Tipe rumah sakit berdasarkan jumlah tempat tidur

Permenkes 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit menggantikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit karena perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum.

Permenkes 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit menyebutkan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Izin Mendirikan Rumah Sakit adalah izin usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, gubernur, atau bupati/wali kota setelah pemilik Rumah Sakit melakukan pendaftaran sampai sebelum pelaksanaan pelayanan kesehatan dengan memenuhi persyaratan dan/atau komitmen menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.

Permenkes 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit juga menyebutkan bahwa Izin Operasional Rumah Sakit atau Izin Operasional adalah izin komersial atau operasional yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, gubernur, atau bupati/wali kota setelah pemilik Rumah Sakit mendapatkan Izin Mendirikan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit ditetapkan oleh Menkes Terawan Agus Putranto di Jakarta pada tanggal 14 Januari 2020. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit diundangkan Dirjen Peraturan Perundang-Undangn Kemenkumham Widodo Ekatjahjana pada tanggal 16 Januari 2020 di Jakarta,

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit ditempatkan pada Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 21. Agar setiap orang mengetahuinya.

Permenkes 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit

Status Mencabut

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit mencabut dan tidak memberlakukan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1107).

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1107), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 60, Permenkes 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit

Latar Belakang

Pertimbangan Permenkes 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit adalah

  1. bahwa penyelenggaraan pelayanan di rumah sakit yang profesional dan bertanggung jawab dibutuhkan dalam mendukung upaya kesehatan dalam rangkaian pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu;
  2. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (4) dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit;

Dasar Hukum

Dasar hukum Permenkes 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit adalah:

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
  3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
  4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
  5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
  6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 229, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5942);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6215);
  9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1508) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 945);

Isi Permenkes tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit

Berikut adalah isi Permenkes 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit (bukan format asli):

PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG KLASIFIKASI DAN PERIZINAN RUMAH SAKIT

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
  2. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission yang selanjutnya disingkat OSS adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, gubernur, atau bupati/wali kota kepada pemilik dan pengelola Rumah Sakit melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
  3. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
  4. Izin Mendirikan Rumah Sakit yang selanjutnya disebut Izin Mendirikan adalah izin usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, gubernur, atau bupati/wali kota setelah pemilik Rumah Sakit melakukan pendaftaran sampai sebelum pelaksanaan pelayanan kesehatan dengan memenuhi persyaratan dan/atau komitmen.
  5. Izin Operasional Rumah Sakit yang selanjutnya disebut Izin Operasional adalah izin komersial atau operasional yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, gubernur, atau bupati/wali kota setelah pemilik Rumah Sakit mendapatkan Izin Mendirikan.
  6. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  7. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  8. Kementerian Kesehatan adalah kementerian yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kesehatan.
  9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
  10. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayanan kesehatan.

Pasal 2

Rumah Sakit dapat didirikan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau swasta.

Pasal 3

Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari Instansi yang bertugas di bidang kesehatan, atau Instansi tertentu dengan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4

  1. Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan.
  2. Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. badan hukum yang bersifat nirlaba; dan
    2. badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero,
    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Rumah Sakit yang diselenggarakan oleh badan hukum yang bersifat nirlaba.

BAB IIBENTUK DAN JENIS PELAYANAN

Bagian KesatuBentuk

Pasal 5

  1. Rumah Sakit dapat berbentuk Rumah Sakit statis, Rumah Sakit bergerak, atau Rumah Sakit lapangan.
  2. Rumah Sakit statis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Rumah Sakit yang didirikan di suatu lokasi dan bersifat permanen untuk jangka waktu lama dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan kegawatdaruratan.
  3. Rumah Sakit bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Rumah Sakit yang siap guna dan bersifat sementara dalam jangka waktu tertentu dan dapat dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lain.
  4. Rumah Sakit bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berbentuk bus, pesawat, kapal laut, karavan, gerbong kereta api, atau kontainer.
  5. Rumah Sakit bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) difungsikan pada daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan, daerah yang tidak mempunyai Rumah Sakit, dan/atau kondisi bencana dan situasi darurat lainnya.
  6. Rumah sakit bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam memberikan pelayanan kesehatan harus melapor kepada kepala dinas kesehatan daerah kabupaten/kota tempat pelayanan kesehatan diberikan.
  7. Rumah Sakit lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Rumah Sakit yang didirikan di lokasi tertentu dan bersifat sementara selama kondisi darurat dan masa tanggap darurat bencana, atau selama pelaksanaan kegiatan tertentu.
  8. Rumah Sakit lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat berbentuk tenda, kontainer, atau bangunan permanen yang difungsikan sementara sebagai Rumah Sakit.
  9. Rumah sakit bergerak dan Rumah Sakit lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (7) diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian KeduaJenis Pelayanan

Paragraf 1Umum

Pasal 6

Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan:

  1. Rumah Sakit umum; dan
  2. Rumah Sakit khusus.

Paragraf 2Rumah Sakit Umum

Pasal 7

  1. Rumah Sakit umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.
  2. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Rumah Sakit umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
    1. pelayanan medik dan penunjang medik;
    2. pelayanan keperawatan dan kebidanan; dan
    3. pelayanan nonmedik.

