Mengapa setiap daerah satuan terkecil harus memiliki rt dan rw

Mewujudkan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia Sentris, salah satunya dapat dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada pada tiap daerah. Tidak perlu muluk-muluk alias membuat suatu infrastruktur nan kece dan mutakhir, pengoptimalan ini dapat dilakukan melalui pemanfaatan satuan terkecil aparatur negara secara efektif dan efisien, bagaimana yah caranya?

Bicara tentang aparatur negara, satuan terkecilnya, seperti yang kita ketahui bersama adalah RT (Rukun Tetangga), yang berperan penting di sini tak lain adalah ketua RT itu sendiri. Loh kok ketua RT? Iya dong, kan orang yang mengayomi sebanyak-banyaknya 50 kepala keluarga ini adalah orang yang paling mengetahui kondisi maupun realitas yang ada di suatu wilayah karena langsung berhubungan erat dengan warga maupun potensi sumber daya setempat.

Ketua RT, jika dioptimalkan fungsinya, akan menjadi infrastruktur yang luar biasa. Enggak percaya? Coba jika dalam suatu RT ada minimal 30 kepala keluarga yang masing-masingnya mengandung 5 anggota keluarga, akan ada 150 orang. Bayangkan jika kepala RT ini mampu mengayomi potensi hingga minat dari tiap individu masyarakatnya, sudah jelas dan sudah pasti, Sumber Daya Alam yang tergali hanya dampak dari cerdasnya masyarakat, yang dalam hal ini, kata Guru PKN-ku dulu adalah masyarakat madani.

Lebih jelasnya, akan penulis coba jelaskan dalam dua kasus yang berbeda, menggunakan pendekatan Sumber Daya Alam yang ada di desa maupun di kota. SDA yang ada di desa misalnya, berapa hektar sawah yang masih belum dimanfaatkan? Berapa banyak tempat wisata nan indah yang belum dilestarikan dan dimonetasi untuk kemajuan desa setempat? Sudah jelas masih banyak jumlahnya, jika kita sering berkunjung ke desa, tak perlu survei untuk menjelaskannya.

Berikutnya di kota, pernahkah kalian melihat pemuda-pemudi yang mungkin hasil gagal urbanisasi merajalela di tepian jalan? Pemuda dan pemudi yang dengan bangganya menggunakan bahu jalan untuk tempat “nongkrong”nya, tak jarang trotoar pun mereka hajar jadi tempat bernaung. Lagi-lagi kita bayangkan, jika ketua RT di sini berperan optimal fungsinya. Pembinaan dari remaja tanggung tersebut bahkan bisa menaikkan potensi hingga pendapatan per kapita suatu daerah. Jika dieratkan dengan SDA di kota, mungkin bisa berdampak ke penghijuaan dan pemanfaatan sesungguhnya dari Ruang Terbuka Hijau.

Itu baru dua contoh dari sumber daya alam yang sederhana. Bagaimana jika di daerah tersebut ada danau yang belum dikelola, pantai yang masih urakan, hingga air terjun cantik yang jalurnya masih terjal dan tidak terurus? Tentunya akan menjadi potensi wisata yang sangat mahal yang berdampak terhadap pengembangan ekonomi setempat. Warga pun akan sejahtera dan makmur. Kriminalitas? Sudah tidak mungkin akan terjadi dalam keadaan seperti ini, menyenangkan bukan?

Pemanfaatan SDA yang Optimal, Hanya Dampak

Ya, seperti yang tersirat dari paragraf sebelumnya, bahwa pemanfaatan SDA yang optimal hanyalah dampak dari cerdasnya masyarakat, lahir dari masyarakat yang peduli akan lingkungannya. Sekali lagi, ketua RT-lah di sini yang berperan banyak. Namun, untuk menciptakan ketua RT “Wow” semacam ini, bukanlah tugas sehari dua hari, melainkan bisa belasan hingga puluhan bahkan ratusan tahun untuk melahirkan pejuang tangguh semacam ini.

Program jangka panjang yang mumpuni, pembagian job desk dari tiap infrastruktur yang jelas, hingga ketegasan penerapan sanksi atas hukum yang dibuat. Ketiga hal ini dibutuhkan untuk menghasilkan satuan terkecil aparatur negara yang tangguh tersebut. Jika ketiganya sudah diaplikasikan, bukan tidak mungkin optimalnya SDA setempat terwujud. Sekali lagi, pemanfaatan SDA yang optimal hanya dampak dari pembinaan SDM yang konsisten.

SDA yang sukses dikelola bisa dilihat dari salah satu tempat wisata yang ada di wilayah timur Indonesia, tepatnya di Kepulauan Raja Ampat, Papua. Kepulauan yang sudah ada sejak zaman kesultanan Tidore ini awalnya hanya penduduk lokal yang mengetahuinya daya tariknya. Peran kepala suku setempat (menggantikan peran ketua RT zaman sekarang) disinergikan dengan aparatur pemerintahan  yang ada, membuat pulau ini semakin terkenal di kalangan penduduk Indonesia. Harganya, sudah jangan ditanyakan lagi. Istilahnya, jika Anda nggak punya pohon duit di rumah, jangan sekali-kali menjadikan tempat ini sebagai destinasi wisata Anda.

