Apa yang dimaksud dengan kaum adat dan kaum Padri dalam masyarakat Minangkabau?

Jakarta -

Perang Padri merupakan pertempuran karena perbedaan prinsip antara kaum Padri dan kaum Adat sehingga menimbulkan perang saudara selama 30 tahun di Minangkabau, khususnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung.

Pertikaian yang berlangsung pada tahun 1803-1838 awalnya dilatarbelakangi oleh masalah agama dan adat, sebelum penjajah Belanda ikut campur tangan dan memperkeruh suasana.

Namun, perang Padri berujung bersatunya kedua kaum tersebut dan menjadi perjuangan rakyat Minangkabau melawan penjajah Belanda. Seperti apa pertikaian yang terjadi selama perang Padri? Mengapa Tuanku Imam Bonjol menjadi salah satu tokoh pada perang tersebut?

Mengutip dari Modul Sejarah Indonesia Kelas XI yang disusun oleh Anik Sulistiyowati (2020), faktor penyebab terjadinya perang Padri adalah perselisihan antara kaum Padri dan kaum adat di Minangkabau yang didasari perbedaan prinsip.

Kaum Padri adalah kelompok yang terdiri dari ulama-ulama yang baru tiba dari Timur Tengah dan bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam di tanah Minangkabau.

Pasalnya, penerapan syariat Islam di wilayah tersebut dinilai bermasalah sehingga kaum Padri ingin menghapus unsur adat karena bertentangan dengan ajaran Islam.

Visi yang dimiliki kaum Padri menciptakan sebuah gerakan yang disebut gerakan Wahabiah di Sumatera Barat. Beberapa kebiasaan yang bertentangan itu seperti judi, minuman keras, sabung ayam, padahal saat itu masyarakat adat disana sebagian besar memeluk Islam.

Ketidaksesuaian ajaran Islam dengan adat masyarakat membuat kaum Padri kesal dan berujung timbulnya peperangan dengan cara keras yang disebut sebagai misi amar ma'ruf nahi mungkar.

Pasukan Belanda Terlibat Perang Padri

Kaum Adat yang semakin tersudutkan oleh karena serangan dari kaum Padri ke Kerajaan Pagaruyung terpaksa meminta bantuan ke pemerintah kolonial Hindia Belanda yang kala itu masih menjajah wilayah Nusantara.

Di tahun 1822, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Raff mengusir kaum Padri dari Kerajaan Pagaruyung. Raff juga mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar yang diberi nama Fort Van der Capellen.

Pasukan Belanda terus bergerak namun dihadang laskar kaum Padri, meski akhirnya Belanda berhasil maju ke Luhak Agam. Di tahun yang sama, terjadi pertempuran Baso yang memakan banyak korban jiwa, salah satunya Kapten Goffinet dari pihak Belanda.

Serangan kaum Padri membuat Belanda mundur ke Batusangkar. Meski setahun setelahnya, pihak Belanda kembali menyerang namun berakhir mundur. Akhirnya Belanda mengadakan gencatan senjata sambil menyusun strategi licik yang disebut Perjanjian Masang.

Perang Padri selama masa gencatan senjata dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Ia mencoba membujuk kaum Adat untuk bersatu karena merasa lawan sebenarnya adalah pasukan Belanda. Akhirnya terjadi kesepakatan dan perdamaian yang mempersatukan kaum Padri dan kaum Adat untuk bersama melawan Belanda.

Profil Tokoh Perang Padri - Tuanku Imam Bonjol

Mengutip dari Modul Sejarah Indonesia yang disusun oleh Ersontowi (2020), Tuanku Imam Bonjol adalah seorang ulama yang memimpin perang Padri. Sosoknya diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973.

Nama asli Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Syahab. Ia lahir pada 1 Januari 1772 di Bonjol, Pasamanan, Sumatera Barat. Sebagai ulama, ia memiliki beberapa gelar yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.

Tuanku Imam Bonjol memimpin pasukan Padri untuk melawan Belanda. Saat gencatan senjata dan maklumat Perjanjian Masang di tahun 1824, Belanda justru melanggar perjanjian tersebut. Namun, kaum Padri sudah lebih dulu berdamai dengan kaum Adat dan bahu membahu melawan Belanda.

Kedua kaum yang awalnya berseteru akhirnya bersatu melalui kompromi yang disebut Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Dimana terwujud konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (adat berdasarkan agama, agama berdasarkan Kitabullah (al-Qur'an).

Tuanku Imam Bonjol menunjukkan rasa penyesalan atas tindakan kaum Padri ketika perseteruan terjadi dengan sesama orang Minang. Serangan dari Belanda semakin menggempur benteng Bonjol. Kedudukan Tuanku Imam Bonjol semakin sulit karena Belanda mendapat bantuan dari Batavia. Di tahun 1837, akhirnya benteng Bonjol jatuh di tangan Belanda.

Tuanku Imam Bonjol menyerah dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat lalu dipindahkan ke dekat Manado. Ia meninggal di tempat pengasingan, namun penghargaan dari pemerintah Indonesia tetap bergulir dan mengapresiasi seluruh perjuangannya selama perang Padri.

Simak Video "Kisah Sejarang Perang Padri, Padang"


[Gambas:Video 20detik]
(pal/pal)

Apa yang dimaksud dengan kaum adat dan kaum Padri dalam masyarakat Minangkabau?

Perang padri dikenal sebagai perang saudara yang akirnya menjadi perang melawan pemerintahan Hindia belanda atau lebih dikenal sebagai kolonial belanda, perang ini berlansung pada tahun 1803 sampai 1838 di daerah Sumatera barat dan sekitarnya terutama di daerah kerajaan pagaruyuang, daerah kerajaan pagaruyuang ini terletak dalam wilayah kabupaten tanah datar.

            Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau, kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak

Perang ini karena adanya pertikaian antara pemuka agama yang lebih dikenal dengan kaum padri dengan masyarakat adat (masyarakat adat minang kabau), masyarakat adat masih belum meninggalkan kebiasaan lama mereka seperti sabung ayam, judi, minuman keras, dan hal lain yang di haramkan dalam agama islam, padahal masyarakat adat telah memeluk agama islam, karena enggannya masyarakat adat untuk meninnggalkan kebiasaan tersebut sehingga memicu kaum padri untuk menegakan amar ma’ruf nahi mungkar.

            Berbagai cara telah di tempuh kaum padri untuk mengajak masyarakat adat meninggalkan perbuatan maksiat dan mengikuti syariah islam, hingga akirnya berkecimuklah perang pada tahun 1803, Puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan, kaum padri berhasil menekan kaum adat, kaum padri yang di pimpin oleh  Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun, atau lebih di kenal dengan sebutan Harimau nan Salapan,

            Kepemimpinan Harimau nan Salapan hampir membawa kaum padri kepada kemengan dalam perang ini, dan ketika kaum adat yang mulai terdesak meminta bantuan pada pemerintah hindia belanda( kolonial belanda) pada tahun 1821, Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

            Mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.

            Pada 15 November 1825, Pemerintah Hindia Belanda di saat bersamaan juga berperang di daerah eropa dan jawa (perang dipenogoro) merasa kesulitan menundukan kaum padri yang waktu itu di pimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, kewalahan terhadap perang lain dan habisnya dana pemerintah belanda berdamai dengan kaum padri yang di kenal dengan perjanjian Masang.

            Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus (kesepakatan) bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an. hal ini menjadi puncak revolusi islam dalam adat minang kabau.

            Kesepakatan bersama Adat basandi syarak, syarak basandi kitabbullah ini bisa di katakan sebuah kemengan bagi kaum padri, perang saudara yang berlangsung dari tahun 1803 hingga tahun 1821 tentu merugikan pihak kaum Padri maupun Kaum adat, kerguian dalam hal harta maupun korban jiwa tidak bisa di hindari oleh kedua belah pihak. Berdasarkan latar belakang ini membuat adat minang kabau berubah dan menjari berdasarkan syariat islam, sehingga perbuatan maksiat mulai tinggalkan oleh masyarakat.

            Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau, Untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock.

            Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak oleh kaum padri dan masyarakat adat yang telah bersatu, menyadari kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.

            pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838 Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.

            Dalam sejarah perang padri ini kita dapat melihat untuk menjadikan masyarakat minang kabau sepenuhnya menjadi pemeluk agama islam yang baik harus di bayar mahal, bahkan setelah kejayaan islam dalam ranah minang belanda mencoba merobohkannya, tidak sepenuhnya ditaklukan akan tetapi setelah penaklukan membuat rakyat minangkabau tetap menjadikan syariat islam sebagai dasar meraka. Membuat adat minangkabau lebih baik dan lebih berkembang di banding dengan sebelum menjadikan islam dasar adat mereka, peraturan adat yang berlawanan dengan syariat agama islam di hapuskan, lahirnya kebiasaan baru seperti kasurau bagi pemuda minang, pakaian yang menutup aurat, dan meninggalkan kegiatan maksiat seperti sabung ayam, judi, minuman keras.

            Hendaknya sejarah perang padri ini membuat masyarakat Minangkabau saat ini menyadari betapa pentingnya penegakan agama islam, yang bisa kita lihat pada masa ini terjadi pemerosotan dan penyalahangunaan adat oleh oknum-oknum niniak mamak adat, tidak tegasnya peraturan adat pada saat ini. lebih miris lagi semenjak gempa bumi tahun 2009 banyak masyarakat minangkabau yang murtad atau berpindah agama. hal ini tidak hanya menjadi dosa bagi orang yang murtad, akan tetapi mereka juga tidak menghargai perjuangan pendahalu mereka dalam penegakan agama islam di daerah minangkabau.

            Semoga dengan tulisan ini membuat masyarakat minang bisa “mambangkik batang tarandam” atau kembali bangkit ke kejayaan islam dan kejayaaan sumatera barat, karna di masa lalu banyak tokoh yang mengharumkan sumatera barat dan minangkabau seperti Buya Hamka, Tan Malaka, M. Yamin, Rasuna Said, Adinegoro, M. Natsir dan masih banyak tokoh yang lain yang berpengaruh yang lahir di minangkabau ini.