Taufiq Ismail (Foto: kabarkampus.com) 1001indonesia.net – Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair angkatan ’66. Puisi-puisinya sarat dengan kritik sosial. Penyair kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935 ini bahkan menjadi salah seorang yang menandatangani Manifes Kebudayaan. Kecintaannya terhadap puisi tumbuh saat dirinya duduk di bangku SMA di Pekalongan, Jawa Tengah. Waktu itu, ia sudah mulai menulis puisi, dan dimuat di majalah Kisah dan Mimbar Indonesia. Kegemarannya menulis puisi makin menjadi-jadi saat ia menjadi penjaga perpustakaan Pelajar Islam Indonesia di Pekalongan. Di perpustakaan itu, ia banyak membaca karya sastra, seperti karya-karya Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, William Saroyan, dan Karl May. Tentu tidak hanya karya sastra, juga buku-buku agama, politik, dan sejarah dibacanya. Taufiq Ismail kemudian memperoleh beasiswa program pertukaran pelajar American Field Service International Scholarship pada 1956–1957. Dia termasuk angkatan pertama dari Indonesia yang mengikuti program ini di Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS. Di sana, ia meneruskan kegemarannya membaca karya sastra, di antaranya karya Robert Frost, Edgar Allan Poe, dan Walt Whitman. Termasuk pula novel The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway yang sangat disukainya. Sedari kecil memang Taufiq Ismail sudah gemar membaca. Dia sendiri hidup pada lingkungan keluarga yang suka membaca. Ayahnya, A. Gaffar Ismail, adalah seorang Kyai pejuang yang mendirikan PERMI. Ibunya, Sitti Nur Muhammad Nur, sangat fasih dalam menafsir al-Qur’an. Mereka berdua suka membaca dan memiliki perpustakaan di rumahnya. Di perpustakaan keluarganya itulah, dirinya mulai terbiasa membaca berbagai buku. Kegemaran membaca inilah yang akhirnya mengantarkan dirinya menjadi seorang penyair dan pengarang. Lulus SMA, ia kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran Hewan & Peternakan Universitas Indonesia di Bogor dan lulus tahun 1963. Semasa kuliah dia aktif dalam berbagai kegiatan. Pernah pula menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961), serta Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962). Pad 1962, ia menjadi guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea. Setahun kemudian juga mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis Bogor hingga tahun 1965. Taufiq juga tercatat sebagai asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (1961–1964). Pada tahun 1964 itulah, dia dipecat dari pegawai negeri dan batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Pasalnya, dirinya turut menandatangani Manifes Kebudayaan yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno. Dua tahun kemudian, bersama Mochtar Lubis, P.K. Ojong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian melahirkan majalah sastra Horison. Taufiq Ismail juga termasuk salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Sejak 1966, ia menjadi kolumnis harian KAMI hingga tahun 1970. Pada 1971–1972 dan 1991–1992, ia mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Tercatat, dia pernah belajar pada Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir. Lantaran pecah Perang Teluk, dirinya pulang kembali ke Indonesia sebelum selesai studi bahasanya. Pada 1993, dia diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia. Taufik Ismail juga menjalin kerja sama dengan para musisi. Sejak 1974, atas kerja samanya dengan para musisi—terutama dengan Himpunan Musik Bimbo, Chrisye, Ian Antono dan Ucok Harahap—Taufiq telah menghasilkan sebanyak 75 lagu. Ia juga pernah mewakili Indonesia pada acara baca puisi dan festival sastra di berbagai kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan bahkan Afrika. Puisi-puisinya pun telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina. Beberapa kumpulan puisi yang diterbitkannya di antaranya: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999); Ketika Kata menjadi Warna (1995); Tirani dan Benteng (1993); Kenalkan, Saya Hewan (1976); Sajak Ladang Jagung (1973); Buku Tamu Musim Perjuangan (1972); dan lain-lain. Selain sebagai sastrawan, Taufik Ismail juga aktif menerjemahkan buku. Karya terjemahan yang telah dihasilkannya antara lain Banjour Tristesse karya Francoise Sagan (1960), Cerita tentang Atom karya Mau Freeman (1962), serta Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam karya M. Iqbal yang di terjemahkan bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad (1964). Atas karyanya, penyair yang memiliki gelar Datuk Panji Alam Khalifatullah ini memperoleh penghargaan baik di dalam negeri maupun di luar negeri, meliputi Augerah Seni dari Pemerintah RI (1970), Culture Visit Award dari Pemerintah Australia (1977), Pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994), Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999), dan Doctor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003).
