yang enggan menggunakan kata ini, termasuk mengikuti jalan kesufian (tasawuf). Menurut sebagian orang, istilah tasawuf lebih pas bagi orang-orang yang sudah tua. Bahasa kasarnya, tasawuf hanya untuk orang-orang yang sebentar lagi akan meninggal dunia. Tentu saja pendapat ini tidak benar. Sebab, tasawuf bukan untuk orang-orang yang tua, melainkan buat siapa saja, termasuk mereka yang masih muda. Arti tasawuf menurut epistemologis masih diperselisihkan para ahli, karena perbedaan mereka dalam memandang asal-usul kata tasawuf. Sebagian ulama berpendapat, tasawuf berasal dari kata shaf yang berarti barisan. Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan selalu memilih shaf terdepan saat shalat berjamaah. Mereka juga memandang seorang sufi akan berada di barisan pertama di depan Allah SWT. Ulama lainnya berpendapat, tasawuf berasal dari kata shaufanah, yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini didasarkan pada banyaknya kaum sufi yang memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, tetapi subur batinnya. Pendapat lainnya mengatakan, tasawuf berasal dari kata shuffa yang artinya pelana yang digunakan para sahabat Nabi SAW yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu, di samping Masjid Madinah. Versi lain menyebutkan, shuffah adalah suatu kamar di samping Masjid Nabawi yang disediakan untuk para sabahat Nabi SAW dari golongan Muhajirin yang miskin. Penghuni shuffah ini disebut pula dengan ahl al-shuffah. Mereka mempunyai sifat yang teguh dalam pendirian, bertakwa, wara', dan taat pada Allah SWT. Selain pendapat di atas, pendapat lainnya mengatakan, tasawuf berasal dari shafwaf yang berarti sesuatu yang terpilih atau terbaik. Sebab, seorang sufi memandang diri mereka sebagai orang pilihan atau terbaik. Ada pula yang berpendapat, tasawuf berasal dari kata shafa, shafwun yang berarti bersih atau suci. Maksudnya, kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri (taqarrub) pada Allah SWT. Pendapat lainnya menjelaskan, kata tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu theo (Tuhan) dan sophos (hikmah). Dengan demikian, theosophia berarti membicarakan masalah ketuhanan. Lalu, ada pula yang menyebutkan, asal katanya adalah shuf, yaitu wol atau kain bulu kasar. Alasannya, banyak orang sufi yang memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang. Dari beberapa asal kata di atas, sebagaimana dijelaskan Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi, tasawuf bermakna jalan untuk menjabarkan ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW, berjuang mengendalikan hawa nafsu, menjauhi perbuatan yang dilarang dan bid'ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan ibadah. Sementara itu, Abu Yazid al-Busthami secara lebih luas mengatakan bahwa tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu kha (melepaskan diri dari perangai tercela), ha (menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji), dan jim (mendekatkan diri pada Allah SWT). Dari beberapa definisi di atas, Zakaria al-Anshari, penulis tasawuf (852-925 H) meringkas pengertiannya. Menurutnya, tasawuf adalah sebuah cara yang mengajarkan untuk menyucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan jasmani serta rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Dan, unsur dari tasawuf adalah penyucian diri dan tujuan akhirnya kebahagiaan serta keselamatan abadi. Sementara itu, Ahmad Amin, peneliti tasawuf, merumuskan definisi tasawuf, yaitu tekun beribadah, berhubungan langsung dengan Allah, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud, dan menghindarkan diri dari makhluk dalam berkhalwat (pengasingan diri) untuk beribadah. Menurut al-Junayd al-Baghdadi, berkhalwat tidaklah penting dalam tasawuf. Yang lebih ditekankan justru agar para sufi memberikan nasihat pada umat. Karena itu, Anne Marie Schimmel, sejarawan dan dosen tasawuf dari Harvard University, mengatakan, sangat sulit mendefinisikan tasawuf secara lengkap karena menyentuh salah satu sudutnya saja. Ciri-ciri tasawuf

Dari beberapa pengertian tersebut, Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani, seorang peneliti tasawuf, dalam bukunya Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam (Pengantar Ilmu Tasawuf) menyebutkan lima ciri tasawuf, yaitu (1) memiliki nilai-nilai moral; (2) pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak; (3) pengetahuan intuitif; (4) timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah SWT dalam diri sufi karena tercapainya maqamat (beberapa tingkatan dalam tasawuf); dan (5) penggunaan simbol-simbol pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat. Sementara itu, berdasarkan ciri-ciri umum tasawuf tersebut, Reynold Alleyne Nicholson, sejarawan dan ahli mistisisme dalam Islam mengatakan, tasawuf Islam dipengaruhi Neo-Platonisme. Hal ini disebabkan adanya kontak antara Arab dan Yunani. Ia menyebutkan, masuknya beberapa aliran dalam tasawuf, seperti emanasi (pancaran), illuminasi (penerangan), gnosis (pengetahuan religius), dan ekstase (keadaan di luar kesadaran diri) ke dalam tasawuf. Pendapat ini dibantah banyak ulama sufi. Sebab, dalam Alquran dan Hadis Nabi SAW banyak ditemukan gambaran tentang kedekatan antara hamba dan pencipta-Nya. Setelah melakukan penelitian mendalam, Nicholson sendiri akhirnya merevisi pernyataannya dan menyatakan tasawuf merupakan ajaran Islam. Tujuan

