Apa nama lain dari sunda kelapa

Ketika membicarakan sejarah Jakarta, nama resmi Jakarta menjadi salah satu tema yang menarik untuk dibahas. Betapa tidak, ada beragam nama yang digunakan untuk menamakan ibu kota negara Republik Indonesia ini. Bahkan, Jakarta pernah menggunakan salah satu nama yang diambil dari bahasa Belanda, yaitu Batavia.

Setiap tahunnya, 22 Juni diperingati sebagai  hari ulang tahun Jakarta. Sejarah Jakarta dapat diungkap dari berbagai macam sudut pandang. Salah satu sudut pandang yang mungkin banyak dilupakan, tetapi sebenarnya cukup penting dan menarik untuk dibahas adalah latar belakang penyebab terjadinya perubahan nama resmi Jakarta.

Jika dikaji dengan perspektif ilmu hukum administrasi publik, Jakarta telah mengalami pergantian nama sebanyak 13 kali. Namun, jika dikaji dengan perspektif ilmu linguistik, tepatnya sintaksis, yaitu cabang ilmu linguistik yang menempatkan kata dalam kelompok kata, frasa atau kalimat, sebenarnya Jakarta hanya mengalami pergantian nama sebanyak lima kali. 

Jika ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah pergantian nama resmi Jakarta, mari baca ulasan tentang 5 nama resmi Jakarta dari masa ke masa di bawah ini yang telah dirangkum dari berbagai sumber.

1. Sunda Kelapa

Menurut Supratikno Rahardjo dalam buku Sunda Kelapa sebagai Bandar di Jalur Sutra yang diterbitkan pada tahun 1996, berdasarkan catatan perjalanan penulis Portugis, Tome Pires, Sunda Kelapa adalah pelabuhan terbesar yang dimiliki oleh Kerajaan Sunda di Jawa Barat, selain Pontang, Cigede, Tamgara, dan Cimanuk, 

Pada abad ke-15 – abad ke-16, Sunda Kelapa mencapai masa keemasan dengan menjadi kota pelabuhan rempah-rempah di Indonesia bagian Barat. Pada saat itu, Sunda Kelapa dipimpin oleh Syahbandar Tumenggung Sang Adipati. Di bawah kepemimpinannya, Sunda Kelapa mengalami perkembangan pesat menjadi kota pusat perdagangan ekspor komoditas tujuan Malaka, Malaysia. Kesuksesan tersebut didorong oleh banyaknya pedagang Arab dan non-Arab yang berkunjung ke Sunda Kelapa untuk berbelanja rempah-rempah.

Mengutip Museum Nasional Indonesia, utusan Portugis yang saat itu dipimpin oleh Henrique Leme datang menemui Raja Sunda yang diwakili oleh Pangeran Sang Hyang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522, pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan antara Kerajaan Sunda dengan Portugis, di mana salah satunya mengenai pemberian perlindungan Portugis terhadap Sunda Kelapa dari adanya kemungkinan serangan yang dilancarkan oleh Kesultanan Demak.

2.  Jayakarta

Menurut laman Museum Nasional Indonesia, kesuksesan Kerajaan Sunda dalam mengantarkan Sunda Kelapa sebagai kota perdagangan rempah-rempah dunia menarik minat Kesultanan Demak untuk menaklukkan kota tersebut. Kesultanan Demak mengutus Fatahillah untuk melakukan ekspedisi penaklukkan Sunda Kelapa pada tahun 1526. 

Pada 22 Juni 1527, Fatahillah, Panglima Perang Kesultanan Demak, berhasil menaklukkan Sunda Kelapa. Berkat bantuan 1.500 tentara yang terdiri dari tentara Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon, Fatahillah berhasil menguasai Sunda Kelapa dengan menghancurkan armada Angkatan Laut Portugis yang bersandar di Teluk Jakarta.

Pasca peristiwa tersebut, Fatahillah segera merombak kepemimpinan kota dengan mengganti seluruh pejabat tinggi kota yang terafiliasi dengan Kerajaan Sunda dan menempatkan pejabat tinggi yang menyatakan setia kepada Kesultanan Demak.

