Bagaimana cara mengantisipasi dampak negatif penerapan otonomi daerah

Merdeka.com - Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik mengatakan saat ini Indonesia memiliki daerah otonom sebanyak 542 daerah otonom yang terdiri dari 34 provinsi dan 415 kabupaten dan 93 kota. Hal tersebut kata dia merupakan daerah yang cukup besar dan memiliki dinamika yang sangat tinggi.

"Jumlah daerah yang cukup besar dan tentunya memiliki dinamika yang sangat-sangat tinggi dan berbeda antara satu dan lainnya," katanya saat memberikan sambutan saat perayaan puncak KPPOD dan Otonomi Daerah secara daring, Jumat (6/8).

Dia menjelaskan sejak 1999 hingga 2021 pelaksanaan otonomi daerah dapat dipotret beberapa hal. Mulai dari positif dan dampak kurang baik atau kurang sempurna selama ini. Hal yang positif, kata dia, dapat dilihat dari apa bagaimana daerah pemerintah sudah memiliki ruang yang luas, dengan potensi yang ada.

"Kita juga melihat betapa demokrasi tumbuh di tingkat lokal, pilkada sangat terbuka, tidak hanya Pilkada tetapi juga pemilihan secara langsung juga memberikan ruang kepada pada setiap masyarakat memilih pemimpinnya masing-masing," ungkapnya.

Tidak hanya itu, pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru juga terlihat. Sebab, pemekaran daerah menghadirkan pemekaran yang cukup tinggi di daerah.

"Kita juga melihat adanya memperpendek rentang kendali pelayanan publik. Sehingga pelayanan-pelayanan publik di masyarakat jauh lebih cepat dan tepat," bebernya.

Walaupun begitu ada juga hal-hal yang perlu disempurnakan dan masalah dalam otonomi daerah. Salah satunya eksploitasi sumber daya alam, sehingga berdampak pada lingkungan.

"Terjadinya eksploitasi sumber daya alam yang ada, sehingga berdampak pada lingkungan terjadinya konflik horizontal dalam proses demokrasi kita. Masih ada moral hazat dalam leadership kepemimpinan daerah yang menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme," ungkapnya.

Ledakan daerah pemekaran yang baru tersebut kata dia ternyata oleh banyak pihak dianggap belum menjawab. Salah satunya persoalan yang terkait masalah masyarakat, ego daerah yang semakin menguat.

"Namun di sisi lain fakta-fakta empirik menunjukan otonomi daerah kita di samping hal-hal positif masih ada hal yang perlu kita sempurnakan. Karena berbagai persoalan yang hadir belum bisa kita jawab dengan otonomi daerah yang seluas-seluasnya seperti sekarang ini," katanya. (mdk/rhm)

Baca juga:
Kemendagri Ungkap Lima Daerah dengan Indeks Inovasi Terendah
Perekonomian Indonesia Dinilai Meningkat Berkat Otonomi Daerah
Revisi Otonomi Khusus Papua Diminta Tak Hanya Sebagian
Ridwan Kamil Segera Kirim Berkas Pemekaran Kabupaten Bogor & Indramayu ke Kemendagri
Satu Per Satu Wilayah Lepas dari Kabupaten Bogor
Ridwan Kamil Siapkan Persyaratan Terkait Pemekaran Bogor Timur dan Indramayu

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan....)

Oleh: Syarif Hidayat, Peneliti Pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Koran Sindo, Rabu,5 Januari 2011

Bila titik awal reformasi desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dihitung sejak penetapan resmi implementasi UU No 22/1999 pada Januari 2001, dalam dimensi waktu sampai akhir 2010 debut rekonstruksi konsep maupun kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Tanah Air telah berlangsung lebih kurang 10 tahun.

Dalam kurun waktu satu dasawarsa ini, tentu cukup banyak keberhasilan yang telah dicapai. Namun, juga tidak sedikit pekerjaan rumah yang belum tertangani, khususnya terkait upaya mengatasi bias-bias implementasi kebijakan otonomi daerah. Hanya menyebut beberapa contoh, di antara keberhasilan yang telah dicapai tersebut adalah semakin luasnya kewenangan yang dimiliki daerah, diperankannya DPRD sebagai lembaga legislatif, semakin terbukanya kesempatan bagai masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam pengawasan pemerintahan daerah,dan terlaksanakannya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada). .

Meski demikian, perlu digaris bawahi bahwa serentetan kisah sukses ini cenderung lebih merefleksikan capaian kuantitas. Dikatakan demikian karena secara substansial, gerakan reformasi desentralisasi dan otonomi daerah yang berlangsung dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir ini belum cukup mampu mencapai tujuan dasar yang dikehendaki antara lain mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal, meningkatkan kesejahteraan rakyat,dan meningkatkan pelayanan publik. .

Tiga Akar Persoalan .

Sedikitnya ada tiga faktor utama yang telah menyebabkan mengapa capaian reformasi desentralisasi dan otonomi daerah tersebut cenderung bernuansa kuantitas. Koinsidensi dari tiga faktor inilah selanjutnya telah melahirkan bias-bias kebijakan yang pada gilirannya telah dijadikan sebagai kambing hitam untuk membangun citra buruk atas kinerja desentralisasi dan otonomi daerah dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.Secara singkat,tiga faktor yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut: .

Pertama, ada ambivalensi pada tataran konseptual orientasi ideologis vs orientasi teknis. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendulum relasi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia sejauh ini lebih cenderung mengarah ke kutub sentralisasi daripada desentralisasi. Kendati UU No 22/1999 pada tingkat yang minimal telah mencoba untuk menggeser pendulum sen-tralisasi tersebut ke arah kutub desentralisasi, UU No 32/2004 cenderung untuk mengembalikannya ke posisi semula (sentralisasi). .

Di antara penyebab terjadi gerak balik pendulum relasi kewenangan tersebut adalah karena konsep dasar dari desentralisasi itu sendiri belum terbebas dari adanya ambivalensi antara orientasi ideologis vs orientasi teknis . Secara ideologis, desentralisasi dan otonomi daerah diaplikasikan dengan tujuan antara lain untuk mewujudkan tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. .

Meski demikian, orientasi ideologis ini harus banyak berbenturan dengan orientasi teknis, terutama terkait tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang stabil dan efisien. Akibatnya, kendati pada tingkat pernyataan sering dikemukakan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk mempercepat proses demokratisasi di tingkat lokal,pada tingkat kenyataan wewenang yang diserahkan kepada daerah sangat dibatasi dan kontrol pemerintah pusat atas daerah juga terlihat sangat ketat. .

Kedua, ada bias relasi antarelite sebagai implikasi dari pergeseran relasi negara dan masyarakat.Realitas implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah juga harus didudukkan dan dipahami pada konteks pergeseran relasi negara-masyarakat (statesociety relation) pada periode pasca- Orde Baru.Dengan demikian,akan diketahui bahwa bias implementasi kebijakan yang terjadi sejauh ini bukan sepenuhnya merupakan dampak langsung dari reformasi desentralisasi dan otonomi daerah, melainkan juga sebagai implikasi dari pergeseran pola interaksi antara negara dan masyarakat (statesociety relation) pada periode pasca- Orde Baru..

Satu di antara karakteristik penting dari perubahan pola interaksi state-society tersebut adalah masyarakat (society) tidak lagi sepenuhnya terpinggirkan, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan kebijakan. Namun,peran masyarakat dalam hal ini belum dalam arti civil society,tetapi lebih banyak diwakili oleh elite masyarakat (societal actors). .

Dalam kondisi seperti ini, sulit dihindari jika kemudian proses pengambilan keputusan,baik di tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, telah lebih banyak diwarnai oleh koalisi dan tawarmenawar kepentingan antara societal actors pada satu sisi dan state actors (para elit penyelenggara negara) pada sisi lain.Pada konteks inilah, desentralisasi dan otonomi daerah,serta berbagai produk turunannya, seperti pemekaran daerah dan pemilihan kepala daerah (pilkada) harus didudukkan dan dimaknai. .

Ketiga, agenda reformasi yang lebih menekankan pada upaya membangun citra negara, namun minus perbaikan kapasitas. Realitas implementasi desentralisasi dan otonomi daerah juga tidak dapat dilepaskan dari adanya bias agenda reformasi yang berlangsung di Tanah Air. Dalam kurun waktu sepuluh tahun pertama (1999-2009), fokus perhatian dari agenda reformasi lebih banyak dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun institusi negara (state institutional reform). .

Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas negara (state capacity) relatif belum mendapat perhatian yang seimbang. Akibatnya, dapat dimengerti bila kemudian kehadiran negara dalam praktik kehidupan sehari-hari (state in practice) menjadi samar-samar atau bahkan dalam beberapa kasus justru absen . Reformasi desentralisasi dan otonomi daerah yang berlangsung di Tanah Air dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir harus dipahami dan dimaknai sebagai bagian dari state institutional reform minus state capacity. .

Karena itu, juga dapat dimengerti bila kemudian kehadiran desentralisasi dan otonomi daerah terlihat sangat nyata dalam bentuk institusi, tetapi tidak kentara dalam fungsi. Desentralisasi dan otonomi daerah juga sangat nyata hadir dengan kemasan demokrasi,namun roh yang terkandung di dalamnya masih sangat kental bernuansa sentralisasi.

Solusi Persoalan Otda (Bersambung .......)

Sivitas Terkait : Sarip Hidayat

Hubungan Pusat dengan Daerah (Gambar : Dokumen Pribadi)

Runtuhnya kekuasaan Orde Baru menjadi Reformasi menimbulkan perubahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dulunya Indonesia menggunakan sistem pemerintahan yang sentralistik, tetapi sekarang berubah menjadi sistem desentralisasi. Pergeseran sistem sentralistik menjadi desentralisasi untuk mengurangi dominasi dari peran pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah diberikan otonomi seluasnya-luasnya untuk mengurus urusan pemerintahnya sendiri, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, terdapat hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, hal ini karena adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pelaksanaan otonomi daerah juga membawa dampak bagi kehidupan masyarakat di berbagai bidang.

Otonomi daerah dijelaskan dalam Pasal 1 UU No. 23 tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah, “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Berdasarkan paparan di atas, otonomi daerah adalah wewenang (turunan dari eksekutif dan legislatif) yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom (pemerintah daerah) untuk mengelola urusan pemerintahannya sendiri (urusan rumah tangga daerah) yang berdasarkan peraturan perundang-undangan baik melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.

Otonomi daerah mempengaruhi kondisi masyarakat yang berada dalam daerah tersebut. Selain itu, otonomi daerah juga berpengaruh terhadap kehidupan atau bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, dan pertahanan dan keamanan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, sebuah daerah harus saling bekerja sama antar instansi dalam pemerintahan daerah untuk menciptakan kepemimpinan yang demokratif, yaitu kepemimpinan atau pemerintahan yang memihak kepada rakyat.

Desentralisasi merupakan alternatif sistem pemerintahan yang menjelaskan distribusi kekuasaan secara sistematis dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau unit-unit organisasi yang berada di bawah otoritasnya. Desentralisasi sebagai pelimpahan perencanaan, pembuatan keputusan, atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi wilayah, satuan administratif daerah, organisasi semi otonom dan otonom, pemerintah daerah, atau organisasi non pemerintah. Pada sistem desentralisasi, tingkat tanggung jawab dan kewenangan dalam pengambilan keputusan yang dilimpahkan dari pemerintah pusat dapat bervariasi dan berbeda-beda.

Pemerintah dapat melakukan desentralisasi dengan mengalihkan tanggung jawab untuk memproduksi barang atau layanan publik ke organisasi non-pemerintah, suatu proses yang sering disebut privatisasi. Hak yang diberikan dapat berupa izin, peraturan terkait dalam melakukan fungsi-fungsi yang sebelumnya diselenggarakan oleh pemerintah.

Berbagai negara telah menerapkan desentralisasi secara luas diharapkan dapat mengurangi beban dan pekerjaan pemerintah pusat. Bahkan dengan desentralisasi dapat meningkatkan kepekaan pemerintah daerah terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks.

Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah

Berdasarkan Pasal 9 UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dapat diketahui bahwa urusan pemerintahan diklasifikasikan dalam tiga kategori, yakni :

1. Absolut, urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

2. Konkuren, urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan ini menjadi landasan bagi pelaksanaan Otonomi Daerah.

3. Umum, kewenangan seorang presiden sebagai kepala pemerintahan terkait pemeliharaan.

Sesuai Pasal 13 UU No.23 Tahun 2014, Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi maupun kabupaten/kota didasarkan prinsip akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas, dan kepentingan strategis nasional.

Berdasarkan prinsip tersebut, kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yaitu urusan pemerintahan yang

a) Lokasi atau penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;

b) Manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;

c) Penggunaan sumber dayanya lebih efisien dilakukan Pemerintah Pusat; dan/atau

d) Perannya strategis bagi kepentingan nasional.

Begitu pula urusan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota kurang lebih memiliki kriteria yang sama dengan kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah pusat, hanya saja ruang lingkupnya yang berbeda. Jika dalam daerah provinsi lingkupnya lintas daerah kabupaten/kota, maka kewenangan daerah kabupaten/kota ruang lingkupnya hanya dalam daerah kabupaten/kota tersebut saja.

1. Mendorong berkembangnya partisipasi rakyat dalam berbagai aspek pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.

2. Penyampaian hasil temuan dan analisisnya kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan kepada publik pada umumnya guna mendorong terjadinya perubahan yang berarti.

3. Aktivitas yang mengarah pada efisiensi dan upaya peningkatan kualitas pelayanan, inovasi dan kreativitas dalam penggalian potensi daerah mulai digiatkan.

4. Mengatasi kecenderungan terjadinya penumpukan kekuasaan di satu pusat kekuasaan yakni pemerintah pusat yang dapat menimbulkan tirani, dengan cara melimpahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur sendiri daerahnya.

5. Terjadinya “penetrasi” yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.

6. Meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat daerah. Dengan demikian pejabat pusat di daerah dapat menggunakan waktu dan energi mereka untuk melakukan supervisi dan pengawasan terhadap implementasi kebijaksanaan.

7. Meningkatkan kapasitas pemerintahan serta lembaga private di daerah, yang kemudian dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mengambil alih fungsi yang selama ini dijalankan oleh departemen yang ada di pusat. Dengan desentralisasi maka peluang bagi masyarakat di daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan manajerial.

8. Dapat menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasi secara efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah NGOs di berbagai daerah.

9. Dapat meningkatkan penyedia barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat karena sudah diserahkan kepada daerah.

Selain adanya dampak-dampak positif diberlakukannya otonomi daerah ternyata ada pula dampak negatif dengan adanya otonomi daerah. Berikut ini beberapa dampak negatif pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia baik bagi masyarakat maupun pemerintahan :

1. Daerah yang miskin akan lambat untuk berkembang. Maka dengan begitu akan sulit untuk mewujudkan pemerataan ekonomi serta akan terjadi kesenjangan antara daerah satu dengan yang lainnya. Hal ini tentu bisa memicu adanya rasa iri atas daerah lain yang dianggap lebih diperhatikan oleh pemerintah.

2. Tidak adanya koordinasi daerah tingkat satu. Masing-masing daerah berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada kerja sama, koordinasi, atau bahkan interaksi.

3. Kemungkinan terjadinya kesenjangan sosial karena kewenangan yang di berikan pemerintah pusat terkadang bukan pada tempatnya. Adanya kesenjangan sosial ini akan berakibat munculnya konflik pada masyarakat, baik antar masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah. Selain itu munculnya kesenjangan antara daerah satu dengan yang lain juga bisa dikarenakan adanya perbedaan sistem politik, sumber daya alam, maupun faktor lainnya.

4. Karena merasa melakukan kegiatannya sendiri sehingga para pimpinan sering lupa dengan tanggung jawabnya. Apabila hal ini terjadi, maka akan menimbulkan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah karena dianggap lalai dan tidak bertanggung jawab.

5. Pemerintah pusat kurang mengawasi kebijakan daerah karena kewenangan penuh yang diberi pada daerah. Kurangnya pengawasan ini dapat berakibat munculnya pejabat daerah yang sewenang-wenang.

6. Otonomi daerah juga bisa memunculkan sifat kedaerahan atau etnosentrisme yang fanatis, sehingga dapat menyebabkan konflik antar daerah. Hal ini tentu bisa memicu perpecahan antar daerah atau wilayah.

Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan dapat disimpulkan bahwa hubungan pemerintah pusat dengan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu untuk dijaga keharmonisan dan kesatuannya. Hal ini perlu dilakukan agar penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun daerah dapat berjalan baik sesuai dengan yang diharapkan. Pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah tidak boleh sewenang-wenang, harus memperhatikan kepentingan dan aspirasi dari masyarakatnya, serta tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan otonomi daerah ini diharapkan dapat menghasilkan penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Akbal, Muhammad. (2016). Harmonisasi Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Jurnal Supremasi. XI(2). 99-107.

Bihuku, Salmon. (2018). Urusan Pemerintahan Konkuren Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lex Administratum. VI(1). 38-45.

Sufianto, Dadang. (2020). Pasang Surut Otonomi Daerah di Indonesia. Academia Praja. 271-288.

Wijayanti, S. N. (2017). Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Jurnal Media Hukum. 23(2). 186-199.


Page 2