Adab murid terhadap guru dalam kitab talim mutaallim

Adab murid terhadap guru dalam kitab talim mutaallim

ADAB MURID KEPADA GURU

Teringat saya ketika mondok dulu, kala itu belum ada gadget, hp atau alat-alat elektronik yang meracuni pikiran kita sehingga kita hanya fokus menggali dan mengkaji ilmu, sehingga kita di ajarkan bersikap dan berakhlak percis seperti yang di video, Alhamdulillah berkat itu semua saya bisa rasakan hasilnya saat ini.

Namun, saat ini di dunia pendidikan nilai-nilai akhlakul karimah mulai terkikis seiring perkembangan zaman. Tengok saja anak-anak sekolah sekarang banyak yang melawan dan menantang gurunya, banyak yang di marahi lalu melapor dan sang guru kenak HAM, belum lagi kecanggihan teknologi yang membawa anak-anak berakhlak menyimpang dan tidak sesuai dengan norma agama dan norna lainnya.

Ketika saya mondok saya ingat kalimat berikut, yang artinya:

“kemuliaan itu dengan adab kesopanan bukan dengan keturunan”

Begitulah bunyi nasehat dari seorang ahli hikmah, dengan susunan kalimat yang begitu sederhana, namun, sarat akan nilai dan makna. Manusia sebagai khalifah alam semesta, sudah sewajarnya mengetahui serta menjalankan “nilai” yang begitu agung ini. Bahkan, menjadi aktor untuk beradab. Sebab, adab menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu, tak mengherankan, jika Rasul dan para sahabatnya banyak mengajarkan adab sebelum hal-hal lain.

Secara kebahasaan kata “adab” sering diartikan dengan  kesopanan, kebaikan budi pekerti, serta akhlak. Artinya adab merupakan sebuah cermin bagi seseorang atas perbuatannya antara baik dan buruk, mulia ataupun hina. Sedangkan dalam istilah bahasa Arab biasanya diartikan dengan pengetahuan yang dapat menjaga diri dari sifat tercela. Karena hakikat adab adalah mendidik agar selalu berbuat baik yang kemudian sifat itu disebut dengan akhlak. Maka, sangat wajar jika beberapa cendikiawan muslim menawarkan konsep ta`dib bagi pendidikan Islam.

Hal itu benar kiranya, sebab kata addaba mempunyai makna mendidik sebagaimana Hadist masyhur “Addabanī rabbī faahsana ta`dībī, artinya orang beradab adalah yang benar-benar terdidik. Maka tak berlebihan kiranya jika terdapat slogan “hanya orang beradablah yang dapat dikatakan berpendidikan”. Karena, dengan adab tersebut, manusia bertindak, bersikap, bahkan bersifat mulia yang mencerminkan kependidikan sekaligus kemanusiaannya.

Di sisi lain, pada hadis di atas juga dilekatkan kata “rabb” yang berarti Tuhan. Ini mengidentifikasikan bahwa nilai-nilai adab haruslah diikat erat dengan Tuhan. Dengan kata lain, nilai spiritualitas tak dapat dipisahkan dari aktivitas kehidupan manusia. Maka dari itu, cukup akurat tampaknya jika dikatakan ketika seseorang beradab, maka sejatinya ia telah melakukan sebuah penghambaan yang merupakan bagian keimanan.

Adalah Ibn Qoyyim al-Jauziyyah yang pernah menjelaskan melalui kitab fawa`idnya, bahwa adab merupakan bagian dari keimanan. Sebab menurutnya, keimanan itu menyangkut dua bentuk penting, yaitu zahir dan batin. Yang pertama, dapat berupa ungkapan lisan maupun perbuatan anggota badan atau yang biasa disebut dengan adab dan akhlak, sedangkan kedua, adalah kepercayaan hati, ketundukan dan kecintaan. Oleh sebab itu, jika dilihat sisi dhohir, maka nilai-nilai adab dapat disebut bukti konkrit bagi keimanan seseorang.

Senada dengan kesimpulan Ibn Qoyyim, K.H Hasyim Asy’ari melalui karyanya Adabu al-‘Alim wa al-Muta’allim, juga menuturkan bahwa adab merupakan bentuk real dari iman. Karena menurut beliau, seseorang yang tak beradab, sebenarnya ia sama tak bersyari’at, tidak pula beriman, atau pun bertauhid. Lebih lanjut beliau menuturkan, seorang mukmin tentu akan selalu berpegang teguh pada nilai-nilai Syari’at yang sudah pasti sarat akan nilai-nilai adab. Maka dari itu, ketika seseorang tak lagi beradab, sejatinya ia tak bersyari’at sebagaimana Islam ajarkan, tambahnya.

