Apa tujuan program wajib belajar era Soeharto?

tirto.id - Meski berasal dari keluarga miskin, Soeharto masih tergolong beruntung. Dia bisa sekolah, walau bukan di sekolah pribumi elite macam Hollandsch Inlandsch School (HIS) yang merupakan sekolah dasar tujuh tahun dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda.

Sedari kecil Soeharto disekolahkan di Volkschool (sekolah rakyat tiga tahun) lalu lanjut ke Schakel School (sekolah lanjutan lima tahun). Sepengakuannya, pada 1939 Soeharto tamat dari Schakel School milik Muhammadiyah.

“Tamatan schakelschool itu disamakan dengan tamatan HIS," tulis Anton Moeliono dalam Pengembangan dan Pembinaan Bahasa(1981:72). Jadi sekolah Soeharto cuma SD saja, bukan SMP seperti banyak ditulis orang. Soeharto bisa saja melanjutkan sekolah menengah swasta, apa daya kantong keluarganya tak mendukung.

“Nak, tak lebih dari ini yang dapat dilakukan untuk melanjutkan sekolahmu. Dari sekarang kamu sebaiknya mencari pekerjaan saja," kata ayahnya.

Baca juga: Sekolah-sekolah di Zaman Belanda

Soeharto bukan orang paling sial di zaman itu. Jauh lebih banyak orang yang tidak sekolah zaman itu. Soeharto lebih punya peluang untuk tidak jadi petani miskin dengan bisa baca-tulis di zaman itu.

Bermodal ijazah SD itu Soeharto bisa jadi sersan di tentara kerajaan (KNIL) sebelum 1942. Itu sudah lumayan, jauh lebih banyak orang Indonesia cuma jadi serdadu bawahan dari mulai dinas hingga pensiun, karena buta huruf. Setelah KNIL bubar pada 1942, Soeharto tak perlu mencangkul di sawah. Soeharto bisa jadi polisi sebelum akhirnya jadi perwira PETA, bahkan akhirnya jadi jenderal. Lagi-lagi hanya bermodal ijazah SD dan kecerdasan alamiahnya.

Kira-kira hampir 45 tahun kemudian, ketika Soeharto sudah jadi Presiden Republik Indonesia sekitar 17 tahun, Soeharto punya Menteri Pendidikan & Kebudayaan bernama Nugroho Notosusanto, yang punya andil besar dalam pembelajaran sejarah di Indonesia. Nugroho—kelahiran 1930—bukan lulusan SD dan tinggi sekolahnya. Selain dikenal sebagai pejabat pendidikan, dia juga sastrawan dan sejarawan. Nugroho Notosusanto dikenal juga karena memimpin pengerjaan buku setebal 6 jilid Sejarah Nasional Indonesia (SNI).

Sebagai menteri sudah tentu, Nugroho Notosusanto berkunjung ke banyak daerah. Di masa Nugroho Notosusanto inilah mulai bergulir wacana yang hendak meratakan pendidikan Indonesia agar makin banyak warga Indonesia yang bersekolah, meski hanya sekolah dasar saja. Lalu muncullah program Wajib Belajar (Wajar). Bagi Nugroho itu bukan hal baru.

“Wajib belajar enam tahun atau serendah-rendahnya lulus SD sudah diamanatkan dalam UU No. 4 Tahun 1950," tulis Darmaningtyas dalam Pendidikan Rusak-Rusakan (2005:298). Namun pada era 1950, kondisi negara yang baru merdeka tidak memungkinkan pendidikan yang merata. Kepada Amal Bakti (1984) Nugroho mengaku, “sejak itu kita mengadakan percobaan wajib belajar di berbagai kabupaten."

Era Soeharto, dengan Nugroho sebagai menterinya, usaha wajib belajar, setidaknya wajib belajar 6 tahun, pun dimulai lagi. Soeharto ingin generasi muda berusia 7 hingga 12 tahun yang dibesarkannya paling tidak bisa bersekolah hingga lulus SD. Program Wajib Belajar ini akhirnya resmi dicanangkan pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 1984, seperti hari lahir tokoh pendidik Ki Hajar Dewantara, tepat hari ini 35 tahun lalu.

