Aliran filsafat yang tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajaranya disebut

MUTIARAHINDU.COM -- Manusia dalam perjalanan hidupnya sering menemukan sesuatu yang membuatnya kagum atau heran, misalnya heran terhadap lingkungan hidup dan dirinya sendiri. Rasa kagum dan heran (wonder) kemudian mulai mempertanyakannya, dan ini merupakan titik awal dari timbulnya filsafat. Pertanyaan kefilsafatan berusaha mengetahui hakikat atau esensi yang ditanyakannya itu dengan jawaban-jawaban yang lebih mengutamakan logika berpikir.

Filsafat Hindu bukan hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang amat luhur, mulia, khas, dan sistematis yang didasarkan oleh pengalaman spiritual mistis. Hindu tidak hanya kaya akan konsep ketuhanan tetapi konsep filsafat yang dikenal sebagai Ṣaḍ Darśana atau enam cabang filsafat di mana masing-masing filsafat memberikan penggambaran akan Tuhan yang pada akhirnya bertujuan untuk mengajarkan bagaimana mencapai Brahman atau Tuhan. Darśana identik dengan “visi kebenaran” yang satu dengan yang lainnnya saling terikat. Filsafat Hindu memiliki karakter khusus yang menonjol, yaitu kedalaman dalam pembahasannya yang mencerminkan bahwa filsafat itu telah dikembangkan dengan sepenuh hati dalam mencari kebenaran. Semangat pembahasan yang menyeluruh dari konsep yang nampak berbeda lebih dihargai karena memiliki ketelitian dan kesempurnaan yang dicapai kebanyakan aliran pemikiran India.

Aliran filsafat yang tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajaranya disebut
Galungan day, Ubud, Bali (Image: nico.dettmer)

Kata Darśana berasal dari urat kata dṛś yang artinya melihat, menjadi kata Darśana (kata benda) artinya pengelihatan atau pandangan. Kata Darśana dalam hubungan ini berarti pandangan tentang kebenaran (filsafat). Ilmu Filsafat adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup yang dicita-citakan.

Demikian halnya ilmu filsafat yang ada di dalam ajaran Hindu yang juga disebut dengan Darśana, semuanya berusaha untuk mengungkapkan tentang nilai-nilai kebenaran dengan bersumber pada kitab suci Veda. Aliran atau sistem filsafat India dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu āstika dan nāstika. Kelompok pertama terdiri atas enam sistem filosofi utama yang secara populer dikenal sebagai Ṣaḍ Darśana yang dikenal dengan aliran orthodox, bukan karena mereka mempercayai adanya Tuhan, tetapi karena mereka menerima otoritas dari kitab-kitab Veda, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:117).

Sebagai catatan, dalam bahasa India modern, kata āstika dan nāstika umumnya berarti theis dan atheis, tetapi dalam kepustakaan filosofi Sanskṛta, kata āstika berarti ‘orang yang mempercayai otoritas kitab-kitab Veda, atau orang yang mempercayai kehidupan setelah kematian’, sedangkan kata nāstika berarti lawannya. Di sini, kata tersebut dipergunakan dalam pengertian pertama karena dalam pengertian yang kedua, aliran filsafat Jaina dan Buddha pun adalah āstika, karena mereka mempercayai kehidupan setelah kematian. Dalam kedua pengertian di atas, keenam aliran filsafa orthodox adalah āstika dan aliran filsafat Cārvāka sebagai nāstika. Pada uraian berikut akan diuraikan tentang Ṣaḍ Darśana.

a. Pendiri dan Sumber Ajaran

Pendiri ajaran ini adalah Rṣi Gautaman yang juga dikenal dengan nama Akṣapāda dan Dīrghatapas, yang menulis Nyāyaśāstra atau Nyāya Darśana yang secara umum juga dikenal sebagai Tarka Vāda atau diskusi dan perdebatan tentang suatu Darśana atau pandangan filsafat kurang lebih pada abad ke-4 SM, karena Nyāya mengandung Tarka Vāda (ilmu perdebatan) dan Vāda-vidyā (ilmu diskusi). Sistem filsafat Nyāya membicarakan bagian umum darśana (filsafat) dan metoda (cara) untuk melakukan pengamatan yang kritis. Sistem ini timbul karena adanya pembicaraan yang dilakukan oleh para ṛṣi atau pemikir, dalam usaha mereka mencari arti yang benar dari śloka-śloka Veda Śruti, guna dipakai dalam penyelenggaraan upacara-upacara Yajña. Nyāyaśāstra terdiri atas 5 Adhyāya (bab) dan dibagi ke dalam 5 ‘pada’ (bagian). Pada tahun 400 Masehi kitab Nyāyaśāstra ini dikomentari oleh Rṣi Vāstsyāna dengan karyanya yang berjudul Nyāya Bhāsya (ulasan tentang Nyāya).

Objek utamanya adalah untuk menetapkan dengan cara perdebatan, bahwa Parameśvara merupakan pencipta dari alam semesta ini. Nyāya menegakkan keberadaan Īśvara dengan cara penyimpulan, sehingga dikatakan bahwa Nyāya Darśana merupakan sebuah śāstra atau ilmu pengetahuan yang merupakan alat utama untuk meyakini suatu objek dengan penyimpulan yang tidak dapat dihindari. Dalam hal ini kita harus mau menerima pembantahan macam apapun, tetapi asalkan berdasarkan pada otoritas yang dapat diterima akal. Pembantahan demi untuk adu argumentasi dan bukan bersilat lidah atau berdalih.

Pandangan filsafat Nyāya menyatakan bahwa dunia di luar manusia ini terlepas dari pikiran. Kita dapat memiliki pengetahuan tentang dunia ini dengan melalui pikiran yang dibantu oleh indra. Oleh karena itu sistem filsafat Nyāya ini dapat disebut sebagai sistem yang realistis (nyata). Pengetahuan ini dapat disebut benar atau salah, tergantung daripada alat-alat yang diperguṇakan untuk mendapatkan pengetahuan tersebut, dimana secara sistematik semua pengetahuan menyatakan 4 keadaan, yaitu:


  1. Subjek atau si pengamat (pramātā)
  2. Objek yang diamati (prameya)
  3. Keadaan hasil dari pengamatan (pramīti)
  4. Cara untuk mengamati atau pengamatan (pramāṇa), (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:118).

Prameya atau objek yang diamati, dengan nama pengetahuan yang benar dapat diperoleh, ada 12 banyaknya, yaitu Roh (Ātman), Badan (śarīra), indriya, objek indriya (artha), kecerdasan (buddhi), pikiran (manas), kegiatan (pravṛtti), kesalahan (doṣa), perpindahan (pretyabhāva), buah atau Hasil (phala), penderitaan (duhkha), dan pembebasan (apavarga).

Kita membuat perbedaan pada suatu benda karena adanya beberapa ciri-ciri pada kedua benda tersebut yang masing-masing memiliki beberapa atribut yang tak didapati pada bagian lainnya. Karena kekhususan atribut (viśeṣa) merupakan dasar utama dari pengamatan, maka sistem lanjutan dari filsafat ini disebut sebagai Vaiśeṣika.

Nyāya Darśana, yang utamanya bertindak pada garis ilmu pengetahuan atau ilmiah menghubungkan Vaiśeṣika pada tahapan, di mana materi-materi adhyatmikā (spiritual) terkandung di dalamnya, yang keduanya ini memperguṇakan Tarka (logika) dan Tattva (filsafat) dimana filsafat dinyatakan melalui media logika

Nyāya Darśana dalam memecahkan ilmu pengetahuan menggunakan 4 metoda pemecahan yang disebut Catur Pramāṇa, dengan bagian-bagian sebagai berikut:

1. Pratyakṣa Pramāṇa, yaitu pengamatan langsung. Pada Pratyakṣa Pramāṇa atau pengamatan secara langsung memberikan pengetahuan kepada kita tentang objek-objek menurut keadaannya masing-masing yang disebabkan hubungan panca indra dengan objek yang diamati di mana hubungan itu sangat nyata. Adakalanya terjadi pengamatan yang tidak perlu menggunakan pañca indra dan pengamatan yang luar biasa ini disebut sebagai pengamatan transendental, yang jarang terjadi pada pengamatan orang-orang biasa yang sering pula ditunjang oleh adanya kekuatan supra normal yang dimiliki seorang.


Dalam Pratyakṣa Pramāṇa ada dua tingkat pengamatan, yaitu :


  • Nirvikalpa yaitu pengamatan yang tidak menentukan. Pengamatan suatu objek adalah sebagai objek saja tanpa adanya suatu penilaian, tanpa hubungan (asosiasi) dengan suatu subjek. Sehingga apa yang dilihat hanyalah objek itu saja yang dianggap benar dan nyata.
  • Savikalpa yaitu pengamatan yang menentukan. Pengamatan terhadap suatu objek yang dibarengi dengan pengenalan terhadap ciri-ciri, sifat-sifat dan juga subjeknya sehingga pengamatan ini sifatnya menyeluruh.

2. Anumāna Pramāṇa yaitu pengetahuan yang diperoleh dari suatu objek dengan menarik pengertian dari tanda-tanda yang diperoleh (linga) yang merupakan suatu kesimpulan dari objek yang ditentukan, disebut juga Ṣaḍya. Hubungan kedua hal tersebut di atas disebut dengan nama Wyapi. Selanjutnya Anumāna Pramāṇa, yang sangat penting dalam suatu proses pengamatan dalam Nyāya Darśana ini. Dalam pengamatan dengan Anumāna Pramāṇa terdapat suatu perantara di antara subjek dan objek, di mana pengamatan langsung dengan indra saja tidak dapat secara langsung menyimpulkan hasil dari pengamatan, tetapi melalui beberapa tahapan (avayaya), (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:119).

Proses penyimpulan dalam Anumāna Pramāṇa melalui beberapa tahapan seperti di bawah ini:


  1. Pratijña, yaitu proses pertama, memperkenalkan objek permasalahan tentang kebenaran pengamatan misalnya gunung api itu berapi.
  2. Hetu, yaitu proses kedua, alasan penyimpulan, dimana dalam hal ini adalah adanya terlihat asap yang keluar dari gunung tersebut.
  3. Udāharaṇa, yaitu proses ketiga, menghubungkan dengan aturan umum tentang suatu masalah, yang dalam hal ini adalah bahwa segala yang berasap tentu ada apinya.
  4. Upanaya, yaitu proses keempat, pemakaian aturan umum itu pada kenyataan yang dilihat, bahwa jelas gunung itu berapi.
  5. Nigaman, yaitu proses kelima, berupa penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya, dengan pernyataan bahwa gunung tersebut berapi.
3. Upamāṇa Pramāṇa yaitu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui perbandingan. Upamāṇa Pramāṇa merupakan cara pengamatan dengan membandingkan kesamaan-kesamaan yang mungkin terjadi atau terjadi di dalam objek yang diamati dengan objek yang sudah ada atau pernah diketahui. Misalnya seorang anak yang diberitahu ibunya bahwa binatang yang namanya komodo itu rupanya mirip dengan biawak tetapi lebih besar, bahkan bisa sebesar seekor buaya. Dalam hal ini si anak telah mengetahui rupa buaya dan biawak, maka ketika si anak pergi ke kebun binatang dan melihat seekor binatang sebesar buaya yang rupanya mirip dengan biawak, ia segera menyimpulkan bahwa binatang tersebut adalah komodo. Inilah yang disebut dengan Upamāṇa Pramāṇa.

