Apa itu teknik information gap

(1)

ISSN (p) 2461-3961 (e) 2580-6335 Vol. 6 No. 1 Tahun 2020 pp. 1-9 Doi: 10.35569

1

Biormatika :

Jurnal ilmiah fakultas keguruan dan ilmu pendidikan

http://ejournal.unsub.ac.id/index.php/FKIP/

Penerapan Teknik

Information Gap

dalam Pembelajaran

Speaking

di Kelas II Sekolah Dasar

Anggi Citra Apriliana

STKIP Sebelas April Sumedang, Jawa Barat, Indonesia

Info Artikel

____________________ Sejarah Artikel: Diterima Januari 2020 Disetujui Februari 2020 Dipublikasikan Februari 2020

Abstrak

__________________________________________________________ Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses dan hasil pembelajaran speaking dengan menggunakan teknik

Information Gap di kelas II sekolah dasar Laboratorium UPI

Kampus Cibiru. Metode dalam penelitian ini menggunakan PTK dengan model spiral Kemmis dan Mc Taggart yang terdiri dari 3 siklus. Kegiatan pembelajaran dalam setiap siklus menggunakan teknik Information Gap yang menekankan pada komunikasi nyata

„real communication‟ sehingga dapat meningkatkan kepercayaan

diri siswa dalam berbicara bahasa Inggris. Berdasarkan hasil penelitian selama 3 siklus, pembelajaran speaking dengan teknik

Information Gap dapat menciptakan suasana pembelajaran bahasa

Inggris yang menyenangkan dan menggairahkan serta dapat meningkatkan kemampuan speaking siswa, terbukti dengan adanya peningkatan nilai rata-rata hasil speaking siswa pada setiap siklusnya yaitu pada siklus I rata-rata siswa yang memperoleh nilai baik adalah 31,81%, siklus II adalah 52 %, dan siklus III adalah 80%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penulis merekomendasikan kepada para guru untuk menerapkan teknik

Information Gap dalam pembelajaran speaking di sekolah dasar

dengan persiapan yang baik dan matang mulai dari perencanaan pembelajaran, media, sampai kepada evaluasi yang digunakan. Kata kunci: speaking, teknik information gap

Abstract

__________________________________________________________

This research was conducted to find out how the process and result of speaking learning by using the information gap technique in grade II of Laboratorium elementary school UPI Cibiru. The method of this research used classroom action researh with the Kemmis and Mc Taggart spiral model consisting of 3 cycles. Learning activities in each cycle use the Information Gap technique that emphasizes real communication that can increase

(2)

2

students confidence in speaking english. Based on the results of research for 3 cycles, speaking learning with Information Gap Techniques can create a pleasant and exciting atmosphere of learning English and can improve students “speaking abilities”, as evidenced by an increase in the average value of students‟ speaking results in each cycle, in the first cycle average students who get good grades is 31.81%, cycle II is 52%, and cycle III is 80%. Based on the results of the research, the author recommends that teachers apply Information Gap techniques in speaking learning in the elementary schools with good preparation.

Keywords: Speaking, information gap technique

PENDAHULUAN

Pada umumnya, guru memiliki kesulitan dalam meningkatkan keterampilan

speaking bagi siswa SD karena siswa

memiliki rasa kurang percaya diri dan merasa malu dalam berbicara bahasa Inggris. Selain itu, guru beranggapan bahwa keterampilan

speaking merupakan keterampilan yang sulit

diajarkan karena siswa harus menguasai beberapa elemen dari bahasa seperti

vocabulary (kosa kata), pronunciation

(pelafalan), structure (susunan), function

(fungsi) dan lain sebagainya. Kayi (Rini, 2016) menyatakan bahwa selama bertahun-tahun, guru bahasa Inggris mengajarkan keterampilan berbicara hanya dengan menggunakan metode pengulangan atau latihan dialog.