Islam, sejatinya telah banyak menerangkan tentang mulai dan pentingnya beradab, baik itu kepada Tuhan, manusia, ataupun makhluk lainnya. Misalnya, dalam al-Qur`an diterangkan adab kepada Tuhan dalam al-Baqarah(2): 32, al-A’raf (7): 132, Hud (11): 45, adab kepada Nabi; an-Nur (24): 63, al-Hujurat (49): 1-3, adab sesama manusia; Ali Imran (3): 199, al-‘Arāf (7):199, al-Isrā`(17):24, atau bahkan, adab kepada ciptaan Tuhan lainnya; al-Baqarah (2): 11, al-Māidah (5): 32, ar-Rūm (300: 41 dan lain sebagainya.

Dalam banyak Hadist pun Rasulullah juga selalu mengajarkan adab. Sebagai contoh adalah sabdanya mengenai adab berbicara; “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau hendaknya diam” (Muttafaq ‘alaih, Bukhari no. 6108, Muslim no. 47). Hal ini sebenarnya telah menunjukkan bahwa Islam sejak awal selalu memberikan perhatian utama dalam masalah adab. Terlihat dalam sabda Nabi di atas bagaimana korelasi antara “berkata atau pun berbicara dengan nilai sebuah keimanan”. Oleh karenanya, sangatlah wajar bila Islam memberikan tampat yang mulia bagi mereka yang beradab.

Namun, dalam kaitannya kehidupan sehari-hari, manusia sering kali dibutakan dengan pangkat dan derajat dunia yang serba semu. Status sosial yang cenderung menekan seakan-akan selalu menjadi petokan akhir dari nilai kemuliaan. Ketika hal ini terjadi, maka manusia akan kehilangan fitrahnya, serta jatuh dalam derajat hewan yang memuja nafsu belaka.

Seseorang tak lagi perduli dengan sesama saudaranya, demi mendapatkan jabatan atau pun harta kekayaan yang dianggap dapat membuatnya mulia. Jika demikian, apa perbedaan antara manusia dengan binatang?, tentu sama sekali tidak berbeda. Maka dari itu, masih adakah angan-angan ingin mulia dengan jabatan ataupun kekayaan?.

Para alim ulama kita terdahulu memberikan perhatian yang besar dalam masalah menghormati guru. Sebab menghormati dan mengangungkan guru adalah salah satu sebab keberkahan ilmu didapatkan.

Keberkahan dalam dunia pesantren berarti ziyadatul khair bertambahnya kebaikan yang bersifat immateri seperti kedamaian hidup dan kenikmatan ibadah.

Adapun tatacara menghormati guru atau kiai menurut Syaikh Burhanuddin dalam kitab Ta’lim Muta’allimmenjelaskan

ومن توقير المعلم أن لايمشى أمامه، ولا يجلس مكانه، ولا يبتدئ بالكلام عنده إلا بإذنه، ولا يكثر الكلام عنده، ولا يسأل شيئا عند ملالته ويراعى الوقت، ولا يدق الباب بل يصبر حتى يخرج الأستاذ

Bahwa termasuk arti menghormati guru, yaitu jangan berjalan di depannya; duduk di tempatnya; memulai mengajak bicara kecuali atas perkenan darinya; berbicara macam-macam darinya; dan menanyakan hal-hal yang membosankannya. Cukuplah dengan sabar menanti di luar hingga ia sendiri yang keluar dari rumah.

Pada intinya adalah melakukan hal-hal yang membuatnya rela, menjauhkan amarahnya dan menjunjung tinggi perintahnya yang tidak bertentangan dengan agama. Sebab orang tidak boleh taat kepada makhluk dalam melakukan perbuatan durhaka kepada Allah Maha Pencipta.

Diceritakan dalam Ta’lim Muta’allim bahwa Syaikh Al-Khulwaniy, imamnya para imam, karena suatu peristiwa yang menimpa dirinya, maka beliau pindah untuk beberapa lama. Dari Bukhara ke suatu pedesaan.