4. Śabda Pramāṇa yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan mendengarkan melalui penjelasan dari sumber yang patut dipercaya. Śabda Pramāṇa adalah pengetahuan yang diperoleh melalui kesaksian (śabda) dari seseorang yang dapat dipercaya kata-katanya ataupun dari naskah yang diakui kebenarannya, dalam hal ini terdapat 2 jenis kesaksian, yaitu:


  1. Laukika śabda, yaitu bentuk kesaksian yang berasal dari orang yang dapat dipercaya dan kesaksiannya dapat diterima menurut logika atau akal sehat.
  2. Vaidika śabda, yaitu bentuk kesaksian yang didasari pada naskah-naskah suci Veda Śruti, yang merupakan sabda Brahman yang tak mungkin salah.

d. Pokok-pokok ajaran Nyāya

Objek pengetahuan filsafat Nyāya adalah mengenai


  1. Ātma
  2. Tentang tubuh atau badan
  3. Pañca indra dengan objeknya
  4. Buddhi (pengamatan)
  5. Manas (pikiran)
  6. Pravṛtti (aktivitas)
  7. Doṣa (perbuatan yang tidak baik)
  8. Pratyabhāva (tentang kelahiran kembali), (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:120).
  9. Phala (buah perbuatan)
  10. Duḥka (penderitaan)
  11. Apavarga (bebas dari penderitaan)

Di samping oleh Rṣi Vāstsyāna yang mengomentari Nyāya Sūtra dengan karyanya yang berjudul Nyāya Bhāsya, Śrikaṇṭha menulis Nyāya-laṇkara, Jayanta menulis Nyāya-mañjari, Govardhana menulis Nyāya-Bhodhini dan Vācaspati Miśra menulis Nyāya-Varṭṭika-Tatparya-Tīkā. Selain itu Udayana juga menulis sebuah buku yang disebut Nyāya-Kusumāñjali.

Seperti yang telah diketahui bahwa filsafat Nyāya merupakan dasar dari semua pengantaran ajaran filsafat Sanskṛta. Nyāya juga merupakan rangkaian pendahuluan bagi seorang pelajar filsafat, karena tanpa pengetahuan tentang filsafat Nyāya, kita tidak akan dapat memahami Brahma Sūtra dari Śri VyāṢaḍeva, karena filsafat Nyāya membantu untuk mengembangkan daya penalaran ataupun pembantahan, yang membuat kecerdasan bertambah tajam dan lembut guṇa pencarian filsafat Vedāntik.

a. Pendiri dan Sumber Ajarannya

Vaiśeṣika  yang merupakan salah satu aliran filsafat India yang tergolong ke dalam Ṣaḍ Darśana agaknya lebih tua dibandingkan dengan filsafat Nyāya . Vaiśeṣika dan Nyāya Darśana bersesuaian dalam prinsip pokok mereka, seperti sifat-sifat dan hakikat Sang Diri dan teori atom alam semesta, dan dikatakan pula Vaiśeṣika merupakan tambahan dari filsafat Nyāya, yang memiliki analisis pengalaman sebagai objektif utamanya. Diawali dengan susunan pengamatan atas kategori-kategori (padārtha), yaitu perhitungan atau perumusan tentang sifat -sifat umum yang dapat dikenakan pada benda-benda yang ada di alam semesta ini, serta merumuskan konsep-konsep umum yang berlaku pada benda-benda yang dikenal, baik melalui indra maupun melalui penyimpulan, perbandingan, dan otoritas tertinggi.

Sistem filsafat Vaiśeṣika mengambil nama dari kata Viśesa yang artinya kekhususan, yang merupakan ciri-ciri pembeda dari benda-benda. Jadi ciri pokok permasalahan yang diuraikan didalamnya adalah kekhususan (padārtha) atau kategori-kategori yang nantinya akan disebutkan secara lebih terperinci. Vaiśeṣika muncul pada abad ke-4 SM, dengan tokohnya Rṣi Kaṇāda, yang juga dikenal sebagai Rṣi Ūluka, sehingga sistem ini juga dikenal sebagai Aūlukya Darśana dan juga dengan nama Kaśyapa dan dianggap seorang Deva-ṛṣi. Kata Ūluka artinya burung hantu, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:121).

Dalam buku karyanya Vaiśeṣika -Sūtra yang terdiri atas 10 bab, Rṣi Kaṇāda menguraikan berbagai permasalahan pada setiap bab sebagai berikut:


  1. Pada bab I berisi keseluruhan kelompok padārtha atau kategori-kategori yang dapat dinyatakan.
  2. Pada bab II berisi penetapan tentang benda-benda
  3. Pada bab III berisi uraian tentang Jīva dan indra dalam
  4. Pada bab IV berisi uraian tentang badan dan bahan penyusunnya
  5. Pada bab V berisi tentang Karma atau kegiatan
  6. Pada bab VI berisi uaraian tentang Dharma atau kebajikan menurut kitab suci.
  7. Pada bab VII berisi uraian tentang sifat-sifat dan Samavāya (keterpaduan atau saling berhubungan)
  8. Pada bab VIII berisi tentang wujud pengetahuan, sumbernya dan sebagainya
  9. Pada bab IX berisi tentang pemahaman tertentu atau yang konkrit, dan
  10. Pada bab X berisi uraian tentang perbedaan sifat dari Jīva.

Sistem filsafat ini terutama dimaksudkan untuk menetapkan tentang Padārtha, tetapi Rsi Kanada membuka pokok permasalahan dengan sebuah pengamatan tentang intisari dari Dharma, yang merupakan sumber dari pengetahuan inti dari Padārtha. Sūtra pertama berbunyi: ”Ytao bhyudayanihsreyasa siddhiḥ sa dharmaḥ” artinya, Dharma adalah yang memuliakan dan memberikan kebaikan tertinggi atau Moksa (penghentian dari penderitaan).

Padārtha secara harfiahartinya adalah arti dari sebuah kata, tetapi di sini Padārtha adalah satu permasalahan benda dalam filsafat. Sebuah Padārtha merupakan suatu objek yang dapat dipikirkan (artha) dan diberi nama (pada). Semua yang ada, yang dapat diamati dan dinamai, yaitu semua objek pengalaman adalah Padārtha. Benda-benda majemuk saling bergantung dan sifatnya sementara, sedangkan benda-benda sederhana sifatnya abadi dan bebas.

Padārtha dan Vaiśeṣika Darśana, seperti yang disebutkan oleh Rsi Kanada sebenarnya hanya 6 buah kategori, namun satu katagori ditambahkan oleh penulis-penulis berikutnya, sehingga akhirnya berjumlah 7 katagori (Padārtha), yaitu:

Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa substansi. Substansi (dravya) dapat menjadi sebab yang melekat pada apa yang dijadikannya. Atau dravya dapat menjadi tidak ada pada apa yang dihasilkannya. Contoh: tanah sebagai substansi telah terdapat pada periuk yang terbuat dari tanah. Jadi tanah itu selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya, sedangkan periuk itu tidak dapat terjadi tanpa substansi (tanah). Demikian pula halnya kategori lain tidak dapat ada tanpa substansi (zat) seperti beraneka ragam minuman tidak dapat terjadi tanpa air (zat cair), tapi air dapat ada walaupun tidak adanya bermacam-macam minuman, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:122).

Ada sembilan substansi yang dinyatakan oleh Vaiśeṣika, yaitu (1) Tanah (pṛthivī);

Air (āpah, jala); (3) Api (tejah); (4) Udara (vāyu); (5) Ether (ākāśa); (6) Waktu (kāla); (7) ruang (dis); (8) diri/roh (Jīva); dan (9) pikiran (manas). Semua substansi tersebut di atas riil, tetap, dan kekal. Namun hanya udara, waktu, akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di alam ini baik bersifat fisik maupun yang bersifat rohaniah

Adapun yang termasuk substansi badani (fisi ) adalah bumi, air, api, udara, ruang, waktu, dan akasa. Sedang yang tergolong substansi rohaniah terdiri atas akal (manas/ pikiran), diri (atman/jiwa). Kedua substansi rohaniah ini bersifat kekal dan pada setiap makhluk (manusia) hanya terdapat satu jiwa dan satu manas.

Demikianlah pribadi (diri/atma) itu bersifat individu dan menjadi sumber kesadaran setiap makhluk yang senantiasa berhubungan dengan kegiatan badani atau fisik. Setiap pribadi (atma) memiliki manas tersendiri yang dipakai sebagai alat untuk mengenal dan mengalami segala sesuatu melalui alat fisik termasuk juga dipakai sebagai alat untuk mencapai kebebasan. Namun dilain pihak manas juga diakui dapat menyebabkan kelahiran kembali. Oleh karena setiap makhluk (manusia) dijiwai oleh pribadi (jiwa/atma). Maka pandangan Vaiśeṣika terhadap jiwa adalah riil dan pluralis, yaitu jiwa itu benar-benar ada dan tak terbatas jumlahnya.

Guṇa  ialah keadaan atau sifat dari suatu substansi. Guṇa sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (substansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari substansi yang diberi sifat. Guṇa atau sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi yang jumlahnya ada 24, yaitu (1) warna (Rūpa); (2) rasa (rasa); (3) bau (gandha);  sentuhan/raba (sparśa); (5) jumlah (Sāṁkhya); (6) ukuran (parimāṇa); (7) keanekaragaman (pṛthaktva); (8) persekutuan (saṁyoga); (9) keterpisahan (vibhāga); keterpencilan (paratva); (11) kedekatan (aparatva); (12) bobot (gurutva); (13) kecairan/keenceran (dravatva); (14) kekentalan (sneha); (15) suara (śabda); (16) pemahaman/pengetahuan (buddhi/jñāna); (17) kesenangan (sukha); (18) penderitaan (dukḥa); (19) kehendak (īccha); (20) kebencian/keengganan (dvesa); (21) usaha (prayatna); (22) kebajikan/manfaat (dharma); (23) kekurangan/cacat (adharma); dan (24) sifat pembiakan sendiri (saṁskāra). Sejumlah 8 sifat, yaitu buddhi/jñāna, īccha, dvesa, sukha, dukḥa, dharma, adharma dan prayatna merupakan milik dari roh, sedangkan 16 lainnya merupakan milik dari substansi material.

Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang berhubungan dengan unsur dan kualitas, namun juga memiliki realitas mandiri. Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya substansi yang bersifat terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya. Sedangkan substansi yang tak terbatas (atma, hawa nafsu dan akasa) tidak dapat bergerak karena telah memenuhi segala yang ada.

Gerakan dari benda-benda di alam ini bukan bersumber dari dirinya, melainkan ada sesuatu yang berkesadaran yang menjadi sumber gerakan itu. Benda-benda hanya dapat menerima gerakan dari sesuatu yang berkesadaran. Bila terlihat kenyataan yang terjadi di alam ini seperti adanya hembusan angin, peredaran bumi dan planet-planet, maka tentu ada sumber penggerak yang adikodrati. Sumber yang adikodrati itulah Tuhan, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:123).

Karena Tuhan sebagai sumber gerakan alam ini, maka Tuhan Maha Mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda di alam ini. Termasuk mengetahui benar perilaku (karma) manusia. Ada 5 macam gerak, yaitu (1) Utkṣepaṇa (gerakan ke atas); (2) Avakṣepaṇa (gerakan ke bawah); (3) A-kuñcana (gerakan membengkok); (4) Prasaraṇa (gerakan mengembang); dan (5) Gamana (gerakan menjauh atau mendekat).

4). Universalia (sāmānya)

Samanya bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan, yaitu sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah, dan jenis kelamin dan spesies. Dalam epistemologi, hal ini mirip dengan konsep universalia dan agak mirip dengan idenya Plato. Ia ada dalam semua dan dalam masing-masing objek, namun tidak berbeda dalam objek partikular yang berbeda. Karenanya ide ‘kesapian’ adalah tunggal dan tidak dapat dianalisis. Ide itu selalu hidup, tetapi tidak dapat dimengerti melalui dirinya sendiri, namun hanya melalui seekor ‘sapi’ khusus. Walaupun tampak bersama, namun ‘sapi’ dan ‘kesapian’ dipahami sebagai dua entitas berbeda. Dari universalia-universalia ini, ‘Ada’ (being, satta) adalah yang tertinggi, karena ia memberikan ciri pada banyak sekali entitas.

