Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi ancaman dan tantangan di Indonesia?

Polhukam, Malang – Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki potensi terjadinya gesekan atau benturan antar kelompok dalam masyarakat yang bernuansa SARA. Oleh karena itu diperlukan sinergitas antar perangkat keamanan bangsa seperti TNI dan Polri, serta peran aktif masyarakat untuk menghadapi ancaman-ancaman tersebut.

Demikian pernyataan Deputi Bidang Koordinasi Pertahanan Negara, Laksda TNI. Achmad Djamaludin saat memberikan pembekalan pada acara Dies Natalis Universitas Islam Malang, Selasa (27/3/2018).

“Dalam menghadapi ancaman terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan keselamatan bangsa dan negara dari berbagai jenis ancaman tersebut, TNI dan Polri berada sebagai garda terdepan, namun dalam menghadapi ancaman bentuk baru diperlukan peran aktif seluruh lapisan masyarakat melalui bela negara,” kata Djamaludin.

Selain itu, disampaikan bahwa menjelang penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Seretntak tahun 2018 dan Pemilihan Presiden serta Pemilihan Legislatif tahun 2019, penggunaan politik identitas berbasis SARA dapat menjadi salah satu ancaman yang dapat mengganggu penyelenggaraan pesta demokrasi terbesar di Indonesia tersebut.

“Potensi kerawanan dan ancaman tersebut selanjutnya dapat diprovokasi oleh kelompok-kelompok tertentu melalui berita hoax dan ujaran kebencian yang disebarkan melalui media social, seperti twitter, facebook,  WA, Telegram, dan lain-lain,” kata Djamaludin.

Pada survey tahun 2017 yang dilakukan oleh Masyarakat Telekomunikasi, sekitar 91,8 persen berita sosial politik menyangkut Pilkada dan Pilpres yang ada di media sosial dikategorikan sebagai berita hoax. Dikatakan bahwa kondisi tersebut sangatlah memprihatinkan karena akan berpengaruh terhadap kualitas peyelenggaraan Pemilu maupun hasil Pemilu itu sendiri, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat.

“Oleh sebab itu diperlukan peran serta seluruh masyarakat, termasuk sivitas akademika Unisma Malang untuk bersama-sama pemerintah menyatakan perang terhadap berita hoax yang dapat mengganggu stabilitas keamanan bangsa dan negara,” kata Djamaludin.

Terkait pertahanan dan keamanan Negara, Djamaludin menjelaskan bahwa ada 3 jenis ancaman yang mungkin dihadapi oleh bangsa Indonesia, ancaman-ancaman tersebut dapat berasal dari dalam maupun luar negeri. Ancaman pertama adalah ancaman militer yang merupakan ancaman dengan menggunakan kekuatan senjata dan terorganisasi serta dinilai mempunyai kemampuan membahayakan kedaulatan dan keutuhan Negara serta keselamatan bangsa.

“Ancaman militer dapat berbentuk Agresi yaitu penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara lain untuk melakukan aksi pendudukan di Indonesia, melalui invasi, bombardemen, blokade, pengiriman kelompok bersenjata atau tentara bayaran dan sebagainya,” jelas Djamaludin.

Ancaman kedua adalah ancaman non-militer atau nirmiliter yang merupakan ancaman berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, keselamatan, teknologi dan kesehatan umum, serta legislasi. Sedangkan ancaman ketiga adalah ancaman hibrida, yaitu ancaman yang memadukan ancaman militer dan ancaman non-militer. Ancaman hibrida dapat berupa gabungan ancaman konvensional, asimetrik, cyber warfare, dan war by proxy.

Untuk menghadapi ancaman tersebut, Djamaludin mengungkapkan bahwa diperlukan adanya peningkatan sinergitas TNI dan Polri dalam rangka mengamankan bangsa dan Negara sesuai dengan tugas, kewenangan dan tanggung jawab masing-masing. Selain, dirinya juga mengatakan bahwa kesadaran masyarakat dalam bela Negara sangatlah penting sebagai upaya menghadapi ancaman-ancaman tersebut.