Berdasarkan permasalahan yang ada tersebut, maka peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan mengaplikasikan teknik information gap pada siswa kelas II SD Laboratorium UPI Kampus Cibiru. Teknik information gap

memperbolehkan siswa untuk bergerak dengan bebas dan mengandung unsur permainan. Pembelajaran yang mengandung unsur permainan dapat membuat siswa merasa senang dan bersemangat selama mengikuti proses pembelajaran sehingga dapat menciptakan suasana yang menyenangkan dan memotivasi siswa untuk belajar lebih aktif dan kreatif. Teknik

information gap ini lebih menekankan pada

komunikasi nyata “real communication”

karena memberikan kesempatan kepada siswa untuk praktik berbicara secara langsung. Selain itu, pembelajaran dengan teknik

information gap menggunakan rangsang

gambar visual yang terbukti membantu daya ingat siswa. Yang paling penting dalam teknik information gap memiliki unsur yang tidak dapat diterka sebelumnya, hal ini penting agar proses komunikasi berlangsung realistis. Diharapkan dengan mengaplikasikan teknik information gap ini, dapat memotivasi dan memfasilitasi karakteristik siswa SD yang senang melakukan stirring activity

dimana siswa bebas bergerak. Hal tersebut dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menggairahkan dan menantang bagi siswa serta dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam keterampilan speaking dan akhirnya dapat mengurangi kesulitan siswa dalam berkomunikasi secara lisan dalam bahasa Inggris.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses pembelajaran speaking pada siswa kelas II SD Laboratorium UPI Kampus Cibiru.

Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:

a. Mengetahui proses pembelajaran Speaking

pada siswa kelas II SD Laboratorium UPI Kampus Cibiru dengan teknik information gap.

b. Mengetahui hasil pembelajaran speaking

(3)

3 Kampus Cibiru dengan teknik information

gap.

Speaking merupakan keterampilan

berbahasa yang produktif dan merupakan keterampilan dalam meyampaikan pesan melalui bahasa lisan kepada orang lain. Keterampilan ini merupakan implementasi dari hasil simakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Philips (2008:34) dalam buku young learners bahwa:

Teaching children to speak a foreign language can be very rewarding, as they are less self conscious than older learners. Children also respond strongly to music and rhythm, and you will find that they are more easily able to learn a chant or a song than a spoken test.

Mengajar siswa-siswa untuk berbicara bahasa asing bisa sangat bermanfaat, karena mereka memiliki kesadaran yang kurang daripada orang dewasa. Siswa-siswa sangat senang melakukan percakapan sederhana, menyanyikan sebuah lagu, dan belajar menggunakan frase pendek. Hal ini merupakan cara yang lebih mudah bagi mereka untuk mencapai pelafalan seperti

native speaker (penutur asli).

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Paul (2007:76) dalam buku Teaching English

to Children in Asia bahwa cara yang dapat

dilakukan oleh guru untuk membantu siswa dalam mempersiapkan mereka supaya siap melakukan komunikasi dalam bahasa Inggris dintaranya yaitu:

a. Memperkenalkan dan mempraktekkan pola dengan cara-cara yang bermakna bagi siswa, seperti dalam permainan, situasi dimana siswa ingin mengekspresikan diri, dan melalui kegiatan personalisasi. b. Berlatih pola baru dalam kombinasi

dengan pola lain yang telah dipelajari oleh siswa, sehingga mereka dapat menginternalisasinya dengan mudah. c. Memberikan banyak kesempatan bagi

siswa untuk menebak bagaimana manggunakan pola yang fleksibel dalam situasi baru.

d. Memberikan kepercayaan diri pada siswa untuk berbicara di depan kelas secara bebas dengan siswa lain.

e. Membangun kekuatan mental siswa dalam

menghadapi sesuatu yang

membingungkan dan situsi baru bagi mereka dengan menyajikan puzzle yang harus dipecahkan oleh siswa, dan yakinkan bahwa pada akhirnya mereka dapat menyelesaikannya dengan sukses. f. Fokus pada pertanyaan dengan pola-pola

baru, sehingga siswa dapat bertanya tentang hal-hal yang mereka tidak tahu.

Ada tiga alasan utama pentingnya menekankan siswa dalam keterampilan

speaking di kelas. Pertama, kegiatan speaking

memberikan kesempatan untuk mempraktekkan kegiatan real-life speaking

(berbicara nyata) di dalam kelas. Kedua, tugas speaking dimana siswa mencoba menggunakan salah satu atau semua aspek bahasa yang mereka tahu memberikan umpan balik bagi guru dan siswa. Mereka dapat mengukur seberapa baik yang telah mereka lakukan, baik mengenai kesuksesan dalam berbahasa atau masalah-masalah dalam bahasa yang mereka alami. Dan ketiga, semakin banyak siswa mempunyai kesempatan dalam mengaktifkan berbagai unsur bahasa yang telah mereka simpan di otaknya, semakin banyak pula bahasa yang mereka gunakan secara otomatis. Ini berarti bahwa mereka dapat menggunakan kata-kata dan frasa secara lancar tanpa disadari.