Jadi jangan sampai melakukan hal-hal yang menyakiti hati guru dan kiaimu. Lakukanlah hal yang diajarkannya untuk  mendapatkan ridhanya. Sebab barang siapa melukai hati sang gurunya, berkah ilmunya tertutup dan hanya sedikit kemanfaatan yang diperoleh dari ilmu itu.\

Semua muridnya berziarah kesana kecuali satu orang saja, yaitu syaikhul imam Al-qadli Abu Bakar Az-Zarnujiy. Setelah suatu saat bisa bertemu, beliau bertanya:

لماذا لم تزرنى؟ قال: كنت مشغولا بخدمة الولادة. قال: ترزق العمر، لاترزق رونق الدرس، وكان كذلك، فإنه كان يسكن فى أكثر أوقاته فى القرى ولم ينتظم له الدرس

“kenapa engkau tidak menjengukku? Jawabnya : “Maaf tuan, saya sibuk merawat ibuku” Beliau berkata: “Engkau dianugerahi panjang usia, tetapi tidak mendapat anugerah buah manis belajar.” Lalu kenyataanya seperti itu, hingga sebagian banyak waktu Az-Zarnujiy digunakan tinggal di pedesaan yang membuatnya kesulitan belajar.

Berikut ini 60an+ adab-adab bagi penuntut ilmu syar’i yang saya kutif dari kitab Al Mu’lim fi Adabil Mu’allim wal Muta’allim karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdil Lathif Alu Asy Syaikh rahimahullah.

1.       Mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu. Semata-mata hanya mengharap wajah Allah Ta’ala, bukan tujuan duniawi. Seorang yang menuntut ilmu dengan tujuan duniawi diancam dengan adzab neraka Jahannam.

2.         Hendaknya memiliki percaya diri yang kuat.

3.   Senantiasa menjaga syiar-syiar Islam dan hukum-hukum Islam yang zahir. Seperti shalat berjamaah di masjid, menebarkan salam kepada yang dikenal maupun tidak dikenal, amar ma’ruf nahi mungkar, dan bersabar ketika mendapatkan gangguan dalam dakwah

4.        Berakhlak dengan akhlak yang mulia sebagaimana yang dianjurkan dalam nash-nash syariat. Yaitu hendaknya penuntut ilmu itu: zuhud terhadap dunia, dermawan, berwajah cerah (tidak masam), bisa menahan marah, bisa menahan gangguan dari masyarakat, sabar, menjaga muru’ah, menjauhkan diri dari penghasilan yang rendahan, senantiasa wara, khusyuk, tenang, berwibawa, tawadhu’, sering memberikan makanan, iitsar (mendahulukan orang lain dalam perkara dunia) namun tidak minta didahulukan, bersikap adil, banyak bersyukur, mudah membantu hajat orang lain, mudah memanfaatkan kedudukannya dalam kebaikan, lemah lembut terhadap orang miskin, akrab dengan tetangga

5.         Senantiasa menunjukkan pengaruh rasa takut kepada Allah dalam gerak-geriknya, pakaiannya dan seluruh cara hidupnya

6. Senantiasa merutinkan adab-adab Islam dalam perkataan dan perbuatan, baik yang nampak maupun tersembunyi. Seperti tilawah Al Qur’an, berdzikir, doa pagi dan petang, ibadah-ibadah sunnah, dan senantiasa memperbanyak shalawat

7.  Membersihkan dirinya dari akhlak-akhlak tercela, seperti: hasad (dengki), riya, ujub (kagum pada diri sendiri), meremehkan orang lain, dendam dan benci, marah bukan karena Allah, berbuat curang, sum’ah (ingin didengar kebaikannya), pelit, bicaranya kotor, sombong enggan menerima kebenaran, tamak, angkuh, merasa tinggi, berlomba-lomba dalam perkara duniawi, mudahanah (diam dan ridha terhadap kemungkaran demi maslahat dunia), menampakkan diri seolah-olah baik di hadapan orang-orang, cinta pujian, buta terhadap aib diri, sibuk mengurusi aib orang lain, fanatik golongan, takut dan harap selain kepada Allah, ghibah, namimah (adu domba), memfitnah orang, berdusta, berkata jorok.

8. Menjauhkan diri dari segala hal yang rawan mendatangkan tuduhan serta tidak melakukan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah.

9.         Zuhud terhadap dunia dan menganggap dunia itu kecil, tidak terlalu bersedih dengan yang luput dari dunia, sederhana dalam makanannya, pakaiannya, perabotannya, rumahnya.

10. Menjaga jarak dengan para penguasa dan hamba-hamba dunia, dalam rangka menjaga kemuliaan ilmu. Sebagaimana dilakukan para salaf terdahulu. Jika memang ada kebutuhan untuk itu maka hendaknya ketika ada maslahat yang besar disertai niat yang lurus.

11. Sangat-sangat menjauhkan diri dari perkara-perkara bid’ah, walaupun sudah menjadi kebiasaan mayoritas orang.

12. Perhatian dan fokus utamanya adalah mendapatkan ilmu yang bermanfaat untuk akhiratnya. Menjauhkan diri dari ilmu yang tidak bermanfaat.

13. Mempelajari apa saja yang bisa merusak amalan, kemudian menjauhinya.

14.    Makan makanan dengan kadar yang sedikit saja, dari makanan yang halal dan jauh dari syubhat. Ini sangat membantu seseorang untuk memahami agama dengan baik.

15. Banyaknya makan menyebabkan kantuk, lemah akal, tubuh loyo, dan malas.

16. Mempersedikit makan makanan yang bisa menyebabkan lemah akal dan memperbanyak makanan yang menguatkan akal seperti susu, mushtoka, kismis dan lainnya.

17. Mempersedikit waktu tidurnya, selama tidak membahayakan tubuhnya. Hendaknya tidur sehari tidak lebih dari 8 jam. Tidak mengapa penuntut ilmu merelaksasikan jiwa, hati, pikiran dan pandangannya jika merasa lelah (dalam aktifitas belajar) atau merasa lemah untuk melanjutkan. Dengan melakukan refreshing dan rekreasi sehingga ia bisa kembali fit dalam menjalankan aktifitasnya lagi. Namun tidak boleh membuang-buang waktunya untuk itu (liburan).

18. Senantiasa bersungguh-sungguh untuk menyibukkan diri dengan ilmu, baik dengan membaca, menelaah, menghafal, mengulang pelajaran dan aktifitas lainnya

19.    Aktifitas-aktifitas yang lain dan juga sakit yang ringan, hendaknya tidak membuat seorang penuntut ilmu bolos menghadiri kajian atau lalai dari membaca dan mengulang pelajaran.

20. Bersungguh-sungguh untuk bersuci dari hadats dan najis ketika menghadiri kajian, badan dan pakaiannya dalam keadaan bersih serta wangi. Menggunakan pakaiannya yang terbaik, dalam rangka untuk mengagungkan ilmu.

21.    Bersungguh-sungguh untuk menjauhkan diri dari sikap minta-minta kepada orang lain walaupun dalam kondisi sulit

22.    Mempersiapkan diri, memikirkan dan merenungkan hal yang ingin disampaikan sebelum diucapkan agar tidak terjatuh dalam kesalahan. Terlebih jika ada orang yang hasad kepadanya atau orang yang memusuhinya yang akan menjadikan ketergelincirannya sebagai senjata.

23. Tidak bersikap sombong dengan enggan mengambil ilmu dan faidah dari orang yang lebih rendah kedudukannya atau lebih muda usianya atau lebih rendah nasabnya atau kurang populer atau lebih rendah ilmunya dari kita

24. Tidak malu bertanya tentang masalah yang belum diketahui

25. Taat kepada kebenaran dan rujuk kepada kebenaran ketika keliru, walaupun yang mengoreksi kita adalah penuntut ilmu pemula

26.    Meninggalkan debat kusir dan adu argumen

27.    Membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran hati, agar hatinya bisa menerima ilmu dengan baik

28.    Memanfaatkan dengan baik waktu-waktu senggang dan waktu-waktu ketika badan fit. Juga memanfaatkan dengan baik waktu muda dan otak masih cemerlang.

29. Memutuskan dan menghilangkan hal-hal yang menyibukkan sehingga lalai dari menuntut ilmu, atau penghalang-penghalang yang membuat menuntut ilmu tidak maksimal

30.    Senantiasa mengedepankan sikap wara (meninggalkan yang haram, makruh dan syubhat) dalam semua hal. Memilih makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal yang dipastikan halalnya.

31. Mengurangi sikap terlalu banyak bergaul, terutama dengan orang-orang yang banyak main-mainnya dan sedikit seriusnya. Hendaknya ia tidak bergaul kecuali dengan orang-orang yang bisa ia berikan manfaat atau bisa mendapatkan manfaat dari mereka.

32. Bersikap hilm (tenang) dan anah (hati-hati dalam bersikap) serta senantiasa sabar

33.    Hendaknya senantiasa bersemangat dalam menuntut ilmu dan menjadikan aktifitas menuntut ilmu sebagai rutinitasnya di setiap waktunya, baik ketika tidak safat ataupun ketika safar

34.    Hendaknya memiliki cita-cita yang tinggi untuk akhirat. Tidak hanya puas dengan sesuatu yang sedikit jika masih mampu menggapai yang lebih. Dan tidak menunda-nunda dalam belajar, bersemangat mencari faidah ilmu walaupun sedikit

35. Tidak berpindah ke kitab yang lain sebelum menyelesaikan dan menguasai kitab yang sedang dipelajari

36. Tidak mempelajari pelajaran yang belum dimampui. Belajar dari yang sesuai dengan kadar kemampuannya

37.    Selektif dalam memilih guru. Carilah guru yang mapan ilmunya, terjaga wibawanya, dikenal keistiqamahannya, bagus pengajarannya.