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Majunya peradaban suatu bangsa dipengaruhi oleh berbagai hal, diantaranya adalah adanya budaya berupa karya sastra, dalam perkembangan sejarah sering digunakanya karya sastra sebagai tolok ukur majunya peradaban suatu bangsa, apabila suatu bangsa memiliki karya sastra yang indah serta adiluhung, niscaya keberadaan bangsa tersebut akan lebih diakui dan dihargai sebagai bangsa yang berwibawa, berkeribadian, dan berbudaya. Karya sastra berkembang sesuai dengan keadaan zaman, maka dari itulah lahir beberapa angakatan sastrawan yang sesuai pada masanya, karya sastra yang dilahirkan dapat berisi tentang keadaan sosial, kritik sosial, protes sosial, atau sebagai sarana sosialisasi dan komunikasi yang efektif, agar masyarakat dapat menangkap makna dibalik karya sastra tersebut, yang sejatinya merupakan harapan para sastrawan dalam menciptakan karya sastra tersebut. Sebagai generasi penerus kita wajib mengetahui,mempelajari dan selanjutnya melestarikan keberadaan karya sastra tersebut, bahkan menjadikanya sebagai inspirasi dan penyemangan bagi kita untuk selalu berkarya dalam rangka memberikan konstribusi bagi kemajuan bangsa dan Negara. B. Rumusan Masalah 1. Apa itu sastra angkatan ’66? 2. Apa itu sastra kontemporer periode 70-an? BAB II PEMBAHASAN A. Sastra Angkatan ‘66 1. Latar Belakang Munculnya Sastra Angkatan ‘66 Munculnya sastra angkatan ‘66 ini didahului dengan adanya kemelut di segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh aksi teror politik G30S/PKI dan ormas-ormas yang bernaung dibawahnya. Angkatan ‘66 mempunyai cita-cita ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide-ide yang terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya sastra angkatan ‘66 sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi sosial politik di awal angkatan ‘66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura. Munculnya nama angkatan ‘66 telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam majalah Horison nomor 2 tahun 1966. Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa angkatan ‘66 lahir setelah ditumpasnya pengkhianatan G.30S/PKI. Penamaan angkatan ‘66 ini pun mengalami adu pendapat. Sebelum nama angkatan ‘66 diresmikan, ada yang memberi nama angkatan Manifest Kebudayaan (MANIKEBU). Alasan penamaan ini karena Manifest Kebudayaan yang telah dicetuskan pada tahun 1963 itu pernyataan tegas perumusan perlawanan terhadap penyelewengan Pancasila dan perusakan kebudayaan oleh Lekra/PKI. Beberapa sastrawan merasa keberatan dengan nama angkatan MANIKEBU. Mereka berpandangan bahwa sastrawan yang tidak ikut menandatangani atau mendukung Manifest Kebudayaan akan merasa tidak tercakup di dalamnya, meskipun hasil ciptaannya menunjukkan ketegasan dalam menolak ideologi yang dibawa oleh PKI dalam lapangan politik dan kebudayaan. Pemberian atau penamaan “Angkatan 66” pertama kali dikemukakan oleh H.B.Jassin dalam artikelnya berjudul Angkatan ’66 Bangkitnya Satu Generasi, dimuat dalam majalah Horison, Agustus 1966; kemudian dimuat kembali dalam bunga rampainya berjudul Angkatan ’66. Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini.