Pasal 8

  1. Pelayanan medik dan penunjang medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, terdiri atas:
    1. pelayanan medik umum;
    2. pelayanan medik spesialis; dan
    3. pelayanan medik subspesialis.
  2. Pelayanan medik umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa pelayanan medik dasar.
  3. Pelayanan medik spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pelayanan medik spesialis dasar dan pelayanan medik spesialis lain.
  4. Pelayanan medik spesialis dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi pelayanan penyakit dalam, anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.
  5. Pelayanan medik subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa pelayanan medik subspesialis dasar dan pelayanan medik subspesialis lain.

Pasal 9

Pelayanan keperawatan dan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi asuhan keperawatan generalis dan/atau asuhan keperawatan spesialis, dan asuhan kebidanan.

Pasal 10

Pelayanan nonmedik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c terdiri atas pelayanan farmasi, pelayanan laundry/binatu, pengolahan makanan/gizi, pemeliharaan sarana prasarana dan alat kesehatan, informasi dan komunikasi, pemulasaran jenazah, dan pelayanan nonmedik lainnya.

Pasal 11

  1. Sumber daya manusia pada Rumah Sakit umum berupa tenaga tetap meliputi:
    1. tenaga medis;
    2. tenaga psikologi klinis;
    3. tenaga keperawatan;
    4. tenaga kebidanan;
    5. tenaga kefarmasian;
    6. tenaga kesehatan masyarakat;
    7. tenaga kesehatan lingkungan;
    8. tenaga gizi;
    9. tenaga keterapian fisik;
    10. tenaga keteknisian medis;
    11. tenaga teknik biomedika;
    12. tenaga kesehatan lain; dan
    13. tenaga nonkesehatan.
  2. Tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dokter gigi spesialis, dan/atau dokter subspesialis.
  3. Dokter spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas dokter spesialis atau dokter gigi spesialis untuk melakukan pelayanan medik spesialis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3).
  4. Dokter subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi dokter subspesialis dasar dan dokter subspesialis lain untuk melakukan pelayanan medik subspesialis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5).
  5. Dalam hal belum terdapat dokter subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dokter spesialis dengan kualifikasi tambahan dapat memberikan pelayanan medik subspesialis tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  6. Jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan hasil analisis beban kerja, kebutuhan, dan kemampuan pelayanan Rumah Sakit.

Paragraf 3Rumah Sakit Khusus

Pasal 12

  1. Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
  2. Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyelenggarakan pelayanan lain di luar kekhususannya.
  3. Pelayanan lain di luar kekhususannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan kegawatdaruratan.
  4. Pelayanan rawat inap untuk pelayanan lain di luar kekhususannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling banyak 40% dari seluruh jumlah tempat tidur.

Pasal 13

  1. Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 terdiri atas Rumah Sakit khusus:
    1. ibu dan anak;
    2. mata;
    3. gigi dan mulut;
    4. ginjal;
    5. jiwa;
    6. infeksi;
    7. telinga-hidung-tenggorok kepala leher;
    8. paru;
    9. ketergantungan obat;
    10. bedah;
    11. otak;
    12. orthopedi;
    13. kanker; dan
    14. jantung dan pembuluh darah.
  2. Selain Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan Rumah Sakit khusus lainnya.
  3. Rumah Sakit khusus lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa penggabungan jenis kekhususan yang terkait keilmuannya atau jenis kekhususan baru.
  4. Penetapan Rumah Sakit khusus lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan hasil kajian dan rekomendasi asosiasi perumahsakitan serta organisasi profesi terkait.

Pasal 14

  1. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Rumah Sakit khusus paling sedikit terdiri atas:
    1. pelayanan medik dan penunjang medik;
    2. pelayanan keperawatan dan/atau kebidanan;dan
    3. pelayanan nonmedik.
  2. Pelayanan medik dan penunjang medik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas pelayanan medik umum, pelayanan medik spesialis sesuai kekhususan, pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan, pelayanan medik spesialis lain, dan pelayanan medik subspesialis lain.
  3. Pelayanan keperawatan dan/atau kebidanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi asuhan keperawatan generalis, asuhan keperawatan spesialis, dan/atau asuhan kebidanan, sesuai kekhususannya.
  4. Pelayanan nonmedik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi pelayanan farmasi, pelayanan laundry/binatu, pengolahan makanan/gizi, pemeliharaan sarana prasarana dan alat kesehatan, informasi dan komunikasi, pemulasaran jenazah, dan pelayanan nonmedik lainnya.