Pada umumnya, seluruh manusia menginginkan dirinya dekat dengan Tuhannya. Begitu juga, dalam kehidupan dunia, seorang anak akan merasa senang bila dekat dengan kedua orang tuanya. Dan, kedekatan itu akan sangat berarti bagi mereka dalam menentukan langkah selanjutnya. Demikian juga, halnya dengan tasawuf. Tujuannya adalah untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Dan, orang yang mampu dekat dengan Allah hanyalah orang-orang yang hatinya bersih, suci, dan senantiasa menjaga dirinya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Karena itulah, para pelaku tasawuf haruslah orang-orang yang bersih hatinya, suci perbuatan dan tingkah lakunya dari hal-hal yang syubhat apalagi haram, serta tidak tergiur dengan segala urusan dunia. Bagi pelaku tasawuf, dunia hanyalah perantara menuju Allah SWT. Atas hal ini, pelaku tasawuf umumnya didominasi oleh kalangan orang tua. Sangat jarang ada orang-orang muda yang berminat dengan ilmu ini. Alasannya, mereka belum sanggup melepaskan diri dari urusan keduniawian. Cikal Bakal Tasawuf

Benih-benih tasawuf sudah ada sejak kehidupan Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dari perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi Nabi SAW. Peristiwa dan perilaku Nabi SAW sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, beliau sering berkhalwat (menyendiri) di Gua Hira. Di Gua Hira, beliau melakukan zikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Peristiwa ini merupakan acuan kaum sufi dalam melakukan khalwat. Begitu juga, dengan peristiwa yang dialami Rasulullah SAW saat beliau melaksanakan Isra Mi'raj hingga sampai ke sidratul muntaha dan berdialog dengan Allah SWT. Sementara itu, dalam ibadah Rasulullah SAW senantiasa mengerjakan apa yang diperintahkan Allah. Beliau beribadah (shalat malam) hingga kakinya bengkak dan melaksanakan puasa. Beliau sangat tekun dalam beribadah. Lalu, pada masa Khulafa'ur Rasyidin (sahabat Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali), para kaum sufi mencontoh perilaku sahabat dalam hal keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan, dan budi pekerti yang luhur. Sahabat merupakan perwujudan langsung murid Rasulullah yang terpercaya. Mereka juga senantiasa meneladani dan mengikuti kehidupan Nabi SAW. Dalam kitab al-Luma', mengutip ucapan Ali Utbah al-Hilwani (salah seorang tabiin), Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi menulis tentang kehidupan sahabat. ''Maukah saya beri tahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu dengan Allah lebih mereka sukai daripada kehidupan dunia. Kedua, mereka tidak pernah takut terhadap musuh, baik sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak takut miskin dalam urusan duniawi dan mereka percaya semua rezeki berasal dari Allah.'' Abu Bakar dikenal sebagai seorang saudagar kaya, yang kemudian setelah ber-Islam memilih hidup sederhana dan memberikan sebagian besar hartanya untuk membantu perjuangan Islam. Ia juga berpakaian sangat sederhana dan memilih pakaian takwa dengan hiasannya berupa sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Umar bin Khattab terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya. Sehingga, Rasulullah SAW berkata: ''Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.'' Ia terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaannya. Dalam sebuah riwayat diceritakan, sebagai seorang khalifah, Umar menggunakan pakaian yang bertambal dengan 12 tambalan saat berpidato. Usman bin Affan menjadi teladan sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang kaya raya, namun bersifat zuhud, tawadlu', banyak mengingat Allah, dan memiliki akhlak yang terpuji. Hartanya dipergunakan untuk kepentingan agama Islam. Ali bin Abi Thalib memiliki keteladanan dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan sufi. Ali dianggap sebagai guru kerohanian karena dianggap mendapatkan warisan langsung dari Rasulullah SAW. Ali juga disebutkan memiliki ilmu laduni, yaitu ilmu yang diberikan hanya pada orang-orang tertentu. Ia juga tidak merasa malu memakai pakaian yang robek dan menambalnya sendiri, sebagaimana hal ini juga dicontohkan Rasulullah SAW. Demikian juga, dengan kehidupan ahl al-Shuffah, yaitu orang-orang yang tinggal di Masjid Nabawi dalam keadaan serbakekurangan, namun memiliki keteguhan hati dalam beribadah kepada Allah. Langkah ini kemudian juga banyak diterapkan para tabiin, tabiit tabiin hingga dewasa ini. Tarekat : Jalan Untuk Mendekatkan Diri Pada Allah