5). Individualitas (viśeṣa)

Kategori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya. Sistem Vaiśeṣika diturunkan dari kata viśeṣa, dan merupakan aspek objek yang mendapat penekanan khusus dari para filsuf Vaiśeṣika. Kategori ini berurusan dengan ciri-ciri khusus ke sembilan substansi (dravya). Dalam sistem Vaiśeṣika, unsur tanah, air, api, udara, dan pikiran dibangun dari atom (paramānu), sedangkan eter, ruang, waktu dan jiwa dianggap sebagai substansi sangat khusus tanpa dimensi atau visibilitas. Inilah yang menyebabkan sistem darśana ini disebut Vaiśseṣika Darśana.

6) Hubungan Niscaya (samavāya)

Dimensi objek ini menunjukkan hakikat hubungan yang mungkin antara kualitas-kualitasnya yang inheren. Hubungan ini dapat dilihat bersifat sementara (saṁyoga) atau permanen (samavāya). Saṁyoga adalah hubungan sementara seperti antara sebuah buku dan tangan yang memegangnya. Hubungan selesai ketika buku dilepaskan dari tangan. Di sisi lain, samavāya adalah sebuah hubungan yang tetap dan hanya berakhir ketika salah satu di antara keduanya dihancurkan. Ada lima jenis hubungan yang tetap dan entitas yang tetap atau tidak terpisahkan ini (ayūta-siddḥa):


  • Hubungan keseluruhan dengan bagian-bagiannya, seperti sehelai kain dan benang-benangnya.
  • Hubungan kualitas dengan objek yang memilikinya, seperti kendi air dan warna merahnya.
  • Hubungan antara tindakan dan pelakunya, seperti tindakan melompat dan kuda yang melakukannya.
  • Hubungan antara partikular dengan yang universal, ibarat satu jenis sapi dengan seekor sapi atau bangsa Jepang dan seorang Jepang, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:124).

Hubungan antara substansi kekal dan substansi khusus. Menurut sistem Vaiśeṣika, partikel subatomis (paramānu) setiap substansi abadi memiliki ciri-ciri khusus yang tidak membiarkan atom dari satu substansi bercampur dengan atom substansi lainnya. Ciri khusus (Viśeṣa) dipertahankan oleh partikel subatomis masing-masing melalui ‘hubungan tak terpisahkan’ (samavāya).

7). Penyangkalan, Negasi, Non-Eksistensi (abhāva)

Kategori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut ke dalam partikel subatomis terpisah melalui pelarutan universal (mahapralaya) dan ke dalam ketiadaan (nothingness). Semua benda-benda yang ada dan bernama digolongkan sebagai bhava, sedangkan entitas yang sudah tidak ada digolongkan sebagai abhāva. Sebenarnya kategori ini bukan merupakan sebuah klasifikasi seperti kategori lainnya, namun hanya modus pengaturan negatif. Abhāva, yang merupakan kategori ke 7, ada 4 macam, yaitu:


  1. Pragabhāva, yaitu ketidakadaan dari suatu benda sebelumnya. Contohnya: ketidak adaan periuk sebelum dibuat oleh pengrajin periuk.
  2. Dhvaṅsabhāva, yaitu penghentian keberadaan, misalnya periuk yang dipecahkan, di mana dalam pecahan periuk itu tak ada periuk.
  3. Atyāntabhāva, atau ketidakadaan timbal balik, seperti misalnya udara yang dari dulu tidak pernah berwarna atau pun berbentuk. Ketiga ketidakadaan ini disebut sebagai Samsarga-bhava, yaitu ketidakadaan suatu benda dalam benda yang lain.
  4. Anyonyābhāva, atau ketidak adaan mutlak, dimana antara benda yang satu sama sekali tidak ada persamaannya dengan yang lain, seperti sebuah periuk yang tidak sama dengan sepotong pakaian, demikian pula sebaliknya.

Ṛṣi Kaṇāda di dalam Sūtra-nya tidak secara terbuka menunjukkan tentang Tuhan. Keyakinannya adalah bahwa formasi atau susunan alam dunia ini merupakan hasil dari Adṛṣṭa yaitu kekuatan yang tak terlihat dari karma atau kegiatan. Beliau menelusuri aktivitas atom dan roh mula-mula melalui prinsip Adṛṣṭa ini. Para pengikut Rṣi Kaṇāda kemudian memperkenalkan Tuhan sebagai penyebab efisien dari alam semesta, sedangkan atom-atom adalah materialnya. Atom-atom yang tak terpikirkan itu tidak memiliki daya dan kecerdasan untuk menjalankan alam semesta ini secara teratur. Namun yang pasti, aktivitas atom-atom itu diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kesimpulan dari otoritas kitab suci seperti ini mengharuskan kita untuk mengakui adanya Tuhan.

Kecerdasan yang membuat Adṛṣṭa dapat bekerja adalah kecerdasan Tuhan, sedangkan lima unsur (pañca mahābhūta) hanya merupakan akibat. Semua ini harusnya didahului oleh ‘keberadaan’ yang memiliki pengetahuan tentang itu adalah Tuhan. Roh-roh dalam keadaan penghancuran, kurang memiliki kecerdasan, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan aktivitas atom-atom dan dalam atom-atom itu sendiri tidak ada sumber gerakan.

Pada sistem Vaiśeṣika, seperti halnya sistem Nyāya, susunan alam semesta ini diduga dipengaruhi oleh pengumpulan atom-atom, yang tak terhitung jumlahnya dan kekal. Kosmologi Vaiśeṣika dalam batasan mengenai keberadaan atom abadi bersifat dualistik dan secara positif memisahkan hubungan yang pasti antara roh dan materi. Terjadinya alam semesta menurut sistem filsafat Vaiśeṣika memiliki kesamaan dengan ajaran Nyāya yaitu dari gabungan atom-atom catur bhuta (tanah, air, cahaya dan udara) ditambah dengan lima substansi yang bersifat universal seperti akāsa, waktu, ruang, jiwa dan manas, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:125).

Lima substansi universal tersebut tidak memiliki atom-atom, maka itu ia tidak dapat memproduksi sesuatu di dunia ini. Cara penggabungan atom-atom itu dimulai dari dua atom (dvyānuka), tiga atom (Triyānuka), dan tiga atom ini saling menggabungkan diri dengan cara yang bermacam-macam, maka terwujudlah alam semesta beserta isinya.

Bila gabungan atom-atom dalam Catur Bhuta ini terlepas satu dengan lainnya maka lenyaplah alam beserta isinya. Gabungan dan terpisahnya gerakan atom-atom itu tidaklah dapat terjadi dengan sendirinya, mereka digerakkan oleh suatu kekuatan yang memiliki kesaḍaran dan kemahakuasaan.

Sesuatu yang memiliki kesadaran dan kekuatan yang maha dahsyat itu menurut Vaiśeṣika adalah Tuhan Yang Maha Esa. Vaiśeṣika dalam etikanya menganjurkan semua orang untuk kelepasan. Kelepasan akan dapat dicapai melalui Tatwa Jnaña, Sravāna, manāna, dan Meditasi.

a. Pendiri dan Pokok Ajarannya

Sāṁkhya berasal dari kata Sanskṛta ‘Sāṁkhya’ (pencacahan, perhitungan). Dalam filsafat, pencacahan akurat dari kebenaran telah ditentukan. Akibatnya, filsafat ini bernama ‘Sāṁkhya’. Mungkin ada alasan lain bahwa salah satu arti dari ‘Sāṁkhya’ adalah musyawarah atau refleksi atas hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran. Filsafat ini mengandung musyawarah tersebut dan kontemplasi atas kebenaran. Dalam persepsi filsafat, Pratyaksh (persepsi langsung melalui rasa-organ), Anumān (inferensi atau kognisi mengikuti beberapa pengetahuan lainnya), dan Śhabda (kesaksian verbal) adalah tiga pramānā yang diterima (sumber pengetahuan yang sah atau metode mengetahui benar). Misalnya, Nyāyikās (pengikut filsafat Nyāya) telah menerima empat Pramānā, para Mimāsakās (pengikut filsafats Mimāsa) telah menerima enam pramānā.

Demikian pula, dalam filsafat Sāṁkhya, tiga Pramānā telah diterimanya. Pendiri dari sistem filsafat ini adalah Mahaṛṣi Kapila Muni, yang dikatakan sebagai putra Brahma dan Avatāra dari Viṣṇu. Pada sistem Sāṁkhya tak ada penyelidikan secara analitik ke dalam alam semesta, seperti keberadaan yang sesungguhnya yang merupakan susunan menurut topik-topik dan kategori-kategori, namun terdapat suatu sistem tiruan yang diawali dari satu Tattva atau prinsip mula-mula atau Prakṛti, yang berkembang atau yang menghasilkan (prakaroti) sesuatu yang lain, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:126).

Sāṁkhya Darśana didirikan oleh Mahaṛṣi Kapila Muni, ini adalah filsafat yang paling kuno. Filsafat ini dibangun oleh Rṣi Kapila. Sebuah teks yang ditulis oleh Ishwar Krishna disebut ‘Sānkhyakārika’ adalah sumber terpercaya prinsip pengetahuan dalam filsafat ini. Hal ini ditulis dalam Aryan Chand (sejenis puisi Sanskṛta kuno) dan berisi 72 Karikas (koleksi memorial ayat tentang topik filosofis yang menerjemahkan Sāṁkhya Siddhant (Doktrin Sāṁkhya) yang jelas dan eksplisit.

Para ahli merasa bahwa beberapa orang mungkin telah belajar menulis Sāṁkhya Sūtra dan Sūtra Sānkhyasamās dalam nama Rṣi Kapila, karena tidak ada yang menyebutkan bahwa dua teks tersebut ditulis pada 1500 SM. Oleh karena itu, apa pun pengetahuan yang kita dapat dari ajaran Sāṁkhya sekarang didasarkan pada Sāṁkhya Karikas. Ajaran Sāṁkhya merupakan filsafat yang menerima 24 Kebenaran dari Prakṛti (Alam benda) dan 25 kebenaran Puruṣa (Jiwa).

b. Konsep Puruṣa dan Prakṛti

Seperti yang telah disinggung di atas, Sāṁkhya mempergunakan 3 sistem atau cara mencari pengetahuan dan kebenaran, yaitu Pratyakṣa (pengamatan langsung), Anumāṇa (penyimpulan), dan Apta Vākya (penegasan yang benar). Kata Apta artinya ‘pantas’ atau ‘benar’ yang ditunjukkan kepada wahyu-wahyu Veda atau guru-guru yang mendapatkan wahyu. Sistem Sāṁkhya umumnya dipelajari setelah sistem Nyāya, karena ia merupakan sistem filsafat yang hebat, di mana para filsuf barat juga sangat mengaguminya, karena secara pasti ia menekankan pluralitas dan dualitas, karena mengajarkan bahwa ada Puruṣa atau roh yang banyak sekali. Sāṁkhya menyangkal bahwa suatu benda dapat dihasilkan melalui ketiadaan.

Prakṛti dan Puruṣa adalah Anādi (tanpa awal) dan Ananta (tanpa akhir;tak terbatas). Ketidakberbedaan (Aviveka) antara keduanya merupakan penyebab adanya kelahiran dan kematian. Perbedaan antara Prakṛti dan Puruṣa memberikan Mukti (pembebasan). Baik Prakṛti maupun Puruṣa adalah Sat (nyata). Puruṣa bersifat Asaṅga (tak terikat) dan merupakan kesaḍaran yang meresapi segalanya dan abadi. Prakṛti merupakan si pelaku dan si penikmat, yang tersusun dari asas materi dan rohani yang memiliki atau terpengaruh oleh 3 Guṇa atau sifat, yaitu Sattvam, Rājas dan Tamas. Prakṛti artinya ‘yang mula-mula’, yang mendahului dari apa yang dibuat dan berasal dari kata ‘Pra’ (sebelum), dan ‘Kri’ (membuat yang mirip dengan Māyā dan Vedānta. Prakṛti merupakan sumber dari alam semesta dan ia juga disebut Pradhāna (pokok), karena semua akibat ditemukan padanya dan juga merupakan sumber dari segala benda.

