Bagaimana cara yang diambil Islam untuk mengganti hukum waris pada zaman jahiliyah

Masyarakat Arab jahiliyah telah mengenal sistem kewarisan.

wordpress.com

Harta warisan (ilustrasi).

Rep: Syahruddin el-Fikri Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang-orang Arab jahiliyah (sebelum Islam), dikenal sebagai bangsa yang gemar mengembara dan senang berperang. Kehidupan mereka, sedikit banyak, tergantung pada hasil rampasan perang dari bangsa-bangsa atau suku-suku yang telah mereka taklukan. Di samping juga mereka memperolehnya dari hasil perniagaan.

Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi nabi, masyarakat Arab jahiliyah telah mengenal sistem kewarisan. Dalam hal pembagian harta warisan, mereka berpegang teguh kepada adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Pada masa ini, waris-mewarisi terjadi karena tiga sebab, yaitu karena adanya pertalian kerabat atau hubungan darah, pengakuan atau sumpah setia, dan pengangkatan anak. Sebab-sebab itu masih belum mencukupi sebelum ditambah dengan dua syarat tambahan, yakni sudah dewasa dan merupakan laki-laki.

•    Perempuan dan anak-anak

Pada masa Jahiliyah, anak laki-laki yang belum dewasa serta perempuan, tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Bahkan mereka beranggapan, bahwa janda dari orang yang meninggal itu dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya.

Masyarakat Arab jahiliyah menganggap, anak-anak tidak mungkin menjadi ahli waris karena belum mampu berperang, menunggang kuda, memanggul senjata ke medan perang serta memboyong harta rampasan perang. Disamping itu, status hukumnya juga masih berada di bawah perlindungan.

Sementara kaum perempuan tidak masuk dalam kelompok ahli waris karena fisiknya yang tidak memungkinkan untuk memanggul senjata dan bergulat di medan laga serta jiwanya yang sangat lemah bila melihat darah.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, satu-satunya orang pada masa jahiliyah yang mewariskan hartanya kepada anak perempuan dan anak laki-laki adalah Amir bin Jusyaim bin Ganam bin Habib. Dia adalah seorang pemuka bangsa Arab pada masa jahiliyah yang mewariskan hartanya sesuai dengan aturan Islam. Ia membagi harta warisan dengan ketentuan bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (1:2).

•    Sumpah setia

Pengakuan yang berupa ucapan atau sumpah-setia antara dua orang yang mengikatkan keduanya, pada masa Jahiliyah berhak mendapatkan harta warisan. Misalnya berupa ucapan: “Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, kamu mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu terhadapku aku pun dituntut darahku karena tindakanku terhadapmu.”

Sumpah setia tersebut baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum apabila kedua belah pihak telah mengadakan ijab qabul. Setelah kedua pihak saling menyetujui, maka kedua orang itu berhak saling mewarisi. Ketentuan seperti ini sampai masa awal-awal Islam masih berlaku, dan masih dibenarkan menurut Alquran surat an-Nisa' ayat 33.

•    Anak angkat

Pengangkatan anak merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Arab jahiliyah, walaupun anak tersebut mempunyai orang tua yang masih hidup. Pada masa jahiliyah, dengan mengangkat anak maka anak tersebut akan berstatus sebagai anak kandung bagi orang yang mengangkatnya dan dinasabkan kepada bapak angkatnya, bukan kepada bapak kandungnya.

Ini berarti, seorang anak laki-laki yang menjadi anak angkat, jika telah dewasa dapat menjadi ahli waris dari bapak angkatnya. Karenanya, dalam segala, hal anak yang diangkat ini mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung, misalnya nasab dan warisan.

Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan sumpah setia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-laki yang sudah dewasa. Sebab, alasan yang melatarbelakangi mereka untuk mengadakan sumpah setia adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka.

Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau perempuan. Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun bertujuan melangsungkan silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan yang mereka miliki.

  • ensiklopedia islam
  • warisan

Bagaimana cara yang diambil Islam untuk mengganti hukum waris pada zaman jahiliyah

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

End of preview. Want to read all 2 pages?

Upload your study docs or become a

Course Hero member to access this document

Ust. Hanif Luthfi Lc, MA sedang mengulas perihal Waris di Kanal Share TV || Sumber Gambar: Rumah Fiqih Indonesia.