Pasal 15

  1. Sumber daya manusia pada Rumah Sakit khusus berupa tenaga tetap meliputi:
    1. tenaga medis;
    2. tenaga keperawatan dan/atau tenaga kebidanan;
    3. tenaga kefarmasian;
    4. tenaga kesehatan lain; dan
    5. tenaga nonkesehatan,
    sesuai dengan pelayanan kekhususan dan/atau pelayanan lain di luar kekhususannya.
  2. Tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis sesuai kekhususannya, dokter gigi spesialis sesuai kekhususannya, dokter spesialis lain, dokter subspesialis sesuai kekhususan, dokter spesialis dengan kualifikasi tambahan sesuai kekhususannya, dokter subspesialis lain, dan dokter spesialis lain dengan kualifikasi tambahan.
  3. Jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan hasil analisis beban kerja, kebutuhan, dan kemampuan pelayanan Rumah Sakit.

BAB IIIKLASIFIKASI

Pasal 16

  1. Klasifikasi Rumah Sakit umum terdiri atas:
    1. Rumah Sakit umum kelas A;
    2. Rumah Sakit umum kelas B;
    3. Rumah Sakit umum kelas C; dan
    4. Rumah Sakit umum kelas D.
  2. Rumah Sakit umum kelas D sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas:
    1. Rumah Sakit umum kelas D; dan
    2. Rumah Sakit kelas D pratama.
  3. Rumah Sakit kelas D pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

  1. Rumah Sakit umum kelas A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a merupakan Rumah Sakit umum yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) buah.
  2. Rumah Sakit umum kelas B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b merupakan Rumah Sakit umum yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 200 (dua ratus) buah.
  3. Rumah Sakit umum kelas C sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c merupakan Rumah Sakit umum yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 100 (seratus) buah.
  4. Rumah Sakit umum kelas D sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d merupakan Rumah Sakit umum yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 50 (lima puluh) buah.

Pasal 18

Klasifikasi Rumah Sakit khusus terdiri atas:

  1. Rumah Sakit khusus kelas A;
  2. Rumah Sakit khusus kelas B; dan
  3. Rumah Sakit khusus kelas C.

Pasal 19

  1. Rumah Sakit khusus kelas A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a merupakan Rumah Sakit khusus yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 100 (seratus) buah.
  2. Rumah Sakit khusus kelas B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b merupakan Rumah Sakit khusus yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 75 (tujuh puluh lima) buah.
  3. Rumah Sakit khusus kelas C sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c merupakan Rumah Sakit khusus yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 25 (dua puluh lima) buah.

Pasal 20

Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi Rumah Sakit umum dan Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB IVPERIZINAN

Bagian KesatuPersyaratan

Pasal 21

  1. Setiap Rumah Sakit wajib memiliki izin setelah memenuhi persyaratan.
  2. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan.

Pasal 22

  1. Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) harus berada pada lahan yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata bangunan lingkungan kabupaten/kota setempat, dan peruntukan lahan untuk fungsi Rumah Sakit.
  2. Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki batas yang jelas dan dilengkapi akses/pintu yang terpisah dengan bangunan fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

  1. Bangunan dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) harus memenuhi prinsip keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan keamanan serta kemudahan.
  2. Rencana blok bangunan Rumah Sakit harus berada dalam satu area yang terintegrasi dan saling terhubung.
  3. Bangunan dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi peryaratan teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 24

  1. Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) merupakan tenaga tetap yang bekerja secara purna waktu.
  2. Tenaga tetap yang bekerja secara purna waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan ditetapkan oleh pimpinan Rumah Sakit.
  3. Selain tenaga tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rumah Sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan/atau konsultan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 25

  1. Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) merupakan pelayanan kefarmasian yang menjamin ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.
  2. Pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di instalasi farmasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26

  1. Peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) meliputi peralatan medis dan peralatan nonmedis yang memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan, dan laik pakai.
  2. Peralatan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa peralatan medis yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.