Pradhāna dan Prakṛti adalah kekal, meresapi segalanya, tak dapat digerakkan dan cuma satu adanya. Ia tak memiliki sebab tapi merupakan sebab dari suatu akibat. Prakṛti hanya bergantung pada aktivitas dari unsur pokok Guṇa-nya sendiri. Ke-3 Guṇa tersebut tak pernah dan saling menunjang satu sama lainnya, serta saling bercampur. Ia membentuk substansi Prakṛti. Akibat dari pertemuan antara Puruṣa dan Prakṛti timbullah ketidakseimbangan tri guṇa tersebut yang menimbulkan evolusi atau perwujudan. Prakṛti berkembang di bawah pengaruh Puruṣa. Produk awal dari evolusi Prakṛti adalah Mahat atau Kecerdasan Utama, yang merupakan penyebab alam semesta dan selanjutnya muncul Buddhi dan Ahaṁkāra. Dari Ahaṁkāra muncul Manas atau pikiran, yang membawa perintah-perintah dari kehendak melalui organ-organ kegiatan (Karma Indriya), (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:127).

Sattvam merupakan keseimbangan, sehingga apabila Sattvam lebih berpengaruh, terjadilah kedamaian atau ketenangan. Rājas merupakan aktivitas, yang dinyatakan sebagai Rāga-Dveṣa, yaitu suka atau tidak suka, cinta atau benci, menarik atau memuakkan. Tamas merupakan belenggu dengan kecenderungan kelesuan, kemalasan, dan kegiatan yang dungu atau bodoh, yang menyebabkan khayalan atau Aviveka (tanpa perbedaan). Sāṁkhya menerima teori pengembangan dan penyusutan, di mana sebab dan akibat merupakan keadaan yang belum berkembang dan pengembangan dari suatu substansi yang sama.

Gambaran sentral dari filsafat Sāṁkhya adalah bahwa akibat benar-benar ada sebelumnya di dalam penyebab, seperti seluruh keberadaan pepohonan yang dalam keadaan terpendam atau tertidur dalam benih (biji), demikian pula seluruh alam raya ini ada dalam keadaan tertidur dalam Prakṛti, yaitu Avyakṛta (tak terbedakan).

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang proses pengembangan dan penyusutan, Sāṁkhya menguraikannya sebagai berikut: dari pertemuan antara Puruṣa dan Prakṛti, timbullah Mahat (yang agung), yang merupakan benih alam semesta, di mana segi psikologinya disebut sebagai Buddhi, yang memiliki sifat-sifat kebajikan, pengetahuan, tidak bernafsu. Perbedaan antara Mahat dan Buddhi adalah, Mahat merupakan asas kosmis sedangkan Buddhi merupakan asas kejiwaan (merupakan unsur kejiwaan tertinggi). Dari Buddhi timbullah Ahaṁkāra yang merupakan asas individuasi atau asas keakuan, yang menyebabkan segala sesuatu memiliki latar belakang sendiri-sendiri.

Perkembangan kejiwaan yang pertama adalah Ahaṁkāra adalah Manas yang merupakan pusat indra yang bekerja sama dengan indra-indra yang lain mengamati kenyataan di luar badan manusia. Tugas Manas adalah untuk mengkoordinir rangsangan-rangsangan indra, dan mengaturnya sehingga menjadi petunjuk dan meneruskannya kepada Ahaṁkāra dan Buddhi. Sebaliknya, Manas juga bertugas meneruskan putusan kehendak Buddhi kepada peralatan indra yang lebih rendah. Buddhi, Ahaṁkāra dan Manas secara bersama-sama disebut sebagai peralatan bhatin atau Antaḥkaraṇa.

Perkembangan kejiwaan yang kedua adalah Pañca Indra persepsi (Buddhendriya atau Jñānendriya), yaitu :


  1. Penglihatan
  2. Pendengaran
  3. Penciuman
  4. Perabaan, dan
  5. Perasa

Perkembangan kejiwaan yang ketiga disebut sebagai Karmendriya atau organ penggerak, yaitu :


  1. Daya untuk berbicara
  2. Daya untuk memegang
  3. Daya untuk berjalan, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:128).
  4. Daya untuk membuang kotoran, dan
  5. Daya untuk mengeluarkan benih

Perkembangan fisik menghasilkan asas dunia luar, yang disebut 5 unsur dan perkembangan melalui 2 tahapan, yaitu :

1). Pada tahap pertama, berbentuk unsur halus (Pañca Tanmātra) yaitu sari suara, sari raba, sari warna, sari rasa, dan sari bau.
2). Pada tahapan kedua terjadi kombinasi dari unsur-unsur halus yang menimbulkan unsur-unsur kasar yang disebut pañca mahābhūta, yaitu :


  1. Ākāśa (ether, ruang)
  2. Vāyu (udara)
  3. Agni atau Tejah (api/panas)
  4. Āpah (air), dan
  5. Pṛthivī (tanah).
#Tri Guṇa

Prakṛti dibangun oleh guṇa yaitu, Sattva, Rājas, dan Tamas. Guṇa artinya unsur, atau komponen penyusunan. Guṇa itu tidak dapat kita amati dengan indra. Adanya itu disimpulkan atas objek dunia ini yang merupakan akibat daripadanya. Karena adanya kesamaan azas antara akibat dan sebab, maka dapat kita ketahui sifat-sifat Guṇa itu dari alam yang merupakan wujud hasil daripadanya.

Semua objek dunia ini memiliki tiga sifat yaitu sifat-sifat yang menimbulkan rasa senang, susah, dan netral. Nyanyian burung yang menyenangkan seorang seniman, menyusahkan orang sakit, tak berpengaruh apapun untuk orang yang acuh. Sebab semua sifat ini merupakan akibat suatu sebab, maka sifat-sifat itu haruslah terkandung dalam Sattva, Rājas, dan Tamas itu.

Sattva adalah suatu Prakṛti yang merupakan alam kesenangan yang ringan, yang tenang bercahaya. Wujudnya berupa kesadaran sifat ringan yang menimbulkan gerak ke atas, angin dan air di udara dan semua bentuk kesenangan seperti kepuasan, kegirangan, dan sebagainya.


Rājas adalah unsur gerak pada benda-benda ini. Ia selalu gerak dan menyebabkan benda-benda ini bergerak. Rajas menyebabkan api berkobar, angin berhembus, pikiran berkeliaran ke sana ke mari. Ialah yang menggerakkan Sattva dan Tamas untuk melaksanakan tugasnya.

Tamas adalah unsur yang menyebabkan sesuatu menjadi pasif dan bersifat negatif. Ia bersifat keras, menentang aktivitas, menahan gerak pikiran, hingga menimbulkan kegelapan, kebodohan sehingga mengantar orang pada kebingungan. Karena menentang aktivitas menyebabkan orang menjadi malas, acuh tak acuh, atau tidur. Ketiga guṇa ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainya karena masing-masing saling mendukung satu sama lain sebagai satu kesatuan. Ibaratkan ‘lampu minyak’ yang terdiri atas unsur nyala, unsur minyak, dan unsur lampunya, yang secara sendiri-sendiri tidak akan dapat berfungsi. Dalam kaitan dengan konsep penciptaan, pemeliharaan dan peniadaan, Sattva adalah penciptaan, Rājas adalah pemeliharaan dan Tamas adalah peniadaan. Prakṛti dicirikan oleh adanya tiga guṇa di atas, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:129).

Kata guṇa artinya adalah kualitas atau sifat dari Prakṛti, tetapi tidak sekadar aspek permukaan dari alam materiil ini, tapi hakikat intrinsik dari Prakṛti. Guṇa itu selalu berubah dari dalam dirinya sendiri walaupun dalam keadaan keseimbangan, hanya saja ia tidak menghasilkan apapun sepanjang keseimbangan tidak terganggu. Bila keseimbangan terganggu maka guṇa dalam situasi Guṇaksobha, di mana masing-masing guṇa beraksi satu sama lainnya yang disebabkan karena salah satu guṇa secara dominan tampil walaupun tidak meniadakan guṇa lainnya, dalam benda-benda material yang diam atau yang tidak bergerak maka yang dominan adalah Tamas Guṇa dibandingkan dengan dua guṇa lainnya. Dalam sesuatu ang bergerak maka Rājas Guṇa dominan dari pada dua guṇa lainnya.

Demikianlah guṇa itu bekerja bersama-sama dalam membentuk alam semesta ini. Guṇa-Guṇa itu dapat dimengerti dari fakta berupa ciri-ciri dari dunia materiil ini, baik secara eksternal maupun secara internal, baik itu berupa unsur fisik atau pikiran, yang semuanya memiliki kemampuan dalam menghasilkan kesenangan, penderitaan atau seimbang tidak keduanya. Suatu objek yang sama barangkali menyenangkan seseorang tapi menyakiti bagi yang lainnya atau sama sekali tidak keduanya itu.

Seorang wanita yang cantik akan sangat menarik bagi pacarnya, tapi akan menyakitkan wanita lainnya yang juga tertarik pada laki-laki pacar wanita cantik itu, dan tidak ada apa-apanya bagi orang lain yang tidak terlibat ‘kecantikan’ dari wanita itu. Hal ini menunjukkan adanya hubungan dengan orang-orang lainnya di sekitarnya, yang muncul dari guṇa yang ada pada dunia ini.

Dari contoh ini kita akan dibantu dalam memahami bagaimana asal-usul dari semua fenomena Prakṛti yang memiliki ciri-ciri yang dapat kita temukan pada objek-objek dunia ini. Prakṛti dan produk-produk yang dihasilkannya membutuhkan guṇa tersebut karena Prakṛti dan produknya tidak mempunyai kekuatan untuk membedakan dirinya dengan Puruṣa. Mereka adalah objek sedangkan Puruṣa adalah subjek. Filsafat Sāṁkhya menyatakan bahwa keseluruhan alam semesta ini berkembang dari Guṇa, di mana dalam keadaan ketiga Guṇa itu seimbang alami disebut Prakṛti dan dalam keadaan tidak seimbang disebut sebagai Vikṛti, yaitu keadaan yang heterogen.

Tiga Guṇa ini oleh filsuf Sāṁkhya yang beraliran nontheistik dinyatakan sebagai penyebab terakhir dari aktivitas dan Tamas adalah berat dan gelap, lesu atau menutupi. Guṇa itu tidak berbentuk dan selalu ada (omnipresent) yang dalam keadaan seimbang menyerahkan sifat-sifatnya ke dalam yang satu dengan yang lainnya. Dalam keadaan tidak seimbang, Rājas dikatakan sebagai pusat dari Sattva dan Tamas, yang menghasilkan penciptaan karena memanifestasikan dirinya dengan demikian Rājas menghasilkan pasangan-pasangan yang berlawanan. Sebaliknya Rājas juga tergantung dari Sattva dan Tamas, karena aktivitas tidak akan terjadi tanpa adanya objek di mana ia beraktivitas.

Dalam keadaan memanifestasikan diri, salah satu guṇa mendominasi dua guṇa lainnya, tetapi tidak pernah terjadi secara sepenuhnya terpisah atau absen satu sama lainnya karena secara keseimbangan mereka bereaksi antara satu dengan yang lainnya. Dengan pengaruh Rājas maka kekuatan Sattvika mengalami kecepatan yang tinggi dan unit kekuatan itu terpecah menjadi bagian-bagian. Dalam tahapan tertentu barangkali percepatan berkurang dan mereka mulai mendekat dan mendekat satu sama lainnya. Kontraksi dari kekuatan Sattvika maka akan terbentuk Tamas, dan dalam waktu yang bersamaan dorongan dari kekuatan aktif (Rājas) juga terjadi pada Tamas dan dalam kontraksi itu terjadilah ekspansi yang cepat, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:130).

Dengan demikian guṇa itu secara terus menerus mengubah keunggulan mereka mengatasi yang lainnya. Keunggulan Sattva dari Tamas dan sebaliknya, keunggulan Sattva pada Tamas terjadi secara bersamaan dalam proses tersebut, dan pergantian itu terjadi pada setiap saat. Sattva dan Tamas dan dalam penampakannya merupakan terang dan tidak berbobot sedang yang lain merupakan gelap dan berat. Tapi pasangan ini bekerja secara bersama-sama dalam penciptaan dan peleburan seperti halnya benda-benda bergerak dari yang halus.