Generasi Kita, Generasi Sekarang, Hanyalah Pengantar

Mengoptimalkan fungsi RT, seperti yang sudah kita bahas di atas, mungkin saat ini hanya akan menjadi wacana. Sosok pemimpin yang visioner saja tak cukup untuk mewujudkan hal yang Ketua RT yang tangguh ini. Butuh pemimpin yang berani berjuang melawan oknum-oknum yang sudah mendarah daging dalam sistem aparatur negara ini, salah satunya oknum ini terlihat dari pemanfaatan lahan milik negara menjadi keuntungan pribadi atau golongan semata.

Yaah, kita sebagai generasi yang kebanyakan dari kita telah terlahir dengan “pola buruk”, sangat kecil kemungkinannya untuk menjadi generasi tangguh bak dewa tersebut. Racun yang sudah terserap dalam pola pikir kita hasil dampak negatif globalisasi elektronik, yang kini telah melekat erat hingga mungkin butuh ribuan kali “dicuci” untuk bisa menjadi generasi tangguh tersebut. Dampak negatif tersebut bisa berupa menonton televisi secara berlebihan, penggunaan media sosial yang tidak terkendali, hingga pornografi yang tersirat maupun tersurat dari konten yang terdapat dalam media elektronik.

Oleh : M Ridha Rasyid 
(Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan)

DALAM beberapa hari hari lalu, media lokal Makassar ramai memberitakan tentang rencana Wali Kota Makassar melakukan resetting (penataan ulang) rt/rw  yang berjumlah 5971. Sebelum membahas lebih lanjut hal itu, maka mungkin perlu diingatkan kembali sejarah terbentuknya rt/rw.

Mengapa setiap daerah satuan terkecil harus memiliki rt dan rw
Mengapa setiap daerah satuan terkecil harus memiliki rt dan rw
Mengapa setiap daerah satuan terkecil harus memiliki rt dan rw

ADVERTISEMENT

Berdasarkan buku sejarah Indonesia karya Sartono Kartodirdjo, pada tanggal 8 Januari 1944, Pemerintah Militer Jepang yang menduduki kawasan Nusantara  memperkenalkan sistem tata pemerintahan baru yang disebut Tonarigumi (Rukun Tetangga, RT) dan Azzazyokai (Rukun Kampung, RK/sekarang RW), mengenalkan sistem pemerintahan terkecil yang disebut dengan Tonarigumi.

Tonarigumi berarti kerukunan tetangga atau yang kita kenal sekarang dengan istilah rukun tetangga atau RT. Hanya saja, jika RT yang kita kenal sekarang dibentuk dengan berbasiskan kesadaran dan gotong royong, Tonarigumi dibentuk dengan tujuan mengetatkan pengendalian militer Jepang terhadap penduduk pribumi.

Dengan begitu, Jepang mendapatkan kontrol penuh terhadap masyarakat Indonesia. Mereka dapat dengan mudah mengetahui jika ada yang membelot atau melakukan pemberontakan.

Akan tetapi pada intinya, Tonarigumi adalah asosiasi antar tetangga yang menjadi cikal bakal lahirnya rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Organisasi ini merupakan unit terkecil dalam program mobilisasi nasional bentukan Jepang pada masa Perang Dunia II. Di Jepang sendiri program ini sudah diberlakukan sudah sejak lama. Fungsinya, untuk memobilisasi masyarakat, khususnya di tingkat bawah, sehingga pemerintah pusat dapat mengawasi dan mengontrol mobilitas masyarakatnya secara menyeluruh.

Dari sejarah singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa urgensi pembentukan rt/rw antara lain, pertama untuk membagi wilayah hingga yang terkecil dalam ruang lingkup beberapa rumah tangga, kedua, memudahkan dilakukannya pengawasan oleh pemerintah wilayah, ketiga, sebagai jembatan untuk pelaksanaan program pemerintah yang terkait penyelenggaraan pemerintahan yang berhubungan dengan urusan sosial, urusan kemasyarakatan dan urusan lainnya yang dianggap perlu adanya partisipasi masyarakat, keempat, rt/rw sebagai penghubung antara aspirasi warga untuk disampaikan kepada pemerintah secara perwakilan yakni melalui pengurus rukun warga dan rukun tetangga, demikian pula sebaliknya antara pemerintah kepada masyarakat terkait untuk beberapa urusan.

Namun, perlu diketahui bahwa rt/rw bukan bagian dari hierarkhi pemerintahan, bukan pula menjadi bagian satuan kerja dalam organisasi pemerintahan. Atau dengan kata lain, bahwa rt/rw adalah organisasi yang diinisiasi oleh warga masyarakat, dipilih oleh warga untuk memenuhi  fungsi di atas.