Faktor-faktor penyebab pertumbuhan sastra cukup pesat, antara
lain 2. Ciri-Ciri Sastra Angkatan ‘66 Karya yang dihasilkan bermacam-macam ide dan warna. Contohnya: warna lokal yang terdapat pada Ronggeng Dukuh Paruk karya Achmad Thohari. Tema yang diangkat banyak mengenai masalah kegelisahan batin dan rumah tangga. Kegelisahan tersebut bersumber pada situasi budaya belum mapan dan situasi-situasi tersebut karena adanya norma politik dan norma ekonomi. Menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila dan UUD 45, menentang komunisme dan kediktatoran, bersama Orde Baru yang dikomandani Jendral Suharto ikut menumbangkan Orde Lama, mengikis habis LEKRA dan PKI. Sastra Angkatan ’66 berobsesi menjadi Pancasilais sejati. Yang paling terkenal adalah kumpulan sajak “Tirani” dan “Benteng” antologi puisi Taufiq Ismail. Hampir seluruh tokohnya adalah pendukung utama Manifes Kebudayaan yang sempat berseteru dengan LEKRA. Sastra tersebut merupakan sastra protes. Arti penting sajak angkatan ‘66 pertama-tama bukanlah sebagai seni, tetapi merupakan curahan hati khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan. 3. Tokoh Sastra Angkatan ’66 dan Hasil Karyanya Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail. Contoh karya Taufik Ismail yaitu Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng (kumpulan sajak tahun 1966), Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Buku Tamu Museum Perjuangan (kumpulan sajak, 1969). 4. Contoh Hasil Karya Sastra Angkatan ‘66 a. Buku Tamu Musium Perjuangan Pada tahun keenam Setelah di kota kami didirikan Sebuah musium perjuangan Datanglah seorang lelaki setengah baya Berkunjung dari luar kota Pada sore bulan Nopember berhujan Dan menulis kesannya di buku tamu Buku tahun keenam, halaman seratus delapan ‘Bertahun-tahun aku rindu Untuk berkunjung ke mari Dari tempatku jauh sekali Bukan sekedar mengenang kembali Hari tembak-menembak dan malam penyergapan Di daerah ini Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan Dan potret para pahlawan Mengusap-usap karaben tua Baby mortir buatan sendiri Atau menghitung-hitung satyalencana Dan selalu mempercakapkannya Alangkah sukarnya bagiku Dari tempatku kini, yang begitu jauh Untuk datang seperti saat ini Dengan jasad berbasah-basah Dalam gerimis bulan Nopember Datang sore ini, menghayati musium yang lengang Sendiri Menghidupkan diriku kembali Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya Di waktu kebebasan adalah impian keabadian Dan belum terpikir oleh kita masalah kebendaan Penggelapan dan salahguna pengatas-namaan Begitulah aku berjalan pelan-pelan Dalam musium ini yang lengang Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga Ke sangkutan ikat kepala, sangkur-sangkur berbendera Maket pertempuran dan penyergapan di jalan Kuraba mitraliur Jepang dari baja hitam Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt PENGOEMOEMAN REPUBLIK yang mulai berdebu Gambar laskar yang kurus-kurus Dan kuberi tabik khidmat dan diam Pada gambar Pak Dirman Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali Ke ruangan yang sepi dan dalam Jendela musium dipukul angin dan hujan Kain pintu dan tingkap bergetaran Di pucuk-pucuk cemara halaman Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan Di depan tugu dalam musium ini Menjelang pintu keluar di tingkat bawah Aku berdiri dan menatap nama-nama Dipahat di sana dalam keping-keping aluminia Mereka yang telah tewas Dalam perang kemerdekaan Dan setinggi pundak jendela Kubaca namaku di sana… b. Orang Hutan (dalam Kumpulan Puisi Saya Hewan) “Perkenalkan anak-anak, saya hewan!