Dikutip dari Kelas Pintar, Jayakarta berasal dari dua kata yang terdapat di dalam kamus bahasa Sansekerta, yaitu Jaya yang artinya kemenangan dan Karta yang artinya dicapai. Jika digabungkan, maka Jayakarta menghasilkan makna sebagai kota yang dimenangkan atas sebuah tindakan atau usaha. Tanggal 22 Juni diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta sampai dengan saat ini. 

Di bawah kendali Kesultanan Demak yang juga dibantu oleh Kesultanan Banten, perdagangan komoditas rempah-rempah di Jayakarta semakin bergeliat. Komoditas yang dijual di Jayakarta mulai mengalami diferensiasi dengan menjual komoditas hasil bumi selain rempah-rempah.

3. Batavia

Batavia Digital melansir, pada 20 Maret 1602, Belanda mendirikan asosiasi dagang yang dinamakan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Pada dasarnya, pendirian VOC bertujuan untuk mengembangkan praktik monopoli perdagangan komoditas rempah-rempah di Indonesia.

Pada tahun 1611, berbekal izin dari Kesultanan Banten yang memegang otoritas Jayakarta pada saat itu, Gubernur Jenderal VOC ke-4, Jan Pieterszoon Coen, memindahkan pusat operasional VOC dari Ambon ke Jayakarta yang diawali dengan mendirikan satu rumah kayu yang ditopang oleh dinding fondasi batu. Coen lebih memilih Jayakarta sebagai pusat administrasi dan operasional VOC karena banyaknya kantor asosiasi dagang yang telah dibangun oleh Portugis, Spanyol, dan Inggris di Banten. 

Dari yang awalnya hanya merupakan kantor kecil, VOC mengalami perkembangan pesat menjadi kompleks perkantoran, gudang, dan tempat tinggal orang Belanda, di mana gedung utamanya dikenal dengan nama Nassau Huis. Kemudian, VOC membangun kembali gedung terpisah yang dinamakan Mauritius Huis, yaitu benteng pertahanan yang dikelilingi oleh tembok setinggi 7 meter dan dilengkapi oleh sejumlah senjata meriam.

Pada 30 Mei 1619, di bawah kepemimpinan Coen dan bermodalkan senjata meriam yang ditempatkan di Mauritius Huis, VOC berhasil menaklukkan Jayakarta. Setelah berhasil mewujudkan mimpinya itu, Coen ingin mengubah nama Jayakarta sebagai upaya menghilangkan identitas budaya Islam yang dibawa oleh Kesultanan Demak yang masih melekat kuat di masyarakat Jayakarta.

Namun, ada peristiwa menarik di balik penggantian nama tersebut yang mungkin belum diketahui oleh banyak orang. Disadur dari buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta yang diterbitkan pada tahun 2016, pastor Katolik dan sejarawan Jakarta kelahiran Jerman yang menetap di Indonesia sejak 1963, Adolf J. Heuken, menjelaskan bahwa awalnya Coen menyodorkan nama Nieuw Hoorn kepada Dewan Tujuh Belas VOC atau yang dikenal dengan Heeren Zeventien.

FYI, mengutip buku Masa Penjajahan Kolonial yang diterbitkan pada tahun 2019, Dewan Tujuh Belas VOC (Heeren Zeventien) adalah dewan yang beranggotakan 17 orang direktur yang mewakili enam asosiasi pengusaha (kamers) dari enam negara bagian Belanda. Intinya, Heeren Zeventien memiliki tugas dan fungsi untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan mengenai urusan perdagangan di Hindia Belanda atau Indonesia. Selain itu, dewan yang berkedudukan di Amsterdam, Belanda, ini juga berwenang untuk memilih dan menetapkan Gubernur Jenderal VOC.