Bagian KeduaJenis Izin

Pasal 27

  1. Izin Rumah Sakit meliputi:
    1. Izin Mendirikan; dan
    2. Izin Operasional.
  2. Izin Mendirikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan izin yang diajukan oleh pemilik Rumah Sakit untuk mendirikan bangunan atau mengubah fungsi bangunan yang telah ada menjadi Rumah Sakit.
  3. Izin Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan izin yang diajukan oleh pimpinan Rumah Sakit untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan termasuk penetapan kelas Rumah Sakit dengan memenuhi persyaratan dan/atau komitmen.
  4. Izin Mendirikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama Rumah Sakit memberikan pelayanan kesehatan.
  5. Izin Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan dan klasifikasi Rumah Sakit.

Pasal 28

  1. Dalam hal Rumah Sakit memberikan pelayanan kesehatan tertentu, Rumah Sakit harus mendapatkan izin dari Menteri.
  2. Pelayanan kesehatan tertentu yang harus mendapatkan izin dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pelayanan radioterapi, kedokteran nuklir, kehamilan dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah, transplantasi organ, dan sel punca untuk penelitian berbasis pelayanan terapi.

Pasal 29

  1. zin Mendirikan dan Izin Operasional merupakan perizinan berusaha sektor kesehatan yang diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota berdasarkan kewenangan masing-masing melalui Lembaga OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota dalam menerbitkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan sebaran Rumah Sakit secara merata di setiap wilayah provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan pemetaan dengan memperhatikan jumlah dan persebaran penduduk, rasio jumlah tempat tidur, dan akses masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Izin Mendirikan dan Izin Operasional Rumah Sakit kelas A dan Rumah Sakit penanaman modal asing diberikan oleh Menteri melalui Direktur Jenderal.
  4. Izin Mendirikan dan Izin Operasional Rumah Sakit kelas B diberikan oleh gubernur setelah mendapatkan notifikasi dari kepala dinas yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah provinsi.
  5. Izin Mendirikan dan Izin Operasional Rumah Sakit kelas C dan Rumah Sakit kelas D diberikan oleh bupati/wali kota setelah mendapatkan notifikasi dari kepala dinas yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

Pasal 30

  1. Penerbitan izin melalui Lembaga OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dilakukan dalam bentuk dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik.
  2. Untuk Rumah Sakit milik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dengan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah, ketentuan perizinan berusaha sektor kesehatan melalui Lembaga OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk perpanjangan Izin Operasional.

Pasal 31

Persyaratan untuk memperoleh Izin Mendirikan Rumah Sakit meliputi:

  1. dokumen kajian dan perencanaan bangunan yang terdiri atas Feasibility Study (FS), Detail Engineering Design, dan master plan; dan
  2. pemenuhan pelayanan alat kesehatan.

Pasal 32

  1. Persyaratan untuk memperoleh Izin Operasional meliputi:
    1. profil Rumah Sakit paling sedikit meliputi visi dan misi, lingkup kegiatan, rencana strategi, dan struktur organisasi;
    2. self assessment meliputi jenis pelayanan, sumber daya manusia, peralatan, dan bangunan dan prasarana Rumah Sakit dengan mengacu pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
    3. surat keterangan atau sertifikat izin kelayakan atau pemanfaatan dan kalibrasi alat kesehatan;
    4. sertifikat akreditasi; dan surat pernyataan yang mencantumkan komitmen jumlah tempat tidur untuk Rumah Sakit penanaman modal asing berdasarkan kesepakatan/kerja sama internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Sertifikat akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dipenuhi untuk perpanjangan Izin Operasional.

