Indonesiabaik.id - Pemerintah berusaha terus merawat keragaman bahasa daerah di Indonesia. Itu karena dalam penelitian untuk pemetaan bahasa daerah di Indonesia yang dilaksanakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dilakukan sejak 1991 hingga 2017, setidaknya disebutkan bahwa ada sejumlah bahasa daerah di Indonesia yang telah punah. Ya, menurut hasil pemetaan pusat pengembangan dan pelindungan (1991-2017) dalam penelitian yang dilaksanakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI. Setidaknya tercatat sebanyak 13 bahasa daerah di Indonesia telah mengalami kepunahan atau tidak digunakan lagi. Hal ini ditemukan pada 11 bahasa daerah di Maluku serta dua (2) bahasa daerah di Papua. Untuk 11 bahasa daerah di Maluku yang telah punah atau sudah tidak digunakan lagi diantaranya di daerah Kajeli/Kayeli, Palumata, Serua, dan Nila di kawasan Maluku Tengah, lalu Bahasa Piru di Kabupaten Seram Barat, Bahasa Moksela di Kepulauan Sula, Bahasa Ternateno di Kota Ternate, Bahasa Hukumina di Pulau Buru, dan Bahasa Hoti di Seram Timur. Sedangkan dua (2) bahasa daerah yang telah punah di Papua ialah Bahasa Tandia, yakni bahasa asli penduduk Tandia, Distrik Raisei di Kabupaten Teluk Mondama, Papua Barat. Satu lagi adalah Bahasa Mawes yang dituturkan oleh masyarakat Kampung Maweswares di Distrik Bonggo, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Disebutkan bahwa punahnya sebuah bahasa daerah utamanya disebabkan oleh faktor sikap pemilik bahasa sendiri dan juga respon penerima bahasa daerah. Itu karena pemilik bahasa atau nenek moyang tidak meneruskan bahasa daerah mereka kepada masyarakat atau anak-anaknya, sehingga bahasa daerah tersebut tergerus oleh masuknya bahasa lain. Hal itu ditegaskan pula oleh UNESCO (2003) yang menggolongkan tingkat keadaan bahasa berdasarkan penilaian daya hidup bahasa. Di mana salah satu tingkatan itu adalah punah yang didefinisikan sebagai bahasa yang sudah tidak ada penuturnya. Namun rakyat Indonesia harus diingatkan lagi untuk menjalankan Amanat Undang-undang Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, di mana Pasal 42 Ayat 1 menegaskan peran pemerintah daerah dalam pelestarian bahasa daerah.
Dari 718 bahasa daerah, sayangnya banyak yang terancam punah. Selasa , 22 Feb 2022, 22:11 WIB Antara Rep: Ronggo Astungkoro Red: Dwi Murdaningsih REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, mengungkapkan salah satu penyebab utama punahnya bahasa daerah. Menurut dia, salah satu penyebab utamanya itu adalah karena para penutur jatinya tidak lagi mewariskan bahasa daerah ke generasi berikutnya. Baca Juga "Indonesia memiliki sekitar 718 bahasa daerah, namun sayangnya banyak yang terancam punah. Penyebab utamanya adalah para penutur jatinya tidak lagi menggunakan dan mewariskan bahasanya pada generasi berikutnya,” ungkap Nadiem saat peluncuran "Merdeka Belajar Episode Ke-17: Revitalisasi Bahasa Daerah" yang dilakukan secara daring, Selasa (22/2/2022). Untuk itu, Nadiem mengatakan, salah satu strategi revitalisasi bahasa daerah adalah dengan mendorong satuan pendidikan memuat pelajaran bahasa daerah sebagai muatan lokal di jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah. Hal itu juga perlu didorong oleh kebijakan pemerintah daerah masing-masing. Nadiem menuturkan, untuk wilayah-wilayah yang tidak punya bahasa daerah yang dominan, maka muatan lokal dapat disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing. Jadi, nantinya pilihan benar-benar ada pada masing-masing sekolah. “Namun, wajib tidaknya bahasa daerah menjadi muatan lokal di sekolah, akan tergantung kebijakan masing-masing pemerintah daerah. Kalau bukan kebebasan masing-masing daerah, berarti bukan Merdeka Belajar. Jadi tergantung," kata Nadiem. Menurut Nadiem, hadirnya program Revitalisasi Bahasa Daerah akan semakin menggugah sekolah untuk bergerak mengembangkan pembelajaran bahasa daerah yang membangkitkan kreativitas peserta didik. Dia berharap sekolah dapat menggerakkan bahasa daerah bagi para pelajar dan membuat jembatan lintas generasi, yang kembali pada identitas bangsa dan merayakan kebinekaan.
