Apa bahasa arabnya ustadz menhelaskan debgan penjelasan yang sangat jelas

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat tersebut engkau membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At-Taubah : 103)

Zakat merupakan amaliah ijtima’iah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan dan kemasyarakatan) dan salah satu dari rukun Islam yang mempunyai status dan fungsi penting dalam syariat Islam sehingga Alquran menegaskan kewajiban zakat bersamaan dengan kewajiban shalat di (dua puluh delapan) ayat.

Pengertian Zakat

Secara bahasa zakat berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah. Sedangkan dalam istilah fiqih, zakat memiliki arti sejumlah harta tertentu yang diambil dari harta tertentu dan wajib diserahkan kepada golongan tertentu (mustahiqqin). Zakat dijadikan nama untuk harta yang diserahkan tersebut, sebab harta yang dizakati akan berkembang dan bertambah. Syekh Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Hishni berkata :

وَسُمِّيَتْ بِذاَلِكَ ِلأَنَّ المْاَلَ يَنْمُوْ بِبَرَكَةِ إِخْرَاجِهاَ وَدُعَاءِ الآخِذِ

“Disebut zakat karena harta yang dizakati akan berkembang sebab berkah membayar zakat dan doa orang yang menerima.” (Syekh Taqiyyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Hishni, Kifayatul Akhyar, Surabaya, al-Haramain, cetakan kedua, 2002, halaman 104)

Sejarah Zakat

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kapan zakat diwajibkan. Di dalam kitab Hasyiyah al-Jamal dijelaskan bahwa Zakat mal mulai diwajibkan di bulan Sya’ban tahun kedua hijriah bersamaan dengan zakat fitri. Ada yang berpendapat bahwa zakat diwajibkan sebelum baginda Nabi hijrah ke Madinah.

Namun, menurut pendapat yang masyhur di kalangan para pakar hadits, zakat mal diwajibkan pada bulan Syawal tahun kedua hijriah sedangkan zakat fitri diwajibkan dua hari sebelum hari raya Idul Fitri setelah diwajibkannya puasa Ramadhan. (Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ala al-Minhaj, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan kedua, 2003, jilid dua, halaman 96)

Hukum Zakat

Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah menyebutkan bahwa “Islam dibangun di atas 5 tiang pokok, yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramaduan, dan naik haji bagi yang mampu.” {HR. Bukhari & Musllim}. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Jenis-jenis Zakat

Zakat terbagi atas dua jenis yakni :

Zakat yang wajib dikeluarkan muslim dan muslimah, baligh atau belum, kaya atau tidak, dengan ketentuan bahwa dia hidup pada malam hari raya dan memiliki kelebihan mu’nah (biaya hidup), baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang-orang yang ditanggung nafkahnya, pada hari raya Idul Fitri dan malamnya (sehari semalam). Besar zakat ini menurut jumhur (Maliki, Syafi’i, Hambali) setara dengan dengan 2176 gram atau 2,2 kilogram.

Perlu disebutkan bahwa sha’ merupakan ukuran takaran, bukan timbangan. Karenanya, maka ukuran ini sulit untuk dikonversi ke dalam ukuran berat, sebab nilai berat satu sha’ itu berbeda-beda, tergantung berat jenis benda yang ditakar. Satu sha’ tepung memiliki berat yang tidak sama dengan berat satu sha’ beras. Oleh karenanya, sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah, para ulama menyarankan agar mengeluarkan zakat fitrah sejumlah 2,5 sampai 3,0 kilogram.

Zakat yang dikeluarkan seorang muslim yang mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.

Hukum Membayar Zakat Fitrah dengan Uang

Terkait hukum membayar zakat fitrah dalam bentuk uang, para ulama juga berbeda pendapat.

Pendapat Pertama, mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali sepakat bahwa zakat fitrah tidak boleh diberikan kepada penerima zakat dalam bentuk uang. Mereka berpegangan pada hadits riwayat Abu Said:

كُنَّا نُخْرِجُهَا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، وَكَانَ طَعَامُنَا التَّمْرُ وَالشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَالأَقْطُ

“Pada masa Rasulullah shallallahu ala’ihi wasallam, kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ makanan, dan pada waktu itu makanan kami berupa kurma, gandum, anggur, dan keju.” (HR. Muslim, hadits nomor 985)

Pendapat Kedua, menurut mazhab Hanafi, zakat fitrah boleh dibayarkan dalam bentuk uang. Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. (Ali Imran : 92)

Pada ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk menafkahkan sebagian harta yang kita cintai. Harta yang paling dicintai pada masa Rasul berupa makanan, sedangkan harta yang paling dicintai pada masa sekarang adalah uang. Karenanya, menunaikan zakat fitrah dalam bentuk uang diperbolehkan.

Di samping itu, mereka juga berargumen bahwa menjaga kemaslahatan merupakan hal prinsip dalam hukum Islam. Dalam hal zakat fitrah, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang membawa kemaslahatan baik untuk muzakki maupun mustahiq zakat. Bagi muzakki, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang sangatlah simpel dan mudah. Sedangkan bagi mustahiq, dengan uang tersebut ia bisa membeli keperluan yang mendesak pada saat itu. (Lihat: Abdullah Al-Ghafili, Hukmu Ikhraji al-Qimah fi Zakat al-Fithr, halaman 2-5).