Turunnya hukum waris yang dibawa Rasulullah sebenarnya tidak turun sekaligus, namun mengalami proses yang panjang, sejak dari masa jahiliyah yang sangat bertentangan dengan rasa keadilan dan mengalami bias gender, lalu diganti dengan hukum syariah di masa awal. Namun prosesnya tidak berhenti sampai disitu, seiring dengan berjalannya waktu, hukum waris ini terus menerus mengalami penyempurnaan di semua lini.

Mengutamakan Laki dan Menyinkirkan Hak Perempuan

Hukum waris pada masa jahiliyah sebelum turun wahyu punya beberapa ciri utama, di antaranya saling mewarisi karena adanya hubungan kekerabatan, ikatan perjanjian, dan karena pengangkatan anak. Namun, justru para ahli waris yang merupakan wanita dan anak-anak tidak mendapat warisan.

Hubungan kekerabatan sebenarnya masih temasuk hubungan keluarga dan masih ada ikatan darah. Namun kalau dibandingkan dengan hukum waris yang nantinya disempurnakan, ada banyak pihak yang mendapat harta waris padahal seharusnya tidak. Dan sebaliknya, ada banyak yang tidak mendapat harta waris, padahal seharusnya berhak. Ada orang yang bukan ahli waris malah punya kemungkinan untuk mendapat warisan, yaitu lewat janji prasetia. Bisa saja seseorang berikrar kepada  temannya untuk mewarisi hartanya, dan temannya pun juga melakukan hal yang sama. Sehingga siapa saja dari keduanya yang meninggal terlebih dahulu, dia berhak menjadi ahli waris dari temannya.

Sejak beribu tahun bahwa kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari harta yang ditinggalkan oleh pewaris. Alasannya, karena para wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bahkan para wanita itu justru menjadi harta yang diwariskan.

Diwariskan Berdasar Wasiat

Islam diturunkan untuk menghapus sistem hukum waris dari tradisi Arab jahiliyah. Namun sebelum hukum waris diberlakukan, yang ditetapkan terlebih dahulu adalah hukum wasiat, yaitu atas kehendak pemilik harta, dan bukan berdasarkan ketentuan dari Allah siapa yang mendapat warisan dan siapa yang tidak menerima warisan, semata-mata berdasarkan keinginan atau kehendak dari pemilik harta ketika masih hidup. Maka sebelum seseorang meninggalkan dunia ini, diwajibkan atasnya untuk menentukan terlebih dahulu, siapa saja orang-orang yang nantinya berhak atas harta yang dimilikinya, sepeninggal dirinya. Berwasiat atau menetapkan siapa orang-orang yang berhak atas harta bila nanti wafat, awalnya merupakan kewajiban yang ditetapkan.

Perempuan dan Anak Mendapatkan Bagian Tertentu

Sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat yang mewajibkan wasiat ini kemudian dihapuskan keberlakuannya, meski lafadznya tetap tertuang di dalam mushaf dan membacanya tetap berpahala. Lalu hukum untuk menentukan siapa yang berhak atas harta peninggalan, dimana semula ditentukan berdasarkan wasiat

Ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.


Page 2

Turunnya hukum waris yang dibawa Rasulullah sebenarnya tidak turun sekaligus, namun mengalami proses yang panjang, sejak dari masa jahiliyah yang sangat bertentangan dengan rasa keadilan dan mengalami bias gender, lalu diganti dengan hukum syariah di masa awal. Namun prosesnya tidak berhenti sampai disitu, seiring dengan berjalannya waktu, hukum waris ini terus menerus mengalami penyempurnaan di semua lini.

Mengutamakan Laki dan Menyinkirkan Hak Perempuan

Hukum waris pada masa jahiliyah sebelum turun wahyu punya beberapa ciri utama, di antaranya saling mewarisi karena adanya hubungan kekerabatan, ikatan perjanjian, dan karena pengangkatan anak. Namun, justru para ahli waris yang merupakan wanita dan anak-anak tidak mendapat warisan.