Anak-anak sekelas jadi heran dan gelak-gelakAda orang hutan lepas dari Kebun Binatang?Tapi dia nampaknya baik dan tidak galakBentuknya memang seperti orang Pak guru menerangkan di depan kelas Pelajaran ilmu hewan supaya jelas: “Memang di kalangan para hewan biasa Orang Hutan paling mirip manusia” “Tangannya ini panjang sekali, dua kali tinggi badan Sering dipakai berayun dari dahan ke dahan pepohonan Kakinya pendek, tapi jari kakinya pandai menggenggam Sangat berguna di hutan siang dan malam” Kemudian pak guru ilmu hayat berkata pula: “Dia ini gemuk tak terkira Kira-kira delapan puluh kilo berat badannya Bulunya berwarna coklat tua” Lantas dengan sopan dia minta permisi akan pergi segeraBersalaman dengan guru ilmu hayat dan anak-anak dilambainya“Selamat jalan Orang Hutan, baik-baik di jalan ya.”Dia pulang ke Kebun Binatang, lompat lewat jendela. c. Makna Seribu Bulan (Kumpulan Puisi Langit)
Malam biru hitam B. Sastra Kontemporer Periode 70-an 1. Latar Belakang Munculnya Sastra Kontemporer Periode 70-an Sastra kontemporer adalah karya sastra yang bersifat eksperimental, memiliki sifat-sifat yang “menyimpang” dari konvensi-konvensi sastra yang berlaku biasa atau umum. Sastra kontemporer muncul sebagai reaksi terhadap sastra konvensional yang sudah beku dan tidak kreatif lagi. Sastra kontemporer merambah pada seluruh jenis karya sastra, seperti novel, puisi, dan drama. Tokoh-tokoh sastra ini pada zamannya termasuk sastrawan mudah pada tahun 70-an. Munculnya sastra kontemporer merupakan reaksi terhadap sastra konvensional yang dianggap telah mendominasi eksistensi karya sastra. Bahkan sastrawan mudah merasa jenuh dengan karya sastra yang telah ada karena merasa terbelenggu daya kreasinya. Kelahiran sastra kotemporer di pelopori oleh sosok Sutardji C.B. Sastra kontemporer lahir karena adanya pergeseran nilai kehidupan dan tatanan dalam masyarakat secara menyeluruh. Pada dasarnya sastra kontemporer Indonesia lebih cenderung di pengaruhi oleh sastra Barat atau Eropa. Ciri salah satu karakter sastra kontemporer Indonesia adalah ” seni untuk seni “ Sastra kontemporer merupakan bentuk seni yang mengobrak-abrik tatanan bahasa atau kata. Karakteritas yang sangat menonjol pada karya sastra kontemporer ini adalah karyanya yang sangat non–konvensional sehingga karya sastra ini cenderung kurang diminati oleh para pembaca pada umumnya. 2. Ciri-Ciri Sastra Kontemporer Periode 70-an Ciri atau karakteritas sastra kontemporer atau sering disebut dengan sastra Avant Garde ini yaitu sastra yang sudah jelas penokohannya atau dan karakter tokoh, sastra bertujuan mencapai keabsolutan seni menciptakan tingkat penciptaan yang setinggi–tingginya dengan semboyan “seni untuk seni”. Mereka tidak peduli apakah karya semacam itu dapat dipahami oleh lingkungannya atau tidak. Mereka mencipta demi kemajuan bangsanya. Inilah sebabnya sering muncul tuduhan bahwa avant garde hanya berkarya untuk para kritikus seni yang berwibawa saja. Karakteristik sastra kontemporer atau Avant Garde ini bertumpu kepada seni yang telah mentradisi. Karakteristik avant garde ini diciptakan oleh para seniman tidak dengan eksperimen tidak dengan coba–coba, tidak dengan lempar dadu. Para seniman pencipta karya sastra kontemporer ini ini bekerja melalui proses penciptaan yang panjang. Melalui pencarian yang panjang dan bertanggungjawab. Tema dan ciri-ciri dari puisi kontemporer adalah sebagai berikut: a. Tema Puisi Kontemporer, Biasanya puisi-buisi kontemporer bertemakan: 1) Tema protes yang ditujukan kepada kepincangan sosial dan dampak negatif dari industrialisasi. 