“Pemerintah telah menetapkan kebijakan bela negara dengan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman, mendorong pendidikan kewarganegaraan seperti penguatan patriotisme, cintah tanah air, dan semangat bela negara, serta upaya untuk memperteguh kebhinnekaan,” kata Djamaludin.

Diakhir sambutannya, Deputi Bidkor Hanneg menekankan kembali bahwa untuk menghadapi ancaman militer, TNI berada pada garda terdepan dan sedangkan untuk menghadapi ancaman bentuk baru membutuhkan pelibatan masyarakat secara aktif, termasuk kalangan perguruan tinggi melalui bela negara.

“Saya mengingatkan kembali bahwa bela negara adalah tugas kita bersama, tanggung jawab kita semuanya sebagai warga negara, sebagai anak bangsa di manapun kita berada, apapun latar belakang, apapun pendidikannya, apapun agamanya, dan apapun sukunya,” tegas Djamaludin.

Humas Kemenko Polhukam

Terkait

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo memberikan kuliah umum kepada mahasiswa Program Magister Hukum Tata Negara UIN Sunan Ampel Surabaya, Jumat (11/06). Kuliah umum tersebut mengangkat topik “Penguatan Ketahanan Nasional dalam Upaya Menangkal Radikalisme”.

Mengawali penyampaian materi, Agus mengumpamakan ketahanan seperti karet. Jika karet ditarik maka bentuknya akan berubah dan menyesuaikan gaya yang menarik, tapi jika dilepaskan dan karet bisa mengatasi tarikan tersebut, maka bentuknya akan kembali ke bentuk semula. Sama halnya seperti ketahanan nasional, ketika masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila menghadapi ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan, maka harus bisa kembali pada bentuk asli sebagai sebuah masyarakat yang berdasarkan Pancasila. “Ketahanan nasional bukanlah merupakan sebuah disiplin ilmu tunggal, dia adalah sebuah keadaan yang merupakan totalitas atau secara integratif dari berbagai aspek,” kata Agus.

“Ketahanan nasional diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan nasional dan dalam rangka mencapai tujuan nasional akan selalu dihadapkan pada ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan,” ujar Agus. Lebih lanjut Agus menyampaikan bahwa ketahanan nasional dapat dibangun melalui pendekatan panca gatra, yakni gatra ideologi, ekonomi, politik, sosial dan budaya, serta pertahanan dan keamanan. Kondisi tiap gatra akan memengaruhi kondisi ketahanan nasional. Jika seluruh gatra dalam kondisi baik, maka ketahanan nasional dapat dikatakan dalam kondisi baik. Sebaliknya, jika ketahanan gatra dalam kondisi lemah maka akan memengaruhi ketahanan nasional secara keseluruhan. Agus menjelaskan bahwa dalam membangun tiap-tiap gatra tersebut, dibutuhkan disiplin ilmu masing-masing gatra. Misalnya dalam membangun gatra politik maka dibutuhkan disiplin ilmu politik yang didapatkan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Selain melalui kondisi panca gatra, kondisi ketahanan nasional juga dapat dibangun melalui pendekatan spasial geografis, yakni kondisi ketahanan tiap-tiap provinsi. Kondisi ketahanan nasional dapat dikatakan baik jika keadaan kondisi seluruh provinsi dalam keadaan baik. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa saat membangun ketahanan provinsi dibutuhkan pendekatan gatra. Selain pendekatan panca gatra dan pendekatan spasial geografis, kondisi tri gatra yang terdiri dari geografi, demografi, dan sumber kekayaan alam juga dapat dijadikan pendekatan dalam membangun ketahanan nasional.