Baca juga: Andai Ki Hadjar Seorang Belanda: Sejarah Radikal Begawan Pendidikan

Peresmiannya program ini bertempat di Stadion Utama, Senayan, Jakarta. Sekitar pukul 15.30 sore Presiden Soeharto dan Ibu Negara Tien Soeharto sudah di tempat acara peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Pencanangan Gerakan Wajib Belajar itu. Seperti dicatat Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988 (2003:153-154), upacara peringatan ini dimeriahkan oleh drumband display, senam wajib, senam indah, paduan suara, tarian massal, angklung, dan ibing pencak silat.

“Kepada semua anak-anak Indonesia... gerakan Wajib Belajar ini adalah untuk kalian, untuk masa depan kalian dan untuk kebaikan kalian semua...," kata Presiden Soeharto.

Presiden menyebut Gerakan Wajib Belajar ini membuat langkah yang penting untuk mewujudkan amanat Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dalam alam kemerdekaan.

Niatan mulia agar seluruh anak Indonesia bisa sekolah, meski hanya sampai SD, itu tentu bermanfaat bagi stabilitas nasional. Sebab sekolah tidak cuma belajar membaca dan berhitung saja, banyak nilai-nilai yang menguntungkan negara bisa diajarkan di sekolah.

undefined

Demi gerakan itu, tentu saja harus didukung dengan banyaknya guru dan gedung sekolah serta sarana pembelajaran lainnya. Anak-anak dari generasi yang diwajibkan untuk ikut Wajib Belajar 6 tahun itu tentu generasi yang tahu buku paket Bahasa Indonesia yang di dalamnya ada Budi dan Ani karya Siti Rahmani Rauf.

Seperti pesan Presiden kepada Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Mayor Jenderal Alamsjah Ratu Prawiranegara, “jangan sampai anak-anak kita itu menjadi buta huruf sehingga tidak bisa menikmati kemerdekaan."

Kepada Antara (04/03/1985), Alamsjah menyebut, hingga akhir tahun 1984 di Indonesia masih terdapat kurang lebih 1,2 juta anak usia sekolah yang tidak mampu belajar di sekolah, ditambah sekitar 700.000 yang putus sekolah.

Demi lancarnya program wajib belajar ini, pemerintah mengajak masyarakat berperan serta. Jadi, setelah Program Wajib Belajar ada Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA), dan di program ini Nugroho juga dianggap sebagai salah satu penggagasnya. Program ini dibuat karena biaya sekolah yang tidak sedikit. Alamsjah memperkirakan akan ada dana Rp60 miliar per tahun yang bisa dikumpulkan dari para orang tua asuh, dengan perhitungan tiap orang tua asuh menyumbang Rp60 ribu per tahun.

Belum setahun Gerakan Wajib Belajar 6 tahun dicanangkan, Nugroho Notosusanto meninggal dunia pada 3 Juni 1985. Setelah kematiannya, program Wajib Belajar jalan terus dan jadi salah satu warisan pentingnya.

Satu dekade setelah pencanangan Wajib Belajar 6 tahun dimulai, program ini ditingkatkan jadi Wajib Belajar 9 tahun, artinya diharapkan setiap anak bisa lulus hingga SMP. Dan angka ini terus meningkat menjadi Wajib Belajar 12 tahun pada 2015.

Baca juga artikel terkait SEKOLAH atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi
(tirto.id - pet/nrn)


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Pada masa kepemimpinan Soeharto pembangunan pendidikan mengalami kemajuan yang sangat penting. Ada tiga hal yang patut dicatat dalam bidang pendidikan masa Orde Baru adalah pembangunan Sekolah Dasar Inpres (SD Inpres), program wajib belajar dan pembentukan kelompok belajar atau kejar. Semuanya itu bertujuan untuk memperluas kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah.

Pada 1973, Soeharto mengeluarkan Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD.

Pelaksanaan tahap pertama program SD Inpres adalah pembangunan 6.000 gedung SD yang masing-masing memiliki tiga ruang kelas. Dana pembangunan SD Inpres tersebut berasal dari hasil penjualan minyak bumi yang harganya naik sekitar 300 persen dari sebelumnya.

Pada tahun-tahun awal pelaksanaan program pembangunan SD Inpres, hampir setiap tahun, ribuan gedung sekolah dibangun. Sebelum program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dilaksanakan, jumlah gedung SD yang tercatat pada tahun 1968 sebanyak 60.023 unit dan gedung SMP 5.897 unit. Pada awal Pelita VI, jumlah itu telah meningkat menjadi sekitar 150.000 gedung SD dan 20.000 gedung SMP. Pembangunan paling besar terjadi pada periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD baru dibuat. Hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD Inpres telah dibangun.