Kegiatan speaking harus menarik dan melibatkan semua siswa. Jika semua siswa berpartisipasi secara penuh dan guru telah mengatur kegiatan dengan baik yang kemudian dapat memberikan simpati serta umpan balik yang berguna bagi siswa, mereka akan mendapatkan kepuasan yang luar biasa dari kegiatan speaking tersebut.

Scott Thornbury (Harmer, 2007) menyarankan bahwa pengajaran speaking

bergantung pada budaya speaking di kelas tersebut. Supaya siswa dapat meningkatkan keterampilan speakingnya, maka kelas harus menjadi „talking classroom‟ dimana siswa mempunyai kesempatan yang banyak dalam berbicara bahasa Inggris, sehingga mereka lebih percaya diri dalam mengungkapkan perasaan nya menggunakan bahasa Inggris. Dalam bahasa ibu, siswa dapat mengekspresikan emosi, berkomunikasi dengan intensif, mengeksplorasi bahasa, serta bersenang-senang dengan bahasa. Hal ini diharapkan dengan adanya „talking

(4)

4

classroom‟, mereka mampu melakukan hal

yang sama dalam bahasa Inggris.

Jika kita bertanya tentang sesuatu tetapi kita sudah mengetahui jawabannya, itu bukan komunikasi sebab tidak ada kesenjangan informasi atau lebih umum dikenal dengan „information gap‟. Sebaliknya jika kita bertanya tentang sesuatu karena kita tidak/belum mengetahui jawabannya, ini dinamakan ada information gap.

Ismukoco (2012) menyarankan, apabila ingin meningkatkan kelancaran berbicara dalam bahasa Inggris maka lakukan dengan Information Gap Activities.

Seperti telah yang telah diungkapkan, salah satu faktor yang penting agar komunikasi tampak realistis ialah „adanya unsur yang tidak dapat diterka sebelumnya‟. Para siswa tidak dapat mengetahui sebelumnya bagaimana lawan bicara mereka akan memberi respon atau reaksi pada sesuatu yang mereka katakan. Dalam hal ini, ada „kesenjangan informasi‟.

Dalam definisi secara sempit,

information gap mengacu pada aktivitas kerja

pasangan (pair work) dengan menggunakan dua lembar kerja (work sheet) yang berbeda, dimana siswa melengkapi informasi yang kurang lengkap dengan mengajukan dan menjawab pertanyaan. Sedangkan definisi secara luas mengacu pada seseorang yang mempunyai informasi tentang sesuatu, sedangkan orang lain tidak memilikinya.

Harmer (Defrioka,2016) menjelaskan bahwa, Information gap berarti celah antara dua orang dalam informasi yang mereka miliki, dengan percakapan membantu celah tersebut sehingga pada akhirnya kedua pembicara memiliki informasi yang sama. Dalam teknik information gap, siswa memiliki informasi yang berbeda. Mereka hanya dapat melengkapi informasinya dengan berbagi informasi antar sesama melalui komunikasi. Karena mereka memiliki informasi yang berbeda, maka ada „gap‟

diantara mereka.

Information gap merujuk pada bagian

tertentu yang tidak terpisahkan dalam komunikasi sehari-hari. Pembicara atau penulis biasanya menyatakan sesuatu yang belum diketahui oleh pendengar atau pembaca. Pendengar atau pembaca secara

aktif mengode dan mereaksi. Pendengar kemudian berbicara menjadi informan untuk sementara waktu. Penerima atau pendengar baru tersebut tidak akan dapat menduga sesuatu yang akan dikatakan oleh pembicara waktu itu dan seterusnya.

Ress (Fatrina,et.al, 2015) menyatakan bahwa, teknik Information Gap melibatkan siswa dalam berbagi informasi yang mereka miliki untuk menyelesaikan masalah, mengumpulkan informasi, dan membuat keputusan.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa information gap

merupakan suatu teknik dimana siswa kehilangan suatu informasi yang mereka butuhkan dan untuk menyelesaikan tugas dan menemukan informasinya itu, mereka perlu berbicara satu sama lain sehingga dapat menemukan informasi yang mereka cari.