“Ketahanan itu harus bersifat spesifik untuk menghadapi krisis tertentu,” ujar Agus. Lebih lanjut Agus menjelaskan dengan contoh spesifik bahwa saat ini malaria sudah dapat diatasi, artinya sudah terbangun ketahanan kesehatan terhadap malaria. Namun, ketahanan kesehatan kepada malaria tersebut tidak dapat diaplikasikan pada ketahanan kesehatan menghadapi pandemi Covid-19. “Ketahanan memang harus sudah teruji menghadapi ancaman dan bisa bangkit dari ancaman,” tutur Agus.

Kemudian Agus menyampaikan arti kata radikalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. “Radikalisme bisa diartikan pertumbuhan dari basis sebuah akar,” kata Agus. Selanjutnya Agus menyampaikan karakteristik seseorang yang radikal. Pertama adalah orang tersebut bisa menyatakan kebencian terhadap suatu kelompok atau individu yang memiliki pandangan yang berseberangan dengan gagasan yang disampaikan. Kedua, orang tersebut cenderung melihat suatu masalah dalam pendekatan hitam-putih dan salah-benar. Ketiga, yakni orang tersebut menganggap benar keyakinannya dan menganggap pandangan yang berlawanan itu selalu salah. Keempat, yaitu orang tersebut melakukan paksaan melalui kekerasan sebagai cara utama untuk memaksa mereka yang punya pandangan yang berlawanan untuk menyamakan pandangan.

Pada kesempatan tersebut, Agus juga menyampaikan mengenai bahaya radikalisme. Pertama adalah dapat memicu perpecahan dalam masyarakat, karena sifat-sifatnya didasarkan pada kekerasan. “Sifat itu minimal bisa intimidatif, maksimal itu melalui cara terorisme yang mengancam keselamatan dari masyarakat,” kata Agus. Kedua adalah dapat membentuk rantai pengajaran ideologi yang radikal. Rantai yang dimaksud adalah apabila seseorang atau sekelompok radikal dapat memengaruhi kelompok baru, maka hal tersebut akan menjadi mata rantai baru dan bisa untuk menyambungkan pengajaran ideologi radikal sehingga jadi lebih meluas.

Ketiga adalah dapat mengubah pandangan publik terhadap kebijakan yang berlaku. Agus berpendapat bahwa dewasa kini media sosial dapat menimbulkan kesan bahwa sesuatu yang disampaikan oleh sebuah komponen masyarakat dengan cara pengeroyokan merupakan opini publik, karena biasanya komponen masyarakat tersebut memiliki tujuan negatif dan biasanya juga lebih militan dibandingkan komponen masyarakat yang telah menjadi warga negara yang baik dan patuh kepada aturan. Bahaya keempat, yakni menimbulkan ketidakpercayaan publik pada pemerintah, aparat hukum, dan media. “Bahaya terakhir adalah menggiring opini publik pada opini tertentu,” ujar Agus.

Oleh karena itu, Agus menyampaikan langkah-langkah penguatan ketahanan nasional untuk menangkal radikalisme. “Pertama kita mengadakan pengamatan pada aspek-aspek mana gerakan radikalisme itu akan melakukan penyerangannya,” kata Agus. Kemudian dari pendekatan-pendekatan aspek tersebut diadakan penyisiran bentuk dari gerakan-gerakan radikalisme dengan mengambil bentuk dalam setiap aspek. Dengan mengetahui bentuk setiap aspek, akan lebih mudah dalam mencari cara menentangnya dan mengatasinya.

Agus memberikan contoh,jika dalam aspek pendidikan dirasa masih lemahnya wawasan kebangsaan. Hal tersebut akan menjadi sasaran untuk bisa dimasuki dan dipengaruhi oleh paham-paham radikal. Langkah penguatannya adalah melaksanakan kegiatan wawasan kebangsaan pada aspek pendidikan, seperti melalui pelaksanaan upacara, pengenalan sejarah kebangsaan, kedudukan seseorang dalam masyarakat, serta menghubungkan antara teori dalam kelas dengan praktik di lapangan.