Sesuai dengan kodratnya, manusia senantiasa berhasrat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan, Allah pun telah menunjukkan jalan itu kepada umat manusia. Dalam surah Al-Baqarah ayat 186 Allah berfirman: ''Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku.'' Dalam ayat lain, dikatakan: ''Dan, kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmatnya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah: 115). Pada surah Qaaf ayat 16 disebutkan: ''Dan, sesungguhnya Kami menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Dan, Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.'' Allah telah menunjukkan jalan kepada manusia untuk mendekati-Nya. Di antaranya, dengan mendirikan shalat sebagai bentuk penghambaan, mengeluarkan zakat sebagai wujud kepedulian kepada sesama, melaksanakan haji sebagai wujud perjalanan mencapai ridhanya, dan mengerjakan puasa sebagai bentuk pengendalian diri dan hawa nafsu. Dan, jalan menuju Allah itu, dalam ilmu tasawuf disebut dengan tarekat (thoriqah). Para pengikut tarekat ini biasanya dibimbing oleh seorang guru pembimbing yang disebut dengan mursyid. Bimbingan dilakukan secara rutin dan bertahap melalui maqamat (cara dalam menempuh jalan kesufian) dan ahwal (keadaan mental) hingga akhirnya dekat dengan Allah SWT. Dalam ilmu tasawuf, untuk mencapai derajat kewalian (kekasih Allah), sebagaimana dijelaskan Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, dalam kitabnya Kifayat al-Atqiya' harus melalui empat tahapan, yakni syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Syariat adalah unsur pokok untuk menuju tingkat selanjutnya. Syariat ini meliputi hal-hal pokok dalam ajaran Islam, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Dan, syariat tidak boleh ditinggalkan oleh mutashawwifin (pelaku tasawuf). Dalam pandangan al-Ghazali, tarekat tanpa syariat maka tasawuf menjadi batal. ''Sesungguhnya hakikat tanpa syariat adalah batal dan syariat tanpa hakikat maka tidak berarti.'' Dalam keterangan lainnya, al-Ghazali menambahkan, ''Orang yang mengatakan bahwa hakikat berlawanan dengan syariat dan batin bertentangan dengan lahir, berarti ia lebih dekat pada kekufuran.''Maksudnya adalah orang yang mengikuti tarekat tanpa memahami syariat maka jalannya belum benar. Karena itu, dia harus memahami secara mendalam masalah syariat. Dan, antara syariat, tarekat, serta hakikat tidak boleh saling bertentangan. Artinya, bila ada seorang mursyid (guru tarekat) yang mengajarkan kepada muridnya bahwa sudah tidak perlu lagi mengerjakan shalat, haji, puasa, dan zakat. Maka, hal itu bertentangan dengan syariat. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa sebagai seorang manusia pilihan dan dijamin oleh Allah SWT akan surga, beliau masih mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan berhaji. Karena itu, sangat tidak logis apabila ada orang yang meminta pengikutnya untuk tidak perlu lagi mengerjakan syariat, karena merasa sudah mencapai tingkatan selanjutnya. Ini adalah pandangan yang salah.

Wirid dan zikir Dalam menjembatani hubungan kedekatan antara hamba dan Allah, syariat merupakan jalan pertama yang harus ditempuh seorang salik (pengikut tasawuf). Sebab, syariat merupakan fondasi agama Islam. Bila fondasi sudah kuat, barulah kemudian didirikan bangunan-bangunan di atasnya, seperti tiang-tiang penyangga agar makin memperkokoh sebuah bangunan. Artinya, apa yang dikerjakan oleh seseorang yang belajar tasawuf hendaknya bersandar pada ajaran Alquran dan Hadis Nabi SAW. Oleh karena itu, tarekat merupakan jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran Alquran dan Rasulullah SAW, sebagaimana dicontohkan sahabat, tabiin hingga bersambung pada guru-guru tarekat. Syekh Zainuddin al-Malibari menjelaskan tarekat adalah menjalankan amal yang lebih baik, berhati-hati, dan tidak memilih kemurahan (keringanan) syara', seperti sifat wara' serta ketetapan hati yang kuat layaknya latihan-latihan jiwa. Jadi, singkatnya, syariat merupakan peraturan, tarekat adalah pelaksanaannya, sedangkan hakikat merupakan keadaan, dan makrifat tujuan akhir. Dalam tarekat ini, umumnya para salik membaca wirid dan zikir yang diajarkan oleh mursyid-nya. Seperti dijelaskan di atas, wirid dan zikir tersebut tetap bersumber dari Alquran maupun Sunah Rasulullah SAW sebagaimana yang diajarkan beliau kepada para sahabatnya. Dan, zikir atau wirid tersebut umumnya berupa tasbih, tahlil, tahmid, takbir, asma al-Husna (nama-nama Allah yang baik dan indah), serta bacaan doa-doa yang terdapat dalam Alquran maupun yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Dalam perkembangannya, tarekat ini terus berkembang. Hingga saat ini, terdapat puluhan tarekat yang mu'tabarah (diakui dan terkenal), antara lain, Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syattariyah, Sammaniyah, Rifa'iyyah, Tijaniyah, Shiddiqiyah, dan Khalwatiyah.   REPUBLIKA - Minggu, 01 Maret 2009      

Penulis : sya     

Bagaimana pandangan anda terhadap 3 macam pembagian tasawuf tersebut