Ekspansi kekuatan energi yang tertimbun dalam bentuk-bentuk yang halus, dari mana ia memanifestasikan dari dalam bentuk keseimbangan yang baru. Keseimbangan yang sifatnya relatif ini merupakan suatu tahapan tertentu dari proses evolusi itu sendiri. Memang kelihatannya ada suatu konflik yang berkesinambungan antara Guṇa itu, tapi sesungguhnya ada kerjasama yang sempurna selama proses penciptaan oleh karena lewat interaksi yang berkesinambungan itulah aliran kosmis dan kehidupan individual terus berlangsung. Guṇa itu memiliki peranan yang sama dalam tubuh dan pikian manusia seperti halnya yang terjadi pada alam semesta secara keseluruhan.

c. Evolusi alam semesta.

Prakṛti akan mengembang menjadi alam ini bila berhubungan dengan Puruṣa. Melalui perhubungan ini Prakṛti dipengaruhi oleh Puruṣa seperti halnya anggota badan kita dapat bergerak karena hadirnya pikiran. Evolusi alam semesta tidak mungkin terjadi hanya karena Puruṣa, karena ia bersifat pasif. Tidak juga hal itu dapat terjadi karena ia tanpa kesadaran. Hanya karena perhubungan Puruṣa dan Prakṛti ini adalah seperti kerja sama orang lumpuh dengan orang buta untuk dapat keluar hutan. Mereka bekerja sama untuk mencapai tujuannya.

Hubungan antara Puruṣa dan Prakṛti menyebabkan terganggunya keseimbangan dalam Tri Guṇa. Yang mula-mula tergantung ialah Rājas dan menyebabkan Guṇa yang lain ikut terguncang pula. Masing-masing Guṇa itu berusaha mengatasi kekuatan Guṇa lainnya. Maka terjadilah pemisah dan penyatuan Tri Guṇa itu yang menyebabkan munculnya objek yang kedua ini. Yang pertama terjadi dari Prakṛti ialah Mahat dan Buddhi. Mahat adalah benih besar alam semesta ini sedangkan Buddhi adalah unsur intelek.

Fungsi buddhi ialah untuk memberikan pertimbangan dan memutuskan segala apa yang datang dari alat-alat yang lebih rendah daripadanya. Dalam keadaannya yang murni ia bersifat dharma, jñana, vāiragya, dan aiṣarya yaitu kebijakan, pengetahuan, tidak bernafsu, dan ketuhanan. Ia berada amat dekat dengan roh. Ahaṁkāra atau rasa aku adalah hasil Prakṛti yang kedua. Ia langsung timbul dari mahat dan merupakan manifestasi pertama dari mahat. Fungsi Ahaṁkāra ialah merasakan rasa aku. Dengan Ahaṁkāra sang diri merasa dirinya yang bertindak, yang ingin, dan yang bermilik, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:131).

Ada tiga macam Ahaṁkāra sesuai dengan Guṇa mana yang lebih unggul dalam keinginan itu. Ahaṁkāra itu disebut sattvika bila unsur Sattvam yang unggul, Rājasa bila Rājas yang unggul dan Tamasa bila Tamas yang unggul. Dari Sattvika timbullah pañca jñanendriya, pañca karmendriya, dan manas. Dari Tamasa lahirlah pañca tanmātra sedangkan Rājasa memberikan tenaga baik pada Sattvika maupun Tamasa untuk mengubah manas berfungsi menuntun alat-alat tubuh untuk mengetahui dan bertindak.

Pañca tanmātra adalah sari-sari benih suara, sentuhan, warna, rasa, dan bau. Semuanya ini hanya diketahui orang akibat yang ditimbulkannya, sedangkan ia sendiri tidak dapat dikenal karena amat halusnya. Dari semua anasir kasar itu berkembanglah alam semesta ini dengan segala isinya, namun perkembangan ini tidak menimbulkan azas-azas baru lagi seperti dalam perkembangan Mahat. Suatu azaz lagi setelah terbentuknya alam semesta ini, belumlah sempurna sampai di situ, sebab ia memerlukan adanya dunia roh yang menjadi saksi dan yang menikmati isi alam ini. Bila roh nyata ada, maka perlulah adanya penyesuaian moral, kenikmatan, dan kesusahan hidup ini. Evolusi Prakṛti menjadi objek yang memungkinkan roh nikmat atau menderita sesuai dengan baik buruk perbuatannya. Namun tujuan akhir evolusi Prakṛti ialah kelepasan.

d. Ajaran tentang Kelepasan

Hidup di dunia ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan dapat dinikmati, banyak pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila orang dapat menghindarkan diri dari kesusahan dan sakit, maka ia tak dapat menghindarkan diri dari ketuaan dan kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini yaitu Adhyātmika, Adhibāutika, dan Adhidāivika.

Adhyātmika adalah sakit karena sebab-sebab dari dalam badan sendiri seperti kerja alat-alat tubuh yang tidak normal dan gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan perasaan. Ia merupakan gangguan jasmani dan rohani seperti sakit kepala, takut, marah, dan sebagainya.

Adhibāutika adalah sakit yang disebabkan oleh faktor luar tubuh, seperti terpukul, kena gigitan nyamuk, dan sebagainya; dan Adhidāivika adalah sakit karena tenaga gaib seperti setan, hantu dan lain-lainnya.

Tidak ada seorang pun yang ingin menderita sakit, semuanya ingin hidup bahagia lepas dari susah dan sakit. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Selama orang masih berbadan lemah, selama itu suka dan duka, sakit dan sehat selalu berdampingan. Dengan demikian kita perlu bercita-cita hidup bersenang-senang selalu, cukup hidup biasa-biasa saja dengan berusaha melepaskan penderitaan atas dasar pikiran sehat.

Dalam ajaran Sāṁkhya kelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua penderitaan. Inilah tujuan terakhir dari hidup kita. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memperingan hidup kita, namun tidak dapat melepaskan kita dari penderitaan sepenuh-penuhnya. Sāṁkhya mengajarkan bahwa cara mencapai kelepasan itu ialah melalui pengetahuan yang benar atas kenyataan dunia ini. Tiadanya pengetahuan itulah yang menyebabkan orang menderita, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:132).

Dalam banyak hal orang-orang yang tidak punya pengetahuan tentang hukum alam dan hukum kehidupan terbentur pada masalah yang membawanya pada kesedihan. Berbeda halnya orang-orang yang berpengetahuan akan menerima dan menikmati kenyataan itu tidak sempurna, maka ia tidak lepas dari penderitaan sepenuhnya. Kelepasan itu hanya akan dicapai bila pengetahuan orang akan kenyataan itu sudah sempurna.

a. Pendiri dan Sumber Ajarannya

Kata Yoga berasal dari akar kata ‘yuj’ yang artinya menghubungkan. Yoga merupakan pengendalian aktivitas pikiran dan merupakan penyatuan roh pribadi dengan roh tertinggi. Hiraṇyagarbha adalah pendiri dari sistem Yoga. Yoga yang didirikan oleh Mahāṛṣi Patañjali, merupakan cabang atau tambahan dari filsafa Sāṁkhya. Ia memiliki daya tarik tersendiri bagi para siswa yang memiliki temperamen mistis dan perenungan. Ia menyatakan bersifat lebih orthodox dari pada filsafa Sāṁkhya, yang secara langsung mengakui keberadaan dari Makhluk Tertinggi (Ìśvara).

Tuhan menurut Patañjali merupakanPurūṣaistimewa atau roh khusus yang tak terpengaruh oleh kemalangan kerja, hasil yang diperoleh dan cara perolehannya. Pada-Nya merupakan batas tertinggi dari benih kemahatahuan, yang tanpa terkondisikan oleh waktu, merupakan guru bagi para bijak zaman dahulu. Dia bebas selamanya.

Suku kata suci OM merupakan simbol Tuhan. Pengulangan suku kata OM dan bermeditasi pada OM, haruslah dilaksanakan, yang akan melepaskan segala halangan dan akan membawa kepencapaian perwujudan Tuhan. Patañjali mendirikan sistem filsafat ini dengan latar belakang metafisika Sāṁkhya dan menerima 25 prinsip atau Tattva dari Sāṁkhya, tetapi menekankan pada sisi praktisnya guna realisasi dari penyatuan mutlak Puruṣa atau Sang Diri.

Roh pribadi dalam sistem Yoga memiliki kemerdekaan yang lebih besar dan dapat mencapai pembebasan dengan bantuan Tuhan. Sistem Yoga menganggap bahwa konsentrasi, meditasi dan Samādhi akan membawa kepada Kaivalya atau kemerdekaan. Menurut Patañjali, Tuhan adalah Purūṣa Istimewa atau roh khusus yang tak terpengaruh oleh kemalangan, karma, hasil yang diperoleh dan cara memperolehnya, pada-Nya merupakan batas tertinggi dari Kemahatahuan, yang tak terkondisikan oleh waktu, yang selamanya bebas dan merupakan Guru bagi para bijak zaman dahulu., (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:133).

“Yoga Sūtra” dari Patañjali muncul sebagai buku acuan yang tertua dari aliran filsafat Yoga, yang memiliki 4 Bab, yaitu:


  1. Bab yang pertama yaitu Samādhi Pāda, memuat penjelasan tentang sifat dan tujuan Samādhi.
  2. Bab kedua yaitu Sādhanā Pāda, menjelaskan tentang cara pencapaian tujuan ini.
  3. Bab ketiga, yaitu Wibhùti Pāda, memberikan uraian tentang daya-daya supra alami atau Siddhi yang dapat dicapai melalui pelaksanaan Yoga.
  4. Bab keempat yaitu Kaivalya Pāda, menggambarkan sifat dari pembebasan tersebut.

Yoga-nya Mahāṛṣi Patañjali merupakan Aṣṭāṅga-Yoga atau Yoga dengan delapan anggota, yang mengandung disiplin pikiran dan tenaga fisik Haṭha Yoga membahas tentang cara-cara mengendalikan badan dan mengatur pernapasan yang memuncak dari Rāja Yoga. Sādhanā yang progresif dalam Haṭha Yoga membawa pada keterampilan Haṭha Yoga. Haṭha Yoga merupakan tangga untuk mendaki menuju tahapan puncak dari Rāja Yoga. Bila gerakan pernapasan dihentikan dengan cara Kumbhaka, pikiran menjadi tak tertopang.

Pemurnian badan dan pengendalian pernapasan merupakan tujuan langsung dari Haṭha Yoga. Śaṭ Karma atau enam kegiatan pemurnian badan antara lain Dhautī (pembersihan perut), Bastī (bentuk alami pembersihan usus), Netī (pembersihan lubang hidung), Trāṭaka (penatapan tanpa berkedip terhadap sesuatu objek), Naulī (pengadukan isi perut), dan Kapālabhātì (pelepasan lendir melalui semacam Prāṇāyāma tertentu). Badan diberikan kesehatan, kemudaan, kekuatan, dan kemantapan dengan melaksanakan Āsana, bandha dan mudrā.

Yoga merupakan satu cara disiplin yang ketat, yang memberlakukan pengetatan pada diet, tidur, pergaulan, kebiasaan, berkata, dan berpikir. Hal ini harus dilakukan di bawah pengawasan yang cermat dari seorang Yogīn yang ahli dan memancarkan sinar kepada Jīva. Yoga merupakan satu usaha sistematis untuk mengendalikan pikiran dan mencapai kesempurnaan. Yoga meningkatkan daya konsentrasi, menahan tingkah laku dan pengembaraan pikiran, dan membantu untuk mencapai keadaan supra Ṣaḍar atau nirvikalpa samādhi.