Gambar ilustrasiFoto: Monique Rijkers Bahasa adalah jati diri bangsa. Itu slogan lama yang sering didengungkan oleh para pamong praja atau pemangku pemerintahan di zaman Orde Baru. Meskipun sayup-sayup, slogan ini masih digaungkan sekarang. Jika bahasa adalah sebuah jati diri yang oleh KBBI dimaknai sebagai ciri-ciri, gambaran, identitas, inti, jiwa, spirit, atau daya gerak sebuah bangsa, maka punahnya bahasa berarti punahnya jati diri bangsa tersebut. Apakah dengan begitu jati diri sejumlah suku-bangsa di Indonesia juga lenyap seiring dengan punahnya bahasa-bahasa mereka? Tak bisa dipungkiri, ada cukup banyak bahasa-bahasa daerah yang sudah punah atau terancam punah. Ada yang bilang seratusan bahasa-bahasa daerah itu yang sudah menjadi “almarhum.” UNESCO juga sudah memberi peringatan keras, sangat keras, atas ancaman kepunahan berbagai bahasa daerah tersebut. Tahun 2009 saja, UNESCO pernah mencatat lebih dari seratus bahasa daerah di Indonesia yang punah atau nyaris punah. Peringatan juga datang dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Gejala atau fenomena kepunahan bahasa daerah ini tentu saja harus disikapi dengan serius. Apalagi Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah bahasa daerah terbesar di dunia (bahkan nomer dua di dunia setelah Papua Nugini). Ada yang mengatakan bahasa-bahasa daerah itu berjumlah enam ratusan. Ada lagi yang mendata lebih dari tujuh ratusan, seperti diungkapkan oleh Ganjar Harimansyah, Kepala Bidang Perlindungan Pusat Pengembangan dan Perlindungan Badan Bahasa, Jakarta. Jumlah ini akan terus bertambah karena masih banyak bahasa daerah yang belum teridentifikasi. Kata “bahasa” berasal dari kata Sanskrit “bhasa” yang berarti “wicara atau ucapan”. Dalam disiplin Antropologi, khususnya Antropologi Sosial/Budaya, bahasa memiliki posisi yang unik karena bukan hanya sebagai “produk kebudayaan manusia” melainkan juga sebagai “medium transmisi kebudayaan tersebut”. Sebagai produk kebudayaan manusia, semua bahasa bersifat profan dan sekuler. Tidak ada bahasa yang secara inheren itu suci atau sakral. Manusialah yang kemudian menyucikan atau menyakralkan bahasa tersebut untuk kepentingan tertentu. Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: DW/A. PurwaningsihSalah satu tujuan mendasar manusia menciptakan bahasa adalah untuk berkomunikasi dengan sesama. Melalui bahasa pula manusia bisa mengekspresikan uneg-uneg mereka. Semua bahasa pada mulanya bersifat lokal dan terbatas, digunakan oleh kelompok etnis atau suku tertentu saja sebagai medium komunikasi antarmereka. Tetapi karena sejumlah faktor (politik-keagamaan, kolonialisme, nasionalisme, perdagangan, dlsb) sejumlah bahasa kemudian berkembang menjadi translokal dan ada yang meregional, menasional atau bahkan mengglobal dan menginternasional seperti bahasa Inggris atau Bahasa Arab yang kemudian turut berkontribusi bagi matinya bahasa-bahasa daerah. Foto: picture alliance/Photoshot Foto: picture-alliance/AA/D. Oliveira Foto: Getty Images/AFP/W. Teodoro Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Harnik Foto: Gianni Ferrari/Cover/Getty Images Foto: picture alliance/dpa/L. Xianbiao Foto: Getty Images Foto: picture-alliance/dpa/Jagadeesh Foto: P. U. Ekpei/AFP/Getty Images Foto: picture alliance/dpa/epa/A. Weda Foto: picture alliance/Photoshot Sejumlah Faktor MendasarDalam konteks Indonesia, ada beberapa faktor mendasar yang menyebabkan berbagai bahasa daerah itu punah, nyaris punah, atau terancam dari kepunahan. Salah satunya adalah nasionalisasi bahasa Indonesia. Karena didorong untuk menguatkan spirit atau sentimen kuat nasionalisme, rezim Oder Baru di bawah komando Presiden Suharto, sangat gencar menasionalkan bahasa Indonesia ke berbagai pelosok tanah air. Suharto-lah yang sangat berjasa dalam “menasionalkan” bahasa Indonesia melalui sekolah-sekolah dan kurikulum pendidikan. Bahasa Indonesia bukan hanya sebagai medium / instruksi mengajar di sekolah, kampus, dan lembaga pendidikan lain tetapi bahkan ada mata pelajaran khusus bahasa Indonesia yang wajib dipelajari oleh anak didik dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah globalisasi, khususnya globalisasi di bidang teknologi dan informatika. Serbuan gelombang globalisasi melalui media massa dan sosial media yang masuk ke berbagai daerah jelas berkontribusi bagi merosotnya bahasa lokal. Globalisasi telah menciptakan sebuah “desa global” dimana para warga desa dan daerah pelosok pun bisa dengan leluasa memilah-milah aneka bahasa yang mereka sukai untuk berkomunikasi dengan sesama. Dampak nyata globalisasi teknologi dan informasi ini terjadi di kalangan generasi muda yang karena berbagai faktor lebih suka menggunakan bahasa-bahasa gaul populer yang mereka anggap lebih “funky” dan “keren” serta pelan tapi pasti enggan memakai bahasa daerah sendiri lantaran gengsi atau khawatir dicap udik, kolot, nggak gaul, dlsb. Merosotnya jumlah penutur bahasa daerah juga menjadi faktor penting penyebab punahnya bahasa daerah tersebut. Banyak bahasa daerah yang kehilangan para penuturnya seiring pergantian generasi. Sedangkan generasi muda penerusnya tidak lagi memiliki kepedulian atau loyalitas terhadap bahasa leluhur mereka. Misalnya di Jawa. Saat ini sudah susah mencari spesialis atau penutur bahasa Jawa kuno (Kawi). Mungkin hanya segelintir kalangan keraton atau dalang wayang saja yang masih bisa menuturkan dan mengekspresikannya. Aksara Jawa (carakan) juga nyaris terkubur oleh gelombang modernisasi. Faktor lain adalah praktik perkawinan silang (crossbreeding). Praktik kawin-mawin dengan pasangan dari etnis atau daerah lain yang berbeda bahasa daerah mendorong mereka untuk “berkompromi” dengan menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia dalam berbahasa dan berkomunikasi sehari-hari. Kemudian, serbuan bahasa asing, khususnya Inggris dan Arab, juga turut menyebabkan merosotnya berbagai bahasa daerah. Masyarakat kini berbondong-bondong mempelajari kedua bahasa itu dengan alasan yang berlainan. Orang mempelajari dan berkomunikasi dengan bahasa Inggris karena dianggap “lebih modern” dan “educated”, selain sebagai kanal untuk mendapatkan pekerjaan, beasiswa, akses internasional, dlsb. Sementara masyarakat mempelajari dan berkomunikasi dengan bahasa Arab karena dianggap “lebih religius dan Islami”. Merosotnya “jiwa Nusantara” di kalangan generasi muda untuk melestarikan kebudayaan dan bahasa leluhur mereka juga menjadi faktor penting bagi punahnya bahasa daerah. Langkah StrategisUntuk mengantisipasi semakin banyaknya bahasa daerah yang punah, pemerintah dan masyarakat perlu melakukan sejumlah langkah strategis. Misalnya, pemerintah daerah perlu membuat aturan kebijakan atau regulasi mengenai perlindungan bahasa (dan sastra) daerah. Saat ini konon hanya pemerintah Sumatra Utara saja yang membuat regulasi ini. Selebihnya tidak ada. Banyak pemerintah daerah malah berlomba-lomba membuat “Perda Syariat”. Sedangkan masalah tradisi, budaya, dan bahasa daerah malah diabaikan. Pemerintah juga perlu menjadikan bahasa-bahasa daerah (selain bahasa Indonesia) sebagai “mata pelajaran” wajib di sekolah atau kampus yang disesuaikan dengan daerah masing-masing agar anak didik (para siswa/siswi) terbiasa sejak dini dengan bahasa daerah mereka masing-masing. Televisi dan radio juga perlu dijadikan sebagai medium memperkenalkan aneka ragam bahasa daerah melalui program-program kreatif dan menarik masyarakat luas, khususnya kalangan generasi milenial. Masyarakat juga bisa berkontribusi dalam melestarikan bahasa-bahasa daerah dengan menginisiasi berbagai program penunjang, misalnya pembuatan buku-buku bahasa daerah, penyediaan taman bacaan bahasa daerah, atau melalui berbagai aktivitas seni-budaya, dlsb. Tanpa upaya serius dari pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan bahasa-bahasa daerah, maka bukan hal yang mustahil jika kelak akan semakin banyak bahasa daerah di Indonesia yang musnah di telan zaman. Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, D.C. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London: Routledge, 2016) dan Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam (London & New York: I.B. Tauris & Bloomsbury). *Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. *Tulis komentar Anda di kolom di bawah ini. |