Kendati demikian, keinginan tersebut gagal diwujudkan setelah adanya keputusan Heeren Zeventien yang lebih memilih nama Batavia sebagai nama pengganti Jayakarta. Melalui nama Batavia, Heeren Zeventien ingin memberikan penghormatan kepada suku bangsa Batavier, yakni suku bangsa yang pertama kali mendiami wilayah Belanda dan ditetapkan sebagai nenek moyang bangsa Belanda. 

Pada akhirnya, nama Batavia digunakan cukup lama sekitar 3,5 abad, di mana tepatnya dimulai sejak tahun 1621 – 1942, tapi dengan beberapa kali penggantian nomenklatur. Pada 1 April 1905, Stad Batavia diubah menjadi Gemeente Batavia. Kemudian, pada 8 Januari 1935, Gemeente Batavia kembali mengalami perubahan menjadi Stad Gemeente Batavia.

4. Djakarta Tokubetsu Shi

Menyadur dari Ruangguru, Jepang pertama kali masuk ke Pulau Jawa pada Februari – Maret 1942 dengan mendarat di tiga wilayah, yaitu Teluk Banten, Eretan Wetan, Jawa Barat, dan Kragan, Jawa Tengah. Dalam pertempuran tersebut, Jepang berhasil memenangkan peperangan melawan armada gabungan Belanda yang dipimpin oleh Laksamana Karel Doorman. Satu per satu kota besar di Pulau Jawa berhasil ditaklukkan oleh Jepang, termasuk Batavia. Jepang berhasil menguasai Batavia pada 5 Maret 1942. 

Menurut Lasmijah Hardi dalam buku Jakartaku, Jakartamu, Jakarta Kita yang diterbitkan pada tahun 1987, pemerintah pendudukan Jepang mengubah nama Batavia menjadi Djakarta atau Djakarta Tokubetsu Shi. Proses pergantian nama tersebut bertepatan dengan perayaan Hari Pembangunan Asia Raya yang jatuh pada 8 Desember 1942. Nama Djakarta berasal dari nama Jayakarta, nama yang digunakan oleh Kesultanan Demak. 

Nama Djakarta semakin terkenal di kalangan masyarakat setelah dibangun Lapangan Ikada yang merupakan kepanjangan dari Ikatan Atletik Djakarta. 

5. Jakarta

Pemerintah Indonesia mengganti nama Djakarta menjadi Jakarta. Menteri Penerangan RI saat itu, Arnold Isaac Zacharias Mononutu, menyampaikan nama Jakarta di hadapan delegasi Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, pada 30 September 1949.

Nama Jakarta tersebut kembali disahkan pada 22 Juni 1956 oleh Wali Kota Jakarta saat itu, Sudiro. Pada saat itu, yurisdiksi Jakarta masih termasuk ke dalam otoritas Provinsi Jawa Barat. Status yurisdiksi tersebut mengalami perubahan setelah adanya keputusan pemerintah RI untuk menaikkan status Jakarta pada tahun 1959.

Berkat kenaikan status tersebut, Jakarta naik kelas dari yang awalnya merupakan kota praja yang dipimpin oleh wali kota menjadi Daerah Tingkat Satu atau setara dengan provinsi yang dipimpin oleh gubernur. Gubernur pertama Jakarta pada saat itu adalah Soemarno Sosroatmodjo.

Namun, saat itu Jakarta belum ditetapkan sebagai ibu kota negara RI. Tahun 1961 merupakan momentum bersejarah bagi Jakarta berkat adanya perubahan status dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Raya. Status ini semakin diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya Tetap Sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia Dengan Nama Jakarta yang ditetapkan pada 31 Agustus 1964.

Pada tahun 1990, peraturan hukum tersebut mengalami penyempurnaan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Kemudian, pada tahun 1999, peraturan hukum tersebut dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, di mana isinya memasukkan Kepulauan Seribu sebagai wilayah administratif keenam disamping Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Jakarta Timur.

Itulah ulasan tentang 5 nama resmi Jakarta dari masa ke masa. Setelah mengetahui lika-liku perjuangan Jakarta yang terus mengalami pergantian nama, mari mulai membiasakan diri untuk mengulik lebih dalam mengenai sejarah Jakarta.