Pelaksanaan Yoga melepaskan keletihan badan dan pikiran dan melepaskan ketidakmurnian pikiran serta memantapkannya. Tujuan yoga adalah untuk mengajarkan cara ātma pribadi dapat mencapai penyatuan yang sempurna dengan Roh Tertinggi. Penyatuan atau perpaduan dari ātma pribadi dengan Puruṣa Tertinggi dipengaruhi oleh Vṛtti atau pemikiran -pemikiran dari pikiran. Ini merupakan suatu keadaan yang jernihnya seperti kristal, karena pikiran tak terwarnai oleh hubungan dengan objek-objek duniawi.

Sistem filsafa Kapila adalah Nir-Ìśvara Sāṁkhya, karena di sana tak ada Ìśvara atau Tuhan. Sistem Patañjali adalah Sa-Ìśvara Sāṁkhya karena ada Ìśvara atau Puruṣa Istimewa di dalamnya, yang tak tersentuh oleh kemalangan, kerja, keinginan, dsb. Patañjali mendirikan sistem ini pada latar belakang metafisik dari Sāṁkhya. Patañjali menerima 25 prinsip dari Sāṁkhya. Ia menerima pandangan metafisikdari sistem Sāṁkhya, tetapi lebih menekankan pada sisi praktis dari disiplin diri guna realisasi dari penyatuan mutlak Puruṣa atau Sang Diri, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:134).

Sāṁkhya merupakan satu sistem metafisika, sedangkan Yoga merupakan satu sistem disiplin praktis. Yang pertama menekankan pada penyelidikan dan penalaran, sedang yang kedua menekankan pada konsentrasi dari daya kehendak. Roh pribadi dalam Yoga memiliki kemerdekaan yang lebih besar. Ia dapat mencapai pembebasan dengan bantuan Tuhan.

Sāṁkhya menetapkan bahwa pengetahuan adalah cara untuk pembebasan. Yoga menganggap bahwa konsentrasi, meditasi, dan Samādhi akan membawa kepada Kaivalya atau kemerdekaan. Sistem Yoga menganggap bahwa proses Yoga terkandung dalam kesan-kesan dari keanekaragaman fungsi mental dan konsentrasi dari energi mental pada Puruṣa yang mencerahi dirinya. Rāja Yoga dikenal dengan nama Aṣṭāṅga-Yoga atau Yoga dengan delapan anggota, yaitu:


  1. Yama, (larangan),
  2. Niyama (ketaatan),
  3. Āsana (sikap badan),
  4. Prāṇāyāma (pengendalian nafas),
  5. Pratyāhāra (penarikan indriya),
  6. Dhāraṇa (konsentrasi),
  7. Dhyāna (meditasi), dan
  8. Samādhi (keadaan supra Ṣaḍar).

Kelima yang pertama membentuk anggota luar (Bahir-aṅga) dari Yoga, sedangkan ketiga yang terakhir membentuk anggota dalam (Antar-aṅga) dari Yoga.

c. Penjelasan Rāja Yoga atau Aṣṭāṅga-Yoga

Pelaksanaan Yama dan Niyama membentuk disiplin etika, yang mempersiapkan siswa-siswa Yoga untuk melaksanakan Yoga yang sesungguhnya. Siswa Yoga hendaknya melaksanakan tanpa kekerasan, kejujuran, pengendalian nafsu, tidak mencuri dan tidak menerima pemberian yang mengantar pada kehidupan mewah; dan melaksanakan kemurnian, kepuasan, kesederhanaan mempelajari kesucian dan berserah diri kepada Tuhan. Siswa Yoga hendaknya melaksanakan:


  1. Ahiṁsā atau tanpa kekerasan, yaitu jangan melukai makhluk lain baik dalam pikiran atau pun perkataan. Perlakukanlah pihak lain seperti engkau ingin memperlakukan diri sendiri.
  2. Satya atau kebenaran dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan
  3. Asteya atau pantang mencuri atau menginginkan milik orang lain
  4. Bramacarya atau pembujangan dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan
  5. Aparigraha atau pantang kemewahan yang melebihi apa yang diperlukan

Kelima pantangan ini merupakan sesuatu yang bersifat universal (mahāvrata) atau sumpah luar biasa yang harus dipatuhi,tanpa alasan pengelakan berdasarkan Jati (kedudukan pribadi), Deśa (tempat kediaman), Kāla (usia dan waktu) dan Samāyā (keadaan). Ia harus dilaksanakan oleh semua orang, tak ada pengecualian terhadap prisip-prinsip ini. Bahkan untuk membela diri melakukan pembunuhan tak dibenarkan bagi seseorang yang sedang melaksanakan sumpah tanpa kekerasan ini. Ia hendaknya tidak membunuh musuhnya sekalipun, apabila ia melaksanakan Yoga secara ketat, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:135).

Selanjutnya perincian Patañjali terhadap Niyama adalah :


  • Śauca (kebersihan lahir batin dan menganjurkan kebajikan)
  • Saṅtoṣa (kepuasan untuk memantapkan mental)
  • Tapa (berpantang atau pengetatan diri)
  • Svādhyāya (mempelajari naskah-naskah suci)
  • Īśvarapraṇidhāna (penyeraha diri kepada Tuhan)

2). Āsana, Prāṇāyāma dan Pratyāhara

Āsana merupakan sikap badan yang mantap dan nyaman. Āsana atau sikap badan merupakan bantuan secara fisik untuk konsentrasi. Bila seseorang memperoleh penguasaan atas āsana, ia bebas dari gangguan pasangan-pasangan yang berlawanan. Prāṅāyāma atau pengaturan napas memberikan ketenangan dan kemantapan pikiran serta kesehatan yang baik. Pratyāhara adalah pemusatan pikiran, yaitu penarikan indra-indra dari objek-objeknya. Yama, Niyama, Āsana. prāṇāyāma, dan Pratyāhara merupakan tambahan bagi Yoga.

3). Dhāraṇa, Dhyāna, dan Samādhi

Dhāraṇa, Dhyāna, dan Samādhi merupakan 3 tahapan berturut-turut dari proses yang sama dari konsentrasi mental dan karena itu merupakan bagian dari keseluruhan organ. Dhāraṇa adalah usaha untuk memusatkan pikiran secara mantap pada suatu objek. Dhyāna merupakan pemusatan yang terus menerus tanpa henti dari pikiran terhadap objek. Samādhi adalah pemusatan pikiran terhadap objek dengan intensitas konsentrasi demikian rupa sehingga menjadi objek itu sendiri. Pikiran sepenuhnya bergabung dalam penyamaan dengan objek yang dimeditasikan.

Saṁyama atau konsentrasi, meditasi dan samādhi merupakan hal yang sama dan satu yang memberikan suatu pengetahuan dari objek supra alami. Siddhi merupakan hasil sampingan dari konsentrasi yang sesungguhnya merupakan halangan terhadap pelaksanaan samādhi atau kebebasan, yang merupakan tujuan dari disiplin Yoga


4). Yoga Samādhi dan Ciri-cirinya

Dhyāna atau meditasi memuncak dalam samādhi. Objek meditasi adalah Samādhi. Samādhi merupakan tujuan dari disiplin Yoga. Badan dan pikiran menjadi mati sementara sedemikian rupa terhadap semua kesan-kesan luar. Hubungan dengan dunia luar lepas. Dalam samādhi, Yoga memasuki ketenangan tertinggi yang tak tersentuh oleh suara-suara yang tak henti-hentinya dari dunia luar. Pikiran kehilangan fungsinya. Indriya-indriya terserap ke dalam pikiran. Bila semua perubahan pikiran terkendalikan si pengamat yaitu Puruṣa, terhenti dalam dirinya sendiri. Patañjali mengatakan hal ini dalam Yoga Sūtra-nya sebagai Svarūpa Awasthānam (kedudukan dalam diri seseorang yang sesungguhnya).

Ada jenis atau tingkatan konsentrasi atau samādhi, yaitu Saṁprajñata atau Ṣaḍar dan Asaṁprajñata atau supra Ṣaḍar. Pada saṁprajñata samādhi, ada objek konsentrasi yang pasti, di situ pikiran tetap Ṣaḍar akan objek tersebut. Savitarka (dengan pertimbangan), nirvitarka (tanpa pertimbangan), savicāra (dengan renungan), Nirvicāra (tanpa renungan), Sānanda (dengan kegembiraan) dan Sāsmita (dengan arti kepribadian) adalah bentuk-bentuk dari Saṁprajñata samādhi. Dalam Saṁprajñata samādhi ada kesaḍaran yang jernih tentang objek yang dimeditasikan, yang berada dengan subjek. Dalam Asaṁprajñata samādhi, perbedaan ini lenyap dan menjadi tersenden (terlampaui), (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:136).

d. Kondisi Guna Berhasil dalam Rāja Yoga

Para calon spiritual yang menginginkan untuk mencapai perwujudan Tuhan hendaknya melaksanakan kedelapan anggota Yoga ini. Pada penghancuran ketidak-murnian melalui pelaksanaan delapan anggota dari Yoga, muncullah sinar kebijaksanaan yang membawa ke pengetahuan pembedaan. Guna mencapai Samādhi atau penyatuan dengan Tuhan, pelaksanaan Yama dan Niyama merupakan suatu keharusan.

Siswa Yoga hendaknya melaksanakan Yama dan mematuhi Niyama secara berdampingan. Tak mungkin mencapai kesempurnaan dalam meditasi dan Samādhi tanpa berusaha melaksanakan Yama dan Niyama. Kamu tak dapat mengkonsentrasikan pikiran tanpa melepaskan kepalsuan, kebohongan, kekezaman, nafsu dan sebagainya yang berada di dalam. Tanpa konsentrasi pikiran, meditasi dan Samādhi tidak dapat dicapai.

e. Lima Tingkatan Mental Menurut Aliran Filsafat Patañjali

Kṣipta, Muḍha, Vikṣipta, Ekagra dan Niruddha, merupakan lima tingkatan mental, menurut aliran Rāja Yoga dari Patañjali. Tingkatan Kṣipta adalah pada saat pikiran mengembara diantara berbagai objek duniawi dan pikiran dipenuhi dengan sifat Rājas. Tingkatan Muḍha, pikiran berada dalam keadaan tertidur dan tak berdaya disebabkan sifat Tamas. Tingkatan Vikṣipta adalah keadaan pada saat sifat Sattva melampaui, dan pikiran goyang antara meditasi dan objektivitas. Sinar pikiran secara perlahan berkumpul dan bergabung. Bila sifat Sattva meningkat, akan memiliki kegembiraan pikiran, pemusatan pikiran, penaklukan indriya-indriya dan kelayakan untuk perwujudan ātman. Tingkatan ekagra adalah pada saat pikiran terpusatkan dan terjadi meditasi yang mendalam sifat Sattva terbebas dari sifat Rājas dan Tamas. Tingkatan niruddha adalah pada saat pikiran di bawah pengendalian yang sempurna. Semua Vṛtti pikiran dilenyapkan.

Vṛtti merupakan kegoncangan atau gejolak pikiran dalam danaunya pikiran. Setiap Vṛtti atau perubahan mental meninggalkan sesuatu saṁskāra atau kesan-kesan atau kecenderungan yang terpendam. Saṁskāra ini dapat mewujudkan dirinya sebagai keadaan Ṣaḍar bila ada kesempatan. Vṛtti yang sama memperkuat kecenderungan yang sama. Bila semua Vṛtti dihentikan, pikiran berada dalam keadaan setimbang (Samāpatti). Penyakit, kelesuan, keragu-raguan, keletihan, kemalasan, keduniawian, kesalahan pengamatan, kegagalan mencapai konsentrasi dan ketidakmampuan ketika hal itu dicapai, merupakan halangan pokok untuk konsentrasi.

f. Lima Kleśa dan Pelepasannya

Menurut  Patañjali,  avidyā  (kebodohan),  asmitā  (keakuan),  rāga-dveṣa (keinginan dan antipati, atau suka dan tidak suka) dan abhiniweśa (ketergantungan pada kehidupan duniawi) merupakan 5 kleśa besar atau mala petaka yang menyerang pikiran. Ada keringanan dengan cara melaksanakan Yoga terus menerus, tetapi tidak menghilangkan secara total. Mereka akan muncul lagi pada saat mereka menemukan situasi yang menyenangkan dan menguntungkan. Tetapi Asaṁprajñata samādhi (pengalaman mutlak) menghancurkan sekaligus benih -benih dari kejahatan ini. Avidyā merupakan penyebab utama dari segala kesulitan. Keakuan merupakan hasil langsung dari avidyā, yang memberi kita keinginan dan kebencian, serta menyelubungi pandangan spiritual. Pelaksanaan yoga samādhi melenyapkan avidyā, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:137).