Wallahu A’lamu bis Showaab

Apa bahasa arabnya ustadz menhelaskan debgan penjelasan yang sangat jelas

Oleh : Singgih Kuswardono, M.A., Ph.D. (Koorprodi Pendidikan Bahasa Arab UNNES)

Bagi yang ingin mengenal bahasa Arab penting untuk diketahui bahwa hampir separuh dari fonem Arab tidak dikenal atau tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahasa Arab memiliki 28 alpabet yang semuanya konsonan. Vokal dalam tulisan Arab adalah tiga tanda baca yang disebut syakl. Ciri khas lain yang tidak dikenal dalam bahasa kita adalah konsonan dalam sistem bahasa Arab berperan sebagai input utama dalam pembentukan kata Arab. Satuan konsonan yang umumnya terdiri dari tiga konsonan (triliteral) atau empat konsonan (kuardiliteral) berperan sebagai akar kata. Akar kata memuat suatu makna yang darinya diturunkan berbagai kata yang terkait dengan makna tersebut.

Satuan konsonan yang berperan sebagai akar kata disatukan dengan vokal berpola untuk membentuk berbagai kata tersebut. Distribusi vokal pada konsonan menciptakan bentuk kata yang beragam dalam kategori gramatikal yang berbeda-beda. Vokal merupakan unsur yang berubah-ubah atau bervariasi, sedangkan konsonan merupakan unsur yang bersifat tetap dalam pembentukan kata.

Selain itu dalam tataran sintaksis, vokal Arab juga menjadi penentu kategori gramatikal sebuah kata meliputi kasus nomina dan modus verba akibat hubungannya dengan kata lainnya dalam satuan sintaksis. Vokal Arab juga berfungsi sebagai penyelaras pada bentuk-bentuk prosodi tertentu.

Di antara perbedaan tulisan yang membedakan bahasa kita dengan bahasa Arab adalah bahasa Arab ditulis dari arah kanan ke kiri, kecuali angka Arab ditulis dengan arah sebaliknya, yaitu dari arah kiri ke kanan. Abjad Arab memiliki 15 karakter. Dari 15 karakter tersebut dikembangkan menjadi 28 jenis huruf. Tulisan Arab terdiri dari 2 unsur, yaitu (1) bentuk huruf (letter form) atau disebut rasm (رسم) untuk menggambarkan bunyi konsonan dan (2) bentuk tanda huruf (letter mark) atau disebut i’jam (إعجام) atau syakl untuk menggambarkan vokal pendek dan lainnya. Pada semua alpabet Arab yang berjumlah 28 abjad terdapat alograf, yaitu anggota grafem yang berbeda-beda menurut posisinya, misalnya pada huruf (ع), bila diawal kata ditulis (عـ), bila di tengah ditulis (ـعـ), dan bila diakhir kata ditulis (ـع).

Secara ortografis, tulisan Arab merupakan kerangka konsonan: tiga kualitas vokal pendek yang merupakan fonem tidak ditandai dalam tulisan kecuali dalam mushaf al-Quran dan buku-buku dasar membaca untuk anak-anak. Tulisan Arab tampak seperti tulisan homografis (satu bentuk tulisan yang dapat memuat beberapa makna) pada umumnya tulisan tangan atau cetak, seperti (درس) dapat dibaca /daras/ artinya ‘belajar’, /dars/ artinya ‘pelajaran’, /darras/ artinya ‘mengajar’, /duris/ artinya ‘dipelajari’, dan /durris/ artinya ‘diajar’.

Kompleksitas sistem tulisan Arab semakin tampak pada penulisan konsonan hamzah yang memiliki varian yang lebih banyak dan penentuan tulisannya di antaranya mengikuti kaidah morfologi Arab. Selain itu terdapat kaidah tertentu khusus pada penulisan huruf ta dan alif di akhir kata Arab. Hal lain yg menambah kekhasan tulisan Arab adalah adanya tulisan yg tak berbunyi dan bunyi yang tak tertulis.

Assalaamu’alaykum … salam kenal 😊

Apa bahasa arabnya ustadz menhelaskan debgan penjelasan yang sangat jelas

Penulis : Ahmad Zubaidi

Dosen PAI- FIAI UII

Fenomena Ana dan Antum

Dalam akhir-akhir ini, tak jarang kita mendengarkan orang lain atau bahkan diri kita sendiri bebicara dengan seseorang dalam bercakap-cakap menggunakan kata berbahasa Arab yakni yang paling dominan adalah Ana dan Antum, mengesampingkan tujuan instrinsik pembawaan pembicaraan itu sendiri (bisa jadi karena pergaulan, kebiasaan, pembiasaan, atau bahkan ideologi). Beberapa orang mungkin menganggap ana dan antum adalah hal yang biasa dan wajar digunakan untuk bercakap-cakap tetapi sebagian yang lain menganggap aneh, mungkin karena belum terbiasa dengan bahasa Arab. Secara lebih dalam penggunaan 2 (dua) kata tersebut hanyalah untuk merubah bahasa Indonesia itu sendiri ‘saya’ dan ‘kamu’ menjadi bahasa Arab yakni ‘ana’ dan ‘antum’. Banyak orang ketika sedang bercakap-cakap, ia mencampurkan antara penggunaan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia yakni penggunaan 2 (dua) kata di atas berbahasa Arab kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan bahasa Indonesia dalam meneruskan percakapannya.

