Penulis : Ade Koesnandar (PTP Ahli Madya Pusdatin Kemendikbud) Kolaborasi Merupakan Suatu Keniscayaan Pembelajaran secara kolaboratif memungkinkan banyak memberikan nilai tambah, baik bagi siswa maupun bagi guru. Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain; 1) Siswa mendapatkan pengalaman bekerjasama bukan hanya dengan sesama teman sekelasnya, namun dengan siswa lain yang sebelumnya belum mereka kenal, 2) Dalam pembelajaran kolaborasi, interaksi antar siswa yang baru mereka kenal menjadi terarah karena mengikuti program yang sudah direncanakan oleh guru, 3) Kegiatan yang bersifat kolaboratif biasanya akan mendorong motivasi dan semangat kompetitif dalam arti positif bagi siswa, 4) Siswa juga mendapatkan sumber belajar yang banyak dari guru selain guru sekolahnya sendiri yang selama ini mereka kenal. Di samping keuntungan-keuntungan tersebut, tentu masih banyak nilai lebih lainnya, baik yang langsung maupun yang tidak langsung. Inisiatif pembelajaran kolaboratif berbasis internet sudah diujicobakan pada tahun 2005-2006 pada portal pembelajaran edukasi.net (sekarang Rumah Belajar). Waktu itu internet di sekolah masih sangat terbatas, sehingga hanya beberapa orang guru dari lima sekolah yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia dapat mengikuti aktivitas pembelajaran secara kolaboratif. Salah satu tema yang diangkat pada waktu itu adalah tentang kebakaran hutan. Tema ini menarik karena di wilayah Sumatera dan Kalimantan waktu itu sedang banyak terjadi kebakaran hutan. Dengan kolaborasi ini, siswa yang berada di Jakarta (Jawa) menjadi memahami tentang peristiwa kebakaran hutan, sedangkan siswa Kalimantan dan Sumatera juga dapat bertukar informasi peritiwa tersebut yang ternyata peristiwa kebakaran hutan tersebut di setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda. Peluang terlaksananya pembelajaran kolaboratif saat ini tentu sangat terbuka luas. Infrastruktur dan jaringan TIK di sekolah umumnya sudah lebih siap dibanding sepuluh tahun yang lalu. Demikian juga kesiapan guru-guru dalam pengembangan model-model pembelajaran inovatif, saat ini guru yang memiliki kemampuan memanfaatkan TIK dalam pembelajaran sudah cukup banyak. Survei yang dilakukan oleh Pustekkom tahun 2018, sekitar 40% guru (non TIK) telah mampu memanfaatkan TIK dalam pembelajaran (Republika, Gogot Suharwoto, ISODEL 2018). Tahun ini hampir bisa dipastikan sudah di atas 50% guru memiliki kemampuan memanfaatkan TIK untuk pembelajaran. Apalagi kalau melihat trend kenaikan peserta lomba Pembatik yang naik lebih dari 1000 persen dari 6.809 peserta di tahun 2018 menjadi 70.312 peserta di tahun 2020 (Hasan Chabibie, 2020). Data tersebut menunjukkan sisi optimis pemanfaatan TIK oleh guru yang semakin meningkat. Ranah Kolaboratif Untuk memudahkan pemahaman, kolaborasi dapat diklasifikasi sekurang-kurangnya pada tiga ranah, yakni; kolaborasi sebagai kompetensi, kolaborasi sebagai aksi atau implementasi, dan kolaborasi sebagai model pembelajaran. Sebagai kompetensi, kolaborasi termasuk salah satu dari empat keterampilan abad 21 yang disarankan oleh UNESCO. Kompetensi ini sudah diadopsi pada Kurikulum 2013. Bukan hanya untuk siswa, kompetensi kolaborasi juga merupakan salah satu kompetensi TIK bagi guru, bahkan pada level kompetensi TIK, berbagi dan berkolaborasi menempati level tertinggi. Pada ranah aksi atau implementasi, kolaborasi merupakan suatu bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Kolaborasi dalam tataran ini, bisa terjadi antar guru, antar sekolah, ataupun antar lembaga. Sedangkan kolaborasi sebagai model pembelajaran merupakan suatu upaya dari guru ataupun para pendidik untuk meniongkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran, sebagai suatu strategi pemecahan masalah pembelajaran dan mencapai tujuan pembelajaran secara optimal. Model Pembelajaran Kolaboratif Kolaborasi sebagai suatu kompetensi dengan kolaborasi sebagai suatu model pembelajaran tentunya mempunyai perbedaan. Namun demikian, model-model pembelajaran kolaboratif diharapkan dapat menumbuhkan sikap dan kebiasaan kolaborasi sejak dini. Kebutuhan kolaborasi, tentu saja bukan hanya buat siswa, tapi juga untuk guru dan tenaga kependidikan lainnya. Bahkan hampir seluruh profesi saat ini tidak bisa bekerja sendirian, sebagaimana ditulis Purwanto (2015) bahwa pada era informasi, berkembang budaya kerja baru yang berbeda dengan era industri. Jika pada era industri pekerja dituntut memiliki spesialisasi dan sertifikasi, maka di era informasi, pekerja dituntut mampu berkolaborasi dan bekerjasama dalam suatu tim untuk menghasilkan produk atau pelayanan. Demikian juga bagi seorang guru dalam mengembangkan model-model pembelajaran yang berbasis TIK memerlukan kerjasama atau kolaborasi antara pendidik dengan berbagai jenis tenaga kependidikan dan tenaga ahli lainnya. Kesimpulan
Jadi, sekali lagi, kolaborasi merupakan suatu keniscayaan, baik sebelum, selama, ataupun setelah pandemik covid-19 berlalu. Selamat berkolaborasi. (Kusnandar, PTP Madya Pusdatin) Referensi Purwanto. Pengrmbang TeknologiPembelajaran, Kebutuhan, Peluang, dan Tantangandi Indonesia, Jurnal Teknodik Vol. 19 No. 2, Agustus 2015 Pusdatin, Pedoman Pemilihan Duta Rumah Belajar 2020, simpatik.kemdikbud.go.id Suharwoto, Gogot, ISODEL 2018 (Repoblika.co.id, 4 Desember 2018) Suryani, Nunuk, Majalah Ilmiah Pembelajaran, UYNY, 2010 https://scholar.google.co.id/citations?user=-cJ24LMAAAAJ&hl=id#d=gs_md_cita-d&u=%2Fcitations%3Fview_op%3Dview_citation%26hl%3Did%26user%3D-cJ24LMAAAAJ%26citation_for_view%3D-cJ24LMAAAAJ%3AdfsIfKJdRG4C%26tzom%3D-420 UNESCO, Education in a post-COVID world: Nine ideas for public action UNESCO, Collaborative Learning, )* Artikel juga sudah diterbitkan pada http://pena.belajar.kemdikbud.go.id/2021/02/pembelajaran-kolaboratif-di-era-dan-pasca-pandemi-mengapa-tidak/ |