Hubungan kekerabatan sebenarnya masih temasuk hubungan keluarga dan masih ada ikatan darah. Namun kalau dibandingkan dengan hukum waris yang nantinya disempurnakan, ada banyak pihak yang mendapat harta waris padahal seharusnya tidak. Dan sebaliknya, ada banyak yang tidak mendapat harta waris, padahal seharusnya berhak. Ada orang yang bukan ahli waris malah punya kemungkinan untuk mendapat warisan, yaitu lewat janji prasetia. Bisa saja seseorang berikrar kepada  temannya untuk mewarisi hartanya, dan temannya pun juga melakukan hal yang sama. Sehingga siapa saja dari keduanya yang meninggal terlebih dahulu, dia berhak menjadi ahli waris dari temannya.

Sejak beribu tahun bahwa kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari harta yang ditinggalkan oleh pewaris. Alasannya, karena para wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bahkan para wanita itu justru menjadi harta yang diwariskan.

Diwariskan Berdasar Wasiat

Islam diturunkan untuk menghapus sistem hukum waris dari tradisi Arab jahiliyah. Namun sebelum hukum waris diberlakukan, yang ditetapkan terlebih dahulu adalah hukum wasiat, yaitu atas kehendak pemilik harta, dan bukan berdasarkan ketentuan dari Allah siapa yang mendapat warisan dan siapa yang tidak menerima warisan, semata-mata berdasarkan keinginan atau kehendak dari pemilik harta ketika masih hidup. Maka sebelum seseorang meninggalkan dunia ini, diwajibkan atasnya untuk menentukan terlebih dahulu, siapa saja orang-orang yang nantinya berhak atas harta yang dimilikinya, sepeninggal dirinya. Berwasiat atau menetapkan siapa orang-orang yang berhak atas harta bila nanti wafat, awalnya merupakan kewajiban yang ditetapkan.

Perempuan dan Anak Mendapatkan Bagian Tertentu

Sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat yang mewajibkan wasiat ini kemudian dihapuskan keberlakuannya, meski lafadznya tetap tertuang di dalam mushaf dan membacanya tetap berpahala. Lalu hukum untuk menentukan siapa yang berhak atas harta peninggalan, dimana semula ditentukan berdasarkan wasiat

Ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.


Bagaimana cara yang diambil Islam untuk mengganti hukum waris pada zaman jahiliyah

Lihat Sosbud Selengkapnya


Page 3

Turunnya hukum waris yang dibawa Rasulullah sebenarnya tidak turun sekaligus, namun mengalami proses yang panjang, sejak dari masa jahiliyah yang sangat bertentangan dengan rasa keadilan dan mengalami bias gender, lalu diganti dengan hukum syariah di masa awal. Namun prosesnya tidak berhenti sampai disitu, seiring dengan berjalannya waktu, hukum waris ini terus menerus mengalami penyempurnaan di semua lini.

Mengutamakan Laki dan Menyinkirkan Hak Perempuan

Hukum waris pada masa jahiliyah sebelum turun wahyu punya beberapa ciri utama, di antaranya saling mewarisi karena adanya hubungan kekerabatan, ikatan perjanjian, dan karena pengangkatan anak. Namun, justru para ahli waris yang merupakan wanita dan anak-anak tidak mendapat warisan.

Hubungan kekerabatan sebenarnya masih temasuk hubungan keluarga dan masih ada ikatan darah. Namun kalau dibandingkan dengan hukum waris yang nantinya disempurnakan, ada banyak pihak yang mendapat harta waris padahal seharusnya tidak. Dan sebaliknya, ada banyak yang tidak mendapat harta waris, padahal seharusnya berhak. Ada orang yang bukan ahli waris malah punya kemungkinan untuk mendapat warisan, yaitu lewat janji prasetia. Bisa saja seseorang berikrar kepada  temannya untuk mewarisi hartanya, dan temannya pun juga melakukan hal yang sama. Sehingga siapa saja dari keduanya yang meninggal terlebih dahulu, dia berhak menjadi ahli waris dari temannya.

Sejak beribu tahun bahwa kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari harta yang ditinggalkan oleh pewaris. Alasannya, karena para wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bahkan para wanita itu justru menjadi harta yang diwariskan.

Diwariskan Berdasar Wasiat

Islam diturunkan untuk menghapus sistem hukum waris dari tradisi Arab jahiliyah. Namun sebelum hukum waris diberlakukan, yang ditetapkan terlebih dahulu adalah hukum wasiat, yaitu atas kehendak pemilik harta, dan bukan berdasarkan ketentuan dari Allah siapa yang mendapat warisan dan siapa yang tidak menerima warisan, semata-mata berdasarkan keinginan atau kehendak dari pemilik harta ketika masih hidup. Maka sebelum seseorang meninggalkan dunia ini, diwajibkan atasnya untuk menentukan terlebih dahulu, siapa saja orang-orang yang nantinya berhak atas harta yang dimilikinya, sepeninggal dirinya. Berwasiat atau menetapkan siapa orang-orang yang berhak atas harta bila nanti wafat, awalnya merupakan kewajiban yang ditetapkan.

Perempuan dan Anak Mendapatkan Bagian Tertentu

Sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat yang mewajibkan wasiat ini kemudian dihapuskan keberlakuannya, meski lafadznya tetap tertuang di dalam mushaf dan membacanya tetap berpahala. Lalu hukum untuk menentukan siapa yang berhak atas harta peninggalan, dimana semula ditentukan berdasarkan wasiat

Ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.


Bagaimana cara yang diambil Islam untuk mengganti hukum waris pada zaman jahiliyah

Lihat Sosbud Selengkapnya


Page 4

Turunnya hukum waris yang dibawa Rasulullah sebenarnya tidak turun sekaligus, namun mengalami proses yang panjang, sejak dari masa jahiliyah yang sangat bertentangan dengan rasa keadilan dan mengalami bias gender, lalu diganti dengan hukum syariah di masa awal. Namun prosesnya tidak berhenti sampai disitu, seiring dengan berjalannya waktu, hukum waris ini terus menerus mengalami penyempurnaan di semua lini.

Mengutamakan Laki dan Menyinkirkan Hak Perempuan

Hukum waris pada masa jahiliyah sebelum turun wahyu punya beberapa ciri utama, di antaranya saling mewarisi karena adanya hubungan kekerabatan, ikatan perjanjian, dan karena pengangkatan anak. Namun, justru para ahli waris yang merupakan wanita dan anak-anak tidak mendapat warisan.

Hubungan kekerabatan sebenarnya masih temasuk hubungan keluarga dan masih ada ikatan darah. Namun kalau dibandingkan dengan hukum waris yang nantinya disempurnakan, ada banyak pihak yang mendapat harta waris padahal seharusnya tidak. Dan sebaliknya, ada banyak yang tidak mendapat harta waris, padahal seharusnya berhak. Ada orang yang bukan ahli waris malah punya kemungkinan untuk mendapat warisan, yaitu lewat janji prasetia. Bisa saja seseorang berikrar kepada  temannya untuk mewarisi hartanya, dan temannya pun juga melakukan hal yang sama. Sehingga siapa saja dari keduanya yang meninggal terlebih dahulu, dia berhak menjadi ahli waris dari temannya.

Sejak beribu tahun bahwa kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari harta yang ditinggalkan oleh pewaris. Alasannya, karena para wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bahkan para wanita itu justru menjadi harta yang diwariskan.

Diwariskan Berdasar Wasiat

Islam diturunkan untuk menghapus sistem hukum waris dari tradisi Arab jahiliyah. Namun sebelum hukum waris diberlakukan, yang ditetapkan terlebih dahulu adalah hukum wasiat, yaitu atas kehendak pemilik harta, dan bukan berdasarkan ketentuan dari Allah siapa yang mendapat warisan dan siapa yang tidak menerima warisan, semata-mata berdasarkan keinginan atau kehendak dari pemilik harta ketika masih hidup. Maka sebelum seseorang meninggalkan dunia ini, diwajibkan atasnya untuk menentukan terlebih dahulu, siapa saja orang-orang yang nantinya berhak atas harta yang dimilikinya, sepeninggal dirinya. Berwasiat atau menetapkan siapa orang-orang yang berhak atas harta bila nanti wafat, awalnya merupakan kewajiban yang ditetapkan.

Perempuan dan Anak Mendapatkan Bagian Tertentu

Sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat yang mewajibkan wasiat ini kemudian dihapuskan keberlakuannya, meski lafadznya tetap tertuang di dalam mushaf dan membacanya tetap berpahala. Lalu hukum untuk menentukan siapa yang berhak atas harta peninggalan, dimana semula ditentukan berdasarkan wasiat

Ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.


Bagaimana cara yang diambil Islam untuk mengganti hukum waris pada zaman jahiliyah

Lihat Sosbud Selengkapnya