Apa saja contoh tindakan yang merendahkan martabat manusia?

Pada 26 Juni 2014, Dunia akan merayakan hari anti penyiksaan Internasional. Untuk Indonesia, hari anti penyiksaan ini merupakan momentum kesekian kalinya untuk melakukan pembenahan diri terhadap isu-isu penyiksaan. Sudah 16 Tahun Indonesia meratifikasi Konvensi anti penyiksaan. selama itu pula Indonesia menyatakan tunduk pada prinsip anti penyiksaan Internasional.

Masalahnya, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak memiliki komitmen dan perhatian terhadap pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Sehingga, SBY tidak menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu agenda prioritas dalam Pemerintahannya. Salah satunya terbukti dari masih tingginya angka penyiksaan di Indonesia. Selama 10 tahun terakhir, Pemerintahan SBY tidak melakukan langkah-langkah konkrit untuk menghentikan dan atau mengurangi praktik-praktik penyiksaan, membentuk mekanisme penghukuman yang efektif dan membuat mekanisme pemulihan yang mudah bagi korban penyiksaan dan atau keluarganya.

Tidak diratifikasinya Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Optional Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/OPCAT), mengakibatkan Indonesia juga tidak memiliki mekanisme pemantauan tempat-tempat penahanan yang terintegrasi dengan berbagai lembaga pengawasan dan perlindungan hak asasi manusia. Sehingga menjadikan tempat-tempat penahanan sebagai “surga” bagi pelaku-pelaku penyiksaan

Praktik pencambukan yang terjadi di Aceh akibat berlakunya Qanun Jinayat  tidak sesuai dengan Konvensi Anti Penyiksaan (Pasal 16) dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Pasal 7), praktik pencambukan ini juga cenderung disrkiminatif terhadap perempuan dan orang miskin yang tidak mampu membayar ganti uang atau benda berharga terhadap hukuman. Masalah ini juga dihadapi dalam praktik sunat perempuan atau Female Genital Mutilation (FGM), tindakan FGM sebagai tradisi sunat perempuan di Indonesia juga  dikuatkan oleh regulasi Kementerian Kesehatan yang merupakan bukti bahwa negara melakukan pembiaran terhadap praktek-praktek penyiksaan dan tindakan merendakan martabat manusia.

Berdasarkan pemantauan Working Group on the Advocacy against Torture (WGAT) di Januari – Mei 2014 terhadap kondisi penahanan dan ruang pemeriksaan, menunjukkan sebanyak 24 kasus yang terindikasi kuat terjadinya tindak penyiksaan, dan perlakuan buruk serta merendahkan martabat manusia yang tersebar diberbagai wilayah di Indonesia. Dari 24 kasus tersebut, terdapat 3 korban yang meninggal dunia diduga akibat tindak penyiksaan.

Pelaku atau dugaan pelaku tindak kejahatan penyiksaan terbanyak berasal dari kesatuan polisi, dari 24 Kasus yang berhasil didata, 22 kasus (92%) dilakukan oleh Anggota Polisi baik pada tingkatan Sektor, Resos sampai dengan Detasemen Khusus. Sisanya 2 kasus (8%) dilakukan oleh Sipir. Markas kepolisian di tingkat resor menjadi tempat yang paling sering terjadinya tindak penyiksaan, yakni sebanyak 14 Kasus. Disusul setingkat sektor sebanyak 7 kasus. Dan salah satu kasus yang menyita perhatian adalah yang terjadi di bulan Mei. Tukimin alias Kadir, warga Jebres – Solo diculik anggota Detasemen Khusus Anti- Teroris 88 [Densus 88] atas tuduhan sebagai salah satu anggota jaringan Teguh & Santosa. Tukimin disekap di dalam mobil dan dipukuli. Setelah tidak terbukti, Tukimin kemudian dilepas hari itu juga. Terkait proses penegakan hukum terhadap dugaan kasus penyiksaan diatas, pada 2014 ini belum ada yang sampai tingkat pengadilan. Hanya 12 kasus yang kemudian dilaporkan ke tingkat Propam Kepolisian di sektor masing – masing.

Salah satu akar masalah dari maraknya tindak penyiksaan diakibatkan karena Legislasi di Indonesia memberikan ruang yang besar terjadinya tindakan tersebut. Sampai saat ini Indonesia tidak memiliki regulasi yang secara khusus memasukkan kejahatan penyiksaan dalam hukum pidana, KUHP tidak mengatur delik Penyiksaan atau UU lainnya. Indonesia justru masih memiliki berbagai aturan yang masih pro penyiksaan, sebagai contoh qanun jinayat di Aceh yang masih memiliki hukuman yang berifat “corporal punishment”. Beberapa aturan dalam UU terorisme dan UU Narkotika juga  memungkinkan dilakukannya penangkapan/penahanan “in comunicado”. Disamping itu masih berlaku pula regulasi yang mengijinkan jangka waktu penahanan pra persidangan yang cukup lama.

Permasalahan semakin rumit ketika proses pembahasan regulasi yang dianggap dapat mencegah atau mengurangi praktik penyiksaan, seperti RUU KUHP, RUU KUHAP dan RUU Revisi Perlindungan saksi dan korban dilakukan secara lamban dan tidak menghasilkan progres yang baik.