In Theory

Dalam teori ilmu Nahwu yang kita pelajari sudah terlalu jelas bahwa antum adalah kata ganti orang atau dalam bahasa Arab biasa disebut dengan isim dhomir yang bermakna ‘kalian’ atau bisa kita maknai dengan ‘kamu dalam jumlah orang lebih dari 2 (dua) orang’. Dalam menggunakan tunggalnya yang bermakna ‘kamu dalam jumlah 1 (satu) orang’ menggunakan anta. Bahkan di negara Arab sendiri akan menjadi hal yang ‘lucu’ ketika misalnya fulan berbicara dengan fulan menggunakan kata ganti orang ‘antum’ dalam melakukan percakapan. Begitu juga dalam kita memanggil Alloh SWT misalnya dalam berdoa, sudah sangat jelas Nabi memberikan do’a yang diucapkan oleh Khadijah ketika itu ‘Allohumma anta as-Salam wa minka as-Salam…..’ dengan arti ya Alloh engkau adalah Dzat yang Maha Penyelaman dan dariMu juga sebuah keselamatan… tidak ada disana memakai ‘Allohumma antum as-Salam… serta dalam menyampaikan salam kepada Nabi Muhammad SAW memakai ‘Assalamualaika ya Ayyuhan Nabi’ bukan ‘Assalamualaikum ya Ayyuhan Nabi’. Bahasa Arab itu bersifat egaliter dan menghargai kesederajatan dalam menggunakan kata ganti orang. Sehingga kata ganti anta (kamu laki-laki 1) akan berlaku untuk semua pelaku tunggal, sedangkan antum (kalian >2 laki-laki) adalah untuk pelaku jamak.

In Fact

Sedangkan yang terjadi pada kita di negara Indonesia, banyak yang menggunakan kata antum untuk diposisikan pada orang laki-laki 1 (satu) dengan dalih sebagai penghormatan kepada mukhotob/orang yang sedang diajak berbicara. Memang, dalam bahasa Jawa di Masyarakat Indonesia sangat kental sekali dengan unggah-ungguh/sopan santun bahkan dalam memakai bahasa yang digunakan dalam percakapan misalnya ‘kowe’ adalah bahasa kasar yang kemudian diganti dengan ‘jenengan’ untuk merubah menjadi bahasa yang lebih halus atau sebagai penghormatan kepada yang sedang diajak berbicara. Di negara kita, banyak sekali yang memposisikan antum itu sebagai ‘jenengan’ dan anta sebagai ‘kowe’.  Jadi seakan-akan dalam klausul bahasa Arab pun ada stratifikasi penghormatan dalam memakai kata ganti orang dalam sebuah percakapan, padahal sebenarnya sesuai dengan pembahasan in theory di atas. Secara tidak langsung, hal ini termasuk transformasi nahwu dalam penerapan teorinya di kehidupan sehari-hari. Jika sedikit melihat pada aspek hermeneutika-budaya sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh Fazlur Rahman dalam teorinya hermeneutika kontekstual bahwa transformasi tersebut dapat dilakukan sebagai jawaban terhadap kasus baru berdasarkan nilai ideal-moral yang ada dalam masyarakat maka yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.

Pertama, boleh digunakan sebagai dasar kultur yang sudah ada di masyarakat Indonesia sebagai jawaban nilai ideal-moral yang hanya ada pada kasus di Indonesia sendiri. Jika dalam penggunaannya di negara Arab maka, harus memakai kata ganti yang sesuai dan apa adanya tidak lantas menyamakan hal tersebut dengan budaya yang ada di Arab.

Kedua, adanya kesadaran belajar lebih dalam memahami konteks tersebut (dalam hal ini adalah bahasa Arab) serta memahami adanya kesalahan yang ada pada konteks kata ganti orang yang digunakan, tetapi mengarahkannya kepada konsep ideal-moral masyarakat Indonesia saja.

Ketiga, adanya saling sepemahaman (sama perspektif) dalam menggunakan kata ganti orang dengan tujuan sebagai penghormatan tersebut. Antara mutakallim (orang yang berbicara) dengan mukhotob (orang yang sedang diajak berbicara/lawan bicara) sudah mengetahui kaidah ideal-moral transformasi tujuan penggunaannya dalam melakukan percakapan.

Keempat, tidak menggunakan dengan tujuan lain yang menjadikannya sebagai kaidah baku, tetapi hanya sebagai pembiasaan dalam persamaan pembawaan kultur yang ada di Indonesia saja.

So,

Lebih bijak dalam menggunakan kaidah tersebut akan lebih memberikan makna yang berarti bagi orang yang berbicara maupun orang yang sedang diajak bicara/lawan bicara.