38. Memandang gurunya dengan penuh pemuliaan dan penghormatan

39.    Memahami hak-hak gurunya, senantiasa ingat akan keutamaan gurunya, dan bersikap tawadhu’ di hadapan gurunya

40.    Senantiasa mencari keridhaan gurunya, merendahkan diri ketika ingin mengkritik gurunya, tidak mendahului gurunya dalam berpendapat, mengkonsultasikan semua masalah dengan gurunya, dan tidak keluar dari arahan-arahannya

41.    Memuji ceramah dan jawaban-jawaban gurunya baik ketika ada gurunya atau ketika sedang tidak ada

42. Menghormati gurunya dengan penuh pengagungan, senantiasa mengikuti arahannya, baik ketia beliau masih hidup ataupun ketika beliau sudah wafat. Senantiasa mendoakan beliau. Dan membantah orang yang meng-ghibah beliau.

43. Berterima kasih kepada gurunya atas ilmu dan arahannya

44. Bersabar dengan sikap keras dari gurunya atau terhadap akhlak buruknya. Dan hal-hal ini hendaknya tidak membuatnya berpaling dari belajar ilmu dan akidah yang lurus dari gurunya tersebut.

45. Bersegera untuk menghadiri majlis ilmu sebelum gurunya hadir

46.    Tidak menghadiri majlis sang guru di luar majelis ilmu yang diampunya, kecuali atas seizin beliau

47. Hendaknya menemui gurunya dalam keadaan penampilan yang sempurna, hatinya tidak sibuk dengan hal-hal lain, jiwanya lapang, pikiran juga jernih. Bukan ketika sedang mengantuk, sedang marah, sedang lapar, haus atau semisalnya

48.  Tidak meminta gurunya untuk mengajarkan kitab di waktu-waktu yang menyulitkan beliau

49.    Tidak belajar kepada guru di waktu-waktu sang guru sedang sibuk, bosan, sedang kantuk, atau semisalnya yang membuat beliau kesulitan memberikan syarah (penjelasan) yang sempurna

50.    Jika menghadiri majelis ilmu, namun gurunya belum datang, maka tunggulah

51. Duduk di majelis ilmu dengan penuh ada, penuh tawadhu, dan khusyuk

52.    Duduk di majelis ilmu dalam keadaan tidak bersandar pada tembok atau pada tiang.

53.    Memfokuskan dirinya untuk memandang gurunya dan mendengarkan perkataan gurunya, memikirkannya benar-benar sehingga gurunya tidak perlu mengulangnya.

54.    Tidak menengok ke arah lain kecuali darurat, dan tidak menghiraukan suara-suara lain kecuali darurat. Tidak meluruskan kakinya. Tidak menutup mulutnya. Tidak memangku dagunya. Tidak terlalu banyak menguap. Tidak membunyikan dahaknya sebisa mungkin. Tidak banyak bergerak-gerak, hendaknya berusaha tenang. Jika bersih hendaknya merendahkan suaranya atau menutupnya dengan sapu tangan

55.  Tidak meninggikan suaranya tanpa kebutuhan dan tidak berbicara kecuali darurat. Tidak tertawa-tawa kecuali ketika kagum jika tidak kuat menahan tawa hendaknya tersenyum saja.

56. Ketika berbicara kepada gurunya hendaknya menghindarkan diri dari gaya bicara yang biasa digunakan kepada orang secara umum

57. Jika gurunya terpeleset lisannya, atau gurunya menjelaskan perkara yang agak vulgar, jangan menertawakannya atau mencelanya

58.    Tidak mendahului gurunya dalam menjelaskan suatu masalah atau dalam menjawab pertanyaan

59. Tidak memotong perkataan gurunya atau mendahuluinya dalam berbicara, dalam pembicaraan apapun

60.    Jika ia mendengar gurunya menjelaskan suatu faidah atau suatu pelajaran yang ia sudah ketahui, maka dengarkanlah dengan penuh gembira, belum pernah mengetahuinya sebelumnya

61.  Hendaknya tidak bertanya yang di luar konteks bahasan dan tidak malu untuk bertanya kepada gurunya atau meminta penjelasan tentang hal yang belum ia pahami

Demikian paparan singkat mengenai adab menuntut ilmu. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita hidayah untuk mengamalkannya.

Wallohu a’lam.