Peningkatan jumlah sekolah dasar diikuti pula oleh peningkatan jumlah guru. Jumlah guru SD yang sebelumnya berjumlah sekitar ratusan ribu, pada awal tahun 1994 menjadi lebih dari satu juta guru. Satu juta lebih guru ditempatkan di sekolah-sekolah inpres tersebut. Lonjakan jumlah guru dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu juga terjadi pada guru SMP.

Total dana yang dikeluarkan untuk program ini hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I mencapai hampir Rp 6,5 triliun.

Program wajib belajar pada era Soeharto mulai dilaksanakan pada 2 Mei 1984, di akhir Pelita (Pembangunan Lima Tahun) III. Dalam sambutannya peresmian wajib belajar saat itu, Soeharto menyatakan bahwa kebijakannya bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama dan adil kepada  seluruh anak Indonesia berusia 7-12 tahun dalam menikmati pendidikan dasar. Program wajib belajar itu mewajibkan setiap anak usia 7-12 tahun untuk mendapatkan pendidikan dasar 6 tahun (SD).

Program ini tidak murni seperti kebijakan wajib belajar yang memiliki unsur paksaan dan sanksi bagi yang tidak melaksankannya. Pemerintah hanya mengimbau orangtua agar memasukkan anaknya yang berusia 7-12 tahun ke sekolah. Negara bertanggung jawab terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan, seperti gedung sekolah, peralatan sekolah, di samping tenaga pengajarnya. Meski program wajib belajar tidak diikuti oleh kebijakan pembebasan biaya pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, pemerintah waktu itu beruapya mengatasinya melalui program beasiswa. Untuk itu, kemudian muncul program Gerakan Nasional-Orang Tua Asuh (GN-OTA).

Dalam upaya memperkuat pelaksanaan GN-OTA, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama Nomor 34/HUK/1996, Nomor 88 Tahun 1996, Nomor 0129/U/1996, Nomor 195 Tahun 1996 tentang Bantuan terhadap Anak Kurang Mampu, Anak Cacat, dan Anak yang Bertempat Tinggal di Daerah Terpencil dalam rangka Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.

Keberhasilan program wajib belajar 6 tahun ditandai dengan kenaikan angka partisipasi sekolah dasar (SD) sebesar 1,4 persen. Angka partisipasi SD menjadi 89,91 persen di akhir Pelita IV. Kenaikan angka partisipasi itu menambah kuat niat pemerintah untuk memperluas kelompok usia anak yang ikut program wajib belajar selanjutnya, menjadi 7-15 tahun, atau menyelesaikan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Sepuluh tahun kemudian, program wajar berhasil ditingkatkan menjadi 9 tahun, yang berarti anak Indonesia harus mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP. Upaya pelaksanaan wajib belajar 9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun mulai diresmikan pada Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994. Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1994.

Program wajib belajar telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia saat itu. Fokus utama ketika itu adalah peningkatan angka-angka indikator kualitas pendidikan dasar. Fokus pembangunan pendidikan saat itu, yaitu peningkatan secara kuantitatif, baru kemudian memerhatikan kualitas atau mutu pendidikan.

Setelah perluasan kesempatan belajar untuk anak-anak usia sekolah, sasaran perbaikan bidang pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa masih banyak penduduk yang buta huruf. Dalam upaya meningkatkan angka melek huruf, pemerintahan Orde Baru mencanangkan penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978. Cara yang ditempuh adalah dengan pembentukan kelompok belajar atau ”kejar”.

Kejar merupakan program pengenalan huruf dan angka bagi kelompok masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun. Tutor atau pembimbing setiap kelompok adalah masyarakat yang telah dapat membaca, menulis dan berhitung dengan pendidikan minimal sekolah dasar. Jumlah peserta dan waktu pelaksanaan dalam setiap kejar disesuaikan dengan kondisi setiap tempat.

Keberhasilan program kejar salah satunya terlihat dari angka statistik penduduk buta huruf yang menurun. Pada sensus tahun 1971, dari total jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus buta huruf. Sepuluh tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980, persentase itu menurun menjadi hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya tahun 1990, angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.

Sumber : buku k 13  sejarah Indonesia xii