Bagaimana jika ada seseorang yang puasa kemudian haid

Solopos.com, SOLO – Puasa merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tidak memiliki halangan syar’i. Namun, bagaimana jika seorang wanita tiba-tiba haid menjelang saat buka puasa?

Seperti diketahui, haid merupakan salah satu perkara yang membatalkan puasa. Jadi, wanita yang haid menjelang saat buka wajib membatalkan puasa.

PromosiCara Meningkatkan Omzet & Performa di Tokopedia, Enggak Sulit Kok!

Dikutip dari Nu.or.id, Rabu (29/4/2020), wanita yang mengalami haid di bulan Ramadan wajib mengganti puasa di hari lain. Meski darah haid keluar menjelang saat buka puasa.

“Wanita haid dan nifas mesti berbuka dan meng-qadha puasa tersebut berdasarkan ijma’. Dan jika mereka tetap berpuasa, maka belum sah berdasarkan ijma’,” demikian pendapat dari sejumlah ulama seperti Imam Abu Al Ma’ali Abdul Malik Ibn Abdillah Ibn Yusuf Al Juwaini.

Bidan Puskesmas di Sragen Positif Corona, 70 Warga Diusulkan Rapid Test

Dengan demikian jelas sudah wanita yang haid tidak boleh puasa, meski beberapa menit lagi masuk waktu berbuka. Dia harus mengganti puasa di hari lain setelah Ramadan.

Sudah menjadi kodrat bagi wanita mengalami haid. Ketika haid terjadi saat Ramadan, maka dia tidak boleh salat dan puasa.

Tetapi wanita haid tetap bisa berzikir dan belajar selama Ramadan. Haid tentu tidak menjadi halangan bagi seorang muslimah untuk menambah pengetahuan selama Ramadan.

Janda Tua Sebatang Kara di Kampung Sidomulyo Sragen Ngaku Tak Pernah Dibantu Pemerintah

Selain itu, wanita haid juga bisa bersedekah untuk menambah pahala di bulan suci. Dia juga bisa memberikan makanan untuk orang yang berpuasa di waktu berbuka.

Apalagi Allah menjanjikan pahala besar bagi siapa saja yang memberikan makanan kepada orang yang berpuasa.

“Siapa memberi makan orang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut. Tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun,” demikian bunyi hadis riwayat Tirmizi.

Jadi, segera batalkan puasa saat menyadari keluar darah haid meski di saat menjelang buka. Sebab, haid merupakan perkara yang membatalkan puasa.

Ibu Rumah Tangga Positif Corona Asal Kebakkramat Karanganyar Meninggal

Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini". Klik link https://t.me/soloposdotcom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

OLEH IMAS DAMAYANTI

Bagi Muslimah yang haid, haram hukumnya menjalankan puasa, terlebih puasa Ramadhan. Namun bagaimana menentukan sikap apabila darah haid hanya tinggal bercaknya saja atau flek, wajibkah menjalankan puasa?

Pada dasarnya, penentuan batas haid sendiri memiliki batasan waktu yang berbeda-beda menurut pandangan ulama mazhab. Batasan waktu tersebut menjadi penting untuk diketahui sebab itulah salah satu faktor pengacu bagi seorang Muslimah dalam menentukan dia haid atau tidak sekalipun ia mengeluarkan darah.

Sebab, darah yang keluar dari vagina tidak selalu disebut darah haid. Bisa jadi dia disebut darah istihadhah dan juga darah nifas. Maka, mengidentifikasi darah yang keluar dari vagina perempuan sangatlah penting, termasuk identifikasi dengan melihat ciri darah yang keluar.

Syekh Muhammad Al-Ghazi dalam kitab Fathul Qorib menjelaskan, darah yang tersisa setetes atau pun hanya meninggalkan bercaknya saja tetap dikategorikan haid selama masa atau waktu haid tak melebihi batasan normal. Artinya jika masih dikategorikan sebagai darah haid, maka tidak diwajibkan bagi Muslimah tersebut untuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Jika masih dikategorikan sebagai darah haid, maka tidak diwajibkan bagi Muslimah tersebut untuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Imam Nawawi juga berpendapat bahwa Muslimah yang masih mengeluarkan darah haid, betapapun ciri darahnya sedikit atau bercaknya saja, asalkan tidak melebihi atau kurang dari batasan masa haid sebagaimana yang dianut mazhab Syafii, hal itu tergolong haid. Maka karena statusnya haid, tidaklah wajib bagi Muslimah yang bersangkutan untuk melaksanakan puasa Ramadhan.

Disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah. Sejumlah wanita kala itu mendatangi Sayyidah Aisyah untuk menanyakan status haid mereka yang hanya tinggal bercaknya saja.

Sayyidah Aisyah berkata: “Janganlah terburu-buru (menganggap) suci (haid) hingga engkau melihat cairan putih (keputihan/bukan bercak kuning darah),”.

Dijelaskan bahwa para ulama menyimpulkan, jika cairan bercak darah itu keluar pada masa haid atau bersambung dengan haid, maka ia dihukumi sebagai haid. Namun jika keluar di luar masa itu, maka hal tersebut bukanlah haid. Namun demikian, perlu diperhatikan juga perihal kebiasaan haid dari masing-masing Muslimahnya.

Para Muslimah memiliki ciri-ciri berbeda dalam menentukan ciri suci haidnya.

Sebab, para Muslimah memiliki ciri-ciri berbeda dalam menentukan ciri suci haidnya. Ada Muslimah yang suci haidnya itu dengan mengeluarkan cairan putih (keputihan) yang menandakan bahwa darah haidnya benar-benar bersih, habis. Namun demikian, ada pula Muslimah yang memiliki kebiasaan haid yang berbeda.

Yaitu dengan adanya tanda kering (jufuf) yang tidak bercampur dengan cairan berwarna kuning ataupun bercak darah haid. Artinya jika benar-benar kering, ia berarti sudah mendapati waktu suci, sehingga wajib baginya untuk menjalankan puasa Ramadhan yang dimulai pada waktu imsak.

Tips menentukan masa suci

Untuk mengetahui masa suci haid yang tepat, ada baiknya seorang Muslimah menghitung hari hingga jam masa haidnya. Sebab masa haid tak hanya digolongkan dari jumlah harinya saja, namun juga dari jumlah jam serta perhitungan tersendat-sendatnya darah haid keluar yang patut diantisipasi.

Untuk itu, mencatat masa haid menjadi penting untuk dapat memperhitungkan masa suci yang tepat. Mencatat masa haid juga bisa menjadi ajang untuk mengidentifikasi jenis darah yang keluar dari vaginanya.

Selain mencatat, perlu juga ditelisik mengenai ciri-ciri darah menjelang haid yang menjadi kebiasaan seorang Muslimah dengan menggunakan kapas. Ciri-ciri tersebut biasanya berbeda antara satu dengan Muslimah lainnya, maka menyimak dan memperhatikan ciri darah menjelang akhir-akhir masa haid menjadi hal krusial juga untuk menentukan waktu bersuci.

AKURAT.CO, Menstruasi atau haid adalah proses keluarnya darah dari vagina yang terjadi diakibatkan siklus bulanan alami pada tubuh wanita. Siklus ini merupakan proses organ reproduksi wanita untuk bersiap jika terjadi kehamilan. Persiapan ini ditandai dengan penebalan dinding rahim (endometrium) yang berisi pembuluh darah.

Apakah orang yang berpuasa dan ketika akan datang waktu buka kemudian datang bulan atau haid, lantas puasanya dianggap batal? Berikut penjelasannya.

Mengutip dari islami.co, Al Imam Abu Al Ma'ali Abdul Malik Ibn Abdillah Ibn Yusuf Al Juwaini yang menyebut: "Umat (ulama) telah berijma' bahwa yang wajib dilakukan itu adalah puasa yang sah dilakukan. Kemudian mereka sepakat tidak sah puasa wanita haid. Karena bagaimana bisa sah, sedangkan telah ada ijma' wanita haid dianggap bermaksiat kepada Allah apabila mereka menahan diri dari yang membatalkan sembari tetap berniat puasa".

Al-Maqdisi juga pernah mengatakan: "Wanita haid dan nifas mesti berbuka dan mengqadha puasa tersebut berdasarkan ijma', dan jika mereka tetap berpuasa maka belum sah berdasarkan ijma" (Baha'uddin Al Maqdisi, Al Uddah Syarh Al Umdah).

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa orang yang sedang berpuasa dan kemudian datang haid maka puasanya batal dan dianjurkan padanya untuk segera berpuasa. Tidak hanya itu ia juga harus menqodonya di bulan yang lain. Wallahu A'lam.[]

Di salah satu hari bulan Ramadan, setelah berbuka, saya melihat sedikit darah haid. Akan tetapi, saya tidak tahu, apakah haid itu datang sebelum atau sesudah berbuka? Apakah saya harus mengqadha puasa hari itu atau bagaimana?

Alhamdulillah.