Mengapa Harus Resetting?

Ada hal yang berubah dalam pembinaan dan penataan rt/rw yang terjadi pasca reformasi, yakni pelibatan  organisasi warga ini pada kegiatan politik praktis. Mengapa itu bisa terjadi? Ada dua alasan pokok, pertama, rt/rw adalah ujung tombak yang punya pengaruh langsung kepada warga.

Terlebih bila pengurusnya punya kharisma  dan keteladanan  sehingga dijadikan panutan oleh warga. Oleh partai politik, ini adalah sinyal lumbung suara yang harus di dekati, pada saat yang sama, pengurusnya pun “tergiur” dengan iming janji janji  politik, kedua, pemilihan pengurus pun menjadi bagian dari sebuah proses politik, itu ditandai dengan adanya insentif yang diterima pengurus.

Dulu, yang namanya pengurus rt/rw ditunjuk  berdasarkan kesepakatan, sementara sekarang dipilih melalui sebuah mekanisme pemilihan. Yang namanya pemilihan, tentu ada kepentingan dan kebutuhan yang melingkupi. Istilah orang sekarang, tidak ada makan  siang gratis. Artinya, setiap kerja dan usaha harus disertai imbalan. Sudah sangat jauh berbeda dengan dulu, di mana ketokohan dan keikhlasan itu yang menjadi fundamen warga memilih pengurus warga ini.

Saya bisa memahami apa yang menjadi pertimbangan rasional Wali Kota Makassar melakukan penataan ulang yaitu, pertama, bahwa rt/rw harus dikembalikan “ruh” keberadaannya sebagai organisasi yang mengurusi warga tanpa embel  embel politik, kedua, bahwa eksistensi rt/rw sebagai jembatan antara warga dan  pemerintah dalam mengejawantahkan berbagai program dan kebijakan pemerintah yang bersentuhan langsung dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat, ketiga, pengurus rt/rw harus bebas dari pelbagai intrik dan friksi yang justru bisa menghambat peran serta masyarakat.

Olehnya itu berbagai peraturan  yang menjadi panduan dan mekanisme pemilihan, fungsi dan tugasnya harus di revisi  dan dilakukan pembenahan sehingga tidak terjadi penyimpangan dan semakin dalam terjadi deviasi fungsi itu.
Bahwa ada pihak pihak yang merasa ada penciptaan  gaduh, sejatinya itu disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan makna hadirnya organisasi  warga ini.

Yang seyogyanya justru perlu dilakukan saat ini, bahwa penataan ulang adalah sebuah keniscyaan baru untuk menyikapi berbagai dinamika yang terjadi serta juga merespon  perubahan yang makin kuat, yang menuntut perlunya reformasi dan inovasi organisasi yang reponsif.

Wali Kota Makassar sadar betul bahwa korelasi visi dan misi yang nantinya akan tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah memerlukan partisipasi  aktif masyarakat, pada saat yang sama rt/rw harus memahami apa substansi strategis implementasi berbagai program, kebijakan maupun kegiatan dalam urusan pemerintahan itu harus sampai kepada masyarakat.  Saya yakin, Wali Kota Makassar tidak punya maksud yang negatif terhadap  perlunya penataan ulang organisasi warga ini. Dan, tentu saja kita menunggu tindak lanjutnya dan mengawal proses dan hasilnya nanti.

Kearifan kritik

Mungkin kata ini terlalu naif untuk dipahami. Betapa tidak, kritik itu selalu dimaknai harus terjadi perubahan serta merta, tidak boleh dilakukan, tanpa tedeng aling aling harus dihentikan, dan seterusnya. Yang jelas dalam kritik itu ada pro dan kontra yang menandai suatu hal perlu mendapatkan tanggapan. Padahal, sejatinya kritik itu adalah “bonus” dari sebuah sikap pemilihan yang menginginkan adanya perubahan.

Pada sumber  yang di kritisi tentu telah mempertimbangkan pelbagai hal kenapa itu dilakukan dan wajib dikerjakan, sementara pengritik menyampaikan pesan bahwa boleh jadi ada ketidak-sesuaian  dengan fakta empiris. Atau boleh jadi juga adanya “ketersinggungan” kepentingan yang tidak terpenuhi.

Namun, kearifan kritik itu menjadi perlu  untuk mengukur rasionalitas ide yang disampaikan secara terkendali dalam psikologi  gagasan. Maksudnya, bahwa runutan  pemikiran dalam menyampaikan  kritikan telah melalui proses berfikir yang meredakan implikasi dampak yang ditimbullkan.

Kedewasaan seseorang diukur dari kemampuan untuk mengurai ide dalam menjelaskan secara utuh dan implementatif, bukan maya yang malah melahirkan kebingungan.

Mengapa setiap daerah satuan terkecil harus memiliki rt dan rw
Mengapa setiap daerah satuan terkecil harus memiliki rt dan rw