Teknik ini sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran speaking di Sekolah Dasar karena teknik information gap ini lebih menekankan pada komunikasi nyata “real

communication”. Teknik ini memberikan

kesempatan kepada siswa untuk praktik berbicara secara langsung sehingga siswa dapat berlatih berbicara. Pembelajaran dengan teknik information gap menggunakan rangsang gambar visual yang terbukti membantu daya ingat siswa dan membuat pembelajaran menjadi menyenangkan. Dalam teknik information gap, memiliki unsur yang tidak dapat diterka sebelumnya, hal ini penting agar proses komunikasi berlangsung realistis.

.

METODE

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain penelitian tindakan kelas (classroom action research) dengan menggunakan model spiral Kemmis dan Mc Taggart yaitu model siklus yang dilakukan secara berulang dan berkelanjutan.

(5)

5 .

Gambar 1. Siklus Kemmis & Mc.Taggart

Dalam penelitian ini, subjeknya adalah siswa kelas II SD Laboratorium UPI Kampus Cibiru. Siswa kelas II tergolong ideal yaitu sebanyak 25 orang siswa. Siswa perempuan berjumlah 15 orang dan siswa laki-laki berjumlah 10 orang. Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah tes kemampuan speaking, observasi, wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi.

Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam pembelajaran speaking, penulis membuat format penilaian speaking yang terdiri dari tiga aspek penilaian di antaranya yaitu mengenai pronunciation (pengucapan),

fluency (kelancaran), dan task achievement

(pencapaian tugas). Penulis menggunakan alat perekam/recorder untuk mengetahui kemampuan siswa dalam pembelajaran

speaking.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setiap kegiatan dalam information gap, biasanya terdapat set A dan set B. Siswa bekerja dalam pasangan-pasangan atau kelompok-kelompok gap. Banyak aktivitas-aktivitas yang dapat digunakan dalam

information gap. Aktivitas-aktivitas tersebut

antara lain: cartoon sequence, which face?,

who‟s who?, describe and draw, loss of

memory, jumbled picture, shared

information.

Dalam aktivitas „cartoon sequence, setiap individu mendapatkan gambar yang berbeda. Setiap gambar memiliki nomor atau huruf sebagai penanda. Siswa bekerja dalam pasangan. Aktivitas ini menuntut pasangan untuk menentukan alur cerita yang tepat berdasarkan gambar yang mereka miliki. Dalam pelaksanaanya, biasanya siswa duduk saling membelakangi.

Aktivitas „which face?‟ dilakukan dengan menempel foto beberapa orang dengan berbagai profesi. Gambar tersebut biasa diletakkan pada sebuah poster atau difotokopi menjadi sebuah lembar kerja. Dalam pasangan atau kelompok, siswa harus menentukan profesi masing-masing dengan melihat wajah, baju, usia, dan ciri-ciri fisik lainnya. Rentang pekerjaan itu mulai dari komponis, penyanyi jazz, novelis, penyiar radio, guru, penyanyi rock, dokter, dosen, polisi, dan sebagainya. Aktivitas ini membuat siswa berbicara tentang ciri khusus yang mungkin dapat membedakan beragam profesi.

Aktivitas „describe and draw‟ dilakukan dengan cara membagi kelas menjadi dua. Separuh siswa diminta menghadap ke belakang dan harus menggambar sesuai dengan deskripsi yang disampaikan oleh pasangannya. Siswa yang menggambar boleh mengajukan pertanyaan. Keberhasilan komunikasi diantara pasangan-pasangan tersebut dapat diukur dengan membandingkan gambar mereka dengan gambar aslinya. Variasi dalam aktivitas

„descrie and draw‟ yaitu „find the

differences‟. Siswa bekerja secara

berpasangan, masing-masing siswa memiliki gambar yang mirip tetapi setelah diselidiki, gambar tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Setiap siswa harus menemukan persamaan dan perbedaan yang ada pada gambar masing-masing. Dalam bertukar informasi, siswa tidak boleh memperlihatkan gambar masing-masing kepada pasangannya, tetapi mereka harus menjelaskan dengan mendeskripsikan atau memberi pertanyaan dan jawaban yang terkait dengan gambar tersebut, yang akhirnya mereka dapat melengkapi gambar masing-masing.

(6)

6 Aktivitas „loss of memory‟ dilakukan

dengan cara salah seorang siswa menulis sebuah nama orang terkenal di papan tulis, sedangkan guru tidak melihatnya. Guru berperan sebagai tokoh terkenal itu dan terkena penyakit amnesia (penyakit pelupa), sehingga ia bertanya kesana kemari tentang identitas dirinya. Cara yang juga dapat dilakssiswaan adalah meminta separuh siswa menghadap ke belakang untuk sementara waktu. Tulislah nama seorang tokoh terkenal di papan tulis lalu hapuslah. Siswa yang semula menghadap ke belakang menanyakan kepada pasangan mereka tentang identitas dirinya.

Versi lain dari aktivitas „loss of

memory‟ adalah meminta seluruh siswa

berdiri di depan kelas dan menempeli baju bagian belakang mereka dengan nama-nama tokoh terkenal. Tugas yang harus dilakukan siswa adalah menemukan identitas dirinya dengan mengajukan berbagai pertanyaan kepada teman-temannya. Suasana memang menjadi sedikit gaduh, tetapi aktivitas ini sangat menyenangkan bagi siswa.

Aktivitas „jumbled picture‟

dilaksanankan secara berkelompok. Setiap kelompok di beri dua lembar kertas yang berisi tiga atau empat gambar yang tidak berurutan yang jika diurutkan akan menghasilkan sebuah cerita sederhana. Siswa berusaha menyusun cerita tersebut dengan tidak saling melihat gambar lain. Seorang siswa memulai pekerjaan dengan mendeskripsikan sebuah gambar yang mungkin bisa dijadikan permulaan cerita, kemudian siswa lain memberikan deskripsi yang bisa menyambung cerita gambar pertama sampai cerita tersebut selesai.

Aktivitas „shared information‟ paling banyak dipakai dengan berbagai versi. Secara umum, prosedur pelaksanaanya adalah dengan membagi kelas ke dalam pasangan atau kelompok. Setiap siswa pada semua pasangan, memperoleh selembar informasi yang tidak lengkap, yang bereda kelengkapannya dari pasangan mereka. Informasi yang tidak ada dalam lembar siswa terdapat pada lembar kerja pasangannya, demikian juga sebaliknya. Tugas siswa yaitu menanyakan informasi yang hilang tersebut pada pasangannya.

Walaupun aktivitas information gap

bermacam-macam, tetapi hal tersebut tidak menutup kemunginan guru mengadakan variasi. Tujuannya agar para siswa tidak merasa jenuh dan merasa senang saat proses pembelajaran berlangsung.

Berdasarkan hasil penelitian pada siklus I diperoleh nilai secara individu sebagai berikut: 7 (31,81%) siswa yang memperoleh nilai baik. Nilai baik diperoleh dari kriteria fluency (kelancaran),

pronunciation (pengucapan) serta task

achievement (pencapaian tugas) baik; 7

(31,81%) siswa mendapat nilai cukup. Kriteria cukup untuk aspek penilaian fluency,

pronunciation, dan task achievement, siswa

sudah cukup. Sedangkan 8 (36,36%) siswa mendapat nilai kurang. Kriteria kurang untuk aspek fluency, pronunciation, dan task

achievement kurang.

Berdasarkan uraian hasil perolehan nilai siswa secara individu di atas, dapat disimpulkan bahwa pada siklus I ini, pembelajaran belum berhasil karena hanya memperoleh 31,81% untuk nilai baik. Hal ini dikarenakan siswa mengalami kesulitan dalam mengkomunikasikan gambar, serta siswa memiliki kurang percaya diri dan rasa malu dalam berbicara bahasa Inggris.

Berdasarkan hasil penelitian pada siklus II diperoleh nilai secara individu sebagai berikut: 13 (52%) siswa memperoleh nilai baik. Nilai baik diperoleh dari kriteria

fluency (kelancaran), pronunciation

(pengucapan) serta task achievement

(pencapaian tugas) baik; 7 (28%) siswa mendapat nilai cukup. Kriteria cukup untuk aspek penilaian fluency, pronunciation, dan

task achievement, siswa sudah cukup.

Sedangkan 5 (20%) siswa mendapat nilai kurang. Kriteria kurang untuk aspek fluency,

pronunciation, dan task achievement kurang.