Bagian KetigaTata Cara Perizinan

Pasal 33

  1. Pemilik Rumah Sakit harus mengajukan pendaftaran melalui sistem OSS untuk mendapatkan nomor induk berusaha.
  2. Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan identitas berusaha dan digunakan oleh pemilik Rumah Sakit untuk mendapatkan Izin Mendirikan dan Izin Operasional.
  3. Pemilik Rumah Sakit yang telah mendapatkan nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterbitkan Izin Mendirikan oleh Lembaga OSS.
  4. Pemilik Rumah Sakit harus melakukan pemenuhan komitmen untuk mendapatkan Izin Mendirikan yang berlaku efektif.
  5. Pemenuhan komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dipenuhi paling lama 2 (dua) tahun.
  6. Pemenuhan komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan menyampaikan persyaratan Izin Mendirikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 kepada Kementerian Kesehatan untuk Rumah Sakit kelas A dan penanaman modal asing, Pemerintah Daerah provinsi untuk Rumah Sakit kelas B, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk Rumah Sakit kelas C dan kelas D.
  7. Pemenuhan komitmen kepada Kementerian Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan melalui sistem perizinan online Kementerian Kesehatan.
  8. Pemenuhan komitmen kepada Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan melalui sistem perizinan online instansi pemberi izin masing-masing Pemerintah Daerah.
  9. Sistem perizinan online Kementerian Kesehatan dan instansi pemberi izin masing-masing Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) dapat diintegrasikan dengan sistem OSS dengan cara melakukan interoperabilitas.
  10. Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan evaluasi terhadap pemenuhan komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 14 (empat belas) hari sejak pemilik Rumah Sakit menyampaikan pemenuhan komitmen.
  11. Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10), Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota memberikan notifikasi persetujuan atau perbaikan kepada pemilik Rumah Sakit melalui sistem OSS.
  12. Pemilik Rumah Sakit wajib melakukan perbaikan melalui sistem OSS sejak diterimanya hasil evaluasi dari Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (11).
  13. Dalam rangka melakukan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (12), pemilik Rumah Sakit dapat melakukan perpanjangan pemenuhan komitmen paling lama 1 (satu) tahun sejak diterimanya notifikasi perbaikan melalui sistem OSS.
  14. Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan verifikasi kembali terhadap pemenuhan komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (13) paling lama 10 (sepuluh) hari sejak pemilik Rumah Sakit menyampaikan kembali pemenuhan komitmen.
  15. Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (14), Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota memberikan notifikasi persetujuan atau penolakan Izin Mendirikan kepada pemilik Rumah Sakit melalui sistem OSS.
  16. Notifikasi persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (15) merupakan pemenuhan komitmen Izin Mendirikan.

Pasal 34

  1. Untuk mendapatkan Izin Operasional yang diterbitkan oleh Lembaga OSS, pimpinan Rumah Sakit harus memiliki Izin Mendirikan dan pemenuhan komitmen Izin Operasional.
  2. Pemenuhan komitmen Izin Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan untuk mendapatkan Izin Operasional yang berlaku efektif.
  3. Pemenuhan komitmen Izin Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan persyaratan Izin Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) kepada Kementerian Kesehatan untuk Rumah Sakit kelas A dan penanaman modal asing, Pemerintah Daerah provinsi untuk Rumah Sakit kelas B, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk Rumah Sakit kelas C dan kelas D.
  4. Pemenuhan komitmen kepada Kementerian Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui sistem perizinan online Kementerian Kesehatan.
  5. Pemenuhan komitmen kepada Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui sistem perizinan online instansi pemberi izin masing-masing Pemerintah Daerah.
  6. Sistem perizinan online Kementerian Kesehatan dan instansi pemberi izin masing-masing Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diintegrasikan dengan sistem OSS dengan cara melakukan interoperabilitas.
  7. Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan verifikasi dan visitasi paling lama 14 (empat belas) hari sejak pimpinan Rumah Sakit menyampaikan pemenuhan komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  8. Visitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan oleh tim yang bertugas melakukan penilaian kesesuaian komitmen terhadap pemenuhan klasifikasi Rumah Sakit.
  9. Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (8) meliputi:
    1. Tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal, terdiri atas unsur Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan daerah provinsi, dinas kesehatan daerah kabupaten/kota, dan asosiasi perumahsakitan, untuk Rumah Sakit kelas A dan Rumah Sakit penanaman modal asing;
    2. Tim yang dibentuk oleh dinas kesehatan daerah provinsi, terdiri atas unsur Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan daerah provinsi, dinas kesehatan daerah kabupaten/kota, dan asosiasi perumahsakitan, untuk Rumah Sakit kelas B; dan
    3. Tim yang dibentuk oleh dinas kesehatan daerah kabupaten/kota, terdiri atas unsur dinas kesehatan daerah provinsi, dinas kesehatan daerah kabupaten/kota, dan asosiasi perumahsakitan, untuk Rumah Sakit kelas C dan kelas D.
  10. Berdasarkan hasil verifikasi dan visitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota mengeluarkan notifikasi persetujuan atau penolakan melalui sistem OSS paling lama 10 (sepuluh) hari sejak dilakukan visitasi.
  11. Notifikasi persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) merupakan pemenuhan komitmen Izin Operasional.

Pasal 35

  1. Dalam hal Rumah Sakit milik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah belum melakukan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah, Izin Mendirikan diperoleh melalui pengajuan permohonan pemilik Rumah Sakit kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sebagai pemberi izin sesuai dengan kelas Rumah Sakit dengan melampirkan dokumen persyaratan Izin Mendirikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
  2. Pemberi izin harus menerbitkan surat untuk persetujuan atau penolakan permohonan Izin Mendirikan disertai dengan alasan penolakan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan dan dokumen persyaratan Izin Mendirikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima lengkap.
  3. Dalam hal permohonan Izin Mendirikan ditolak, pemilik Rumah Sakit dapat mengajukan permohonan ulang Izin Mendirikan.

Pasal 36

  1. Rumah Sakit milik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang belum melakukan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah dan telah memiliki Izin Mendirikan, dapat melakukan permohonan Izin Operasional kepada Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/wali kota sebagai pemberi izin sesuai dengan kelas Rumah Sakit dengan melampirkan dokumen persyaratan Izin Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1).
  2. Terhadap dokumen permohonan Izin Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan verifikasi dan visitasi.
  3. Visitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh tim yang memiliki tugas dan unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (8) dan ayat (9) paling lama 14 (empat belas) hari sejak penugasan.
  4. Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyampaikan laporan hasil visitasi paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah visitasi dilakukan.
  5. Berdasarkan hasil verifikasi dan visitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/wali kota harus menerbitkan surat persetujuan atau penolakan permohonan Izin Operasional paling lama 10 (sepuluh) hari sejak diterima laporan hasil visitasi.

Pasal 37

  1. Izin Operasional memuat penetapan kelas berdasarkan hasil penilaian pemenuhan jumlah tempat tidur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 19.
  2. Dalam hal hasil penilaian tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan kelas pada Izin Operasional ditetapkan berdasarkan hasil visitasi jumlah tempat tidur.

Bagian KeempatPerpanjangan, Peningkatan Kelas, danPerubahan Izin Operasional

Pasal 38

  1. Pimpinan Rumah Sakit harus melakukan perpanjangan Izin Operasional paling lambat 6 (enam) bulan sebelum Izin Operasional berakhir.
  2. Ketentuan persyaratan dan tata cara Izin Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 34, dan Pasal 36 berlaku secara mutatis mutandis terhadap persyaratan dan tata cara perpanjangan Izin Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 39

  1. Dalam hal masa berlaku Izin Operasional berakhir dan pemilik Rumah Sakit belum mengajukan perpanjangan Izin Operasional, Rumah Sakit harus menghentikan kegiatan pelayanannya kecuali pelayanan kegawatdaruratan dan pasien yang sedang dalam perawatan inap.
  2. Rumah Sakit yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tetap menyelenggarakan pelayanan tanpa Izin Operasional, dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40

  1. Peningkatan kelas Rumah Sakit dilakukan dengan pemenuhan jumlah tempat tidur sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit.
  2. Peningkatan kelas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap Rumah Sakit yang telah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 41

  1. Rumah sakit yang menambah jumlah tempat tidur, dan memenuhi jumlah tempat tidur minimal kelas Rumah Sakit diatasnya harus melakukan perubahan Izin Operasional sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 19.
  2. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan Izin Operasional harus dilakukan apabila terjadi perubahan:
    1. badan hukum;
    2. nama Rumah Sakit;
    3. kepemilikan modal;
    4. jenis Rumah Sakit; dan/atau
    5. alamat Rumah Sakit.
  3. Perubahan Izin Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan dengan melampirkan:
    1. Izin Operasional sebelum perubahan;
    2. surat pernyataan penggantian badan hukum dan/atau nama Rumah Sakit yang ditandatangani pemilik Rumah Sakit; dan
    3. perubahan akta notaris.
  4. Ketentuan persyaratan dan tata cara Izin Operasionalsebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 34, dan Pasal 36 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perubahan Izin Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf c sampai dengan huruf e.

BAB VPENYELENGGARAAN

Pasal 42

  1. Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan kegawatdaruratan.
  2. Pelayanan kegawatdaruratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43

  1. Dalam menyelenggarakan pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Rumah Sakit harus memiliki:
    1. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit:
      1. 30% (tiga puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan
      2. 20% (dua puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta.
    2. jumlah tempat tidur perawatan di atas perawatan kelas I paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta.
    3. jumlah tempat tidur perawatan intensif paling sedikit 8% (delapan persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit baik milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta.
  2. Jumlah tempat tidur perawatan intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk Rumah Sakit umum, terdiri atas 5% (lima persen) untuk pelayanan unit rawat intensif (ICU), dan 3% (tiga persen) untuk pelayanan intensif lainnya.
  3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (c) dikecualikan untuk Rumah Sakit khusus mata dan Rumah Sakit khusus gigi dan mulut.

Pasal 44

  1. Rumah Sakit milik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan unit transfusi darah.
  2. Unit transfusi darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki izin yang melekat dengan Izin Operasional.
  3. Penyelenggaraan unit transfusi darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan-perundangan.

Pasal 45

  1. Rumah Sakit dapat ditetapkan menjadi Rumah Sakit pendidikan setelah memenuhi persyaratan dan standar Rumah Sakit pendidikan.
  2. Penetapan Rumah Sakit pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 46

  1. Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta dapat berupa Rumah Sakit dengan penanaman modal asing.
  2. Rumah Sakit dengan penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki paling sedikit 200 (dua ratus) tempat tidur atau sesuai dengan kesepakatan/kerja sama internasional.
  3. Penyelenggaraan Rumah Sakit dengan penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 47

  1. Rumah Sakit dapat mendayagunakan tenaga kesehatan dan tenaga nonkesehatan warga negara asing sesuai dengan kebutuhan pelayanan.
  2. Pendayagunaan tenaga kesehatan dan tenaga nonkesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 48

Setiap Rumah Sakit harus memiliki peraturan internal dan organisasi yang efektif, efisien, dan akuntabel sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49

  1. Pimpinan Rumah Sakit tidak boleh merangkap jabatan manajerial di Rumah Sakit lain.
  2. Pemilik Rumah Sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala atau direktur Rumah Sakit.
  3. Kepala atau direktur Rumah Sakit dan pimpinan unsur pelayanan medik di Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.
  4. Kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperoleh melalui pendidikan formal, pelatihan, dan/atau pengalaman bekerja di Rumah Sakit.

Pasal 50

  1. Dalam rangka pengelolaan Rumah Sakit, pemilik Rumah Sakit dapat melakukan kerja sama dengan pihak ketiga.
  2. Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 51

Setiap Rumah Sakit wajib terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 52

  1. Rumah Sakit dapat melakukan pengembangan pelayanan medik spesialistik dan subspesialistik program kesehatan nasional.
  2. Pengembangan pelayanan medik spesialistik dan subspesialistik program kesehatan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan pedoman masing-masing program kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.
  3. Selain melakukan pengembangan pelayanan medik spesialistik dan subspesialistik program kesehatan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rumah Sakit dapat melakukan pengembangan pelayanan medik spesialistik dan subspesialistik melalui kemitraan dengan penanam modal asing berupa pembentukan klinik utama penanaman modal asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 53

  1. Setiap Rumah Sakit yang telah mendapatkan Izin Operasional harus teregistrasi di Kementerian Kesehatan melalui aplikasi registrasi online Kementerian Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
  2. Selain melakukan registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rumah Sakit juga harus melakukan pembaharuan data secara berkala setiap 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu jika terjadi perubahan data Rumah Sakit.

Pasal 54

  1. Pemberian nama Rumah Sakit harus memperhatikan nilai dan norma agama, sosial budaya, dan etika.
  2. Pemberian nama Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan kepemilikan, jenis, dan kekhususannya.
  3. Pemberian nama Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mencantumkan kekhususannya.
  4. Pemberian nama Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang:
    1. menambahkan kata internasional, international, kelas dunia, world class, global, dan/atau sebutan nama lainnya yang bermakna sama; dan/atau
    2. menggunakan nama orang yang masih hidup.

BAB VIPEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 55

  1. Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Rumah Sakit sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota dapat mengikutsertakan masyarakat, asosiasi perumahsakitan, dan/atau organisasi profesi.
  3. Selain Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Pengawas Rumah Sakit dan Badan Pengawas Rumah Sakit dapat melakukan pembinaan dan pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
    1. pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat;
    2. pemantauan terhadap mutu dan keselamatan pasien dalam penyelenggaraan Rumah Sakit;
    3. pengembangan jangkauan pelayanan dan pemantauan sistem rujukan;
    4. penilaian kelayakan lokasi sesuai dengan peruntukkan dan pemenuhan persyaratan perizinan Rumah Sakit lain;
    5. peningkatan kemampuan kemandirian Rumah Sakit;
    6. peningkatan kemampuan manajemen risiko; dan
    7. peningkatan sistem pembuangan limbah.
  5. Dalam melakukan penilaian kelayakan lokasi sesuai dengan peruntukan dan pemenuhan persyaratan perizinan Rumah Sakit lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d, Menteri dapat melakukan teguran terhadap institusi pemberi izin masing-masing Pemerintah Daerah yang memberikan notifikasi pemenuhan komitmen atau institusi pemberi Izin Operasional dalam hal tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
  6. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
    1. advokasi, sosialisasi, supervisi, konsultasi, dan bimbingan teknis;
    2. pendidikan dan pelatihan;
    3. pemantauan dan evaluasi; dan/atau
    4. reviu kelas Rumah Sakit.

Pasal 56

  1. Reviu kelas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (6) huruf d merupakan pelaksanaan monitoring dan evaluasi oleh Menteri dalam rangka kesesuaian klasifikasi Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Selain dalam rangka kesesuaian klasifikasi Rumah Sakit, reviu kelas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan untuk memperoleh gambaran sebaran pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan dalam penataan sistem rujukan.
  3. Menteri mendelegasikan pelaksanaan reviu kelas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal.
  4. Reviu kelas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. reviu kelas Rumah Sakit yang dilakukan secara nasional; dan
    2. reviu kelas Rumah Sakit yang dilakukan berdasarkan laporan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
  5. Reviu kelas Rumah Sakit yang dilakukan berdasarkan laporan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilaksanakan apabila ditemukan ketidaksesuaian kelas Rumah Sakit pada saat kredensial atau rekredensial.
  6. Hasil reviu kelas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota dalam melakukan penetapan kelas Rumah Sakit yang baru, dan/atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dalam penyesuaian kontrak dengan Rumah Sakit.
  7. Dalam hal Rumah Sakit berkeberatan terhadap hasil reviu kelas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Rumah Sakit dapat mengajukan keberatan disertai alasannya kepada Kementerian Kesehatan paling lama 14 (empat belas) hari sejak hasil reviu kelas Rumah Sakit.
  8. Ketentuan lebih lanjut mengenai reviu kelas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan pedoman reviu kelas yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 57

  1. Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengangkat tenaga pengawas berdasarkan kompetensi dan keahliannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan pengawasan yang bersifat teknis medis dan teknis perumahsakitan.

Pasal 58

  1. Menteri, gubernur, bupati/wali kota dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dapat mengenakan tindakan administratif terhadap Rumah Sakit yang tidak menaati ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
  2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, penyesuaian Izin Operasional, pemberhentian sementara sebagian kegiatan Rumah Sakit, pencabutan izin praktik tenaga kesehatan, dan/atau pencabutan Izin Operasional.

BAB VIIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 59

  1. Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku:
    1. Rumah Sakit yang telah memiliki Izin Mendirikan dan Izin Operasional berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Kesehatan, atau Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, tetap berlaku sampai habis masa berlakunya izin;
    2. Rumah Sakit yang sedang dalam proses pengajuan Izin Mendirikan dan/atau Izin Operasional baru atau perpanjangan Izin Operasional berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Kesehatan atau Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, tetap diberikan Izin Mendirikan dan/atau Izin Operasional sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Kesehatan atau Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit;
    3. Rumah Sakit yang telah memiliki Izin Mendirikan dan Izin Operasional berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Kesehatan, atau Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan;
    4. Reviu kelas Rumah Sakit yang telah memiliki Izin Operasional berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit dan/atau Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Kesehatan, tetap dilakukan menggunakan klasifikasi Rumah Sakit yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit atau Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit; dan
    5. Reviu kelas Rumah Sakit yang telah memiliki Izin Operasional berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, tetap dilakukan menggunakan klasifikasi Rumah Sakit yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
  2. Ketentuan reviu kelas rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e hanya untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.
  3. Ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berlaku bagi Rumah Sakit yang sudah memiliki Izin Operasional tetapi bangunan tidak terintegrasi dan tidak saling terhubung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2).

BAB VIIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 60

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1107), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 61

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Lampiran Permenkes 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit lihat di pratayang dibawah ini. Atau bisa juga download di sini.

Berapa jumlah tempat tidur minimal untuk RS tipe C?

(3) Rumah Sakit umum kelas C sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c merupakan Rumah Sakit umum yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 100 (seratus) buah.

Apa saja tipe tipe rumah sakit?

Tipe Rumah Sakit.
Rumah Sakit Tipe A. Rumah sakit tipe A merupakan pelayanan kesehatan rujukan tertinggi alias pusat. ... .
Rumah Sakit Tipe B. Pelayanan yang diberikan rumah sakit tipe B ini ada kedokteran medis spesialis luas dan subspesialis terbatas. ... .
Rumah Sakit Tipe C. ... .
Rumah Sakit Tipe D. ... .
Rumah Sakit Tipe E..

Rumah sakit tipe C artinya apa?

Rumah Sakit Kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran subspesialis terbatas. Terdapat empat macam pelayanan spesialis disediakan yakni pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan kesehatan anak, serta pelayanan kebidanan dan kandungan.

Rumah sakit tipe B apa saja?

2. Rumah Sakit Umum Kelas B.
RSAB Harapan Kita, Jakarta..
RSUP Dr Kariadi, Semarang, Jawa Tengah..
RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta..
RSU Tangerang, Banten..
RSUD Labuang Baji, Makassar, Sulawesi Selatan..