Apa yang disebut sikap eklusivisme

Apa yang disebut sikap eklusivisme
Saya perlu memulai tulisan ini dengan disclaimer. Saya bayangkan mereka yang menolak ide pluralisme agama akan jingkrak-jingkrak melihat judul tulisan ini. Mereka bisa “memanipulasi” tulisan ini sebagai kritik terhadap argumen dasar pluralisme agama yang mereka tolak. Itu bukan yang hendak saya tuju!

Kritik terhadap klaim-klaim pluralisme agama memang tak terelakkan. Tapi kritik saya lebih pada keterbatasan tipologi tiga model keberagamaan (eksklusivisme-inklusivime-pluralisme) yang belakangan sering disematkan pada teologi tentang agama-agama. Saya berargumen bahwa kendati berguna untuk melihat sikap seseorang terhadap agama lain, tipologi tersebut juga memiliki keterbatasan teoritis dan perlu perbaikan.

Selama lima hari mengikuti Building Bridges Seminar di Georgetown (6-11 Mei), saya sempat berdiskusi cukup detail dengan Gavin D’Costa, sarjana penganut tipologi yang “bertobat” dan kini menjadi pengkritiknya.

Dalam tulisannya “The Impossibility of a Pluralist View of Religions” (1996), D’Costa menggambarkan perubahan sikapnya sebagai “an act of public self-humiliation”. Pasalnya, sebelumnya dia mendukung dan membela tipologi “eksklusivime-inklusivisme-pluralisme” sebagai tiga pendekatan atau paradigma sikap Kristen terhadap agama-agama lain. Kini, tipologi itu disebutnya “cacat metodologis” dan tak dapat dipertahankan.

Ada Apa dengan Tipologi Itu?
Persoalan pertama dan utama dengan tipologi itu ialah deskripsinya yang simplistis terhadap masing-masing pendekatan, terutama “eksklusivisme” dan “inklusivisme”. Hal itu dapat dimengerti karena tipologi itu dibuat oleh mereka yang mempromosikan gagasan pluralisme agama.

Adalah seorang penulis Alan Race yang memperkenalkan dan mempopulerkan tiga pendekatan itu sebagai penjelasan standar tentang bagaimana Kristen memandang agama lain. Dalam Christians and Religious Pluralism (1983), Race menjadikan “eksklusivisme”, “inklusivisme”, dan “pluralisme” masing-masing sebagai judul bab-bab dalam bukunya.

Sejak saat itu tipologi itu umum digunakan, bukan hanya untuk menggambarkan sikap Kristen terhadap agama lain, melainkan berkembang luas di kalangan sarjana-sarjana Muslim sendiri, termasuk di Indonesia. Sikap kaum Muslim Indonesia terhadap agama lain juga diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok itu: eksklusivis, inklusivis, dan pluralis.

Eksklusivis ialah seorang yang menganggap agamanya sebagai satu-satunya agama yang benar dan agama lain sebagai jalan kesesatan. Inklusivis menganggap agama lain mengandung elemen kebenaran, tapi kebenaran dalam agamanya masih superior. Pluralis menegasikan superioritas tersebut karena agama-agama yang berbeda merupakan jalan yang absah menuju keselamatan.

Secara garis besar, tiga pendekatan di atas diterima luas, walaupun ada perbedaan dalam mendeskripsikannya. Perlu dicatat, deskripsi di atas dibuat oleh pendukung pluralisme sebagai model terbaik dalam hubungan antar-agama. Alan Race sendiri adalah murid John Hick, seorang filosof yang dikenal sebagai penggagas awal pluralisme agama dalam tradisi Kristen.

Konsekuensi logis dari deskripsi yang simplistis itu ialah kenyataan bahwa tipologi tersebut mengabaikan keragaman dalam masing-masing pendekatan. Pluralitas dalam paham pluralisme tidak diperhatikan, dan demikian pula dalam dua pendekatan lain.

Karena itu, beberapa sarjana mulai menunjukkan keterbatasan tipologi “eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme” untuk menggambarkan kompleksitas teologi tentang agama-agama, baik dalam Kristen maupun Islam.

Perry Schmidt-Leukel, seorang teolog asal Jerman, merangkum dengan baik berbagai keberatan yang diajukan sejumlah sarjana atas tipologi tersebut. Setidaknya, ada delapan masalah yang dicatat Schmidt-Leukel, dari yang mempersoalkan tipologi tersebut “tidak konsisten” atau “menyesatkan” hingga mereka yang menganggapnya terlalu dipaksakan karena alasan berbeda.

Dari kelompok terakhir, terdapat mereka yang menganggap “eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme” terlalu sempit dan perlu ditambah supaya mencakup pendekatan-pendekatan lain. Mereka memang berbeda pendapat soal model apa saja yang mesti dimasukkan. Misalnya, ada yang mengusulkan kategori “universalisme” atau “acceptance model”.

Sebagian sarjana memandang sebaliknya: tipologi tersebut terlalu umum sehingga tidak memotret aspek-aspek partikuler dalam sikap keberagamaan. Gavin D’Costa termasuk yang berargumen bahwa tipologi itu terlalu umum, alias tidak ada manfaatnya. Bagi D’Costa, sebenarnya masing-masing pendekatan masih meyakini adanya “klaim kebenaran” (truth claim). Karena itu, baik pluralisme maupun inklusivisme sebenarnya tak lebih dari bagian tipe eksklusivisme.

Menuju Perbaikan Metodologis
Pertanyaan tersisa: Apakah tipologi “eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme” masih dapat diselamatkan dari gempuran para pengkritiknya?

Dalam buku Polemik Kitab Suci (2014), terutama bagian kesimpulan, saya mengusulkan supaya tipologi tersebut diperbaiki, bukan dibuang ke tong sampah. Saya masih melihat kegunaannya sebagai unit analisis tapi menyadari problem serius yang mengitarinya.

Problem yang saya tunjukkan berbeda dengan keberatan yang didiskusikan sejumlah sarjana di atas. Buku Polemik Kitab Suci mendiskusikan enam mufasir modern dari berbagai dunia Muslim: Indonesia, India, Mesir, Iran, Lebanon, dan Suriah. Orientasi keagamaan mereka berbeda satu sama lain, walaupun perhatian mereka sebenarnya sama. Yakni, bagaimana menjadikan al-Qur’an relevan bagi masyarakat masa kini dan karena itu mereka bergelut dengan proyek re-thinking Islam dalam konteks kehidupan modern.

Aspek yang relevan dengan tulisan ini ialah betapa sulitnya mengkategorikan mereka ke dalam salah satu dari tipologi tiga model tersebut secara konsisten. Tak seorang pun yang konstan berada dalam satu kategori. Seorang bisa dikatakan eksklusif dalam satu kasus dan inklusif bahkan pluralis dalam kasus lain.

Karena itu, upaya memperbaiki tipologi “eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme” menjadi tak terelakkan. Salah satunya ialah reinterpretasi atas kategori-kategori tersebut tanpa harus menambah kategori lain, seperti yang dilakukan oleh Schmidt-Leukel.

Bagi Schmidt-Leukel, kata kuncinya adalah “salfivic knowledge of a transcendental reality”, bukan “truth claim.” Apakah salfivic knowledge itu dimediasi oleh satu agama atau lebih? Jika hanya dimediasi oleh satu agama, itu namanya eksklusivisme. Jika bisa dimediasi oleh lebih dari satu agama, tapi satu agama lebih superior, model ini disebut inklusivisme. Pluralisme melihat semua agama sebagai mediasi salfivic knowledge.

Amat mudah untuk melihat kelemahan tawaran Schmidt-Leukel. Tampaknya truth claim hanya diganti salfivic knowledge sebagai unsur inti yang dimiliki semua agama, sebuah kelemahan tipologi yang dikritik oleh Gavin D’Costa.

Cara lain adalah seperti yang dilakukan Alan Race sendiri. Dalam bukunya Interfaith Encounter: the Twin Tracks of Theology of Religions (2001), Race merespons berbagai kritik yang dilancarkan terkait tipologi itu. Untuk mengakomodasi berbagai keberatan atas tipologi yang dilansirnya, dia membuka ruang bagi kemungkinan keragaman ekspresi dalam masing-masing kategori.

Sampai pada poin ini kiranya cukup untuk dikatakan bahwa tipologi “eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme” bermasalah secara teoritis-epistemologis. Tipologi ini sangat umum digunakan oleh banyak kalangan di Indonesia, tapi kita hendaknya menyadari juga keterbatasan-keterbatasannya. Hemat saya, tipologi itu perlu lebih memperhatikan isu sentral dalam agama-agama. Yakni, aspek universalitas dan partikularitas yang menjadi titik singgung dalam teologi agama-agama.

Dan untuk memahami dua aspek tersebut, kita harus mempelajari dan menyikapi agama lain secara serius.

Kolom Terkait:

“Agama-Agama Ibrahim”, Makhluk Apakah Itu?

Ada Apa dengan Kristen dalam Al-Qur’an?

Dalam kehidupan sosial bermasyarakat seringkali kita dihadapkan pada sikap tak acuh, baik dari personal, kelompok maupun lingkungan. Terlebih dalam kehidupan masyarakat perkotaan besar maupun negara-negara besar. Dalam ilmu sosiologi, sikap seperti ini dibedakan menjadi dua, Partikularisme dan Eksklusivisme. Apa bedanya?

Kecenderungan dari partikularisme berkaitan dengan bagaimana seseorang berperilaku dalam situasi tertentu. Dimana, partikularisme merupakan suatu sistem yang didasari oleh kepentingan individual di atas kepentingan suatu kelompok baik aliran politik, ekonomi, kebudayaan yang mementingkan daerah atau kelompok khusus.

Dalam masyarakat, partikularisme ini sering terjadi pada mereka yang hanya dapat memikirkan dirinya sendiri saja, masa bodo tanpa mempedulikan sekitarnya, sehingga hal tersebut kecenderungan akan menjadi sumber konflik. Disamping itu, partikularisme juga dapat menghambat integrasi sosial dan nasional.

(Baca juga: Pengertian Individu, kelompok, dan Hubungan Sosial)

Adapun ciri-ciri dari partikularisme selain mementingkan kepentingan pribadi, antara lain heterogen yaitu bersifat dan berpandangan yang berbeda atau macam-macam, mobilitas tinggi yaitu memiliki dan menghadapi perubahan yang cepat, dan berorientasi pada rasionalitas dan fungsi dengan mengedepankan logika dan teknologi.

Salah satu contoh dari sistem partikularisme antara lain pada proses perekrutan dalam sebuah perusahaan yang lebih mementingkan  keluarga dari keahlian yang dimiliki oleh seseorang.

Lalu bagaimana dengan eksklusivisme? Eksklusivisme merupakan ajaran atau paham seseorang yang cenderung untuk menjauhkan diri dari lingkungannya dan masyarakat. Eksklusivisme ini berkaitan erat dengan partikularisme, sebab mengutamakan kepentingan pribadi kemudian membuat kelompok tersebut mempunyai kecenderungan memisahkan diri dengan sikap khusus yang disepakati dalam kelompok.

Dampak negatif dari eksklusivisme adalah menganggap kelompok sendiri menjadi satu-satunya yang paling baik. Sedangkan dampak positifnya adalah meningkatkan rasa solidaritas dan soliditas antar sesama anggota kelompok. Contohnya, anak yang berasal dari keluarga kaya akan memisahkan diri dari anak yang berasal dari keluarga miskin.

Contoh lainnya yang ada di lingkungan kedaerahan misalnya suatu budaya terpencil memisahkan diri dari masyarakat karena mereka tidak mau budayanya terpengaruh dengan budaya yang sedang berkembang, sehingga lebih memilih untuk memisahkan diri dari masyarakat agar budaya mereka tidak berubah karena mereka meyakini adat istiadatnya sudah baik. Hal ini terjadi di suku Badui, masyarakat Madura, dan masyarakat Bugis.