Berdasarkan uraian hasil perolehan nilai siswa secara individu di atas, dapat disimpulkan bahwa pada siklus II tindakan I ini, pembelajaran sudah cukup berhasil dan mengalami peningkatan karena memperoleh 52% untuk nilai baik. Hal ini karena siswa sudah antusias dalam mengikuti proses pembelajaran, siswa sudah percaya diri dalam berbicara bahasa Inggris dan siswa tidak mengalami kesulitan dalam mendeskripsikan

(7)

7 gambar selama kegiatan berlangsung. Akan

tetapi, guru harus lebih meningatkan perhatian, arahan dan bimbingan pada siswa agar hasil yang diperoleh pada pembelajaran berikutnya dapat lebih baik.

Pada siklus III, pembelajaran sudah mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Siswa sangat antusias mengikuti pembelajaran, siswa memiliki percaya diri yang cukup tinggi dalam berbicara bahasa Inggris, mereka tidak lagi merasa malu dan takut dalam mengucapkan benda-benda menggunakan bahasa Inggris. Siswa tidak lagi mengalami kesulitan dalam mendeskripsikan gambar karena gambar yang disediakan oleh guru sangat jelas sehingga siswa tidak bertanya-tanya dan merasa kebingungan. Siswa tidak lagi mengalami kesulitan dalam mengkomunikasikan gambar karena benda yang terdapat pada gambar tidak terlalu banyak sehingga membuat siswa paham terhadap gambar tersebut. Siswa tidak lagi memiliki kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya karena pada umumnya siswa sangat senang menempel gambar yang telah disediakan oleh guru.

Pada umumnya proses pembelajaran pada siklus III sudah sesuai yang diharapkan. Berdasarkan uraian di atas, dapat dibuat grafik perolehan hasil nilai rata-rata dari siklus I, II, dan III sebagai berikut:

Gambar 2. Nilai Rata-rata Keterampilan

Speaking Setiap Siklus

Berdasarkan hasi penelitian pada siklus III diperoleh nilai secara individu sebagai berikut: 20 (80%) siswa yang memperoleh nilai baik. Nilai baik diperoleh dari kriteria

fluency (kelancaran), pronunciation

(pengucapan) serta task achievement

(pencapaian tugas) baik, 3 (12%) siswa mendapat nilai cukup. Kriteria cukup untuk

aspek penilaian fluency, pronunciation, dan

task achievement, siswa sudah cukup.

Sedangkan, 2 (8%) siswa mendapat nilai kurang. Kriteria kurang untuk aspek fluency,

pronunciation, dan task achievement kurang.

Berdasarkan uraian hasil perolehan nilai siswa secara individu di atas, dapat disimpulkan bahwa pada siklus III ini, pembelajaran sudah berhasil dan mengalami peningkatan yang sangat signifikan karena memperoleh 80% untuk nilai baik. Hal ini karena siswa sudah sangat antusias dalam mengikuti proses pembelajaran, siswa sudah percaya diri dalam berbicara bahasa Inggris dan siswa tidak mengalami kesulitan selama kegiatan berlangsung. Pada saat proses pembelajaran, siswa melakukan kegiatan secara santai dan tidak tegang. Siswa diberi kebebasan supaya siswa merasa nyaman dan suasana pembelajaran menjadi menyenangkan serta siswa dapat dikondisikan dengan baik.

Pada siklus III, siswa melakukan komunikasi dengan lancar bersama pasangannya serta siswa sudah bisa mendeskripsikan gambar menggunakan bahasa Inggris dengan baik. Dengan demikian, berdasarkan peningkatan yang dialami pada siklus I sampai siklus III dapat disimpulkan bahwa teknik information gap dapat meningkatkan proses dan hasil pembelajaran siswa dalam keterampilan speaking.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dan hasil penganalisisan data, penulis mengemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1.Teknik information gap tepat untuk diterapkan dalam pembelajaran speaking di kelas II SD Laboratorium UPI Kampus Cibiru. Dengan teknik information gap ini ternyata tercapai suasana pembelajaran bahasa Inggris yang menyenangkan, dan menggairahkan. Dengan teknik ini, siswa berinteraksi secara bebas satu sama lain untuk mengumpulkan informasi dari rekan mereka, sehingga menciptakan suasana yang santai dimana siswa merasa nyaman dan tidak merasa terbebani selama proses pembelajaran berlangsung. Selain itu, dengan teknik

information gap memberikan banyak

kesempatan bagi siswa untuk praktik

31,81% 52% 80% 0.00% 50.00% 100.00% Siklus I Siklus II Siklus III N IL A I R A TA -R A TA S IKL U S

(8)

8 berbicara dalam bahasa Inggris karena teknik

ini menekankan pada komunikasi nyata „real

communication‟, sehingga siswa memiliki

rasa antusias yang tinggi selama proses pembelajaran serta meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam berbicara bahasa Inggris.