Berkaitan dengan Hari Anti Penyiksaan ini, Working Group on the Advocacy against Torture (WGAT) memberikan Rekomendasi :

  1. Pemerintahan SBY harus memasukkan penyiksaan ke dalam KUHP sesuai dengan Pasal 1 Konvensi, atau menyusun RUU Anti Penyiksaan;
  2. Pemerintahan SBY harus segera meratifikasi OPCAT, dalam  rangka membentuk Mekanisme Pemantauan Independen terhadap tempat penahanan dengan mandat pemerintah di tingkat lokal maupun nasional;
  3. Pemerintahan SBY harus segera melakukan revisi atas KUHAP;
  4. Untuk mencegah penggunaan metode penyiksaan pdalam proses peradilan, Pemerintah harus menetapkan keterangan tersangka dibawah penyiksaan tidak dapat dijadikan bukti dalam persidangan; Pemerintah harus menyediakan akses yang penuh terhadap pengacara dan pemeriksaan medis yang dipilih oleh tersangka/terdakwa;
  5. Pemerintahan SBY harus memberikan Pelatihan mengenai anti penyiksaan kepada Penegak hukum;
  6. Pemerintahan SBY harus meninjau dan membatalkan Perda Syariah Aceh 2005 yang menggunakan hukuman fisik;
  7. Pemerintahan SBY harus membentuk badan independen untuk melakukan penyelidikan dan memeriksa kasus-kasus penyiksaan, serta menyertakan laporan hasil investigasi KOMNAS HAM;
  8. Pemerintah harus menyediakan mekanisme pemulihan yang efektif korban penyiksaan dan atau keluarganya;
  9. Pemerintah harus menyediakan data secara komprehensif terkait laporan, komplain, investigasi dan tuntutan terkait praktik-praktik penyiksaan;

Working Group on the Advocacy against Torture (WGAT): ELSAM [Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat], ICJR [Institute For Criminal & Justice Reform], HRWG [Human Rights Working Group], PBHI [Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia], YPHA [Yayasan Perlindungan Hak Anak], KPI [Koalisi Perempuan Indonesia], LBH Jakarta, dan Elpagar Kalbar.

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut praktik penyiksaan, perlakuan sewenang-wenang, dan merendahkan martabat manusia (ill treatment) masih terus terjadi. Kejadian tersebut bahkan terus berulang di Indonesia.

Berdasarkan data dari Komnas HAM pada periode 2019 sampai dengan April 2020 tercatatat 15 kasus dugaan penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi yang terjadi di tengah proses interogasi oleh pihak kepolisian. Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin mengatakan bahwa Indonesia memiliki pengalaman menyedihkan terkait penyiksaan yang terjadi di masa lalu dan berlanjut hingga saat ini.

"Masih banyak laporan yang diterima Komnas HAM terkait penyiksaan di berbagai tempat," katanya dalam diskusi "Dukungan Pers terhadap Pencegahan Penyiksaan" yang diselenggarakan secara daring oleh Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) bersama Dewan Pers, Selasa (26/01/2021).

Dia menjelaskan, tindakan penyiksaan mencederai konstitusi negara. Tepatnya, yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 G ayat 2 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”

Lebih jauh dia mengatakan, mekanisme internasional turut membahas pencegahan tindakan penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi. Mekanisme tersebut telah diatur dalam Optional Protocol dari CAT (OPCAT).

OPCAT, yang sekaligus untuk melengkapi upaya pencegahan penyiksaan sesuai dengan United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) dan menjadi alat praktis untuk membantu negara-negara dalam melaksanakan kewajiban internasional mereka berdasarkan UNCAT dan hukum kebiasaan internasional.

"Namun, hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi mekanisme tersebut," ujarnya.

Dalam mencegah upaya tindakan penyiksaan, Amiruddin mengajak semua pihak untuk melakukan pengawasan dan pemantauan ke tempat-tempat dimana orang-orang sedang dicabut kemerdekaannya oleh proses hukum. Hal tersebut , kata dia, direalisasikan oleh Komnas HAM bersama dengan lembaga independen lainn, seperti Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Baca Juga : Kasus Rasisme ke Natalius Pigai, Ambroncius Nababan Dijerat Pasal Berlapis

Para lembaga independen ini, sambungnya, bekerja sama untuk mengambil inisiatif membentuk mekanisme nasional dalam rangka pencegahan penyiksaan. Menurutnya, pihaknya juga menjalin dialog dengan pihak-pihak yang memiliki kewenangan di tempat-tempat terjadinya pencabutan kebebasan, seperti Ditjen Pemasyarakatan, Ditjen Imigrasi, dan Kementerian Sosial.

"Kami ingin bersama-sama mengingatkan semua pihak untuk memberikan perhatian kepada permasalahan ini sehingga praktik penyiksaan tidak terjadi. Langkah ini merupakan upaya bersama dalam mengatasi problema penyiksaan kontra dengan dasar negara, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab," tuturnya.

Dia mengatakan, Indonesia telah meratifikasi the UNCAT melalui UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Akan tetapi, perundangan tersebut belum menjadi rujukan atas terjadinya tindakan penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi maupun merendahkan martabat manusia.

Selain itu, kata Amir, Indonesia juga meratifikasi International Covenant On Civil And Political Rights melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pada Pasal 6 UU ditegaskan bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.

"Pengesahan kovenan tersebut sesuai dengan UUD 1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM," ungkapnya.

  • #Rasisme
  • #Penyiksaan
  • #komnas ham