2) Tema humanisme yang mengemukakan kesadaran bahwa manusia adalah subjek pembangunan dan bukan objek pembangunan. 3) Tema yang mengungkapkan kehidupan batin yang religius dan cenderung kepada mistik. 4) Tema yang dilukiskan melalui alegor dan parable. 5) Tema tentang perjuangan menegakkan hak-hak azasi manusia berupa perjuangan untuk kebebasan, persamaan hak, pemerataan, dan bebas dari cengkeraman dari teknologi modern. 6) Tema kritik sosial terhadap tindakan sewenang-wenang dari mereka yang menyelewengkan kekuasaan dan jabatan b. Ciri-Ciri Puisi Kontemporer 1) Puisi bergaya mantra dengan sarana kepuitisan berupa pengulangan kata, frasa, atau kalimat. 2) Gaya bahasa paralelisme dikombinasi dengan gaya bahasa hiperbola dan enumerasi dipergunakan penyair untuk memperoleh efek pengucapan maksimal. 3) Tipografi puisi dieksploitasi secara sugestif dan kata-kata nonsens dipergunakan dan diberi makna baru. 4) Kata-kata dari bahasa daerah banyak dipergunakan untuk memberi efek kedaerahan dan efek ekspresif. 5) Asosiasi bunyi banyak digunakan untuk memeroleh makna baru 6) Banyak digunakan gaya penulisan prosaic 7) Banyak menggunakan kata-kata tabu 8) Banyak ditulis puisi lugu untuk mengungkapkan gagasan secara polos. c. Ragam Puisi Kontemporer Adapun puisi kontemporer bisa dibedakan menjadi beberapa ragam sebagai berikut: 1) Puisi Tanpa Kata, yaitu puisi yang sama sekali tidak menggunakan kata sebagai alat ekspresinya. Sebagai gantinya di gunakan titik-titik, garis, huruf, atau simbol-simbol lain. 2) Puisi Mini Kata, yaitu puisi kontemporer yang menggunakan kata dalam jumlah yang sangat sedikit, dilengkapi dengan symbol lain yang berupa huruf, garis, titik, atau tanda baca lain. 3) Puisi Multi Lingual, yaitu puisi kontemporer yang menggunakan kata atau kalimat dari berbagai bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa asing. 4) Puisi Tipografi, yaitu puisi kontemporer yang memandang bentuk atau wujud fisik puisi mampu memperkuat ekspresi puisi. Bahkan wujud fisik puisi dipandang sebagai salahh satu unsur puisi, sebagai suatu tanda yang memiliki makna tertentu, yang tidak terlepas dari keseluruhan makna puisi. 5) Puisi Supra Kata, yaitu puisi kontemporer yang menggunakan kata-kata konvensional yang dijungkir-balikkan atau penciptaan kata-kata baru yang belum pernah ada dalam kosakata bahasa Indonesia. Puisi macam ini lebih mementingkan aspek bunyi dan ritme, sehingga merangsang timbulnya suasana magis (cenderung sebagai puisi mantra). 6) Puisi Idiom Baru. Puisi ini dibedakan dengan puisi konvensional terutama oleh penggunaan idiom-idiom baru yang terdapat didalamnya. Puisi idiom baru tetap menggunakan kata sebagai alat ekspresinya, tetapi kata tersebut dibentuk dan diungkapkan dengan cara baru, diberi nyawa baru. Digunakan idiom-idiom baru yang belum pernah dijumpai sebelumnya. 7) Puisi Mbeling. Puisi ini pada umumnya mengandung unsur humor, bercorak kelakar. Dalam puisi ini sering terdapat unsure kritik, terutama kritik sosial. Puisi mbeling tidak meng”haram”kan penggunaan suatu kata. Semua kata mempunyai hak yang sama dalam penulisan puisi ini. 3. Tokoh Sastra Kontemporer Periode 70-an dan Hasil Karyanya a. Sutardji Calzoum Bahri Karyanya meliputi 1) Kumpulan sajak o, amuk, kapak 2) Tragedi sihka dan winka 3) Batu b. Supardi Djoko Damono Karangannya: 1) Dukamu Abadi (Kumpulan sajak, 1969) 2) Mata Pisau (Kumpulan sajak, 1974) 3) Akuarium (Kumpulan sajak, 1974) c. Leon Agusta Karangannya: 1) Catatan putih (Kumpulan sajak, 1975) 2) Hukla (Kumpulan sajak, 1979) d. Entha Ainun Nadjib Karangannya: 1) “M” Frustasi (kumpulan sajak, 1976) 2) Nyanyian Gelandangan (Kumpulan Sajak, 1981) 4. Contoh Hasil Karya Sastra Angkatan 70-an a. Tragedi Sihka dan Winka Oleh : Sutardji Calzoum Bachri kawin kawin kawin kawin kawin ka win ka win ka win ka win ka winka winka winka sihka sihka sihka sih ka sih ka sih ka sih ka sih ka sih sih sih sih sih sih ka Ku Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 Memahami Puisi, 1995 b. BATU Oleh: Sutardji Calzoum Bahri batu mawar batu langit batu duka batu rindu batu janun batu bisu kaukah itu teka teki yang tak menepati janji ? Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh? Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai. Kau tahu batu risau batu pukau batu Kau-ku batu sepi batu ngilu batu bisu kaukah itu teka teki yang tak menepati janji ? Sutardji Calzoum Bahri c. Mata Pisau Oleh: Supardi Djoko Damono Mata pisau itu tak berkedip melihatmu: Kau yang baru saja mengasahnya Berfikir: ia tajam untuk mengiris apel Yang tersedia diatas meja Sehabis makan malam, Ia berkilat ketika terbayang olehnya Urat lehermu Supardi Djoko Damono BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Secara umum, faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya angkatan ’66 adalah karena situasi sosial politik pada waktu itu, pada tahun ’66 karya satranya didominasi oleh jiwa Pancasialis, setelah keberhasilan penumpasan pemberontakan PKI oleh TNI pada waktu itu, namun ada juga warna tradisonal, yang menceritakan tentang kebudayaan di suatu wilayah seperti Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail. Sastra kontemporer adalah sastra yang muncul setelah angkatan ’66, karya sastra ini terimspirasi oleh perkembangan sastra yang terjadi didaerah barat (eropa), Karakteristik sastra kontemporer atau Avant Garde ini bertumpu kepada seni yang telah mentradisi. Karakteristik avant garde ini diciptakan oleh para seniman tidak dengan eksperimen tidak dengan coba–coba, tidak dengan lempar dadu. Para seniman pencipta karya sastra kontemporer ini ini bekerja melalui proses penciptaan yang panjang. Melalui pencarian yang panjang dan bertanggungjawab, beberapa sastrawan yang tergabung dalam angkatan ini antara lain : Sutardji Calzoum Bachri, Supardji Djoko Damono, Gunawan Muhammad, Leon Agusta, Emha Ainun Najib. B. Saran Sebagai bangsa yang besar dan berbudaya kita telah memiliki banyak sekali ragam karya sastra, hal ini menunjjukkan identitas dan eksistensi kebudayaan kita dalam gerusan zaman, sebagai generasi penerus khusunya mahasiswa, apalagi calon pendidik hendaknya mempelajari dengan saksama sejarah karya sastra yang pernah tertoreh dalam lembaran sejarah kebudayaan Indonesia, menjadikannya inspirasi untuk terus berkarya, dalam rangka berkontribusi mengisi kemerdekaan Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Abadi, Rival. 2012. Sastra Kontemporer diunduh dari http://www.scribd.com/doc/84673822/SASTRA-KONTEMPORER pada tanggal 20 Maret 2012. Danriris..2010. Sastra: Ringkasan Ciri-Ciri Tiap Angkatan diunduh dari http://danririsbastind.wordpress.com/2010/03/10/sastra-ringkasan-ciri-ciri-karya-sastra-tiap-angkatan/ pada tanggal 20 Maret 2012. Giyono. 2010. Teori Sastra dan Periodisasi Sastra 60 diunduh dari http://teori-sastra.blogspot.com/2010/04/periodisasi-sastra-60.html pada tanggal 20 Maret 2012. Hadi, Saif Al. 2011. Sastra 60-an (Sejarah Sastra Periode 1960-1970) diunduh dari http://berbahasa-bersastra.blogspot.com/2011/03/sastra-60-sejarah-sastra-periode-1960.html pada tanggal 20 Maret 2012. |