Di antara kaidah fiqih yang disebutkan para ulama adalah; Asal dan setiap kejadian, adalah memperkirakannya dengan waktu yang paling dekat.

Makna kaidah ini: Bahwa jika terjadi suatu kejadian dan ada kemungkinan waktu kejadiannya dekat dan jauh dan tidak ada factor yang menguatkan salah satu dari dua kemungkinan tersebut, maka waktu kejadian yang dianggap adalah waktu yang paling dekat di antara kedua waktu tersebut. Karena waktu itulah yang diyakini kejadiannya, sedangkan lainnya masih dianggap meragukan.

Di antara cabang kaidah ini; Seandainya seseorang melihat mani di bajunya, dia tahu bahwa itu adalah bekas mimpi, namun dia tidak ingat kapan mimpinya, maka hal itu dikembalikan pada tidur akhir kali yang dia lakukan dan kemudian dia ulangi shalat setelah tidur tersebut.

Kaidah ini telah dinyatakan oleh Az-Zarkasy dalam kitabnya "Al-Mantsur Fil Qawa'id", juga oleh As-Suyuthi dalam Kitab "Al-Asybah Wan-Naza'ir" dan kemudian keduanya menyebutkan cabangnya, silakan dirujuk kembali ke kedua sumber tersebut untuk mendapatkan faidah.

Berdasarkan hal tersebut, seandainya seorang wanita mendapatkan darah haid dan tidak tahu kapan waktu keluarnya, apakah sebelum atau sesudah matahari terbenam, maka dalam kondisi tersebut, hendaknya dia menganggap waktu keluarnya adalah waktu terdekat dari kedua waktu yang diperkirakan. Waktu terdekat dalam kasus anda adalah keluar darah haid setelah matahari terbenam.

Disebutkan dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah (26/194), "Termasuk dalam masalah ini adalah apa yang disebutkan para ahli fiqih bahwa jika seorang wanita melihat darah haid dan tidak tahu kapan keluarnya, maka hukumnya seperti orang yang melihat mani di bajunya sedangkan dia tidak tahu kapan kejadiannya. Maksudnya adalah bahwa dia harus mandi dan mengulangi shalatnya dari sejak tidurnya terakhir kali. Ini merupakan pendapat yang lebih sedikit problemnya dan lebih banyak kejelasannya."

Syekh Muhammad bin Mukhtar Syinqithy hafizahullah pernah ditanya tentang seorang wanita yang melihat darah haid setelah shalat Maghrib, dan dia tidak mengetahui apakah hal itu terjadi sebelum atau sesudah maghrib. Apa hukum terkait dengan shalat dan puasanya?

Beliau menjawab, "Jika dia melihat darah dan kuat dugaan bahwa darah itu keluar sebelum matahari terbenam, maka tidak ada problem tentang puasa hari itu, yaitu bahwa puasa hari itu batal dan dia wajib qadha. Adapun jika kuat dugaannya, bahwa itu adalah darah yang baru keluar dan kejadiannya setelah maghrib, maka tidak diragukan lagi bahwa puasanya sah dan dia wajib shalat Maghrib jika telah bersuci, dia harus mengqadha shalat maghrib tersebut.

Adapun jika anda ragu-ragu, maka kaidah yang disebutkan para ulama adalah "Dikaitkan kepada kejadian terdekat." Hukum asalnya adalah sahnya puasa hingga ada dalil yang menunjukkan tidak sahnya puasa. Maka hukum asalnya adalah bahwa dia dianggap telah berpuasa sehari penuh. Kewajibannya gugur hingga tampak adanya pengaruh itu. Sebelum itu, puasanya dianggap sah. Adapun darah tersebut tidak berpengaruh di hari itu. Jika terjadi sebaliknya, maka hukumnya sebaliknya. Karena jika anda mengatakan puasanya sah, maka dia wajib mengqadha shalat Maghrib. Jika dia mengatakan tidak sah puasanya, maka dia tidak harus mengqadha shalat Maghrib. Jika dia tidak terkena kewajiban puasa, maka anda harus mengqadha shalat Maghrib, karena masuknya waktu mengharuskan dia untuk melakukan kewajiban bagi wanita haid. Tidak ditunggu hingga diakhir waktu, sebagaiman dikatakan ahli fiqih dalam mazhab Hanafi dan sebagian mazhab Hambali."

(Syarh Zaadul Mustqni, Syekh Syinqithi)

Kesimpulannya adalah bahwa puasa anda sah selama anda tidak yakin bahwa darah tersebut keluar sebelum matahari terbenam.

Wallahua'lam.