Kriyā Yoga memurnikan pikiran, melunakkan 5 kleśa dan membawa pada keadaan samādhi. Tapas (kesederhanaan), svadhyāya (mempelajari dan memahami kitab suci) dan Ìśvara-praṁidhāna (pemujaan Tuhan dan penyerahan hasilnya pada Tuhan) membentuk Kriyā Yoga. Pengusahaan persahabatan (Maitrī) terhadap sesama, kasih sayang (karuṇa) terhadap yang lebih rendah, kebahagiaan (mudita) terhadap yang lebih tinggi, dan ketidakacuhan (upekṣā) terhadap orang-orang kejam (atau dengan memandang sesuatu menyenangkan dan menyakitkan, baik dan buruk) menghasilkan ketenangan pikiran (citta prasāda). Seseorang dapat mencapai samādhi melalui kepatuhan pada Tuhan yang memberikan kebebasan. Dengan Ìśvara-praṁidhāna, siswa yoga memperoleh karunia Tuhan.

Abhyāsa (pelaksanaan) dan Vairāgya (kesabaran, tanpa keterikatan) membantu dalam pemantapan dan pengendalian pikiran. Pikiran hendaknya ditarik berkali-kali dan dibawa ke pusat meditasi, apabila ia mengarah keluar menuju objek duniawi. Ini merupakan abhyāsa yoga. Pelaksanaan menjadi mantap dan terpusatkan, apabila secara terus menerus selama beberapa waktu tanpa selang waktu dan dengan penuh ketaatan. Pikiran merupakan sebuah berkas Tṛṣṇa (kerinduan). Pelaksanaan Vairāgya akan menghancurkan segala Tṛṣṇa. Vairāgya memutar pikiran menjauhi objek-objek. Ia tidak mengijinkan pikiran untuk mengarah keluar (kegiatan Bahirmukha dari pikiran), tetapi mengarahkannya ke kegiatan antar-mukha (mengarah ke dalam).

Tujuan kehidupan adalah keterpisahan mutlak dari Puruṣa terhadap Prakṛti. Kebebasan dalam Yoga merupakan Kaivalya atau kemerdekaan mutlak. Roh terbebas dari belenggu Prakṛti. Puruṣa berada dalam wujud yang sebenarnya atau svarūpa. Bila roh mewujudkan bahwa hal itu adalah kemerdekaan secara mutlak dan bahwa ia tak tergantung pada sesuatu apa pun di dunia ini, Kaivalya atau Pemisahan tercapai. Roh telah melepaskan avidyā melalui pengetahuan pembedaan (vivekakhyāti). Lima kleśa atau

malapetaka terbakar oleh apinya pengetahuan. Sang Diri tak terjamah oleh kondisi dari citta. Guṇa seluruhnya terhenti dan sang Diri berdiam pada intisari Tuhan sendiri. Walaupun seseorang menjadi mukta (roh bebas), Prakṛti dan perubah-perubahannya tetap ada bagi orang lainnya. Hal ini, dalam perjanjian dengan sistem filsafa Sāṁkhya, dipegang oleh sistem Yoga ini, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:138).

a. Pendiri dan Sumber Ajarannya

Pūrva Mīmāmsā atau Karma Mīmāmsā atau yang lebih dikenal dengan Mīmāmsā, adalah penyelidikian ke dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Veda; suatu pencarian ke dalam ritual-ritual Veda atau bagian Veda yang berurusan dengan masalah Mantra dan Brāhmana saja disebut Pūrva Mīmāmsā karena ia lebih awal daripada Uttara Mīmāmsā (Vedānta), dalam pengertian logika, dan tidak demikian banyak dalam pengertian kronologis.

Mīmāmsā sebenarnya bukanlah cabang dari suatu sistem filsafat, tetapi lebih tepat kalau disebutkan sebagai suatu sistem penafsiran Veda dimana diskusi filosofisny sama dengan semacam ulasan kritis pada Brāhmana atau bagian ritual dari Veda, yang menafsirkan kitab Veda dalam pengertian berdasarkan arti yang sebenarnya. Sebagai filsafat Mīmāmsā mencoba menegakkan keyakinan keagamaan Veda. Kesetiaan atau kejujuran yang mendasari keyakinan keagamaan Veda terdiri atas bermacam-macam unsur, yaitu :


  1. Percaya dengan adanya roh yang menyelamatkan dari kematian dan mengamati hasil dari ritual di surga.
  2. Percaya tentang adanya kekuatan atau potensi yang melestarikan dampak dari ritual yang dilaksanakan.
  3. Percaya bahwa dunia adalah suatu kenyataan dan semua tindakan yang kita lakukan dalam hidup ini bukanlah suatu bentuk illusi.

Tokoh pendiri dari sistem filsafat Mīmāmsā adalah Mahāṛṣi Jaimini yang merupakan murid dari Mahāṛṣi Vyāsa telah mensistematir aturan-aturan dari Mīmāmsā dan menetapkan keabsahannya dalam karyanya itu dimana aturan-aturannya sangat penting guna menafsirkan hukum-hukum Hindu. Beliau menulis kitab Mīmāmsā Sūtra yang menjadi sumber ajaran pokok Mīmāmsā. Sūtra pertama dari Mīmāmsā Sūtra berbunyi: Athato Dharmajijñasa, yang menyatakan keseluruhan dari sistemnya yaitu, suatu keinginan utnuk mengetahui Dharma atau kewajiban, yang tekandung dalam pelaksanaan upacara-upacara dan kurban-kurban yang diuraikan oleh kitab Veda.

Dharma yang diperintahkan Kitab Veda, dikenal dengan Śruti yang pelaksanaannya memberi kebahagiaan. Seorang Hindu harus melaksanakan nitya karma seperti saṅdhyā-vandana. Serta naimitika karma selama ada kesempatan, untuk mendapatkan pembebasan, yang dapat dikatakan sebagai kewajiban tanpa syarat.

Ajaran Mīmāmsā bersifat pluralistis dan realistis yang mengakui jiwa yang jamak dan alam semesta yang nyata serta berbeda dengan jiwa. Karena sangat mengagungkan Veda, maka Mīmāmsā menganggap Veda itu bersifat kekal dan tanpa penyusun, baik oleh manusia maupun oleh Tuhan. Apa yang diajarkan oleh Veda dipandang sebagai suatu kebenaran yang mutlak. Menurut filsafat Mīmāmsā, pelaksanaan upacara keagamaan adalah semata-mata perintah dari Veda dan merupakan suatu kewajiban yang mendatangkan pahala, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:139).

Kekuatan yang mengatur antara pelaksanaan upacara tersebut dengan pahalanya disebut apūrva. Pelaksanaan apūrva memberikan ganjaran kepada si pelaksana kurban, karena apūrva merupakan mata rantai atau hubungan yang diperlukan antara kerja dengan hasilnya. Apūrva adalah Adṛṣṭa, yang merupakan kekuatan-kekuatan yang tak terlihat yang sifatnya positif.

Mengenai Jīva, Mīmāmsā menyatakan bahwa jiwa itu banyak dan tak terhingga, bersifat kekal, ada di mana-mana dan meliputi segala sesuatu. Karena adanya hubungan antara jiwa dengan benda, maka jiwa mengalami avidyā dan kena Karmavesana. Jaimini tidak mempercayai adanya Mokṣa dan hanya mempercayai keberadaan Svarga (surga), yang dapat dicapai melalui karma atau kurban.

Para penulis yang belakangan hadir seperti Prabhakāra dan Kumārila, tak dapat menyangkal tentang masalah pembebasan akhir, karena ia menarik perhatian para pemikir filsafat lainnya. Prabhakāra menyatakan bahwa penghentian mutlak dari badan yang disebabkan hilangnya Dharma dan A-Dharma secara total, yang kerjanya disebabkan oleh kelahiran kembali, merupakan kelepasan atau pembebasan mutlak, karena hanya dengan Karma saja tak akan dapat mencapai pembebasan akhir. Pandangan Kumārila mendekati pandangan dari Advaita Vedānta yang menetapkan bahwa Veda disusun oleh Tuhan dan merupakan Brahman dalam wujud suara. Mokṣa adalah keadaan yang positif baginya, yang merupakan realisasi dari Ātman.

Menurut Jaimini, pelaksanaan kegiatan yang dilarang oleh kitab suci Veda merupakan sādhanā atau cara pencapaian surga. Karma Kāṇḍa merupakan pokok dari Veda yang menjadi penyebab belenggu adalah pelaksanaan dari kegiatan yang dilarang (nisiddha karma). Sang Diri adalah jaḍa cetana, gabungan dari kecerdasan tanpa perasaan. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa isi pokok ajaran Jaimini adalah “Laksanakanlah upacara kurban dan nikmati hasilnya di Surga”.

Dalam sistem Mīmāmsā dikenal dua jenis pengetahuan yaitu, immediate dan mediate. Immediate adalah pengetahuan yang terjadi secara tiba-tiba, langsung dan tak terpisahkan. Sedangkan mediate ialah pengetahuan yang diperoleh melalui perantara. Objek dari pengetahuan immediate haruslah sesuatu yang ada atau zat. Pengetahuan yang datangnya tiba-tiba dan tidak dapat ditentukan terlebih dahulu disebut nirvikalpa pratyakṣa atau alocāna-jñana. Dari pengetahuan immediate objeknya dapat dilihat tetapi tidak dapat dimengerti. Objek dari pengetahuan mediate juga sesuatu yang ada dan dapat diinterprestasikan dengan baik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Dalam pengetahuan mediate objeknya dapat dimengerti dengan benar, pengetahuan semacam ini dinamakan savikalpa Pratyakṣa.

Mīmāmsā Sūtra, yang terdiri atas 12 buku atau bab Mahāṛṣi Jaimini merupakan dasar filsafat Mīmāmsā, sedangkan ulasan-ulasan lain selain Prabhakāra dan Kumārila, juga dari penulis lain seperti dari Bhava-nātha Miśra, Śabarasvāmīn, Nilakaṇṭha, Raghavānanda dan lain-lainnya. Prabhakāra menyatkan bahwa sumber pengetahuan kebenaran (pramāṇa) menurut Mīmāmsā adalah sebagai berikut:

1). Pratyakṣa   : pengamatan langsung, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:140).

2). Anumāna   : dengan penyimpilan

3). Upamāṇa   : mengadakan perbandingan

4). Śabda: kesaksian kitab suci atau orang bijak

5). Arthāpatti  : penyimpulan dari keadaan

Dan oleh Kumārila ditambahkan dengan:

6). An-upalabdhi: pengamatan ketidakadaan.

Empat cara pengamatan di atas hampir sama dengan cara pengamatan dari Nyāya, hanya pada pengamatan upamāṇa ada sedikit tambahan, di mana perbandingan yang dipergunakan di sini tidak sepenuhnya sama dengan contoh yang telah diketahui.

Pengamatan Arthāpatti adalah pengamatan dengan penyimpulan dari keadaan. Pengamatan An-upalabdhi, yaitu pengamatan ketidakadaan objek, jadi suatu cara pembuktian bahwa objek yang dimaksudkan itu benar-benar tidak ada.

a. Pendiri dan Sumber Ajarannya

Filsafat ini sangatlah kuno yang berasal dari kumpulan literatur bangsa Arya yang dikenal dengan nama Veda. Vedānta ini merupakan bunga diantara semua spekulasi, pengalaman dan analisis yang terbentuk dalam demikian banyak literatur yang dikumpulkan dan dipilih selama berabad-abad. Filsafat Vedānta ini memiliki kekhususan. Yang pertama, ia sama sekali impersonal, ia bukan dari seseorang atau Nabi.