2. Hasil pembelajaran dengan teknik

information Gap mengalami peningkatan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebanyak 3 siklus dapat diperoleh dengan nilai rata-rata pada siklus I yaitu 31,81 % untuk nilai baik, nilai rata-rata pada siklus II memperoleh 52% untuk nilai baik, nilai rata-rata pada siklus III memperoleh 80% untuk nilai baik. Bila kita bandingkan hasil yang diperoleh dari siklus III jauh lebih besar dari hasil pada siklus I. Dengan hal ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran

speaking dengan teknik information gap

berhasil dengan baik.

Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis menyampaikan beberapa saran sebagai pengembangan pembelajaran

speaking di kelas II Sekolah Dasar. Adapun

saran-saran yang hendak penulis sampaikan antara lain:

1. Pembelajaran dengan menggunakan teknik information gap memerlukan persiapan yang matang serta waktu yang cukup lama sehingga menuntut guru untuk mempersiapkan rencana pembelajaran sebaik mungkin tidak asal-asalan, supaya pembelajaran dapat terlaksana dengan lancar dan memperoleh hasil yang baik sesuai dengan harapan.

2. Dalam pengaplikasian teknik information gap, seorang guru harus mempersiapkan diri dengan matang karena dalam teknik ini, seorang guru memiliki tugas yang cukup besar diantaranya yaitu: a. Guru bertindak sebagai designer dan organizer

dimana guru seperti seorang sutradara film. Guru harus mendesain dan mengatur kelas sebelum pembelajaran di mulai, b. Guru bertindak sebagai participant dan

promter dimana seorang guru harus

berpartisipasi dalam kegiatan serta harus memotivasi siswa selama proses pembelajaran berlangsung, c. Guru bertindak sebagai language instructor

dimana guru berperan sebagai instruktur

bahasa asing serta sebagai penyedia bahan dan pengambil inisiatif dalam kegiatan, d. Guru bertindak sebagai investigator dan

assessor dimana guru sebagai penyidik

dan penilai selama kegiatan berlangsung. 3. Dengan melihat keberhasilan proses

pembelajaran speaking menggunakan teknik information gap di kelas II SD Laboratorium UPI Kampus Cibiru, maka setiap guru atau calon guru hendaknya mempelajari dan mencoba teknik

information gap untuk diterapkan di

berbagai jenjang pendidikan.

4. Walaupun hasil penelitian ini menunjukkan keberhasilan pengaplikasian teknik information gap dalam pembelajaran speaking di kelas II SD Laboratorium UPI Kampus Cibiru, bukanlah berarti bahwa teknik information gap cocok untuk semua materi pelajaran. Oleh karena itu, guru harus cermat dalam memilih dan menentukan teknik yang cocok untuk materi-materi pelajaran tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Defrioka, Andri. (2016). Pemanfaatan Kegiatan Information Gap dalam Pengajaran Berbicara. Jurnal Lingua

Didaktia. Vol 10 No. 2. [Online].

Tersedia:

http://ejournal.unp.ac.id/index.php/ling uadidaktika/

Fatrina, N. (2015). Penerapan Teknik Information Gap untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara Siswa Kelas

Dua di SMA Negeri 11 Pekanbaru.

Skripsi: Universitas Riau. [Online]. Tersedia:

https://media.neliti.com/media/publicat ions/206461-none.pdf

Harmer, J. (2007). How to Teach English.

England: Longman.

Ismukoco. (2012). Information Gap Activities

untuk Meningkatkan Keterampilan

Berbicara Bahasa Inggris. Makalah

Pembelajaran. Surabaya: Widyaiswara LPMP Jawa Timur.

Paul, D. (2007). Teaching English to

Children in Asia. Hongkong:

(9)

9 Philips, S. (2008). Young Learners. New

York. Oxford University Press.

Rini, Dini. (2016). Improving Students

Speaking Ability the Use of

Information Gap Activities. Skripsi: