Tentukan gaya bahasa atau majas yang terdapat dalam kutipan novel Bekisar Merah

Pertanyaan

Perhatikan kutipan novel berikut!
 

    Hati Pambudi makin lama makin resah. Rasanya ia takkan bisa berbuat banyak dengan lumbung koperasi Desa Tanggir. Pak Dirga, lurah yang baru, berbuat tepat seperti yang diramalkan Pambudi. Curang! Aneh, pikir Pambudi, aku hanya ingin bekerja menurut ukuran yang wajar. Mengembangkan lumbung koperasi untuk kebaikan bersama. Memang aku ingin memperoleh keuntungan pribadi bila tujuanku berhasil. Mungkin pendapatan pribadiku akan naik. Dan siapa yang akan mengutukku bila aku dibayar karena tenaga yang telah ku biarkan kepada koperasi? Bukan hanya aku yang akan beruntung bila lumbung koperasi Desa Tanggir menjadi badan usaha yang bonafide. Tidak, aku tidak berlebih-lebihan dalam bercita-cita ini. Koperasi untuk kepentingan bersama tetapi alangkah sulit mengusahakan kemajuannya.

    Karena merasa menemukan jalan buntu, Pambudi mulai berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Dan keputusannya untuk meninggalkan pekerjaan yang lama datang dua bulan kemudian. Seorang perempuan datang menemui Pambudi. Ia mengajukan permohonan agar diberi pinjaman padi. Mula-mula perempuan itu tidak menyebutkan tujuan peminjaman padi itu sebelum Pak Budi bertanya.

    "Untuk apa padimu nanti Mbok?"

    "Akan kujual. Uangnya akan aku pergunakan untuk obat. Lihatlah Leherku membengkak. Sakit sekali rasanya."

    Mbok Ralem, demikian nama perempuan itu memperlihatkan lehernya yang menggembung seperti leher ular koros.

    "Berapa luas sawah yang kau garap, Mbok?"

    "Oalah, Nak, aku tak mempunyai sawah sedikit pun.

    "Biasanya aku menggarap sawah tetangga, tetapi musim ini tidak. Aku tak menggarap sawah. "

    "Kalau begitu kau takkan mendapat pinjaman lebih dari 25 kilo. Apakah jumlah itu cukup? "

    "Pasti tidak cukup, sebab kata Pak Mantri, aku harus berobat ke Yogya."

    "Aku tidak dapat memutuskan kalau begitu. Mari ku antar menghadap Pak Lurah."

    Ternyata Pak Dirga belum ada di kantornya. Sambil menunggu kedatangan kepala Desa Tanggir itu, Pambudi dan Mbok Ralem duduk di sebuah bangku panjang. Perempuan itu bercerita bahwa ia sudah tiga kali berobat kepada dukun dan sekali kepada seorang mantri kesehatan.

    "Aku ingin segera sembuh. Leherku makin lama makin tercekik rasanya."

    "Iya, aku mengerti. Kukira kau memerlukan biaya yang agak banyak, sebab untuk ongkos perjalanan ke Yogja saja tidak akan cukup dengan uang dua-tiga ribu rupiah.

    "Memang demikian Nak. Seandainya masih ada sesuatu yang dapat kujual, pasti aku takkan meminjam padi di sini. Aku takut nanti tak mampu mengembalikannya."

   Setelah Pak Dirga datang, Pambudi membawa tamunya masuk kamar kerja kepala desa. Dengan suara lirih dan gemetar, Mbok Ralem mengutarakan maksudnya kepada Pak Dirga. Selama berbicara perempuan itu tidak sekalipun menatap wajah lurahnya. Pak Dirga tidak segera memberi jawaban. Ia hanya melihat sepintas saja pada leher Mbok Ralem. Kemudian, dengan pandangan mata lurus Pak Dirga berkata, "Sebenarnya seorang seperti kamu tidak bisa mendapatkan pinjaman. Aku tahu, banyak peminjam yang mengembalikan pinjamannya saja tidak dapat, apalagi bersama bunganya. Jawablah sekarang dengan jujur apakah dulu kau pernah meminjam padi dari lumbung?"

    Wajah pucat mendadak. Betul, dua tahun yang lalu ia meminjam sepuluh kilo padi dari lumbung. Dua panenan berikutnya hama wereng memusnahkan padinya selagi masih hijau. Jadi ia tidak bisa mengumpulkan bawon. Janganlah untuk mengembalikan pinjaman, untuk makan bersama dua orang anaknya saja sudah tidak ada. Perempuan itu terkejut ketika Pak Dirga mengulangi pertanyaannya. Dengan suara yang bergumam di tenggorokan, Mbok Ralem mengakui dakwaan lurahnya.

    "Pambudi," kata Pak Dirga. "Hitung sekarang berapa pinjaman perempuan ini berikut bunganya sekarang."

    "Dua puluh tujuh setengah kilo," jawab Pambudi dengan suara setengah tertahan.

    "Nah itu. Utangmu dua tahun yang lalu belum bisa kau bayar kembali. Sekarang kau mau pinjam lagi, Bagaimana?"

    Mbok Ralem meremas-remas jarinya sendiri. Benjolan di lehernya terasa menggigit, bibirnya gemetar mau berbicara, tetapi tidak sepatah kata pun berhasil diucapkannya. Sebagai gantinya air matanya mengalir dengan deras. Kemudian Mbok Ralem bangkit karena merasa tidak mampu lagi berkata walau hanya sepatah. Ia teringat kepada kedua anaknya tinggal di rumah yang disuruh menjaga ubi yang sedang direbus dalam kuali. Sebelum berjalan, Mbok Ralem memandang kepada Pambudi. Sebuah batu besar bagaikan jatuh menimpa hati anak muda itu. Pandangan mata Mbok Ralem, pandangan seorang perempuan Tanggir yang takkan dapat dilupakan oleh Pambudi di sepanjang hidupnya. Mata orang yang tak berdaya. Mata yang cekung, merah, dan basah. Pandangan yang mewakili kegetiran yang mutlak, yang akan menarik hati nurani siapa pun dari persembunyiannya.

    "Nanti dulu, Pak. Jadi orang ini tidak akan diberi kesempatan untuk berobat ke Yogya?" Pambudi seraya bangkit dari duduknya.

    "Loh kenapa kau bertanya begitu? Sudah lama kamu ngurus kan? Tentu kau sudah hafal ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh seorang peminjam, bukan? Mbok Ralem tidak menggarap sawah sedikitpun. Mbok Ralem bahkan masih menangguhkan utangnya. Tapi baiklah, berI ia pinjaman dua puluh kilo. Dengan hanya bertindak demikian sesungguhnya aku telah menempuh risiko."

    "Padi sejumlah itu takkan ada artinya untuk perawatan penyakit yang diderita Mbok Ralem. Saya mempunyai sebuah usul, Pak."

    "Cepat katakan!"

    "Sepantasnya Mbok Ralem diperlakukan secara khusus. Wajarlah bila ia diberi pinjaman sebesar yang diperlukan untuk biaya penyembuhan penyakitnya. Apa artinya ia diberi pinjaman bila jumlahnya tidak cukup sehingga penyakitnya tidak diapa-apakan?"

   "Perihal sakitnya Itu terserah kepadanya dan kepada sanak familinya. Atau ia dapat menghasilkan permohonan bantuan kepada kas Lembaga Sosial Desa. Aku ketua lembaga itu, dan tahu benar kasnya melompong."

    "Ya, Pak, tapi maaf. Saya mengingatkan Bapak akan sebuah pasal dalam peraturan perlumbungan bahwa sepertiga keuntungan lumbung koperasi tersedia bagi pengeluaran-pengeluaran darurat yang harus dipikul oleh desa, seperti bila ada banjir bila ada bencana banjir, kebakaran, dan sebagainya. Bagaimana bila Mbok Ralem kita beli uang berobat dari dana darurat itu. Saya tahu, dana itu ada dan pasti cukup."

    "Dengar. Apa yang terjadi pada Mbok Ralem adalah sakit. Bukan bencana banjir, bukan bencana kebakaran. Pokoknya aku tak bisa memberi pinjaman sebesar yang ia perlukan. Apalagi dana darurat yang kau maksud itu harus kita berikan cuma-cuma. Tidak mungkin. Aku telah mempunyai rencana besar yang pelaksanaannya akan dibiayai dengan dana darurat itu."

    "Apalagi rencana Bapak itu? "

    "Kau tak perlu tahu! Oh, maksudku kau belum saatnya ku beritahu."

    "Kali ini saya harus tahu. Soalnya, saya ingin tahu, penting mana rencana Bapak itu dengan keharusan kita menolong Mbok Ralem. Maaf Pak, sesungguhnya saya merasa masygul. Untuk membiayai pelantikan Bapak beberapa bulan yang lalu, kas dana darurat susut 125.000 rupiah. Sebaliknya Bapak tidak merelakan sedikitpun uang dana darurat itu untuk menolong Mbok Ralem. Sekarang katakan terus terang, apalagi rencana Bapak dengan uang milik bersama itu?"

    Pak Dirga menyembunyikan kagetnya dengan cepat-cepat menyalakan rokok. Ia tidak mengira akan dikejar dengan pertanyaan yang menyelidiki seperti itu. Memang ia telah menyuruh Poyo mengeluarkan uang dari kas dana darurat untuk membiayai pelantikannya beberapa bulan yang lalu. Bayangkan pikirnya, Bu Camat wanti-wanti berpesan agar pelantikan itu dimeriahkan dengan pergelaran wayang kulit dengan dalang yang dipesan sendiri oleh Bu Camat. Tarifnya bukan main. Untuk membeli rokok yang disuguhkan kepada para tamu saja Pak Dirga harus membayar 30.000 rupiah. Tadinya ia akan menyerah, Kalau kas dana darurat tidak boleh dibobolnya. Dan si Pambudi ini, bocah nakal yang sangat berbeda dengan Poyo. Apa maunya? Oh, tetapi Pak Dirga merasa pasti ia dapat menjinakkan hati anak yang masih ingusan seperti Pambudi ini. Maka ia segera mengundurkan urat-urat di wajahnya. Senyumnya terkembang, ramah tetapi jelas licik.

    "Wah nanti dulu, Pambudi. Bicaralah pelan-pelan. Mbok Ralem sendiri mungkin masih mendengarnya. Rencana yang kumaksud hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja, termasuk kau . Barangkali kau belum tahu, Pemerintah akan melebarkan jalan yang melewati Desa kita ini. Karena pelebaran dan itu kira-kira lima ratus batang pohon kelapa akan tergusur. Para pemilik pohon kelapa akan menerima ganti rugi. Pambudi, kau anak yang pintar. Tahukah kau, ada rezeki yang dapat kita ambil?"

    "Oh, tidak Pak, tetapi apa hubungannya dengan uang dana darurat milik koperasi kita?"

     Sebuah senyuman belut putih tergambar pada bibir Pak Dirga. Ia tertawa pelan, penuh arti. Sikapnya amat lunak sekarang seperti seorang ayah yang sedang mengakali anak yang merajuk.

(Disadur dari: Ahmad Tohari, Di Kaki Bukit Cibalak, Jakarta, Gramedia Pustaka utama, 2014)

Tentukan gaya bahasa atau majas yang terdapat dalam kutipan novel tersebut!