Istilah Vedānta berasal dari kata Veda-anta, artinya bagian terakhir dari Veda atau inti sari atau akhir dari Veda, yaitu ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab Upaniṣad. Kitab Upaniṣad juga disebut dengan Vedānta, karena kitab-kitab ini merupakan jñana kāṇda yang mewujudkan bagian akhir dari Veda setelah Mantra, Brāhmaṇa dan Āraṇyaka yang bersifat mengumpulkan. Di samping itu ada tiga faktor yang menyebabkan Upaniṣad disebut dengan Vedānta yaitu:


  1. Upaniṣad adalah hasil karya terakhir dari zaman Veda.
  2. Pada zaman Veda program pelajaran yang disampaikan oleh para Rsi kepada sisyanya, Upaniṣad juga merupakan pelajaran yang terakhir. Para Brāhmacari pada mulanya diberikan pelajaran shamhita yakni koleksi syair-syair dari zaman Veda. Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran Brāhmaṇa yakni tata cara untuk melaksanakan upacara keagamaan, dan terakhir barulah sampai pada filsafat dar Upaniṣad.
  3. Upaniṣad adalah merupakan kumpulan syair-syair yang terakhir dari pada zaman Veda. 
Jadi pengertian Vedānta erat sekali hubungannya dengan Upaniṣad  hanya  saja Sumber:www. hindupedia. com kitab-kitab Upaniṣad tidak  memuat  uraian- Gambar 4.7 Rsi Vyāsa uraian yang sistimatis. Usaha pertama untuk menyusun ajaran Upaniṣad secara sistimatis diusahakan oleh Śṛi VyāṢaḍeva, kira-kira 400 SM. Hasil karyanya disebut dengan Vedānta-Sūtra atau Brahma- Sūtra yang menjelaskan ajaran-ajaran Brahman. Brahma- Sūtra juga dikenal dengan Śarīraka Sūtra, karena ia mengandung pengejawantahan dari Nirguṇa Brahman Tertinggi dan juga merupakan salah satu dari tiga buah buku yang berwewenang tentang Hinduisme, yaitu Prasthāna Traya, sedang dua buku lainnya adalah Upaniṣad dan Bhagavad Gītā. Śṛi Vyāsa telah mensistematisir prinsip-prinsip dari Vedānta dan menghilangkan kontradiksi-kontradiksi yang nyata dalam ajaran-ajaran tersebut, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:141).

Sistem filsafat Vedānta juga disebut Uttara Mīmāmsā kata ‘Vedānta’ berarti akhir dari Veda. Sumber ajarannya adalah kitab Upaniṣad. Oleh karena kitab Vedānta bersumber pada kitab-kitab Upaniṣad, Brahma Sūtra dan Bhagavad Gītā, maka sifat ajarannya adalah absolutisme dan teisme. Absolutisme maksudnya adalah aliran yang meyakini bahwa Tuhan yang Maha Esa adalah mutlak dan tidak berpribadi (impersonal God),sedangkan teisme mengajarkan Tuhan yang berpribadi (personal God). Uttara-Mīmāmsā atau filsafa Vedānta dari Bādarāyaṇa atau Vyāsa ditempatkan sebagai terakhir dari enam filsafat orthodox, tetapi sesungguhnya ia menempati urutan pertama dalam kepustakaan Hindu.

c. Pokok- Pokok Ajaran Vedānta

Vedānta mengajarkan bahwa nirvāna dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini, tak perlu menunggu setelah mati untuk mencapainya. Nirvāna adalah kesadaran terhadap diri sejati. Dan sekali mengetahui hal itu, walau sekejap, maka seseorang tak akan pernah lagi dapat diberdaya oleh kabut individualitas. Terdapat dua tahap pembedaan dalam kehidupan, yaitu yang pertama, bahwa orang yang mengetahui diri sejatinya tak akan dipengaruhi oleh hal apapun. Yang kedua bahwa hanya dia sendirilah yang dapat melakukan kebaikan pada dunia

Seperti yang telah disebutkan tadi bahwa filsafat Vedānta bersumber dari Upaniṣad. Brahma Sūtra atau Vedānta Sūtra dan Bhagavad Gītā. Brahma Sūtra mengandung 556 buah Sūtra, yang dikelompokkan atas 4 bab, yaitu Samanvaya, Avirodha, Sādhāna, dan Phala. Pada Bab I, pernyataan tentang sifat Brahman dan hubungannya dengan alam semesta serta roh pribadi. Pada Bab II, teori-teori Sāṁkya, Yoga, Vaiśeṣika dan sebagainya yang merupakan saingannya dikritik, dan jawaban yang sesuai diberikan terhadap lontaran pandangan ini. Pada Bab III, dibicarakan tentang pencapaian Brahmavidyā. Pada Bab IV, terdapat uraian tentang buah (hasil) dari pencapaian Brahmavidyā dan juga uraian tentang bagaimana roh pribadi mencapai Brahman melalui Devayana. Setiap bab memiliki 4 bagian (Pāda). Sūtra-sūtra pada masing-masing bagian membentuk Adikaraṇa atau topik-topik pembicaraan. Lima Sūtra pertama sangat penting untuk diketahui karena berisi intisari ajaran Brahma Sūtra, yaitu:


  1. Sūtra pertama berbunyi : Athāto Brahmajijñāsā – oleh karena itu sekarang, penyelidikan ke dalam Brahman. Aphorisma pertama menyatakan objek dari keseluruhan sistem dalam satu kata, yaitu Brahma-jijñāsā yaitu keinginan untuk mengetahui Brahman, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:142).
  2. Sūtra kedua adalah Janmādyasya yataḥ-Brahman yaitu Kesadaran Tertinggi, yang merupakan asal mula, penghidup serta leburnya alam semesta ini.
  3. Sūtra ketiga : Sāstra Yonitvāt – Kitab Suci itu sajalah yang merupakan cara untuk mencari pengetahuan yang benar.
  4. Sūtra keempat : Tat Tu Samvayāt – Brahman itu diketahui hanya dari kitab suci dan tidak secara bebas ditetapkan dengan cara lainnya, karena Ia merupakan sumber utama dari segala naskah Vedānta.
  5. Sūtra kelima: Īkṣater Nā Aśabdam – Disebabkan ‘berfiki ’, Prakṛti atau Pradhāna bukan didasarkan pada kitab suci.
Sūtra terakhir dari Bab IV adalah Anāvṛṭṭiḥ Śabdāt Anāvṛṭṭiḥ Śabdāt – tak ada kembali bagi roh bebas, disebabkan kitab suci menyatakan tentang akibat itu. Masing-masing buku tersebut memberikan ulasan isi filsafat itu berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh sudut pandangannya yang berbeda. Walaupun objeknya sama, tentu hasilnya akan berbeda. Sama halnya dengan orang buta yang meraba gajah dari sudut yang berbeda, tentu hasilnya akan berbeda pula.

Demikian pula halnya dengan filsafa tentang dunia ini, ada yang memberikan ulasan bahwa dunia ini maya (bayangan saja), dilain pihak menyebutkan dunia ini betul-betul ada, bukan palsu sebab diciptakan oleh Tuhan dari diri-Nya sendiri. Karena perbedaan pendapat ini dengan sendirinya menimbulkan suatu teka-teki, apakah dunia ini benar-benar ada ataukah dunia ini betul-betul maya.

Hal ini menyebabkan timbulnya penafsiran yangg bermacam-macam pula. Akibat dari penapsiran tersebut menghasilkan aliran-aliran filsafat Vedānta. Sūtra-sūtra atau Aphorisma dari Vyāsa merupakan dasar dari filsafat Vedānta dan telah dijelaskan oleh berbagai pengulas yang berbeda-beda sehingga dari ulasan-ulasan itu muncul beberapa aliran filsafat, yaitu:


  1. Kevala Advaita dari Śrī Ṣaṇkarācārya
  2. Viśiṣṭādvaita dari Śrī Rāmānujācārya
  3. Dvaita dari Śrī Madhvācārya
  4. Bhedābedhā dari Śrī Caitanya
  5. Śuddha Advaita dari Śrī Vallabhācarya, dan
  6. Siddhānta dari Śrī Meykāṇdar.

Masing-masing filsafat tersebut membicarakan tentang 3 masalah pokok yaitu, Tuhan, alam, dan roh. Dvaita, Viśiṣṭādvaita, dan Advaita adalah tiga aliran utama dari pemikiran metafisika, yang kesemuanya menapak jalan yang menuju kebenaran terakhir, yaitu Para Brahman. Dvaita, Viśiṣṭādvaita, dan Advaita adalah tiga aliran utama dari pemikiran metafisika, yang kesemuanya menapak jalan menuju kebenaran terakhir, yaitu Para Brahman.

Mereka merupakan anak-anak tangga pada tangganya Yoga, yang sama sekali tidak saling bertentangan, bahkan sebaliknya saling memuji satu sama lainnya. Tahapan ini disusun secara selaras dalam rangakaian pengalaman spiritual berjenjang, yang dimulai dengan Dvaita, Viśiṣṭādvaita, dan Advaita murni yang semuanya ini akhirnya memuncak pada Advaita Vedāntis perwujudan dari yang mutlak atau Triguṇatītā Ananta Brahman transcendental, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:143).

Madhva mengatakan: “Manusia adalah pelayan Tuhan” dan menegakkan ajaran Dvaita-nya. Rāmānuja berkata: “Manusia adalah cahaya dan percikan Tuhan” dan menegakkan filsafat Viśiṣṭādvaita-nya. Śaṅkara mengatakan: “Manusia identik dengan Brahman atau roh abadi” dan menegakkan filsafat Kevala Advaita-nya. Nimbārkācārya mendamaikan semua perbedaan pandangan mengenai Tuhan yang dipakai oleh Śaṅkara, Rāmānuja, Madhva dan yang lainnya serta membuktikan bahwa pandangan-pandangan mereka semua benar, dengan petunjuk pada aspek terentu dari Brahman, yang berhubungan dengannya, masing-masing dengan caranya sendiri. Śaṅkara telah menerima realitas pada aspek transendental-Nya, sedangkan Rāmānuja menerima-Nya pada aspek immanent-Nya, secara prinsipil, tetapi Nimbārkā telah menyelesaikan perbedaan pandangan yang diterima oleh para pengulas yang berbeda tersebut.

Perbedaan konsepsi tentang Brahman tiada lain hanya merupakan perbedaan cara pendekatan terhadap Realitas, dan sangat sulit bahkan hampir tak mungkin bagi roh terbatas untuk memperolehnya sekaligus konsepsi tentang Yang Tak Terbatas atau Roh Tak Terbatas ini secara jelas, lebih-lebih lagi untuk menyatakannya dengan istilah yang memadai. Semuanya tak dapat menjamah ketinggian filsafat Kevala Advaita dari Śrī Śaṅkara sekaligus dan untuk itu pikiran harus didisiplinkan seperlunya sebelum dipakai sebagai sebuah alat yang pantas untuk memahami pendapat dari Advaita Vedānta-Nya Śrī Śaṅkara.

Oleh karena itu kita sepatutnya merasa bersyukur dengan kehadiran beliau sebagai Avatāra Puruṣa, yang masing-masing menjelmakan diri di bumi ini untuk melengkapi suatu misi yang tak terbatas, untuk mengajarkan serta menyebarkan ajaran-ajaran tertentu, yang tumbuh subur pada masa tertentu, yang ada pada tahapan evolusi tertentu, dan semua aliran filsafat diperlukan, yang masing-masing dianggap paling sesuai bagi tipe manusia tertentu karena perbedaan konsep mengenai Brahman hanyalah perbedaan pendekatan terhadap realitas, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:144).

Sudirga, Ida Bagus dan Yoga Segara, I Nyoman. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti                 Untuk SMA/SMK Kelas X (cetakan ke-1). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan,